Aku.Kamu.Kita : #Renungan 180 Purnama (Sneak Peek)

Beberapa tahun yang lalu, mas mengajak saya menghadiri undangan ulang tahun pernikahan ke-25 seorang seniornya. Ini adalah undangan ulang tahun pernikahan “orang lain” pertama yang saya hadiri. Acaranya meskipun sederhana namun meriah. Alur acara ditata apik dan dikomandoi oleh seorang MC profesional yang asik dan kocak, mengajak hadirin turut larut dalam kebahagiaan pasangan yang berulang tahun.

Dari rangkaian acara yang ada: tiup lilin, tausyiah dari ustadz, kuis-kuis dengan doorprize menarik, makanan yang enak-enak, ada satu mata acara yang sangat berkesan buat saya. Ialah ketika sang suami, menyampaikan rasa syukur atas perjalanan 25 tahun pernikahannya. Ia, didampingi oleh istri dan anak-anaknya, menceritakan kisah perjalanan 25 tahun pernikahannya, diiringi oleh tayangan foto-foto sesuai dengan ceritanya. Mata beliau dan istrinya sesekali basah, sesekali tertawa riang…dan saya pun ikut larut dalam emosi mereka. Beliau menceritakan bagaimana latar belakang keluarganya dan istrinya, bagaimana mereka bertemu, perjuangan mereka di awal menikah, kisah kelahiran anak-anak mereka, suka duka saat kuliah di luar negeri, pengorbanan istrinya, …. sampai kini beliau pribadi maupun keluarganya menjadi keluarga yang “sukses”.

Pulang dari acara itu, di mobil topik pembicaraan kami masih seputar acara itu. Kami mengandai-andai pernikahan kami sampai di usia 25 tahun. Seperti apa kira-kira “rupa” keluarga kami ya? Mas berarti sudah umur 51 tahun. Karirnya udah sampai mana ya? Mimpi-mimpinya, target-target pribadinya, sejauh mana yang sudah tercapai? Saya sudah berumur 48 tahun. Udah jadi apa ya? Udah berkarya apa saja? Si sulung 24 tahun. Udah nikah? Udah punya anak? Si bujang kecil umur 21 tahun. Sudahkah kuliah di Swiss seperti yang ia impikan? Si gadis kecil umur 18 tahun. Si ceriwis itu penampakannya kayak gimana ya? Si bungsu 15 tahun, udah kayak apa ya? Masihkan selalu riang seperti saat ini?

Pembicaraan lalu beranjak pada milestone-milestone penting yang diceritakan senior mas tadi. Lalu kami pun mengenang milestone-milestone penting pernikahan kami. Mata berkaca dan tawa menertawai kebodohan kami berdua, juga mewarnai obrolan kami. Obrolan diakhiri dengan perdebatan panjang bagaimana bentuk acara yang akan kami gelar pas ulangtahun pernikahan ke 25 nanti haha…. Perdebatan panjang seperti yang biasa terjadi di toko mebel, di toko gorden, di toko wallpaper, juga di toko bunga setiap kali kami akan membeli barang-barang  untuk menghiasi rumah kami kkkk.

Dan seperti biasanya, perdebatan panjang kami belum menemukan titik temu. Memang biasanya titik temu akan terjadi ketika perdebatan sudah masuk ronde ke lima haha…Akhirnya kalimat penutup kami “nanti lah, kita obrolin lagi, masih lama ini”. Tapi satu hal yang kami sepakati dalam perbincangan dan perdebatan panjang kami, bahwa pernikahan yang telah kami jalani, harus kami syukuri.

Tgl 15 Juni, kami tetapkan sebagai hari ulang tahun keluarga. Merencanakan apa yang akan kami lakukan di tanggal itu, sudah jadi semacam ritual. Mulai dari makan bareng, bikin-bikin sesuatu yang akan jadi “jejak” dalam keluarga kami, dan saya selalu sempatkan untuk menuliskan renungan tahun demi tahun pernikahan kami. Sungguh, saya benar-benar bersyukur memiliki pasangan yang menjadi pelengkap hidup saya. Sebagai teman, sahabat, imam, soulmate. Tapi saya kadang suka berpikir: ih, lebay gak ya? Baru aja nikah segitu tahun. Belom ada apa-apanya kaleee…

Suatu waktu, dalam perbincangan saya dengan dua senior saya yang usia pernikahannya sudah menjelang tahun ke-40, saya bertanya: apa yang membuat mereka bisa mempertahankan pernikahan se-lama ini. Dari perbincangan itu saya menyimpulkan bahwa proses adaptasi, proses mengenal pasangan, proses belajar menyelesaikan masalah,  terus terjadi tahun demi tahun pernikahan. Mengapa? Karena suami dan istri, adalah manusia yang mengalami perubahan. Maka, sesungguhnya, orang yang kita nikahi, bisa jadi menjadi berbeda dalam sebagian dirinya. Demikian juga diri kita.

