Mencerna Duka

Setiap kali saya membuka agenda saya, setiap hari Kamis, 2 minggu sekali, tertulis dengan spidol merah: “Kemo Papah”. Hari ini, hari ke-22 papah tiada. Setiap teman yang bertemu, selalu bertanya: “gimana mamah?”. Khusus teman-teman dekat Psikologi, mereka juga bertanya: “Lu sendiri gimana?”.

Sampai hari ke-7 papah tiada, saya menemani mamah di Purwakarta. Selain menemani secara fisik, saya ingin memastikan bahwa mamah melalui proses berduka dengan sehat. Saya tahu bahwa perilaku yang kasat mata terlihat “hebat, kuat, ikhlas”; seringkali tak berarti baik secara psikologis. Dan jika tak baik, artinya ada dampak tak baik juga. Saya mencermati apakah mamah akan punya social support yang memadai untuk melalui kedukaan ini.

Berduka. Ya. Tidak mudah bagi seseorang kehilangan pasangannya, setelah 39 tahun bersama. Salah satu butinya, Holmes and Rahe pada tahun  1967 mengembangkan  kuesioner yang bernama The  Social Readjustment Rating Scale (SRRS), untuk mengidentifikasi kejadian hidup yang membuat stress (stressful life events). Hasilnya, menempatkan “kematian pasangan” sebagai kejadian yang menimbulkan stress di urutan pertama, dengan skala 100.

Di 7 hari pertama itu, saya menemani mamah mencerna ketiadaan papah. Dan saya melihat, cara budaya membantu mamah menjalani proses berduka di tahap awal, sangat terasa. Selama 7 hari, ada pengajian setiap bada isya. Tamu-tamu masih mengalir. Mendengarkan kenangan-kenangan baik sahabat-sahabat, kenalan, para “mantan”  murid, “mantan” mahasiswa papah, membantu kami merasa tenang. Secara kognitif.

Mempersiapkan “gudibag” di pagi hari bagi puluhan jamaah masjid yang mengaji mendoakan papah, dengan bantuan dari teman-teman pengajian mamah, membantu mamah meluapkan segala rasanya. Saya mengamati teman-teman pengajian mamah yang rata-rata juga sudah ditinggalkan wafat suaminya, menemani mamah dengan caranya masing-masing. Ada yang menyampaikan pendekatan agama: “kalau kangen, doa aja sama baca Al Ikhlas. Biar kita ingat bahwa rasa kita ini gak boleh melebihi tauhid kita pada Allah”. Ada yang menyampaikan pendekatan “humoris”: “sebenernya kalau seumur kita, yang bikin sedih itu kalau pas genteng bocor, gak ada yang dimintai tolong”. Ada juga pendengar yang baik, yang memvalidasi semua perasaan mamah. “Iya, wajar kalau nanti kasuat-suat. Gapapa nangis aja yang puas”.

Di hari ketujuh, budaya di derah mamah adalah, keluarga memberikan/membagikan pakaian almarhum pada kerabat/jamaah pengajian. Maka di hari ketiga, mamah mengajak saya mengeluarkan baju papah. Saat itu, setiap baju yang keluar dari lemari, mamah ceritakan belinya dimana, dipakai waktu kapan, lalu mamah menentukan itu akan dikasih ke siapa. Saya sendiri memilih sarung yang 2 hari sebelum wafatnya papah, masih papah pakai untuk sholat Iedul Adha. Mamah melakukan proses itu sambil tersedu. Saya merasa kegiatan ini menfasilitasi cara berduka yang sehat.

Besok harinya, giliran saya yang tersedu-sedu. Kami akan membagikan buku-buku papah. Buku-buku agama yang sekiranya tidak akan dibaca mamah, kami sumbangkan ke perpustakaan mesjid. Kebanyakan tugas-tugas mahasiswanya. Sebagian besar yang lain referensi saat papah menyususn tesis 2012 lalu. Saya berikan pada adik saya yang guru, untuk diberikan pada rekannya yang membutuhkan. Sebagian besar yang lain adalah buku-buku bahasa dan sastra juga karya-karya tulis papah. Yang ini, saya bawa ke Bandung.

Kenapa saya yang tersedu-sedu? Karena saya ingat bagaimana asal muasal dunia saya kini. Waktu SD, sepulang sekolah saya selalu dibawa papah mengajar. Dan perpustakaan, adalah tempat favorit saya. Saya benar-benar tenggelam dalam buku. Dan nikmat sekali rasanya. Setiap tugas mahasiswa dulu, resensi roman-roman semacam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Robert Anak Surapati…. setiap ada buku baru yang datang ke perpustakaan di SMA tempat papah mengajar, rasanya saya yang baca terlebih dahulu. Lalu bagaimana papah mengajarkan mengarang yang baik, menyusun naskah pidato yang baik, mengikutsertakan saya di berbagai perlombaan mengarang dan pidato, menemani saya kala degdegan di pertandingan tingkat kabupaten, provinsi, tersenyum bangga saat saya pulang membaaw piala, atau menghibur saya kala saya pulang dengan tangan hampa.

Hari ke-9, mamah ke rumah saya, karena mengurus berbagai surat ke Bandung. Memasuki kamar tempat papah ia rawat 7 bulan terakhir, melihat tongkat papah, kursi yang biasa diduduki papah, mamah tersedu lagi. Wajar. Ketemu tukang sayur yang suka ngobrol sama papah saat papah berjemur, mamah menangis. Ketemu tukang baso malang langganan papah, ketemu pak satpam yang suka nemenin papah jalan pagi, nangis. Ya, saya sangat bisa memahaminya. Itu adalah proses yang sehat menurut saya.

Kemarin mamah bilang bahwa setiap malam ia tidak bisa tidur, inget papah terus. Saya bilang wajar. Lalu saya ceritakan beberapa pengalaman senior saya atau klien saya, para istri yang ditinggal wafat suaminya. Tidak mudah. Sangat tidak mudah. Dan saya tahu betul itu tidak mudah.

Mamah, 39 tahun bersama dalam berbagai episode kehidupan. Susah senang, pahit manis, tertawa menangis…. Saya, mungkin intensif dengan papah 15 tahun pertama saja. Tapi sampai hari ini, saya masih “mencerna” kematiannya, masih “mencerna” kejadian ini. Sejak kembali dari Purwakarta 2 minggu lalu sampai sekarang, saya masih drop. Tekanan darah drop, asam lambung naik. Teman saya, dokter yang saya datangi  bilang: “kayaknya lu kurang istirahat deh, kecapean kali”. Apa ya? padahal justru otak ini kayak belum mau diajak “kerja”. Pekerjaan yang membutuhkan pemikiran “serius” belum bisa saya lakukan. Oh ya…saya tahu… setiap malam, saya tidur. Tapi rasanya pikiran saya tidak tidur. Saya masih mencerna apa makna kematian papah. Padahal saya ikut semua prosesnya. Memandikan, mengkafani, menyolatkan, sampai ke liang lahat. Tapi saya tetap merasa butuh waktu untuk mencerna semua ini.

Berbeda dengan si bungsu yang dengan “sederhana”nya berkata: “kakek kan udah meninggal, udah dikubur, udah gak ada”. Bagi saya, ternyata tak sesederhana itu. Saya tidak tahu apa nama rasa yang saya rasa kala saya tiba-tiba menangis. Secara kognitif, saya tahu ini yang terbaik untuk papah. Saat minggu kemarin saya demam, saya sesak, saya batuk, saya ingat bahwa sakit yang saya rasa, tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang papah alami. Jadi, ini yang terbaik. Bahwa setiap manusia akan wafat… ya, saya mengerti. Rasa yang menyertai tangis ini…bukan sedih yang sakit, tapi …mungkin ini yang namanya “duka”

Seperti juga yang saya bilang pada mamah dan adik-adik saya yang punya cara berduka dan meresapi kehilangan dengan caranya masing-masing, saya juga membiarkan saya melalui proses ini. Proses mencerna ini, rasa “aneh” ini, tangis ini, rindu ini…

Saya ingin perasaan ini  larut perlahan, saya akan menikmati prosesnya. Maka, pada teman-teman psikologi yang sangat concern bertanya: “lu sendiri gimana?”. Saya bilang: “gue menjalani proses berduka. tenaaang…gue nangis kok”. Ya, seperti yang saya bilang pada mamah, akan butuh waktu lama and it is oke not to forget someone we love. Saya tahu, akan ada moment-moment yang mengingatkan setiap waktu, situasi atau tempat pada kehadiran papah. Kami mungkin akan menangis tahun depan, tahun depannya lagi, tahun depannya lagi, but i think it is oke. Saya berusaha mengimbangi setiap titik air mata dengan doa. Biar hujan airmata ini, papah rasakan sebagai hujan pelukan doa.

Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu.

Jiwa Tenang Itu Telah Bersama Rabbnya

“Ya Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah. Irji’i ila rabbiki raa dhiyatam mardhiyyah.  Fadkhuli fi ’ibadi. Wadkhuli jannatii…”

“Wahai jiwa yang tenang… Kembalillah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” ( Qs Al Fajr : 27-30)..

Jiwa yang tenang….
Itulah yang menggambarkan 7 bulan terakhir kehidupan papah, sampai dengan wafatnya subuh tadi.

Sejak Februari, kanker papah yang telah terdiagnosa sejak setahun lalu, telah menyebar ke paru. Stadium lanjut. Dokter yang berdiskusi dengan saya, menyatakan bahwa secara medis, sesungguhnya sudah tidak ada harapan. Treatmen yang disarankan dokter adalah, kemoterapi. 

Sebenarnya sejak tahun lalu, ketika terdiagnosa ada tumor di usus papah dan lalu tumor itu berhasil diangkat  melalui operasi, dokter menyarankan kemoterapi. Hanya setelah kami sekeluarga berembuk, mempertimbangkan kondisi psikologis papah dan juga mamah yang akan menjadi caregiver utama, saya menyampaikan pada dokter bahwa kami belum siap menjalaninya. 

Kami sekeluarga siap menjalani kemoterapi dengan satu keinginan: menghilangkan rasa sakit yang dirasakan papah. Ada masa dimana kami tidak sanggup melihat papah menahan sakit yang amat sangat. Dengan seluruh kesadaran mengenai dampak kemoterapi, kami menjalaninya. 

12 kali, per 2 minggu. Itulah treatment kemoterapi yang harus papa jalani. Sekali kemoterapi, 4 hari menginap di RS. 1 hari persiapan, dan 3 hari kemoterapi. Sehabis kemoterapi pertama ketika dampaknya mulai terasa, saya bertanya pada papah: “apakah papah akan lanjut? kalau papah gak kuat, kita cari alternatif lain”. Papah bilang lanjut. Ya, papah memang pejuang. Saya tahu betul perjuangan hidup papah. Kisah masa kecil dan perjuangan papah, adalah kisah favorit yang selalu saya minta ulang untuk diceritakan kala kecil dulu. 

Selama 7 bulan perawatan, beragam episode kami lalui. Di awal-awal kemoterapi, beberapa kali kondisi papah naik turun, beberapa kali mamah merasa “ini adalah saatnya papah pergi, ketika melihat papah tidak bisa bernafas tanpa alat bantu oksigen. Meskipun saya ingin papah selalu di Bandung di rumah saya selama pengobatan, tapi sesekali papah pulang. Kadang sehari kemudian kami jemput lagi karena drop, tapi  kadang papah cukup baik kondisinya sehingga pulang selepas kemo, dan kembali ke Bandung  menjelang kemo. Beberapa kali kami ke UGD karena kondisi papah yang drop. Terkadang papah tampak sangat segar… hingga harapan kami papah bisa kembali beraktifitas tumbuh kembali. 

Tapi selama episode jatuh bangun itu, satu yang tak berubah dari papah. Semangatnya. Kala papah sudah perlu tongkat untuk berjalan, papah tetap berjalan pagi di komplek kami. Ada satu lagi yang amazing dari papah. Kesabarannya. Kondisi yang semakin lama semakin drop, pastinya akan membuat frustrasi. Mobilitas yang menjadi terbatas, di akhir-akhir suara papah menjadi mengecil dan sempat hilang. Namun tidak pernah terlihat rasa kesal apalagi marah. Saya selalu terharu mendengar doa papah yang didahului oleh kalimat: “Gusti, abdi nampi, abdi ridho….” . Yang membuat papah selalu sedih adalah tiap adik saya, mas dan anak-anak saya ke mesjid terutaam sholat jumat, juga ketika kami berbuka puasa senin-kamis. Papah sedih karena tidak bisa melakukannya.

