Memandang anak sebagai manusia

Dulu kulihat kau tersenyum
Mengulurkan tangan, hai siapa namamu
Awal kita bertemu
Bertatapan malu, penuh dengan bisu

Mengawali lembaran baru
Untuk mengukir
Sejarah yang takkan terhapus

Jangan berjalan di hadapanku
Mungkin aku tak dapat mengikutimu
Jangan berjalan di belakangku
Mungkin aku tak sadar kehilanganmu
Tapi berjalanlah bersamaku

Jadilah temanku …. selamanya

Beberapa hari lalu adalah hari anak nasional. Saya gak ngeuh, sampai sebuah stasiun TV lokal mewawancara saya mengenai anak dan gadget. Dalam rangka hari anak nasional, kata mereka. Gak tau jadi tayang gak wawancara itu hehe…

Banyak teman-teman saya yang mumpuni, membuat tulisan di hari h- hari anak nasional. Saya punya penghayatan tersendiri terkait dengan “anak”. Kalau dibaca di sejarahnya, “anak”, dulu gak “dianggap ada”. Lalu anak mulai  “dianggap ada”, namun dipandang sebagai miniatur orang dewasa. Orang dewasa dalam ukuran mini. Perkembangan selanjutnya, semakin menghargai anak sebagai “manusia” yang punya “dunia”nya. Punya cara berpikir dan  cara merasa yang berbeda dari orang dewasa. Berbeda, namun tak selalu immature. 

Saya mengamati, memandang anak sebagai seorang manusia yang punya potensi, kemampuan dan kebijaksanaannya sendiri itu, bagi orangtua, tidak selalu mudah. Termasuk saya. Penilaian bahwa mereka itu “inferior”, belum punya apa-apa, belum tau apa-apa, belum bisa apa-apa, membuat kita merasa bahwa sumber kekuatan anak 100% berasal dari sumberdaya kita sebagai orangtua.

Ya, memang ada masa-masa dimana hidup-mati anak tergantung pada kita. usia 0-2 tahun pastinya. Tapi selanjutnya…. 3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,….. saya melihat bahwa anak punya kemampuan dan kekuatan untuk menyelesaikan masalahnya, dengan cara mereka sendiri. Dan efektif. Misalnya, saya ingat si bujang kecil waktu kelas 2 suka lupa beresin buku sesuai jadwal. Sebagai solusinya, tiap hari dia bawa semua bukunya. Waktu itu, 4 tahun lalu, reaksi saya marah. Saya bilang dia males, bahaya bawa tas berat banget. Tapi selanjutnya, setelah jernih  berpikir, saya bisa melihat itu sebagai bentuk kemampuan menyelesaikan masalah dengan efektif. Masalah berat bawa buku? bener juga kata dia. Dia cuman bawa tas dari mobil ke kelas pas mau masuk dan dari kelas ke mobil pas pulang.

Bahasa teorinya adalah autonomy. Perasaan bahwa saya adalah makhluk yang “otonom dan berdaya”, itu merupakan bekal penting. Dari rasa itulah akan muncul perasan kompeten, percaya diri. Tapi…memberi kepercayaan pada anak, menghargai anak, itu memang susah. Tidak instan. Harus berproses.  Dan menurut pengalaman saya, proses yang bisa kita jalani adalah dengan membuka mata dan telinga lebar-lebar terhadap pengalaman anak. Mengamati bahwa mereka mampu, lalu kita akan percaya, anak merasa berharga dengan kepercayaan kita, membuat mereka semakin mampu, lalu kita makin percaya…teruuuus siklusnya gitu.

Saya ingat, dua tahun lalu, si sulung baru awal kelas 7. Sekolah si sulung memang menekankan teamwork. Maka, konsep angkatan pun dibentuk. Ada satu acara dimana mereka seangkatan, ber-72 orang, harus memilih ketua angkatannya. Tapi syaratnya adalah, tidak boleh pake cara voting. Harus musyawarah. Sejumlah kandidat terpilih akan dipisahkan dari mereka, lalu mereka harus bermusyawarah secra terbuka untuk mencapai kesepakatan siapa yang akan jadi ketua angkatan mereka.

Si sulung cerita bahwa di akhir, ada dua kandidat kuat, dan sulit sekali mencapai kata mufakat. Sampai berjam-jam. Yang jadi issu adalah, satu bukan alumni  SD yayasan tsb, yang satu lagi alumni SD yayasan tsb. Yang mendukung non alumni mengatakan bahwa meskipun mereka baru kenal beberapa bulan, tapi leadership anak ini bagus banget. Yang mendukung si alumni mengatakan bahwa mereka sudah kenal baik si kandidat ini 6 tahun. Dan mayoritas warga angkatan mereka adalah alumni SD yayasan tsb, jadi lebih tepat. Teruuuus beradu argument. Si sulung menceritakan dengan detil argumen-argumen dalam musyawarah itu.  Saya mendengarkan sambil…..jujur saja, terkaget-kaget. Anak-anak umur 12 tahun itu, buah pikirannya amazing banget. Gagasan-gasan dan pertimbangannya, komprehensif banget. Kalah lah para pendukung fanatik capres  ini capres itu yang berpikirnya gak jernih mah.

anakCerita si sulung itu adalah salah satu titik yang membuat saya menjadi percaya bahwa anak khususnya usia SMP, harus kita perlakukan secara “setara”. Kita hargai pendapatnya, kita dengarkan. Kenapa? karena mereka sudah punya kemampuan untuk kita hargai.

Coba baca bait-bait yang saya tuliskan di awal. Indah bukan? Dalem banget. TErutama bagian reff-nya. Itu adalah lagu angkatan si sulung. Kalau denger nadanya, instrumen yang mengiringinya; gitar, biola…. bakalan berkaca-kaca deh. Keren banget ! dan itu karya anak-anak umur 14 tahun !

Maka, terutama pada si remaja, kalau kita bepikir “ibu yang paling tau, kamu gak tau apa-apa!” “harus nurut sama orangtua, kamu belum ngerti apa-apa”….. ah, engga banget deh. Jangan-jangan kita sedang mengabaikan fitrah yang Allah berikan pada anak-anak kita.

Menghargai kebijaksanaan anak, adalah akar gunung es yang permukaannya akan tampak dalam bentuk: mendengarkan, menghargai, memberikan ruang untuk  pilihan anak. Sungguh, itu tak mudah. Maka, kiat harus memupuk keyakinan bahwa anak layak kita percaya dengan cara: mengamati dengan rendah hati bagaimana anak-anak kita menyelesaikan masalah-masalahnya dan berkarya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: