Collateral Damage Sekolah Favorit : waspadalah ! waspadalah !

Satu bulan terakhir  ini adalah bulan yang “panas” buat para ortu yang anaknya akan masuk SMP, SMA dan atau Perguruan Tinggi. Ketegangan menunggu pengumuman NEM, disusul dengan ketegangan menunggu pengumuman sekolah. Saya sendiri baru akan memasuki zona “ketegangan” itu tahun depan, saat si sulung keluar SMP. Tahun depan, si sulung akan masuk SMA, si bujang kecil masuk SMP, si bungsu masuk SD. Si bujang kecil yang akan masuk SMP gak akan terlalu bikin tegang. Karena kami sudah memutuskan ia akan masuk SMP swasta, yang sistem maupun persaingannya tak akan se”panas” masuk sekolah negeri, terutama negeri “favorit”. Jadi, tahun depan adalah pengalaman pertama memasukkan anak ke SMA negeri melalui sistem PPDB yang setiap tahun selalu meninggalkan cerita.

Tema-tema status dan tema-tema obrolan di wag-wag, banyak memaparkan “ketegangan” para ortu. Apakah anak-anaknya pun ikutan tegang? wallahu alam. Saya gak punya akses ke mereka. Ada sebagian ortu yang mengatakan anaknya mah lempeng-lempeng aja hehe… Tapi who knows…. wallahu alam saya gak tahu.

Karena “panas”nya topik ini, saya juga jadi terpapar beberapa informasi, misalnya informasi nem-nem yang sudah mendaftar ke sekolah-sekolah favorit, peserta yang mendaftar ke sekolah favorit vs kuota yang tersedia. Membaca angkanya, saya sempat bergidik. Gile…zaman saya dulu, yang rata-rata 9 itu udah istimewa banget. Tapi kini, nem 27 buat anak SD atau 36 buat anak SMP, itu kayak “ga ada apa-apanya”.

Kenapa ya? apakah anak-anak sekarang demikian pinter-pinternya? atau, soal UN-nya gak punya “daya diskriminasi” yang baik sehingga tidak bisa “membedakan” kemampuan anak yang satu dengan yang lainnya? Atau …. seperti kasak-kusuk selama ini, ada upaya meng-up grade nilai di tiap sekolah? wallahu alam.

Tapi nilai-nilai yang tinggi ini berdampak pada satu hal : persaingan yang ketat untuk masuk “sekolah favorit”. Nah, ini yang ingin saya ulas. Sekolah favorit itu yang kayak gimana? Di semua kota, sudah ada label SMA favorit:  SMA ini SMA itu. SMP favorit: SMP ini SMP itu. Kefavorit-an sekolah-sekolah tersebut membuat banyak orangtua (dan anak?) menetapkan sekolah-sekolah itu menjadi tujuan. Di beberapa bimbel, ada program khusus intensif untuk menembus SMP itu dan SMA ini. Harganya, tentu lebih mahal dibandingkan program biasa.

Dugaan-dugaan mengenai “kecurangan” serta “tidak transparansnya” sistem di beberapa sekolah favorit sering muncul dalam obrolan, membuat kecewa orangtua yang “jujur”. Tapi tetep aja pengen anak-anak kita  masuk kesitu. Padahal iklim sekolahnya berarti kurang positif. Atau ada aspek penting lain yang kita perjuangkan?

Yang harus kita renungi sebenarnya adalah…mengapa sekolah-sekolah tersebut disebut favorit? karena bagus? oke, bagus dalam hal apanya? Beberapa hari yang lalu saya mendengar kabar di sebuah kota sebuah provinsi, sistem PPDB nya membuat anak-anak yang ber-NEM tinggi “takut” untuk mendaftar di sebuah sekolah favorit. Akibatnya, sekolah favorit itu kekurangan kuota dan akhirnya “terpaksa” menerima anak-anak dengan NEM “berapapun”. Salah seorang orangtua yang anaknya bernilai tinggi dan diterima di sekolah favorit tersebut, merasa resah. Ia mengatakan: kalau input anak-anaknya seperti itu, gimana kualitasnya? padahal ia memilih sekolah itu karena “kualitasnya”. Hal ini membuat saya menjadi berpikir: jadi ke”hebat”an, ke”bagus”an, ke”favorit”an sekolah itu pada aspek apa-nya? guru-nya kah? fasilitas-nya kah? input anak-anak yang masuk-nya kah? persaingan-nya kah? atau ….. “kebanggaan atas nama besar”nya?

Nah, yang terakhir itu, “kebanggaan atas nama besarnya”, psikologis sekali. Saya mendengar bahwa melalui sistem PPDBnya, Pemerintah kota tengah mengupayakan “penghapusan” favoritisme sekolah. Idenya ingin seperti di luar negeri: setiap sekolah unggul karena menyerap putera-puteri terbaik di daerah sekitar sekolah tersebut. Saya mendengar bahwa aspek-aspek yang terkait dengan sekolah, misalnya guru: dirolling. Fasilitas disamakan. Namun sepertinya itu tak banyak berdampak. Mungkin akarnya karena favoritisme itu terkait dengan aspek psikologis. Dan endorsement terhadap aspek psikologsi ini, sangat kuat. Apalagi di jaman medsos dimana semua informasi terpapar gamblang.

Maka, bisa jadi semua upaya penghapusan favoritisme sekolah itu menjadi hanya basa-basi. Misalnya saja, salah satu pejabat yang mengkampanyekan gagasan “Sekolah dimana saja sama saja”; namun pas putera/puteri-nya masuk di salah satu sekolah favorit, mengupload kebanggaan tak terkira. Lewat gambar, lewat kata-kata.

“Identitas kelompok” memang menjadi salah satu fenomena yang khas di negara-negara collectivism. Kalau suami saya alumni SMA itu, saya keren. Kalau ikutan reuni sekolah ini, berarti saya orang hebat. Kalau ikut kegiatan ini, berarti saya orang shaleh. Kalau nulis tema ini, berarti saya orang intelek.

Apakah salah? engga sih.  Cuman dalam konteks sebagai orangtua yang harus mengajarkan nilai -niai kehidupan pada anak-anak kita, jangan sampai sikap kita salah ditangkap oleh anak.

Saya sangat bisa memahami alasan logis orangtua berusaha agar anaknya masuk ke sekolah favorit. SMP favorit akan mengntarkan anak ke SMA favorit. SMA favorit akan mengantarkan anak ke PT favorit. PT favorit akan mengantarkan anak ke pekerjaan favorit. Lalu apa?

Saya banyak mengenal orang-orang dengan “jalur favorit” itu. Lalu apa? mereka jadi bahagia. sukses. bermanfaat untuk orang banyak. Alhamdulillah. Pertanyaannya adalah: apakah jalur “favorit” itu merupakan satu-satunya cara dan satu-satunya jaminan bagi anak-anak kita untuk bahagia, sukses, bermanfaat untuk orang banyak? oh ada satu lagi ! kebanggaan. Kebanggan buat siapa? buat anak? buat orangtua?

Membuat anak menetapkan target mencapai nilai tertentu untuk masuk sekolah favorit tertentu, is oke. Menjelaskan pada anak bahwa dengan masuk sekolah SMP favorit, ia akan mudah masuk SMA favorit, sehingga nanti akan mudah masuk PT favorit dan dapat kerja favorit, is oke. Namun menanamkan bahwa itu satu-satu cara (baik dengan bahasa lugas maupun eksplisit, baik secara verbal maupun non verbal) bagi anak untuk SUKSES dan BAHAGIA, itu tidak oke. Apalagi menanamkan keyakinan bahwa  masuk di sekolah-sekolah favorit itu adalah SATU-SATUNya cara baginya untuk MEMBAHAGIAKAN orangtuanya, itu salah besar. Itu akan menghancurkan anak-anak kita.

Dramatis? ya. Tapi pada kenyataannya, itu banyak terjadi. Saya pernah bertemu seorang anak usia belasan yang merasa hidupnya sudah gagal. “Hanya” karena ia tak bisa masuk sekolah favorit yang ditargetkan.

suksesiKenapa ia merasa SELURUH HIDUPNYA telah  gagal? karena sepanjang hidupnya telah tertanam dalam pikirannya, bahwa standar kesuksesan baginya adalah HANYA jika ia masuk SMP itu, masuk SMA itu, masuk JURUSAN itu, di PERGURUAN TINGGI  itu. Ia menganggap kegagalannya masuk SMP itu, adalah seperti keruntuhan domino. Skema ini yang telah tertanam, ia tak mengenal skema lain. Ia tak mengenal ada skema yang menunjukkan bahwa ada seribu satu jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan akhir yang ia inginkan. Ia tak pernah mengenal skema bahwa ia bisa mengevaluasi, lalu memodifikasi bahkan mengubah tujuannya.

Kenapa ia merasa SELURUH HIDUPNYA telah gagal? karena sepanjang hidupnya telah tertanam dalam perasaannya, bahwa satu-satunya cara untuk membuat orangtuanya bangga dan bahagia adalah HANYA jika ia masuk SMP itu, masuk SMA itu, masuk JURUSAN itu, di PERGURUAN TINGGI itu. Ia menganggap kegagalannya masuk SMP itu, adalah seperti keruntuhan domino. Skema ini yang telah tertanam, ia tak mengenal skema lain. Ia tak mengenal ada skema yang menunjukkan bahwa ada seribu satu jalan yang bisa ditempuh untuk membuat orangtuanya bangga dan bahagia. Ia tak pernah mengenal skema bahwa orangtuanya bisa menerima bentuk prestasi yang lain selain prestasi masuk “jalur favorit”.

