Saya mengenal istilah compassion dari teman saya yang disertasinya mengenai topik itu. Melalui diskusi-diskusi kami, saya sedikit banyak mengenal konsep ini. Compassion, dapat diartikan sebagai “belas kasih”. Kata teman saya, compassion terbagai menjadi dua: compassion to other (belas kasih pada orang lain) dan self compassion (belas kasih terhadap diri sendiri).
Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas mengenai self compassion pada seorang ibu. Belas kasih seorang wanita yang menjalankan peran sebagai ibu, terhadap dirinya sendiri.
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh penerawangan saya (hehe… dukun mode: on) mengenai kondisi psikologis ibu yang bisa menjadi “prasyarat” terjadinya interaksi yang positif dengan anak-anaknya. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya sering menyampaikan bahwa ilmu pengasuhan se”keren” apapun, se”islami” apapun, se”baik” apapun, tak akan bisa kita amalkan dengan baik apabila kondisi emosi kita sedang “rusuh”. Susah banget untuk menjadi playful sama si kecil kalau kita lagi “tegang”. Sangat gak mudah bisa menerima kekurangan anak kita kalau kitanya “gak rileks”. Super duper sulit menghargai si remaja kalau kitanya lagi “mumet”.
Dan, salah satu sumber ketegangan, sumber stress seorang ibu adalah perasaan “bersalah” karena kekeliruan langkah pengasuhan yang ia lakukan. Sebenarnya, kesadaran bahwa kita pernah “salah langkah” dalam mengasuh, adalah hal positif. Namun bila tidak kendalikan, itu bisa jadi bumerang. Ada banyak ibu yang kemudian “tenggelam” dalam rasa bersalahnya, sehingga malah gak bisa “memperbaiki situasi”.
Rasa bersalah seperti apa sih? Saya punya pengalaman rasa bersalah yang bisa jadi ilustrasi.
Waktu pertama kali melahirkan, 14 tahun lalu, sakit melahirkan dengan induksi bisa saya tahan. Tidak menjadi “traumatis” buat saya, karena saya sudah sering denger cerita dan sudah banyak baca tentang cerita sakitnya melahirkan. Jadi secara psikologis saya sudah menyiapkan diri. Tapi sakit yang membekas banget adalah pada saat menyusui pertama kali. Bukan di putingnya. Berbekal puluhan buku yang saya baca untuk persiapan hamil, melahirkan dan merawat bayi, sejak hamil saya sudah melakukan perawatan pada puting sehingga pas bayi lahir, sudah dalam kondisi “elastis”. Yang luput dari perhatian saya dan gak pernah ada yang cerita adalah, sakitnya rahim saat si kecil menyusu. Belakangan saay tahu bahwa ketika bayi mengisap susu, berdampak pada pengerutan kembali rahim untuk kembali pada ukurannya semula. Sakitnya itu, buat saya ngalahin sakit kontraksi. Dan karena tidak ada antisipasi secara psikologis, maka “memori tubuh” terhadap rasa sakit itu terbawa pada saat saya melahirkan anak kedua, si bujang kacil, 3 tahun kemudian.
“Rekaman” kejadian 11 tahun lalu, masih jelas di kepala saya. Disadari atau tidak, saya “enggan” menyusui si bujang kecil di hari-hari pertama kelahirannya. Saya tahu betul, kolostrum itu penting, produksi susu hari-hari pertama sangat diperlukan bayi. Namun “ingatan tubuh” itu sulit saya lawan. Sampai saya ditegur dokter. Kurang telatennya saya mempersiapkan perawatan puting pra-kelahiran juga membuat puting saya lecet berat. Meskipun saya tetap bertekad untuk memberikan ASI exclusive, namun ingatan akan rasa sakit di rahin ynag tak tertahankan, membuat semangat saya menyusui tak seperti waktu menyusui si sulung.
Di hari ke-4nya, saat kontrol, si bujang kecil tak bisa saya bawa pulang. Ia harsu masuk ruang perawatan untuk “disinar” karena bilirubinnya tinggi. Aqiqah yang sudah dipersiapkan di hari ke-7nya, kami batalkan. Saya menghayati saat itu, itu adalah hukuman Allah buat saya. Kontan. Rasa bersalah saya tak tertahankan. Ekspresinya, adalah tindakan irasional. Setiap hari, sambil tak henti menangis, saya memerah ASI saya, yang keluar bercampur darah karena lecet puting. Cuman dapat 30 ml paling; tapi saya paksa suami saya antar ke Rumah Sakit. Mas berangkat, saya tak henti-henti memerah. Sakit sih, tapi saya pikir saya harus dihukum. Saya layak mendapatkannya. Alhamdulillahnya meskipun kala itu pernikahan kami baru berjalan 4 tahun, Mas memahami kondisi psikologis saya. Dia bisa tiga kali bolak-balik ke RS yang tak dekat jaraknya dari rumah, untuk mengantarkan ASI. Sepertinya ia paham bahwa hal ini penting untuk membuat saya merasa bahwa saya bisa “menebus” kesalahan saya. Seminggu kemudian si bujang kecil bisa pulang, alhamdulillah kemudian ASI lancar.
