Pagi ini, saat saya melepasnya untuk berangkat sekolah, si bungsu yang lagi bangga-bangganya karena jadi “anak TK B” itu bertanya:
“Ibu, ibu pergi gak hari ini?”. Saya jawab : “engga, ibu mau ngerjain di rumah aja”. Hari ini saya dikepung deadline pengerjaan disertasi. Ada tiga PR yang harus selesai hari ini. Biasanya, jawaban “engga” dari saya terhadap pertanyaanya membuatnya bersorak kegirangan. Lalu dia akan memeluk saya dengan bahagia. Tapi hari ini berbeda. Segera setelah saya menjawab, wajahnya merengut dan lalu ia berkata: “kenapa sih ibu ada di rumah terus? De Azzam kan udah lama engga ke rumah teh Rini. De Azzam kangen ke rumah teh Rini”. Memang sejak setahun belakangan ini, sejak saya berstatus tugas belajar, mayoritas waktu saya habiskan di rumah, di meja kerja saya.
Kalau si bungsu adalah sulung, sepertinya saya sudah akan shock, lalu “down”. Seperti beberapa tahun lalu saat si sulung lebih memilih bermain dengan pengasuhnya ketimbang dengan saya, perasaan “marah, kesal, merasa ditolak, lalu merasa tidak kompeten” itu hadir. Tapi hari ini, setelah punya 4 anak dan menjalani 15 tahun sebagai ibu, saya bisa menjawab reaksi si sulung dengan senyum manis dan kata-kata: “Walaupun ibu ada di rumah, engga apa-apa kok De Azzam main ke rumah teh Rini kalau memang de Azzam kangen”. Jawaban saya, membuatnya melompat kegirangan, dan saya pun mendapat pelukan erat dan kecupan hangat.
Setelah si bungsu pergi beberapa menit lalu, percikan-percikan memori muncul. Meskipun sedang minim bersosmed, tapi sesekali saya buka, tampaknya akhir-kahir sedang rame tema mengenai menjaga kewarasan seorang ibu. Sudah banyak yang mengulas hal-itu dari berbagai sisi. Dan percikan memori saya, terkait dengan itu.
Siapakah teh Rini yang rumahnya dikangenin si bungsu? Teh Rini adalah istri sopir saya. Rumahnya di depan komplek, dekat. 5 tahun lalu, saat teh Ema, pengasuh anak-anak yang sudah 10 tahun bersama kami menikah, saya kemudian tidak menemukan “jodoh” pengasuh lagi. Akhirnya, pada masa itu, si bungsu yang berusia 6 bulan dan baru disapih ASI eksklusif serta si gadis kecil yang berusia 3,5 tahun, saya boyong ke Jatinangor tiap pagi. Di sana, saya titipkan di penitipan anak untuk civitas academica UNPAD. Jujur saja, itu masa “terkelam” dalam pengasuhan anak-anak saya. Saya bahkan sama sekali tidak punya foto selama beberapa bulan anak-anak saya di sana.
Bukan, bukan karena layanan di sana tidak bagus. Ini lebih ke penghayatan. Hati nurani saya mengatakan bahwa bayi berusia 6 bulan plus anak usia 3 tahun, harusnya berada di rumah. Setiap kali meninggalkan mereka disana, hati saya remuk rasanya. Tangis saya, lebih kencang dibanding tangis anak-anak saya yang tak mau ditinggalkan. Bedanya, tangisan saya saya simpan dalam hati.
Saat itu, saya memang minta bantuan teh Rini untuk beberes rumah. Suatu hari, teh Rini dan Pak Ayi bilang ke sana:“Bu, saya kasian liat anak-anak dibawa ke Jatinangor. Gimana kalau sama saya aja? tapi saya gak bisa seharian di rumah ibu. Gimana kalau saya bawa ke rumah?”. Saat itu, putera kedua teh Rini memang seusia si gadis kecil, 3 ,5 tahun, gak mungkin ditinggalkan. Jujur saja, saat itu saya keberatan. Saya pernah mendengar seorang teman saya, anaknya kena TBC karena ternyata rumah pengasuh yang ia titipi udaranya lembab dan tidak higienis. Untuk mengatasi kecemasan itu, saya mengecek rumah teh Rini. Bersih. Karakter teh Rini, tak diragukan lagi sangat responsif dan telaten. Meskipun tak berpendidikan tinggi, Pola asuh yang ia terapkan pada anak-anaknya sangat baik. Hangat, ada aturan yang jelas, memberi ruang juga bagi anak. Bahkan teh Rini ini terkenal kalau ada anak-anak di sekitarnya yang gak mau makan, kasih ke Teh Rini, anak itu akan mau.
Oke, secara objektif tidak ada masalah. Pilihan menitipkan si bungsu dan si gadis kecil sepulang sekolah Play Group di rumah teh Rini adalah pilihan yang jauh lebih baik. Saya mulai menjalani. Satu hari, dua hari, satu minggu, ternyata saya menghadapi “rintangan’ lain. Psikologis. Judgement orang lain. Bukan satu dua kali saya mendapat reaksi “negatif”, baik verbal ataupun non verbal ketika orang bertanya dan saya menjawab bahwa anak saya, selama saya di kampus, dititipkan di rumah pengasuh, saya lalu akan menjemputnya sepulang dari kampus. Dan seperti yang diungkapkan beberapa ibu muda yang merasa “dibully” mengenai caranya menjaga kewarasan, I do feel it. Saya sangat bisa merasakannya.
Secara rasional saya bisa berargument bahwa pilihan saya jauh lebih baik dibandingkan pilihan orang-orang yang berkomentar negatif. Tapi penilaian “ibu macam apa kau ini!” itu, terasa menusuk. Beberapa tahun saya hidup dengan perasaan itu. Berkali-kali saya curhat dan tanya ke Mas, dan selalu keluar jawaban rasional: “Apa masalahnya? dirimu kan malah jadi bisa ngasih quality time pas pulang. Dibanding dulu sedih terus. Anak-anak juga perkembangannya bagus.”
Ya, memang benar sih. Karena ketelatenan teh Rini, kondisi kesehatan si bungsu bagus. Gendut, karena makannya bagus. Mandiri. Ia adalah satu-satunya anak saya yang gak pernah ngompol di kala tidur malam. Anak dua tahun itu, setiap mau tidur disiplin pipis dulu “kata teh Ini halus pipis dulu” . Tapi dalam penghayatan saya, masalah melebar terkait dengan judgement pilihan bekerja vs di rumah. Waktu saya curhat ke Mas, jawaban Mas: “Aku udah bilang beribu-ribu kali. aku ridho. Dirimu beraktivitas di luar rumah, itu pilihan kita. Secara pribadi dulu aku lebih seneng dirimu di rumah. Tapi aku tau, dirimu bisa gila kalau di rumah aja. Dan dirimu punya potensi untuk berkembang di luar. Selama dirimu bisa atur waktu, gak ada masalah apapun. Bantu orang lain, kita niatkan mencari berkah buat keluarga kita”.
Baru mungkin 2 tahun lalu rasa “dijudgement negatif” itu hilang. Komentar orang lain, tetep sama. Sindiran-sindiran di meme, tak berubah. Tapi saya bisa “lempeng’. Saya bisa menjelaskan argumen-argumen saya secara rasional. Terkadang, saat saya sangat lelah, sepulang dari kampus saya engga langsung mampir jemput anak-anak. Saya pulang dulu, mandi dulu, relaksasi dulu, lalu jemput anak-anak ke rumah teh Rini. anak-anak senengnya jalan dari rumah teh Rini sampai rumah. Sambil saling bercerita tentang apa yang kita alami masing-masing.
Reaksi “dunia” tetap sama. Tapi ada yang berubah, dalam diri saya. Saya tidak peduli apa yang dunia katakan mengenai pilihan saya. Saya yang merasakan dampaknya. Dalam perjalanan 15 tahun menjadi ibu, saya pernah merasakan episode hidup dengan perasaan bersalah, episode merasa jadi monster buat anak-anak saya saat saya berkutat dengan masalah pribadi saya. Episode berteriak keras pada anak-anak yang tak bersalah kala kondisi sedang stress karena kelelahan.
Pengalaman saya, plus pertemuan saya dengan beragam ibu yang merasa sulit menemukan fithrah keibuan mereka pada anak-anaknya, membuat saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya, judgment negatif itu sebenarnya berasal dari diri kita, bukan dari dunia. Diri kita lah yang menjudge bahwa pilihan dan apa yang kita lakukan itu salah. Bagian-bagian dari diri kita lah yang belum saling berdamai. Karena jika bagian dalam diri kita sudah berdamai, seluruh penilaian dari luar diri kita akan menjadi tak bermakna buat kita.
Maka, Dari pengalam ini, saya ingin mengatakan pada para ibu-ibu muda: Kewarasan seorang ibu itu, adalah yang utama dan yang pertama.
Energi kita, fokuskan untuk berbincang dengan suami. Membuatnya memahami kondisi kita, mendengarkan nada keridhoan atau ketidakridhoan darinya, berdiskusi menemukan solusi terbaik. Jangan habiskan energi untuk mendengarkan evaluasi dari orang lain. Satu-satunya yang perlu kita pedulikan adalah evaluasi terhadap kualitas pengasuhan yang kita berikan pada anak-anak. Jangan habiskan energi untuk membandingkan standar kebahagiaan keluarga dengan orang lain. Satu-satunya yang harus dipedulikan adalah kebahagiaan anak dan suami kita.
Dan yang jauh lebih penting adalah, jangan habiskan energi untuk berbincang dengan orang lain. Porsi berbincang dengan diri sendiri harus lebih besar. Berdamai dengan komentar orang lain memang perlu, tapi berdamai dengan gugatan dari bagian diri kita yang lain, adalah yang paling penting. Damaikan diri dan maafkan diri kalau tak sempurna, maka kita tak perlu lagi beradu argumen dengan dunia.
Recent Comments