Sedih sekali kalau anak-anak kita menggantungkan harga diri, kepercayaan diri, cinta orangtua bahkan seluruh kehidupannya pada “sekolah favorit”. Seorang teman saya, seorang psikolog sekolah, bercerita bahwa kalau anak-anak sekarang ditanya cita-citanya apa, banyak yang jawabannya bukan profesi. Tapi “diterima di SMP ini”; “diterima di SMA itu”. Semoga haltersebut tidak menunjukkan ada perubahan posisi sekolah favorit dari SALAH SATU CARA menjadi SATU-SATUNYA TUJUAN

Maka, kalau kita jujur bahwa masuk sekolah favorit diposisikan sebagai “media” untuk memotivasi anak, kita hanya perlu bercermin saat anak kita diterima atau tidak diterima di sekolah favorit tersebut. Sikap kita, perilaku kita,  akan mengatakan segalanya.

Saya selalu ingat obrolan dengan seorang remaja belasan tentang hal ini. Begini kurang lebih kata-katanyanya;

“Sebenernya saya dan teman-teman banyak yang pede sih dengan kemampuan kita. Tapi yang bikin stress adalah, diri kita dinilai dan ditentukan oleh sebuah nilai, yang seolah-olah menggambarkan diri kita secara keseluruhan.”

“Sering orangtua hanya melihat satu hal aja, misalnya biar gampang masuk sekolah seterusnya. Tapi kan yang ngejalanin hari demi hari-nya kita. Yang ngerasain nyaman atau engga-nya kita. Meskipun kita bisa, kita mampu, kita gampang, kan kita juga pengen nyaman”

Maka, sekali lagi, sebagai orangtua kita perlu “menggugat niat” kita memotivasi anak kita untuk masuk skeolah favorit.

  • Sebagai SALAH SATU  cara untuk memotivasi sikap mental sungguh-sungguh?
  • Sebagai media bagi kita sebagai  “intellectual climber” (hehe…. ini adalah padanan dari “social climber”; dimana misalnya kita dulu gak bisa mencapai yang favorit-favorit itu, trus kita “maksa” anak biar kitanya jadi “keangkat” ke komunitas itu;)
  • Sebagai “piala” kebanggaan? anak gue masuk SMP ini, SMA itu loooh
  • Sebagai romantisme ? (Asiiik…nanti kita bisa reuni bareng). Keluarga besar kita alumni sekolah itu semua !

Kebanggaan sebagai alumni sekolah favorit, memang tak terkira. Membuncahnya perasaan ketika menyebutkan nama sekolah kita, menunjukkan logo sekolah, mengenang kisah dan gambar yang menunjukkan identitas sekolah kita, menikmati reaksi orang lain yang mengagumi kita saat kita tahu alumni sekolah mana. Nikmati saja selama itu tak berbenturan dengan kesejahteraan psikologis anak-anak kita. Tapi kalau efek sampingnya bikin anak kita “terancam”, maka perlu kita gugat ulang niat kita.

Kalau kita sedang tegang, sempatkah kita menatap wajah anak kita? apakah ia tegang juga? Kalau kita sedang sibuk dengan kecemasan kita, sempatkah kita menelisik perasaan anak kita? Kalau kita sedang sibuk mencari informasi, apakah kita sempat mengobrol dengan anak kita?

Hei….dia yang akan menjalaninya…bukan kita …Kita tidak sedang mencari sepatu yang pas buat kita. Sepatu itu akan dipakai oleh anak kita.

Kalau kita terlalu fokus dengan perasaan kita, pemikiran kita, keingian kita, lalu siapa yang akan peduli pada perasaannya, pemikirannya, keinginannya? Kalau kita terlalu fokus pada kata diterima atau ditolak, berhasil atau gagal, siapa yang akan memeluknya, menenangkannya? mengatakan bahwa hidupnya akan baik-baik saja, bahwa you are not alone? . Bahwa ini cuman masalah sekolah, bukan seluruh kehidupannya?

Perasaan dan kehidupan panjang anak kita, janganlah jadi collateral damage dari kebanggan kita terhadap sekolah favorit. Konon, untuk bisa survive di masa depan yang akan sangat cepat perubahannya, salah satu kompetensi yang diperlukan adalah fleksibilitas. Fleksibilitas ini akar dari kreatifitas, adaptasi, dan sejumlah kemampuan penting lainnya di masa depan. Maka, menanamkan sikap dan pola pikir bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai dengan masuk SMP ini SMA itu, adalah seperti memberikan senjata makan tuan buat anak- anak kita.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: