Rasanya udah dua kali deh saya menulis tema ini; “binar mata”. Ih, suka banget sama frase ini. Salah satu yang saya ingat adalah tulisan yang berjudul https://fitriariyanti.com/2017/02/06/tentang-binar-mata-anak-anak-kita/
Salah satu kalimat dari tulisan tersebut adalah “…. sesuatu yang dipilih dan digeluti karena passion, akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dan orang yang bersungguh-sungguh itu, selalu mempesona. Selalu menginspirasi. Selalu menggerakkan”.
Nah, di tulisan ini saya akan menceritakan 3 orang yang saya temui, yang sudah menemukan “ikigai”nya.
Bahasa populernya, ikigai adalah the thing that gets you up in the morning. Apa yang membuat kita semangat bangun di pagi hari dan semangat menjalani hari demi hari kita, membuat kita mengatakan : I love my day, I love my life.
Ah, bagi kita yang muslim mah yang harus jadi ikigai teh beribadah atuh; kan Allah menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepadaNya. Yups! Seratus! Tapi kalau ibadah itu hanya dimaknakan sholat-tilawah-puasa; kurang pas. Bukankah setiap helaan nafas dan tiap detik hidup kita ibadah? Dan Allah gak memerintahkan kita buat sholat tanpa henti. Itu artinya, setiap yang kita lakukan, adalah bernilai ibadah jika memenuhi syarat syar’inya.
Menjadi ibu rumah tangga: mencuci, menyetrika, nyebokin anak-anak, masak, adalah ibadah. Menjadi profesor fisika, menguak misteri alam semesta, menemukan sunnatullahNya, adalah ibadah. Menjadi dokter, akuntan, guru, terapis, Konsultan IT, pelayan minimarket; apapun yang kita lakukan, bisa jadi ibadah.
Tentu berbeda saat kita mengerjakan aktifitas yang bernilai ibadah dengan “malas-malasan”; “tertekan”; “merasa itu adalah kewajiban”; dan kehilangan makna- dengan ketika kita menjalankan ibadah dengan mata berbinar, penuh kerelaan, penuh semangat-penuh penghayatan dan pemaknaan.
Seorang ibu yang menemukan bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah ikigai-nya, akan menjalani pekerjaan “remeh-temeh-monoton” yang membosankan dan menekan bagi sebagian ibu lain, dengan penuh penerimaan dan sukacita. Apa tanda seseorang telah menemukan “ikigai”nya? ia tampil mempesona, menginspirasi dan menggerakkan buat orang-orang yang terpapar olehnya. Menjadi apapun ia! dengan atau tanpa prestasi kasat mata.
Beberapa bulan lalu, saya menemui seorang dokter untuk membantu permasalahan kesehatan ayah saya. Nama dokter ini, sudah sering saya dengar dari beberapa kenalan yang memiliki kondisi kesehatan serupa ayah saya. Recommended. Ketika saya telpon tempat praktek dokter tersebut, costumer service-nya minta saya datang tepat waktu. “dokternya on time banget bu” katanya. Oke.
Waktu menunjukkan jam 4 kurang 5 menit di ruang praktek dokter tersebut. seorang bapak masuk ke ruang tunggu dengan wajah ramah. Menyapa beberapa petugas, dan menghampiri ibu-ibu customer service. “Pa kabar? gimana anaknya udah sembuh? Nih, aku punya oleh-oleh kemarin dari Bangkok”. “Ih dokter…selalu aja kalau dari mana-mana inget oleh-oleh buat kita”. Oh…dia dokter toh. Bla,,bla,,bla,,perbincangan ringan dan penuh tawa. Masuk ruangan, lalu kami dipanggil. Ternyata dokter yang sering saya dengar namanya itu ! langsung jatuh cinta deh. Sama keramahannya, sama caranya menjelaskan kondisi ayah saya yang secara medis berat namun bisa ia paparkan dengan perspektif lain sehingga bikin kita menerimanya dengan “ringan”, kesediaannya menghubungi dokter lain di RS yang akan kami tuju. Bidangnya yang terkait dengan penyakit kronis dan terminal, tidak membuatnya kehilangan “kehidupan”. Beliau begitu “hidup dan menghidupkan”. Enjoy, sangat menikmati profesinya. Menurut saya, ia telah menemukan ikigai-nya. Mempesona.
April lalu, setelah pentas seni perpisahan di sekolahnya, si bungsu “terpilih” untuk kembali mementaskan sandiwara yang sama, di festival hutan raya juanda. Sutradara sekaligus pembimbing teater anak-anak TK itu, adalah seorang Bapak dua anak. Menurut kacamata psikologi, dia sangat bisa membuat alur yang “pas” untuk kodisi anak-anak umur 3,4,5 tahun itu. Alur cerita, dialog, gerak dan kombinasinya membuat sandiwara anak-anak itu begitu hidup dan dapat dinikmati secara “profesional”. Baru kali itu saya melihat proses bagaimana beliau melatih anak-anak ini. Beliau yang juga berperan sebagai “pemain utama”; musuh dari anak-anak itu, all out sekali bermain perannya. Ia tak menegur anak-anak yang mengobrol, yang gak mau diem, tapi ia menjadikan itu bagian dari cerita. Yang bikin mata saya berkaca-kaca dan “jatuh cinta” padanya adalah, pada saat ia menutup sesi latihan itu. “Anak-anak, anak-anak latihannya hebat sekali. Semangat, dan bergembira. Besok, kita akan ditonton tidak hanya oleh mama papa kalian, tapi oleh orang lain yang tidak kalian kenal. Besok anak-anak mainnya harus lebih …..” Saya menduga ia akan mengatakan “lebih sungguh-sungguh, atau lebih serius”. Tapi diluar dugaan, ia mengatakan: “lebih bergembira lagi ….” Kata-kata akhir itu, disambut sorak -sorai anak-anak. Ah, ia begitu larut dengan keriangan anak-anak. Menurut saya, ia telah menemukan ikigai-nya. Mempesona.
Tahun lalu, saya sempat akan memindahkan sekolah si gadis kecil. Gurunya mengecewakan sekali. Sudah sampai batas toleransi saya. Padahal selama menyekolahkan si sulung 6 tahun, si bujang kecil 5 tahun, dan si gadis kecil satu tahun di sekolah tersebut, selalu kagum dengan sistem pembelajaran dan pendekatan guru di sekolah ini. Karena si gadis kecil tidak mau pindah, maka saya berharap guru di kelasnya sekarang, kembali guru-guru yang menyenangkan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dan doa saya terkabul. Wali kelas si kelas 3 itu, adalah guru “favorit” semua anak. Dan sangat terasa sejak awal bergabung di grup wa, semakin jelas saat pertemuan dengan orang tua minggu lalu. Beliau sangat enerjik.
Saya psikolog anak. Tapi mendengarkan penuturan beliau mengenai sistem yang ia bangun, perspektif-perspektif beliau tentang anak-anak, jujur saya sampai berkaca-kaca. Begitu menggerakkan. Di saat saya sering mendengar perspektif guru: “yang paling berperan kan orangtua di rumah”, jadi tetap tanggung jawab orangtua yang lebih besar; bu guru ini tiap jumat sore berpesan pada kami: “ayah bunda, titip anak-anak ya….sholat lima waktunya, sholat dhuhanya, adab-nya” . Ya ampuuun…menyentuuuh banget. Seolah anak-anak ini sepenuhnya tanggung jawab beliau. Tiap hari, sepulang sekolah, kami akan mendapatkan foto-foto bahkan video proses pembelajaran hari itu. Si gadis kecil pun cerita: “Pas belajar selalu sambil ada lagu bu, lagu anak-anak. Jadi enakeun belajarnya.” Si gadis kecil yang “free spirit” dan gak terlalu minat ke akademik pun tiap hari jadi semangat. Ngapalin perkalian lah, minta latihan mencongak lah…. Ibu guru itu, begitu dinamis, begitu menikmati perannya. Menurut saya, ia telah menemukan ikigai-nya. Mempesona.
Dari ketiga orang yang saya temui di atas, saya menarik satu kesimpulan baru, selain kesimpulan sebelumnya :
(1) Sesuatu yang dipilih dan digeluti karena passion, akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dan orang yang bersungguh-sungguh itu, selalu mempesona. Selalu menginspirasi. Selalu menggerakkan”.
(2) Ikigai bukan tentang “menjadi apa” dan “di lingkungan bagaimana”. Mau pekerjaan formal atau pekerjaan informal; pekerjaan yang stressful atau pekerjaan freelance; pekerjaan besar atau pekerjaan kecil; bidang akademik atau non akademik, kalau itu adalah ikigai kita, kita akan melakukannya dengan penuh kebahagiaan. Badan boleh lelah, namun jiwa selalu penuh. Eksistensi dan prestasi mah hanya konsekuensi.
Bagi saya yang bergerak di bidang individul differences, saya sangat yakin dengan hadis “setiap orang dimudahkan untuk apa ia diciptakan”.
Maka, sebagai orangtua, tugas kita adalah mendampingi anak-anak kita menemukan ikigainya, menemukan “binar mata”nya. Kalau kita lihat dari diagram venn-nya, ikigai adalah irisan dari :
(1) what you love; (2) what you are good at; (3) what you can be paid for; (4) what the world need.
