Salah satu rejeki yang harus disyukuri oleh “anak sekolahan” adalah bila dapat Pembimbing yang supportif. Di jenjang pendidikan mana pun, S1 apalagi S2 dan S3, hubungan dengan Pembimbing selalu menjadi faktor yang berdampak besar pada “kesuksesan” penyelesaikan skripsi/tesis/disertasi dan kesejahteraan psikologis penyusunnya. Maka, tentu saya bercita-cita menjadi Pembimbing yang supportif terhadap mahasiswa saya. Bukan apa-apa…saya tuh suka ngebayangin pertanggungjawaban di akhirat uy… kalau sampai mahasiswa saya menuntut bahwa saya menghambat karirnya, membuat harga dirinya hancur lebur, kesehatan mentalnya menurun…. Dear mahasiswa-mahasiswi bimbingan saya, maapken kalau saya kurang supportif ya….
Masalahnya adalah, untuk bisa supportif ini, tidak cukup dengan cita-cita. Salah satu issu yang sering didiskusikan oleh kami para dosen “muda” adalah, bagaimana belajar teknik-teknik untuk memberi tanggapan yang supportif pada mahasiswa, se-gimana-pun kondisi mahasiswanya. Buat kami-kami yang lagi sekolah, kami suka sharing pengalaman gimana cara Promotor dan atau Supervisor kami memberikan feedback yang kami rasa supportif.
Setelah 11 tahun berperan sebagai Pembimbing, mulai tahun lalu saya berperan sebagai mahasiswa. Selama satu tahun ini, banyak sekali pelajaran yang saya dapat dari Tim Promotor saya mengenai cara bersikap dan berperilaku sebagai Pembimbing yang supportif. Itulah yang ingin saya ulas dalam tulisan ini.
Tim Promotor saya adalah 3 orang ibu. Seorang ibu Profesor dan dua orang ibu doktor. Bersama saya, dua rekan mahasiswa satu bimbingan adalah dua orang ibu juga. Saya ber-anak 4, teman saya ber-anak 3 dan 1. Jadilah kami 6 orang emak yang berada dalam situasi akademik.
Saya ingat, setelah kami diterima, kami berkumpul dalam satu pertemuan untuk orientasi awal. Saya sudah menyiapkan mental bahwa kami akan diberikan arahan untuk masuk ke dunia akademik dengan “disiplin”, dan harus “meninggalkan” identitas ke-emak-an kami sebagai konsekuensi pilihan kami sekolah lagi. Apalagi ini jenjang S3, di almamater saya yang cukup dikenal “susah masuk susah keluar” haha….
Ternyata eh ternyata, dugaan saya meleset jauh. Pada pertemuan pertama tersebut, kami ditanyai satu-satu mengenai kehidupan keluarga kami. Anak berapa, umur berapa aja, suami kerjanya bagaimana, support system yang kami miliki apa saja, ada pembantu nginep atau engga, aktivitas kami selain kuliah apa saja. Setelah itu, Tim Promotor menjelaskan tanggung jawab kami dikaitkan dengan kurikulum. Lingkup penelitian yang harus kami lakukan, diseminasi nasional dan internasional, publikasi nasional dan internasional, dan terakhir…ini yang paling saya suka, Beliau memberikan arahan alternatif strategi sesuai dengan kondisi kami saat ini. Ya, Beliau tetap memberikan arahan minimal harus baca jurnal berapa per hari, menyisihkan waktu menulis berapa jam per hari, namun sama sekali tak mengabaikan kondisi “semesta” kami sebagai emak dan istri.
“Karena kita sudah berkeluarga, punya peran sebagai istri dan ibu, jangan sampai sekolah ini melalaikan peran kita dalam keluarga. Oleh karena itu, kita harus pinter-pinter dan komitmen bagi waktu. Pagi-pagi, kita nyiapin anak-anak dulu. Nah, pas anak-anak sekolah, kita full konsentrasi ngerjain. Boleh di rumah, boleh di kampus, hayati di mana kita bisa konsentrasi penuh. Anak-anak pulang sekolah, berhenti dulu mengerjakan Disertasi. Dampingi, main sama anak. Nanti malem, pas anak-anak tidur, bangun jam 2. Yang muslim sholat dulu, lalu ngerjain lagi. sampai Shubuh. Shubuh bangunin anak-anak, bertugas lagi. Dengan cara begitu, minimal 5 jam kita punya waktu sehari untuk mengerjakan Disertasi. Trus harus disiplin memanfaatkan waktu. Karena kan kadang anak-anak sakit mendadak, suami juga misalnya sedang punya masalah perlu ditemenin….kalau kita disiplin, kita gak akan kena deadline. Jadi kita punya spare waktu untuk nemenin anak sakit atau nemenin suami”.
Meskipun itu adalah nasihat “sederhana”, tapi buat saya punya daya “menggerakkan” yang sangat besar. Mengapa? Karena diawali dengan kesediaan untuk memahami. Dan dipahami itu, rasanya….. segalanya. Kalau seseorang bersedia memahami kondisi kita, kita akan merasa dianggap ada, dipedulikan, dihargai, ditemani, dicintai. Dan awal pemahaman itu adalah, dengan kesediaan mendengarkan. Saya pernah dengar cerita teman saya di Universitas yang lain, kebetulan Promotornya memiliki pendekatan yang berbeda. Promotornya “menutup mata” terhadap kondisi dirinya sebagai emak. Kala anaknya sakit, keluar kata-kata “ini sudah konsekuensi kamu yang memilih untuk sekolah lagi”. Kalimat pendek itu, sangat efektif untuk membuat teman saya jadi ilfill. Anaknya dianggap “tidak ada”, kondisinya tidak dipedulikan, terasa tidak diharga, apalagi ditemani dan dicintai.
Ya, keluarga memang tidak boleh jadi excuse. Dan agar keluarga tidak jadi excuse, perlu manajemen yang baik. Dan Promotor saya, menggambarkan jalan yang sangat gamblang bagaimana caranya memprioritaskan keluarga, bukan menjadikan keluarga sebagai excuse. (Lebih lanjut tentang issue ini, dapat dibaca pada https://fitriariyanti.com/2015/10/08/keluarga-prioritas-atau-excuse/ )
Selama proses bimbingan, dua minggu sekali kami harsu presentasi di hadapan tim Promotor dan tim mahasiswa, dan mendapatkan feedback. Setiap kali selesai presentasi dan mendapat feedback, saya selalu merasa…. apa yang harus saya lakukan masih banyak banget, tidak akan mudah. Tapi perasaan itu selalu diiringi dengan perasaan bahwa “Saya akan bisa!”, excited, “on fire” haha… Itu adalah buah dari cara Tim Promotor memberikan feedback. Tidak menjatuhkan. Memposisikan kami dengan setara. Beliau-beliau selalu mengatakan: “Kalian akan menjadi doktor di bidang ini. Ini akan jadi expertise kalian. Kalian yang lebih paham. Yang kami lakukan adalah mengklarifikasi dan memberikan masukan”. Kalimat itu, membuat saya jadi merasa “tertantang”.
Dua minggu lalu, satu tahun setelah “wejangan awal” yang kami terima di atas, kami kembali berkumpul. Alhamdulillah target semester pertama Ujian Kualifikasi serta target semester kedua Seminar Usulan Penelitian Disertasi telah kami capai. Kini, kami bertiga adalah tiga emak Kandidat Doktor yang siap melakukan penelitiannya.
“Wejangan” untuk kami, nadanya sama dengan “wejangan” pertama. Masih diawali dengan kondisi kami masing-masing. Jujur saja, saya terharu sekali ketika Beliau memasukkan variabel “ayah saya yang sedang sakit” sebagai variabel yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan strategi saya di semseter-semester ke depan. Demikian pula dengan kondisi masing-masing kami yang lain, sangat individual dan dipahami. Termasuk masalah finansial, karena kami akan mengambil data. Beliau tanyakan sumber pendanaan kami, jenis beasiswa, besarannya segimana, sumber lainnay darimana, sehingga bagaimana strateginya beda-beda.
Selain “wejangan” lain mulai dari hal filosofis sampai ke tataran praktis (misal : harus ngirit, jangan beli-beli yang gak perlu dulu, beli baju, tas, liburan, tunda dulu. Nabung buat ambil data. Ambil data itu butuh uang yang tidak sedikit). Ada satu hal yang berkesan sekali buat saya; yaitu saat Beliau menyampaikan bahwa di fase ini, bukan hal tak mungkin kita akan mengalami kondisi stress. Ya, ya, ya, sehebat apapun orangnya, saya selalu mendengar ada “fase” itu. Beberapa senior saya yang menurut saya super cemerlang pernah cerita pengalamannya. “Kalau belum nangis-nangis, belum merasa hopeless, gak akan lulus S3 mah Fit”. Kata seorang senior “Pernah ya, saya dieeem aja tiga hari. Air mata netes-netes aja…gak tau lagi harus gimana…” kata senior saya yang lain.
Nah, di pertemuan itu, Tim Promotor saya juga cerita bagaimana “fase airmata” itu ia alami. Bagaimana stresfull nya Beliau, sampai suaminya nelpon, langsung pulan dari kantor, menghibur, sampai beliau nge-blank, nangis-nangis, sampai harus fisioterapi karena tangannya sakit mengetik terus, dll dll.
Apakah cerita dari para senior dan promotor yang saya kagumi itu membuat nilai mereka “turun” di hadapan saya? no no no. Malah sebaliknya. Mengetahui bahwa mereka pernah mengalami periode “jatuh” dan lalu mereka bisa bangkit kembali dan jadi “hebat” seperti sekarang, memberikan kekuatan bahwa kalau saya pun juga mengalami fase itu, saya yakin bisa bangkit dan tegak berdiri seperti mereka. Perasaan “berdaya” itu tumbuh dengan role model dari mereka.
Menjadi ibu, menjadi dosen, menjadi psikolog, menjadi profesional di bidang apapun, menjadi ustadz/ustadzah, menjadi “duta agama”, menjadi istri, menjadi suami, menjadi teman; dalam hubungan apapun dengan sesama manusia, menurut saya punya satu kesamaan. Semua peran itu intinya adalah HELPING RELATIONSHIP. Hubungan membantu.
Dengan ilustrasi pengalaman saya dengan Tim Promotor, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa syarat-syarat hubungan membantu itu adalah:
- Kesediaan untuk mendengarkan kondisi awal orang lain
- Kesediaan untuk memahami kondisi awal orang lain; untuk mengajaknya memenuhi “target” yang akan dicapai
- Memperlakukan orang lain sebagai seseorang yang “setara”; dengan memberikan penghargaan atas capaiannya, sekecil apapun capaian itu
- Menjadi role model sebagai “manusia”; yang punya kelemahan, pernah mengalami kegagalan, kesulitan, namun berupaya untuk bangkit kembali.
Cita-cita semulia apapun: mendidik, berdakwah, membimbing, mengasuh, mengajak pada kebaikan, …. tanpa 4 prinsip itu, hanya basa-basi semata.
Jangan “bodoh” memaknai kata “menasihati” di Al-Qur’an dengan menutup mata terhadap kondisi orang yang akan kita ajak ke kebaikan, lalu meluncurkan serangkaian kata-kata bijak harusnya begini begitu begini begitu. Kita diberikan akal oleh Yang Maha Kuasa untuk “menasihati” anak-anak kita sesuai dengan usianya dan kondisinya.
Cita-cita mulia untuk “membantu” dan “mendidik”, hanya akan menjadi basa-basi jika kita memposisikan diri sebagai “orang sempurna” yang mendikte harusnya begini- harusnya begitu tanpa kesediaan membuka mata membuka telinga terhadap kondisi orang yang akan kita ajak, tanpa kesediaan untuk menempatkan mereka secara setara (punya potensi kebaikan) dan menghargai setiap proses yang dilakukan.
Jun 09, 2017 @ 11:22:57
MasyaAllah mbak Fitri… Semoga ilmu nya barokah.. 💐💐💐