Menjelang usia 2 tahun, si bujang kecil belum bisa mengucakan kata dengan jelas. Selain itu, ia mengalami masalah dalam integrasi sensoris. Ada “tactile defensiveness”, yang tampil dalam perilaku “jijik-an”, juga hipersensitif dalam indera pengecap dan pembau. Sampai usia itu (dan berlanjut sampai usia 4 tahun), ia tidak bisa makan nasi. Perilaku yang tampak adalah picky eater. hanya 3 jenis makanan yang bisa ia “toleransi”. Kalau saya sedang masak, ia akan tutup hidung. Kalau diajak ke restoran terutama restoran padang, ia gak mau turun. Tutup hidung. Di masa inilah saya jadi kenal dengan ilmu sensory integrasi. Saya cari buku-bukunya, online resource dan course-nya. Alhamdulillah, sangat bermanfaat dalam profesi saya sebagai psikolog.
Karena khawatir dengan kemampuan bicara-nya, saya bawa ke seorang dokter tumbuh kembang ternama. Ia juga memiliki tempat terapi dengan pendekatan SI. Setelah diobservasi beberapa waktu, dokter menyatakan si bujang kecil memiliki simptom autisme. Dokter berusaha meyakinkan saya bahwa kontak mata si bujang kecil sangat minim. Saya sangat terpukul. Saat itu, saya sudah mulai bekerja secara formal. Rasa bersalah itu, muncul kembali. Saya ingat sekali, waktu itu di depan dokter saya menyusui si bujang kecil, lalu dokternya bilang: “tuh liat bu, dia gak liat mata ibu kan?” Hiks…. rasa bersalah saya muncul lagi. Teringat kembali “keengganan” saya menyusui si bujang kecil, inget juga bahwa setiap kali menyusui, saya tidak “secara sadar” menatapnya seperti seharusnya dan saya lakukan pada si sulung. Banyak momen menyusui yang saya lalui sambil melakukan hal lain. Baca buku, jawab sms, bahkan mengetik mengerjakan ini-itu di laptop. Dan karena anaknya cukup anteng dan “gak protes”, maka kebiasaan itu berlanjut. Cukup lama saya down oleh judgement sang dokter. Down nya karena rasa bersalah itu! Saya ingat beberapa kasus yang diceritakan senior saya tentang “penolakan” ibu terhadap anaknya. Yang meskipun tidak disadari dan hanay ada dalam hati & kepala ibu, tetap secara psikologis berdampak pada anak. Karena perasaan “tak disadari” itu tetap muncul dalam perilaku baik verbal maupun non verbal, yang “terasa” oleh anak. Dan saya merasa, keengganan saya menyusui di hari-hari pertama kehidupannya adalah bentuk “penolakan” dari saya yang membuat si bujang kecil menjadi “tak terkoneksi dengan saya” . Runtuh rasanya dunia saat itu.
Sekitar satu bulan kemudia, rasionalitas saya mulai muncul. Saya membaca hasil observasi sang dokter, saya melihat ada yang kurang pas dalam metode observasinya. Misalnya ia meminta saya bermain dengan si bujang kecil selama 10 menit. Dianya ada di situ. Saya, bukan tipe orang yang mudah “ekspresif”. Maka, selama 10 menit dengan kehadiran beliau disana, saya gak bisa mensimulasikan bermain dengan si bujang kecil secara natural, sehingga respons si bujang kecil juga menjadi tidak tertangkap secara valid dari momen 10 menit itu.
Setelah saya observasi kembali dan minta teman saya mengobservasi, simptom autism itu tidak terlalu nyata. Saya harus berterima kasih banyak pada dokter, karena ada beberapa informasi yang penting. Misal: tonus otot si kecil tergolong lemah. Maka, di usia 2-4 tahun, saya mulai men-terapi si bujang kecil. Inget banget eksplore metode dan cari alat buat menstimulasi tactile-nya. Mulai dari gak mau pegang playdough, anti banget pegang lem, sampai akhirnya 2 tahun kemudian bisa meremas-remas cairan telur mentah tanpa ekspresi jijik.
Perasaan bersalah masih terus menghantui, sampai akhirnya saya melihat…. klien-klien saya. Rasa bersalah seperti yang saya alami, jika tidak dikendalikan, dampaknya membuat kita tidak bisa menjadi rileks. Kenapa? karena kita belum memaafkan diri kita sendiri. Sama kayak kalau kita belum maafin orang yang bikin salah sama kita, bawaannya kesel kan…kan bisa objektif kan… demikian pula perasaan kita sama diri kita sendiri. Dan gawatnya, itu bisa jadi afirmasi buat kondisi anak kita. Saya banyak bertemu ibu yang menggambarkan anaknya, seperti gambaran sesuai rasa bersalahnya. Misalnya: anak saya gampang marah banget, soalnya pas hamil saya lagi ada masalah sama suami, dan tiap hari pasti saya ngamuk sama suami saya. Pas saya observasi anaknya, intensitas “gampang marah” si anak gak segitunya seperti yang digambarkan ibu. Anak saya punya masalah gangguan bicara ekspresif. Umur 4 tahun belum bisa ngomong. Itu karena saya terlalu riweuh, jadi anak dikasih tablet sama yutub aja, gak saya stimulasi. Anak saya begitu karena saya. Salah saya. Perasaan itu, sangat kontraproduktif. Sama seperti saya ketika saya dikungkung perasaan bersalah, maka simptom-simptom autism itu tampak banyak. Iya ya gak kontak mata. Nonverbal. Gak terkoneksi. Gak ada attachment …. dan dalam kondisi kayak gitu, maka kita dalam kondisi “tegang”; gak bisa rileks untuk fleksibel lihat sisi lain kemampuan anak, kelebihan anak.
Maka, berbelas kasih terhadap diri sendiri, self-compassion, untuk seorang ibu, sangatlah penting. Anaknya tetap sama, namun saya merasakan sekali beda rasanya setelah saya “memaafkan diri saya”. Mengakui dengan jujur bahwa saya dulu “enggan” menyusui si bujang kecil karena bla..bla..bla… Saya tahu itu salah, tapi itu wajar terjadi bagi “ibu muda” seperti saya. Tak akan saya ulangi lagi, tapi saya sama sekali tidak berniat menolak si bujang kecil, dan saya berusaha menebus kesalahan saya. Proses itu, sampai saya bisa “memaafkan diri” saya, butuh proses. Puluhan tulisan mengenai hal ini, baik di diary maupun di tulisan publik, adalah bagian dari proses itu. Sampai saat ini, saya bisa menulisnya tanpa air mata. Setelah proses itu terjadi, saya jauh lebih rileks. Lebih objektif. Lebih acceptance juga. Lebih jernih dalam menanggapi dan menstimulasi.
Berbelas kasih terhadap diri, beda jauh dengan denial. Berbelas kasih itu mengakui, lalu memaafkan. Denial itu tidak mengakui. Saya menemukan satu website bagus mengenai self compassion dalam parenting. Adalah Kristin Neff, PhD, seorang associate professor of human development and culture at the University of Texas at Austin. Beliau pionir dalam penelitian mengenai self compassion dan di artikelnya https://www.seleni.org/advice-support/article/the-newest-parenting-skill-self-compassion; sejalan dengan “penerawangan” saya hehe….
Secara lebih praktis, latihannya ada di http://self-compassion.org/category/exercises/.
Insyaallah, kalau panjang umur, beres sekolah 2 tahun lagi, saya bercita-cita banget kita para emak secara rutin kumpul buat latihan kayak gini-gini. Latihan worldview, latihan mendengarkan, latihan self-compassion; da kalau pengetahuan mah kayaknya udah bagai tsunami ya di era medsos kayak saat ini. Parenting group via wa juga udah gak terhitung. Yang dibutuhkan latihan menurut saya mah. Biar ilmunya tak hanya jadi koleksi, tapi teramalkan dan jadi berkah.
Jun 10, 2017 @ 14:52:35
Saya share ya
Jun 19, 2017 @ 10:21:45
bagus sharingnya, terima kasih banyak, saya ngalamin sendiri sepertinya kadang saya ngga bisa jadi ibu yg ideal, ibu yg lemah lembut, dan mudah menerima, saya sering marah, dan malas ngobrol krn saking ribetnya urusan, dan sekarang ini saya mulai belajar menahan diri utk tetap konsisten mendengarkan anak bercerita dan ngga langsung marah/ngejudge anak