Kapan anak kita harus menemukan ikigainya? kalau dari psikologi perkembangan, harusnya di usia dewasa muda. Tapi itu berproses. Ikigai adalah journey of self discovery. Dan self discovery itu, dimulai sejak dini.
Menurut saya, dua poin pertama: what they love dan what they are good at, sudah mulai bisa diamati dan dieksplor sejak prasekolah, terutama di usia SD, dan sudah semakin mengerucut serta menguat di usia SMP. Diskusi mengenai dua poin selanjutnya ; what you can be paid for dan what the world need, bisa memanfaatkan moment pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi saat anak di SMA. Poin terakhir levelnya sudah abstrak.
Tapi yang harus diingat: itu adalah proses. Sering orangtua bertanya: apakah ada test untuk menemukan minat dan bakat anak? banyak yang menawarkan dengan segala macam bentuk dan harga. Tapi saya sendiri selalu mengatakan, alat test yang paling akurat adalah, pengamatan orangtua yang sekian tahun bersama anak. Yang lain hanya membantu.
Mengapa kita orangta sering “nge-blank” melihat arah potensi anak? menurut pengamatan saya, salah satunya adalah karena kita membatasi apa yang diamati hanya dalam konteks akademik. Matematika jelek, bahasa gak suka, seni gak terampil. Jadi diarahkan kemana dong? Padahal kalau kita membuka mata, mungkin kita akan melihat jelas bagaimana anak kita adalah seorang yang supel. temennya banyaaaak…selalu kepilih jadi ketua, kalau jadi sie danus pas bazar SMA, selalu dapet banyak karena bisaan melobi donatur.
Anak kita nilanya lempeng…gak ada yang menonjol. 8 semua. Arahkan kemana dong? Bingung. Mari buka mata. Dia selalu jadi tempat curhat temennya. Dia selalu ngemong adik-adiknya. dia selalu care sama kondisi orangtuanya. Banyaaaak profesi di bidang social service yang akan bisa dilakukan anak ini dengan mata yang berbinar dengan potensinya ini.
Pengalaman saya dalam kasus-kasus penjurusan, orangtua yang anaknya “gak menonjol” bisa jadi sama pusingnya dengan orangtua yang anaknya “menonjol semua”. Matematika, 10, bahasa 10, IPA 10, harus diarahkan kemana?
Tetap, mata dan telinga orangtua adalah alat test terbaik. Dengarkan intonasi saat ia menceritakan sesuatu. Lihat binar matanya, semangatnya, antusiasmenya. Itulah potensi ikigainya. Saya menyimpulkan ini dari si bujang kecil. Setiap kali bagi raport, saya minta masukan dari gurunya, guru-gurunya selalu bilang: “Apa ya, Udah bagus da. Nilainya bagus semua. Bisa diarahkan ke mana aja”. Oke…jurusan apa yang keren? informatika! si abah nyariin website yang berisi latihan koding untuk anak. Ada level-levelnya. Sehari, dia udah gak keliatan main itu lagi di laptopnya. Saya tanya, “udah beres sampai level terakhir bu”. Mudah buat dia. Tapi apakah matanya berbinar? apakah ia bangga? engga. Mungkin kalau saya “paksa” dia masuk bidang seperti itu, dia bisa. Tapi apakah ia akan bahagia dan “mempesona?” I’m not sure.
Tapi kalau dia udah ngomongin fakta-fakta fisika, apa yang ia baca, apa yang ia dengar, intonasi semangat itu saya dengar. Tontonanfavoritnya di TV, science of stupid yang membahas prinsip-prinsip fisika dalam kehidupan sehari-hari. Tontonan yutubnya, eksperimen-eksperimen sains. Kalau ditawarin hadiah, mintanya kit sains. Pernah dia bikin eksperimen apaaa gitu… saya gak pernah liat dia setekun itu berjam-jam dan ber yes ria semembuncah itu saat saat berhasil. Fisika murni! itu kesimpulan kami sejauh ini. Gak masuk teknik? gak keren atuh…sayang kan pinter. Ah, hidup mah terlalu singkat untuk cuman buat dapetin kata keren menurut orang lain.
Gimana kalau gak kunjung terlihat? mungkin kita kurang memberikan wawasan dan pengalaman buat anak. Ikutkan anak macam-macam kegiatan, bereksplorasi, lalu amati. Tenaaaang…jangan kabita sama kabar kalau di luar negeri anak udah menjurus ke salah satu bidang di usia dini. Beda sistem, beda kultur. Sistem besarnya gak pas sama di Indonesia. Begitu kesimpulan disertasi teman saya.
Jadi, mari berseluncur ke dalam diri kita, temani anak-anak kita berseluncur ke dalam dirinya, menemukan fithrah keuikan penciptaan Sang Maha dalam dirinya. Kalau udah ketemu, binar mata itu akan terlihat. Mempesona.
Recent Comments