Beberapa tahun lalu, saya janjian untuk ngobrol bareng sobat saya. Karena saya beres lebih awal, maka saya menjemput ke kantornya. Saat saya menunggu di lobi kantornya, terdengan suara : tak…tok..tak..tok… Suara hak sepatu yang mau tidak mau membuat mata saya teralih ke asal suara. Suara itu berasal dari suara hak sepatu seorang wanita. Seorang wanita yang memakai baju berwarna terang ngejreng, dengan aksesoris berupa kalung dan gelang yang menarik perhatian baik dari segi bentuk, ukuran dan motif. Wajah perempuan itu, full make up. Menor lah. Secara keseluruhan, terlihat wanita itu seperti akan ke pesta gitu. Masalahnya adalah, ini di sebuah kantor. Kantor yang aktivitasnya lebih sifatnya ke “edukatif”. Keberadaan wanita itu di sana, seperti sebuah….disharmoni. Gak match. Kalau wajah saya difoto saat itu, 100% sudah pasti gak KOBE alias gak “kontrol beungeut” hehe. Saking “khusyuk”nya perhatian saya tersedot pada si wanita, saya tak sadar teman saya sudah berada di samping saya.
“Gue tau apa yang ada di pikiran lo” katanya. “Too much kan?” katanya. Lalu tanpa saya minta, ia bercerita panjang lebar tentang si wanita, yang ternyata salah satu staff di kantor ini. “Meskipun gue bukan orang psikologi, tapi gue dan beberapa teman bisa menilai lah, dia tuh butuh perhatian besar dari lingkungan. Awalnya dulu dia gak gitu. Biasa aja. Trus mulai pake baju warna ngejreng yang menarik perhatian. Orang-orang pada komentar : kereeen. Meskipun yang berkomentar itu ada yang beneran, ada yang cuman “basa-basi”. Selanjutnta, karean udah biasa dia pake baju gitu, udah gak ada yang komentar lagi. Lalu dia mulai pake aksesoris. Asalnya kalung kecil. Dipuji keren, trus gak ada yang muji lagi, dia tambah lagi, sampai sekarang kalungnya jadi segede-gede gaban gitu. Lalu dia mulai pake make up. Orang-orang komentar: cantiiik… Saampai sekarang, kita suka sebel banget dia yang nyari komentar: keren gak? cantik gak? Dan lu liat sendiri dia jadinya gimana. Dan gue jadi sebel sama temen-temen gue yang masih aja ngeladenin dia. Muji-muji yang bikin dia gak nyadar kalau sebenernya dia udah berlebihan. Trus di belakang ngomongin kalau dia berlebihan. Gue pengen ngingetin kalau dia udah jadi bahan ejekan orang di belakang. Tapi gimana ya, gue gak terlalu deket ama dia. Gak ada yang deket sebenernya. Jadi sekarang kita sepakat gak muji-muji dia lagi. Apa sih istilah psikologinya? gak ngasih reinforcement ya? atau reward? Bukan. Bukan kita jahat. Tapi menurut gue, kita tahu dia haus perhatian, craving for pujian, lalu kita ngasih pujian yang dia pengen tanpa peduli apa akibatnya buat dia, itu yang justru jahat banget. Kayak kita menjerumuskan dia”.
Panjang lebar penjelasan (plus curcol) teman saya, mengingatkan saya pada Buku Tafsir Al Misbah Karya Pak Quraish Shihab saat beliau memaparkan tafsir ayat ke 2 surat Al Fatihah. Alhamdulillahi Robbil Alamiin. Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam.
Pada paparannya, Pak Quraish membedakan antara memuji dan bersyukur. Pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik walau ia tidak memberi sesuatu kepada si pemuji. Sedangkan syukur adalah mengakui dengan tulus dan penuh hormat pemberian yang dianugerahkan oleh siapa yang disyukuri itu.
Pak Quraish juga memaparkan ada 3 unsur dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia wajar mendapatkan pujian: (1) Indah (baik); (2) Dilakukan secara sadar; (3) Tidak terpaksa/dipaksa. Di poin ini, saya jadi memahami kebingungan saya beberapa tahun lalu. Saat itu, ada seorang wanita Indonesia yang berpose bugil untuk sebuah majalah laki-laki dewasa. Tentu kontroversial, menuai cacian dan pujian. Pihak yang memuji mengatakan bahwa ia layak diapresiasi karena “keberaniannya mengambil resiko mendapatkan cacian” (mengingat saat itu baru kasus pertama yang terekspose). Bener juga ya. Disitu saya jadi bingung. Tapi kalau wanita itu dipuji karena “keberaniannya mengambil resiko”, para perampok dan pembunuh juga harus dipuji atuh. Kurang berani apa coba mereka? Nah. Setelah membaca paparan ini, saya jadi mengerti. Bahwa syarat pertama memuji itu adalah jika perilaku yang akan kita puji memenuhi syarat ke-baik-an. Dan ini sejalan dengan teori Psikologi yang memposisikan pujian sebagai penguat perilaku. Tentu sebagai orang beragama, kita ingin perilaku yang dikuatkan adalah perilaku yang baik.