Kalau kata salah satu senior saya, menikah itu kayak kuliah. Setiap semester pelajarannya berbeda, ujiannya juga beda. Kata-kata itulah yang membuat saya yakin bahwa pernikahan yang telah kami jalani, harus kami syukuri. Tahun demi tahunnya, bulan demi bulannya, minggu demi minggunya, hari demi harinya. Tak perlu menunggu tahun ke-25. Kami tak tahu pelajaran apa yang akan kami pelajari di tahun-tahun ke depan, sesulit apa ujiannya, dan apakah kami akan sanggup melewatinya. Tapi yang pasti, pelajaran di 15 tahun ini, hasil ujian yang kami lewati 15 tahun ini, adalah sebuah “prestasi” yang harus benar-benar kami syukuri.

Beberapa tahun terakhir ini, cukup banyak mahasiswa saya yang menikah. Beberapa dari mereka, mengantarkan undangannya secara personal, entah janjian di kampus atau di rumah. Dalam kesempatan tersebut, sebagian curcol mengenai hal-hal yang diresahkan, sebagian meminta “nasihat pernikahan” haha…jelas banget saya udah tua 😉. Tapi dari obrolan itu, membuat saya menyadari bahwa teryata banyak hal-hal yang saya pelajari dalam perjalanan pernikahan ini. Ya…hal-hal yang engga kepikir waktu saya dalam posisi seperti mahasiswa-mahasiwa saya, yang baru akan memasuki dunia pernikahan. Ternyata, pelajaran-pelajaran itu adalah hal yang berharga bagi yang belum menjalaninya.

Tahun-tahun terakhir ini pula, saya banyak bertemu dengan persoalan-persoalan yang terkait dengan pernikahan. Meskipun fokus utama dalam menjalani profesi saya adalah kesejahteraan anak, namun nyatanya kesejahteran anak dalam keluarga tak lepas dari kualitas pernikahan orangtuanya. Maka, membahas persoalan anak, biasanya lekat dengan bahasan mengenai kualitas pernikahan. Oleh karena itulah, akhirnya saya belajar mengenai couple therapy dan family therapy. Kerangka pikir yang saya dapat dari hasil belajar tersebut, dipadukan dengan hasil penelitian teman-teman saya yang area penelitiannya di bidang pernikahan serta pengamatan dan penghayatan saya terhadap kehidupan pernikahan, maka semakin jelas “peta potensi masalah dan kunci-kunci keberhasilan sebuah pernikahan”. Saya juga semakin menyadari bahwa hal-hal “kecil” yang terkadang luput dari perhatian dalam kehidupan pra dan pasca pernikahan, bila tak kita sadari, pada suatu saat akan menjadi bom waktu yang membuat pernikahan yang seharusnya menjadi syurga dunia, berbalik menjadi neraka dunia.

Untuk mensyukuri keberkahan yang kami rasakan selama 15 tahun kebersamaan kami, mas memprovokasi saya untuk menyusun sejumlah tulisan dengan tema-tema yang kami temui dalam perjalanan 15 tahun ini. Buku ini tidak bertutur banyak mengenai perjalanan pernikahan kami. Biarlah itu tersimpan di diary saya pribadi hehe… tapi topik-topik dalam buku ini, terinspirasi dari perjalanan pernikahan kami.

Tadinya, buku ini akan launching tepat hari ini. Seorang teman yang mengetahui rencana ini, berkomentar: “swit swiw…romantis amat launching buku pas wedding anniversary”. Iya, rencananya memang se-romantis itu. Tapi romantisme itu ternyata berbenturan dengan kenyataan. Jadwal finalisasi naskah bentrok sama deadline target disertasi. Mana yang harus lebih diprioritaskan? tentunya realitas. Sama persis situasinya sama kondisi pernikahan di usia 15 tahun ini hehe…

Insya allah, beberapa bulan yang akan datang buku ini akan launching, dalam bentuk ebook, free download. Buat yang suka dan pengen punya versi hardnya, insyaallah akan dicetak juga.

Cover cantik buku ini adalah buah karya teman saya yang coretan-coretannya, selalu membuat saya jatuh cinta. Laila Qodariah, Lai panggilan sayangnya. Karya-karya cantiknya bisa dilihat di instagram @gambaremak. Bentuk gambar, font sampai printil-printil adalah hasil vote dari si abah dan anak-anak.

Semoga tulisan-tulisan sederhana dalam buku ini bisa menemani perjuangan dalam sebuah marathon bernama pernikahan. Mohon doa juga semoga  pernikahan kami, keluarga kami, selalu dikarunia keberkahan di dunia dan keselamatan di akhirat nanti.

15 Juni 2017

Skill Penting Buat Ibu : Self Compassion

Saya mengenal istilah compassion dari teman saya yang disertasinya mengenai topik itu. Melalui diskusi-diskusi kami, saya sedikit banyak mengenal konsep ini. Compassion, dapat diartikan sebagai “belas kasih”. Kata teman saya, compassion terbagai menjadi dua: compassion to other (belas kasih pada orang lain) dan self compassion (belas kasih terhadap diri sendiri).

Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas mengenai self compassion pada seorang ibu. Belas kasih seorang wanita yang menjalankan peran sebagai ibu, terhadap dirinya sendiri.

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh penerawangan saya (hehe… dukun mode: on) mengenai kondisi psikologis ibu yang bisa menjadi “prasyarat” terjadinya interaksi yang positif dengan anak-anaknya. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya sering menyampaikan bahwa ilmu pengasuhan se”keren” apapun, se”islami” apapun, se”baik” apapun, tak akan bisa kita amalkan dengan baik apabila kondisi emosi kita sedang “rusuh”. Susah banget untuk menjadi playful sama si kecil kalau kita lagi “tegang”. Sangat gak mudah bisa menerima kekurangan anak kita kalau kitanya “gak rileks”. Super duper sulit menghargai si remaja kalau kitanya lagi “mumet”.

Dan, salah satu sumber ketegangan, sumber stress seorang ibu adalah perasaan “bersalah” karena kekeliruan langkah pengasuhan yang ia lakukan. Sebenarnya, kesadaran bahwa kita pernah “salah langkah” dalam mengasuh, adalah hal positif. Namun bila tidak kendalikan, itu bisa jadi bumerang. Ada banyak ibu yang kemudian “tenggelam” dalam rasa bersalahnya, sehingga malah gak bisa “memperbaiki situasi”.

Rasa bersalah seperti apa sih? Saya punya pengalaman rasa bersalah yang bisa jadi ilustrasi.

Waktu pertama kali melahirkan, 14 tahun lalu, sakit melahirkan dengan induksi bisa saya tahan. Tidak menjadi “traumatis” buat saya, karena saya sudah sering denger cerita dan sudah banyak baca tentang cerita sakitnya melahirkan. Jadi secara psikologis saya sudah menyiapkan diri.  Tapi sakit yang membekas banget adalah pada saat menyusui pertama kali. Bukan di putingnya. Berbekal puluhan buku yang saya baca untuk persiapan hamil, melahirkan dan merawat bayi, sejak hamil saya sudah melakukan perawatan pada puting sehingga pas bayi lahir, sudah dalam kondisi “elastis”. Yang luput dari perhatian saya  dan gak pernah ada yang cerita adalah, sakitnya rahim saat si kecil menyusu. Belakangan saay tahu bahwa ketika bayi mengisap susu, berdampak pada pengerutan kembali rahim untuk kembali pada ukurannya semula. Sakitnya itu, buat saya ngalahin sakit kontraksi. Dan karena tidak ada antisipasi secara psikologis, maka “memori tubuh” terhadap rasa sakit itu terbawa pada saat saya melahirkan anak kedua, si bujang kacil, 3 tahun kemudian.

“Rekaman” kejadian 11 tahun lalu, masih jelas di kepala saya. Disadari atau tidak, saya “enggan” menyusui si bujang kecil di hari-hari pertama kelahirannya. Saya tahu betul, kolostrum itu penting, produksi susu hari-hari pertama sangat diperlukan bayi. Namun “ingatan tubuh” itu sulit saya lawan. Sampai saya ditegur dokter. Kurang telatennya saya mempersiapkan perawatan puting pra-kelahiran juga membuat puting saya lecet berat. Meskipun saya tetap bertekad untuk memberikan ASI exclusive, namun ingatan akan rasa sakit di rahin ynag tak tertahankan, membuat semangat saya menyusui tak seperti waktu menyusui si sulung.

Di hari ke-4nya, saat kontrol, si bujang kecil tak bisa saya bawa pulang. Ia harsu masuk ruang perawatan untuk “disinar” karena bilirubinnya tinggi. Aqiqah yang sudah dipersiapkan di hari ke-7nya, kami batalkan. Saya menghayati saat itu, itu adalah hukuman Allah buat saya. Kontan. Rasa bersalah saya tak tertahankan. Ekspresinya, adalah tindakan irasional. Setiap hari, sambil tak henti menangis, saya memerah ASI saya, yang keluar bercampur darah karena lecet puting. Cuman dapat 30 ml paling; tapi saya paksa suami saya antar ke Rumah Sakit. Mas berangkat, saya tak henti-henti memerah. Sakit sih, tapi saya pikir saya harus dihukum. Saya layak mendapatkannya. Alhamdulillahnya meskipun kala itu pernikahan kami baru berjalan 4 tahun, Mas memahami kondisi psikologis saya. Dia bisa tiga kali bolak-balik ke RS yang tak dekat jaraknya dari rumah, untuk mengantarkan ASI. Sepertinya ia paham bahwa hal ini penting untuk membuat saya merasa bahwa saya bisa “menebus” kesalahan saya. Seminggu kemudian si bujang kecil bisa pulang, alhamdulillah kemudian ASI lancar.

Menjelang usia 2 tahun, si bujang kecil belum bisa mengucakan kata dengan jelas. Selain itu, ia mengalami masalah dalam integrasi sensoris. Ada “tactile defensiveness”, yang tampil dalam perilaku “jijik-an”, juga hipersensitif dalam indera pengecap dan pembau. Sampai usia itu (dan berlanjut sampai usia 4 tahun), ia tidak bisa makan nasi. Perilaku yang tampak adalah picky eater. hanya 3 jenis makanan yang bisa ia “toleransi”. Kalau saya sedang masak, ia akan tutup hidung. Kalau diajak ke restoran terutama restoran padang, ia gak mau turun. Tutup hidung. Di masa inilah saya jadi kenal dengan ilmu sensory integrasi. Saya cari buku-bukunya, online resource dan course-nya. Alhamdulillah, sangat bermanfaat dalam profesi saya sebagai psikolog.

Karena khawatir dengan kemampuan bicara-nya, saya bawa ke seorang dokter tumbuh kembang ternama. Ia juga memiliki tempat terapi dengan pendekatan SI. Setelah diobservasi beberapa waktu, dokter menyatakan si bujang kecil memiliki simptom autisme. Dokter berusaha meyakinkan saya bahwa kontak mata si bujang kecil sangat minim. Saya sangat terpukul. Saat itu, saya sudah mulai bekerja secara formal. Rasa bersalah itu, muncul kembali.  Saya ingat sekali, waktu itu di depan dokter saya menyusui si bujang kecil, lalu dokternya bilang: “tuh liat bu, dia gak liat mata ibu kan?” Hiks…. rasa bersalah saya muncul lagi. Teringat kembali “keengganan” saya menyusui si bujang kecil, inget juga bahwa setiap kali menyusui, saya tidak “secara sadar” menatapnya seperti seharusnya dan saya lakukan pada si sulung. Banyak momen menyusui yang saya lalui sambil melakukan hal lain. Baca buku, jawab sms, bahkan mengetik mengerjakan ini-itu di laptop. Dan karena anaknya cukup anteng dan “gak protes”, maka kebiasaan itu berlanjut. Cukup lama saya down oleh judgement sang dokter. Down nya karena rasa bersalah itu! Saya ingat beberapa kasus yang diceritakan senior saya tentang “penolakan” ibu terhadap anaknya. Yang meskipun tidak disadari dan hanay ada dalam hati & kepala ibu, tetap secara psikologis berdampak pada anak. Karena perasaan “tak disadari” itu tetap muncul dalam perilaku baik verbal maupun non verbal, yang “terasa” oleh anak. Dan saya merasa, keengganan saya menyusui di hari-hari pertama kehidupannya adalah bentuk “penolakan” dari saya yang membuat si bujang kecil menjadi “tak terkoneksi dengan saya” . Runtuh rasanya dunia saat itu.

Sekitar satu bulan kemudia, rasionalitas saya mulai muncul. Saya membaca hasil observasi sang dokter, saya melihat ada yang kurang pas dalam metode observasinya. Misalnya ia meminta saya bermain dengan si bujang kecil selama 10 menit. Dianya ada di situ. Saya, bukan tipe orang yang mudah “ekspresif”. Maka, selama 10 menit dengan kehadiran beliau disana, saya gak bisa mensimulasikan bermain dengan si bujang kecil secara natural, sehingga respons si bujang kecil juga menjadi tidak tertangkap secara valid dari momen 10 menit itu.

Setelah saya observasi kembali dan minta teman saya mengobservasi, simptom autism itu tidak terlalu nyata. Saya harus berterima kasih banyak pada dokter, karena ada beberapa informasi  yang penting. Misal: tonus otot si kecil tergolong lemah. Maka, di usia 2-4 tahun, saya mulai men-terapi si bujang kecil. Inget banget eksplore metode dan cari alat buat menstimulasi tactile-nya. Mulai dari gak mau pegang playdough, anti banget pegang lem, sampai akhirnya 2 tahun kemudian bisa meremas-remas cairan telur mentah tanpa ekspresi jijik.

Perasaan bersalah masih terus menghantui, sampai akhirnya saya melihat…. klien-klien saya. Rasa bersalah seperti yang saya alami, jika tidak dikendalikan, dampaknya membuat kita tidak bisa menjadi rileks. Kenapa? karena kita belum memaafkan diri kita sendiri. Sama kayak kalau kita belum maafin orang yang bikin salah sama kita, bawaannya kesel kan…kan bisa objektif kan… demikian pula perasaan kita sama diri kita sendiri. Dan gawatnya, itu bisa jadi afirmasi buat kondisi anak kita. Saya banyak bertemu ibu yang menggambarkan anaknya, seperti gambaran sesuai rasa bersalahnya. Misalnya: anak saya gampang marah banget, soalnya pas hamil saya lagi ada masalah sama suami, dan tiap hari pasti saya ngamuk sama suami saya. Pas saya observasi anaknya, intensitas “gampang marah” si anak gak segitunya seperti yang digambarkan ibu. Anak saya punya masalah gangguan bicara ekspresif. Umur 4 tahun belum bisa ngomong. Itu karena saya terlalu riweuh, jadi anak dikasih tablet sama yutub aja, gak saya stimulasi. Anak saya begitu karena saya. Salah saya. Perasaan itu, sangat kontraproduktif. Sama seperti saya ketika saya dikungkung perasaan bersalah, maka simptom-simptom autism itu tampak banyak. Iya ya gak kontak mata. Nonverbal. Gak terkoneksi. Gak ada attachment …. dan dalam kondisi kayak gitu, maka kita dalam kondisi “tegang”; gak bisa rileks untuk fleksibel lihat sisi lain kemampuan anak, kelebihan anak.

Maka, berbelas kasih terhadap diri sendiri, self-compassion, untuk seorang ibu, sangatlah penting. Anaknya tetap sama, namun saya merasakan sekali beda rasanya setelah saya “memaafkan diri saya”. Mengakui dengan jujur bahwa saya dulu “enggan” menyusui si bujang kecil karena bla..bla..bla… Saya tahu itu salah, tapi itu wajar terjadi bagi “ibu muda” seperti saya. Tak akan saya ulangi lagi, tapi saya sama sekali tidak berniat menolak si bujang kecil, dan saya berusaha menebus kesalahan saya. Proses itu, sampai saya bisa “memaafkan diri” saya, butuh proses. Puluhan tulisan mengenai hal ini, baik di diary maupun di tulisan publik, adalah bagian dari proses itu. Sampai saat ini, saya bisa menulisnya tanpa air mata. Setelah proses itu terjadi, saya jauh lebih rileks. Lebih objektif. Lebih acceptance juga. Lebih jernih dalam menanggapi dan menstimulasi.

Berbelas kasih terhadap diri, beda jauh dengan denial. Berbelas kasih itu mengakui, lalu memaafkan. Denial itu tidak mengakui. Saya menemukan satu website bagus mengenai self compassion dalam parenting. Adalah Kristin Neff, PhD, seorang  associate professor of human development and culture at the University of Texas at Austin. Beliau pionir dalam penelitian mengenai self compassion dan di artikelnya  https://www.seleni.org/advice-support/article/the-newest-parenting-skill-self-compassion; sejalan dengan “penerawangan” saya hehe….

Secara lebih praktis, latihannya ada di http://self-compassion.org/category/exercises/.

3-Elements-of-Self-Compassion1Insyaallah, kalau panjang umur, beres sekolah 2 tahun lagi, saya bercita-cita banget kita para emak secara rutin kumpul buat latihan kayak gini-gini. Latihan worldview, latihan mendengarkan, latihan self-compassion; da kalau pengetahuan mah kayaknya udah bagai tsunami ya di era medsos kayak saat ini. Parenting group via wa juga udah gak terhitung. Yang dibutuhkan latihan menurut saya mah. Biar ilmunya tak hanya jadi koleksi, tapi teramalkan dan jadi berkah.

 

 

 

mendengarkan vs menasihati

Salah satu rejeki yang harus disyukuri oleh “anak sekolahan” adalah bila dapat Pembimbing yang supportif. Di jenjang pendidikan mana pun, S1 apalagi S2 dan S3, hubungan dengan Pembimbing selalu menjadi faktor yang berdampak besar pada “kesuksesan” penyelesaikan skripsi/tesis/disertasi dan kesejahteraan psikologis penyusunnya. Maka, tentu saya bercita-cita menjadi Pembimbing yang supportif terhadap mahasiswa saya. Bukan apa-apa…saya tuh suka ngebayangin pertanggungjawaban di akhirat uy… kalau sampai mahasiswa saya menuntut bahwa saya menghambat karirnya, membuat harga dirinya hancur lebur, kesehatan mentalnya menurun…. Dear mahasiswa-mahasiswi bimbingan saya, maapken kalau saya kurang supportif ya….

Masalahnya adalah, untuk bisa supportif ini, tidak cukup dengan cita-cita. Salah satu issu yang sering didiskusikan oleh kami para dosen “muda” adalah, bagaimana belajar teknik-teknik untuk memberi tanggapan yang supportif pada mahasiswa, se-gimana-pun kondisi mahasiswanya. Buat kami-kami yang lagi sekolah, kami suka sharing pengalaman gimana cara Promotor dan atau Supervisor kami memberikan feedback yang kami rasa supportif.

Setelah 11 tahun berperan sebagai Pembimbing, mulai tahun lalu saya berperan sebagai mahasiswa. Selama satu tahun ini, banyak sekali pelajaran yang saya dapat dari Tim Promotor saya  mengenai cara bersikap dan berperilaku sebagai Pembimbing yang supportif. Itulah yang ingin saya ulas dalam tulisan ini.

Tim Promotor saya adalah 3 orang ibu. Seorang ibu Profesor dan dua orang ibu doktor. Bersama saya, dua rekan mahasiswa satu bimbingan adalah dua orang ibu juga. Saya ber-anak 4, teman saya ber-anak 3 dan 1. Jadilah kami 6 orang emak yang berada dalam situasi akademik.

Saya ingat, setelah kami diterima, kami berkumpul dalam satu pertemuan untuk orientasi awal. Saya sudah menyiapkan mental bahwa kami akan diberikan arahan untuk masuk ke dunia akademik dengan “disiplin”, dan harus “meninggalkan” identitas ke-emak-an kami sebagai konsekuensi pilihan kami sekolah lagi. Apalagi ini jenjang S3, di almamater saya yang cukup dikenal “susah masuk susah keluar” haha….

Ternyata eh ternyata, dugaan saya meleset jauh. Pada pertemuan pertama tersebut, kami ditanyai satu-satu mengenai kehidupan keluarga kami. Anak berapa, umur berapa aja, suami kerjanya bagaimana, support system yang kami miliki apa saja, ada pembantu nginep atau engga, aktivitas kami selain kuliah apa saja. Setelah itu, Tim Promotor menjelaskan tanggung jawab kami dikaitkan dengan kurikulum. Lingkup penelitian yang harus kami lakukan, diseminasi nasional dan internasional, publikasi nasional dan internasional, dan terakhir…ini yang paling saya suka, Beliau memberikan arahan alternatif strategi sesuai dengan kondisi kami saat ini. Ya, Beliau tetap memberikan arahan minimal harus baca jurnal berapa per hari, menyisihkan waktu menulis berapa jam per hari, namun sama sekali tak mengabaikan kondisi “semesta” kami sebagai emak dan istri. 

“Karena kita sudah berkeluarga, punya peran sebagai istri dan ibu, jangan sampai sekolah ini melalaikan peran kita dalam keluarga. Oleh karena itu, kita harus pinter-pinter dan komitmen bagi waktu. Pagi-pagi, kita nyiapin anak-anak dulu. Nah, pas anak-anak sekolah, kita full konsentrasi ngerjain. Boleh di rumah, boleh di kampus, hayati di mana kita bisa konsentrasi penuh. Anak-anak pulang sekolah, berhenti dulu mengerjakan Disertasi. Dampingi, main sama anak. Nanti malem, pas anak-anak tidur, bangun jam 2. Yang muslim sholat dulu, lalu ngerjain lagi. sampai Shubuh. Shubuh bangunin anak-anak, bertugas lagi. Dengan cara begitu, minimal 5 jam kita punya waktu sehari untuk mengerjakan Disertasi. Trus harus disiplin memanfaatkan waktu. Karena kan kadang anak-anak sakit mendadak, suami juga misalnya sedang punya masalah perlu ditemenin….kalau kita disiplin, kita gak akan kena deadline. Jadi kita punya spare waktu untuk nemenin anak sakit atau nemenin suami”. 

Meskipun itu adalah nasihat “sederhana”, tapi buat saya punya daya “menggerakkan” yang sangat besar. Mengapa? Karena diawali dengan kesediaan untuk memahami. Dan dipahami itu, rasanya….. segalanya. Kalau seseorang bersedia memahami kondisi kita, kita akan merasa dianggap ada, dipedulikan, dihargai, ditemani, dicintai. Dan awal pemahaman itu adalah, dengan kesediaan mendengarkan. Saya pernah dengar cerita teman saya di Universitas yang lain, kebetulan Promotornya memiliki pendekatan yang berbeda. Promotornya “menutup mata” terhadap kondisi dirinya sebagai emak. Kala anaknya sakit, keluar kata-kata “ini sudah konsekuensi kamu yang memilih untuk sekolah lagi”. Kalimat pendek itu, sangat efektif untuk membuat teman saya jadi ilfill. Anaknya dianggap “tidak ada”, kondisinya tidak dipedulikan, terasa tidak diharga, apalagi ditemani dan dicintai.

Ya, keluarga memang tidak boleh jadi excuse. Dan agar keluarga tidak jadi excuse, perlu manajemen yang baik. Dan Promotor saya, menggambarkan jalan yang sangat gamblang bagaimana caranya memprioritaskan keluarga, bukan menjadikan keluarga sebagai excuse. (Lebih lanjut tentang issue ini, dapat dibaca pada https://fitriariyanti.com/2015/10/08/keluarga-prioritas-atau-excuse/ )

Selama proses bimbingan,  dua minggu sekali kami harsu presentasi di hadapan tim Promotor dan tim mahasiswa, dan mendapatkan feedback. Setiap kali selesai presentasi dan mendapat feedback, saya selalu merasa…. apa yang harus saya lakukan masih banyak banget, tidak akan mudah. Tapi perasaan itu selalu diiringi dengan perasaan bahwa “Saya akan bisa!”, excited, “on fire” haha… Itu adalah buah dari cara Tim Promotor memberikan feedback. Tidak menjatuhkan. Memposisikan kami dengan setara. Beliau-beliau selalu mengatakan: “Kalian akan menjadi doktor di bidang ini. Ini akan jadi expertise kalian. Kalian yang lebih paham. Yang kami lakukan adalah mengklarifikasi dan memberikan masukan”. Kalimat itu, membuat saya jadi merasa “tertantang”.

Dua minggu lalu, satu tahun setelah “wejangan awal” yang kami terima di atas, kami kembali berkumpul. Alhamdulillah target semester pertama Ujian Kualifikasi serta target semester kedua Seminar Usulan Penelitian Disertasi telah kami capai. Kini, kami bertiga adalah tiga emak Kandidat Doktor yang siap melakukan penelitiannya.

“Wejangan” untuk kami, nadanya sama dengan “wejangan” pertama. Masih diawali dengan kondisi kami masing-masing. Jujur saja, saya terharu sekali ketika Beliau memasukkan variabel “ayah saya yang sedang sakit” sebagai variabel yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan strategi saya di semseter-semester ke depan. Demikian pula dengan kondisi masing-masing kami yang lain, sangat individual dan dipahami. Termasuk masalah finansial, karena kami akan mengambil data. Beliau tanyakan sumber pendanaan kami, jenis beasiswa, besarannya segimana, sumber lainnay darimana, sehingga bagaimana strateginya beda-beda.

Selain “wejangan” lain mulai dari hal filosofis sampai ke tataran praktis (misal : harus ngirit, jangan beli-beli yang gak perlu dulu, beli baju, tas, liburan, tunda dulu. Nabung buat ambil data. Ambil data itu butuh uang yang tidak sedikit). Ada satu hal yang berkesan sekali buat saya; yaitu saat Beliau menyampaikan bahwa di fase ini, bukan hal tak mungkin kita akan mengalami kondisi stress. Ya, ya, ya, sehebat apapun orangnya, saya selalu mendengar ada “fase” itu. Beberapa senior saya yang menurut saya super cemerlang pernah cerita pengalamannya. “Kalau belum nangis-nangis, belum merasa hopeless, gak akan lulus S3 mah Fit”. Kata seorang senior “Pernah ya, saya dieeem aja tiga hari. Air mata netes-netes aja…gak tau lagi harus gimana…” kata senior saya yang lain.

Nah, di pertemuan itu, Tim Promotor saya juga cerita bagaimana “fase airmata” itu ia alami. Bagaimana stresfull nya Beliau, sampai suaminya nelpon, langsung pulan dari kantor, menghibur, sampai beliau nge-blank, nangis-nangis, sampai harus fisioterapi karena tangannya sakit mengetik terus, dll dll.

Apakah cerita dari para senior dan promotor yang saya kagumi itu membuat nilai mereka “turun” di hadapan saya? no no no. Malah sebaliknya. Mengetahui bahwa mereka pernah mengalami periode “jatuh” dan lalu mereka bisa bangkit kembali dan jadi “hebat” seperti sekarang, memberikan kekuatan bahwa kalau saya pun juga mengalami fase itu, saya yakin bisa bangkit dan tegak berdiri seperti mereka. Perasaan “berdaya” itu tumbuh dengan role model dari mereka.

Menjadi ibu, menjadi dosen, menjadi psikolog, menjadi profesional di bidang apapun, menjadi ustadz/ustadzah, menjadi “duta agama”, menjadi istri, menjadi suami, menjadi teman; dalam hubungan apapun dengan sesama manusia, menurut saya punya satu kesamaan. Semua peran itu intinya adalah HELPING RELATIONSHIP. Hubungan membantu.

Dengan ilustrasi pengalaman saya dengan Tim Promotor, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa syarat-syarat hubungan membantu itu adalah:

  1. Kesediaan untuk mendengarkan kondisi awal orang lain
  2. Kesediaan untuk memahami kondisi awal orang lain; untuk mengajaknya memenuhi “target” yang akan dicapai
  3. Memperlakukan orang lain sebagai seseorang yang “setara”; dengan memberikan penghargaan atas capaiannya, sekecil apapun capaian itu
  4. Menjadi role model sebagai “manusia”; yang punya kelemahan, pernah mengalami kegagalan, kesulitan, namun berupaya untuk bangkit kembali.

Silhouette of helping hand between two climberCita-cita semulia apapun: mendidik, berdakwah, membimbing, mengasuh, mengajak pada kebaikan, …. tanpa 4 prinsip itu, hanya basa-basi semata.

Jangan “bodoh” memaknai kata  “menasihati” di Al-Qur’an dengan menutup mata terhadap kondisi orang yang akan kita ajak ke kebaikan, lalu meluncurkan serangkaian kata-kata bijak harusnya begini begitu begini begitu. Kita diberikan akal oleh Yang Maha Kuasa untuk “menasihati” anak-anak kita sesuai dengan usianya dan  kondisinya.

Cita-cita mulia untuk “membantu” dan “mendidik”, hanya akan menjadi basa-basi jika kita memposisikan diri sebagai “orang sempurna” yang mendikte harusnya begini- harusnya begitu tanpa kesediaan membuka mata membuka telinga terhadap kondisi orang yang akan kita ajak, tanpa kesediaan untuk menempatkan mereka secara setara (punya potensi kebaikan) dan menghargai setiap proses yang dilakukan.