Paparan lain mengenai puji memuji ynag disampaikan oleh Pak Quraish adalah, Allah mengajarkan manusia memujiNya dengan kata yang amat sederhana. Padahal Dia adalah Sang Maha. Pujian yang berlebihan sangat efektif menumbuhkan keangkuhan, ujub dan kesombongan. Manusia mana yang gak seneng dipuji? Fitrahnya manusia itu senang akan pujian. Maka, kalau kita memuji seseorang, seseorang itu akan cenderung mengulangi dan meningkatkan perilaku yang dipuji tersebut.
Yang terakhir, Pak Quraish menyampaikan bahwa dalam ayat kedua Surat Al Fatihah ini, pujian dikemukakan dalam bentuk persona ketiga, seakan-akan yang dipuji tidak berada di hadapan yang memuji. Ini adalah pelajaran agar pujian tidak disampaikan langsung dihadapan yang dipuji.
……
Setiap kali saya membaca tafsir Al Qur’an, saya sellau tersadar bahwa agama ini sungguh-sungguh sempurna, dan Al-Qur’an sungguh-sungguh petunjuk hidup. Dikaitkan dengan Psikologi sebagai ilmu “dunia”, kalau kita memahami setiap hal yang ada dalam Al-Qur’an, maka gak akan ada lagi duni vs akhirat. Orang yang nantinya masuk syurga, akan sangat mempesona juga ia bagi orang lain di dunia. Setiap hal secara detil diungkap dan diarahkan oleh AL Qur’an.
Di zaman ini, mudah sekali bagi kita untuk memuji dan dipuji. Di era medsos, ada tombol like, tombol “love”. Kalau kita buka instagram, akan banyaaaaak komentar2 bernada pujian. Cantiiiiiiiiiiiiiiiik!!!! kereeeeeen !!!! so sweeeeeeet !!!! . Mudah sekali buat kita melontarkan pujian. Mudah juga buat kita menuai pujian. Tapi ternyata, memuji itu ada ilmunya juga. Saya menyebutnya, memuji dengan peduli. Tak semua hal harus kita puji, Dan kalaupun harus kita puji, ternyata ada caranya biar pujian kita, tidak menjerumuskan teman-teman kita.
Sejak tgl 7 kemarin, timeline saya bertabur pujian pada sepasang mempelai yang bikin “baper dunia akhirat”. Pujian setinggi langit. Saya ingat, meskipun saya tak mengenal si pemuda “impian” itu, namun saya pernah berdoa khusus untuknya. Berdoa agar ia dikaruniai kekuatan dan tetap berdiri tegak dalam keikhlasan di tengah lautan pujian terhadap “kesempurnaannya”. Itu sungguh tak mudah. Dalam skala yang jauuuuuh lebih kecil, setiap kali mendapatkan banyak pujian, terasa betul bahwa itu bisa mneghanyutkan, bahkan potensial membuat kita teralihkan dari esensi yang ingin kita tuju dari perilaku kita. Itu dampak yang tak kasat mata.
Kalau kita perhatikan, pada orang-orang tertentu, kita tahu bahwa pujian kita berdampak buruk, secara kasat mata. Ambil contoh temannya teman saya tadi. Atau saya ingat, teman saya pernah cerita kliennya senang sekali mencoba bunuh diri karena ketika ia memposting tetesan darah dan tangannya yang teriris saat ia berniat memotong nadinya, pujian yang ia terima. Saya selalu berpikir. Kalau kita tetap memuji walaupun tahu itu bisa “menjerumuskannya”; bukankah kita telah menanam saham keburukan yang harus kita tanggung juga? misalnya teman kita pasangan yang belum menikah. Lalu posting foto mesra. Kita jempolin atau kita puji “so sweeeet”. Nah, setiap kali di pasangan itu semakin mesra karena ter-reinforce perilakunya oleh pujian kita, bukankah kita dapat dosanya? Atau setiap kali orang yang kita puji “sholeh banget” itu merasa ujub, bukankah kita berkontribusi dan dapat juga dosanya?
Maka, sekali lagi, ternyata semua hal ada ilmunya. Pantaslah wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah adalah “Iqro”; membaca; menelaah; mencari ilmu. Ini saatnya kita mengevaluasi lagi apakah mudahnya kita memuji orang lain diiringi oleh rasa peduli pada dampak pujian kita terhadapnya. Apakah akan membuat ia terjaga kebaikannya, keselamatannya; atau kita tidak peduli.
Kalau kita peduli, kita akan memikirkan cara dan konten pujian kita. Kan katanya, lawannya cinta bukan benci, melainkan tidak peduli.
Sumber : Tafsir Al Misbah. Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an;. Volume 1; M. Quraish Shihab; Lentera Hati; 2000; hal. 26-29.
Sumber Gambar : http://bcchewteachingblog.blogspot.co.id/2012/02/individual-assignment-of-blhc4062-due.html
Recent Comments