Di bulan April, saya ingat saya mempersiapkan Naskah Usulan Penelitian saya, sebagian besar di kamar rumah sakit sambil menunggui papah. Secara rasional, tidak optimal. Tapi entahlah….kata-kata yang mengalir dari papah yang mendoakan kelancaran studi saya, keberadaan papah di rumah saat saya mencium tangannya di pagi saya akan ujian, menumbuhkan kayakinan yang kuat bahwa … saya berada dalam gelembung keberkahan. Gelembung keberkahan yang akan membuat saya baik-baik saja, seberat apapun episode hidup yang akan terjadi pada saya. 

Sebulan lalu, hasil CT Scan papah menunjukkan bahwa kanker terus menyebar, ke liver dan tulang. Beraaat sekali rasanya saya harus menyampaikan pada papah kabar bahwa 9 kali kemoterapi yang telah dijalani akan di stop, dan papah akan memulai pengobatan baru. Berat karena papah sudah menghitung …. bahwa kemo-nya tinggal 3 lagi. Setelah itu, papah merasa akan “sembuh”. Kami sudah merencanakan akan umroh bersama. “Papah pengen sholat deket ka’bah, tapi suka kasian mamah gak ada yang jaga. Kalau sama teteh dan mas kan mamah ada yang jaga”.  

Padahal yang terjadi adalah, kami harus memulai kembali sesi kemoterapi selanjutnya. Dari beberapa opsi yang ada, kami memilih kemoterapi dengan dosis rendah. “Papah tidak kesakitan”. Itu saja keinginan kami. Pelan-pelan saya jelaskan kondisinya….bahwa kanker itu, masih ada dan perlahan menyebar dalam tubuh papah.  Di luar dugaan saya, papah mengerti, dan menerima. Saya kaget ketika papah bilang: “Oh, jadi sekarang papah harus bersahabat dengan kanker ini ya…”. Saya tanya apakah papah masih mau lanjutkan pengobatan, papah tanpa ragu mengatakan ya. 

Seminggu menjelang sesi kemoterapi baru, kondisi papah semakin ngedrop. Papah tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Kalau ke kamar mandi jadinya harus diangkat. Saat itu, saya sampai tak berani menatap wajah papa. Tampak sangat lelaaaah dan kesakitan. Namun tidak ada rasa sakit yang terasa sebenarnya. Hasil lab papah buruk sekali. Tiap saya jenguk ke kamarnya, entah papah sedang tidur atau sedang bangun, tangannya menggenggam tangan mamah. Tak pernah lepas.

Tapi setelah kemoterapi tgl 30, 5 hari lalu, saya terkaget-kaget ketika siangnya saya sampai rumah, papah sedang di teras dengan kursi rodanya. Wajahnya tampak segar. Hari itu hari rabu, 2 hari menjelang idul adha. 

Setiap idul adha, adalah waktu keluarga kami berkumpul. Setelah kami bertiga menikah, maka disepakati idul fitri di keluarga menantunya, idul adha di purwakarta. Kami bertanya pada papah, papah mau idul adha dimana? di Purwakarta atau di Bandung? Papah menjawab di sini saja, di rumah saya. Sebelumnya, kami pesimis apakah papah masih bisa ikut sholat Ied. Tapi subuh itu, saat saya belum mandi, papah sudah siap. Sebelumnya kami sudah mensurvey tempat sholat yang mudah medannya menggunakan kursi roda. Saat itu, papah masih merasa sulit menggerakkan tubuhnya. Jadi dari mobil ke kursi roda dan dari kursi roda ke mobil, sudah kami pangku. Tapi komunikasi papah masih dua arah, meskipun suaranya sudah banyak menghilang. 

Selepas sholat, menyaksikan cucu-cucunya heboh membakar sate, nafsu makan papah yang sempat hilang muncul lagi. Kami sama-sama menikmati masakan spesial mamah. Sudah sekitar seminggu papah harus disuapi, karena tangannya tidak bertenaga lagi. Saat itu, sudah ada rencana papah ingin pulang dulu sebelum kemo selanjutnay tgl 14. Saya sendiri, selalu mengikuti apa yang papah inginkan. Kenyamanan rasa. Apa lagi yang bisa kami berikan pada papah dalam kondisinya? menurut saya itu yang terbaik yang biaa kami berikan. Hari Sabtu, papah masih ragu pulang atau tidak. Hari Minggu pagi, bada subuh mamah bilang papah pengen banget pulang ke Purwakarta. Melihat kondisinya yang cukup segar, saya pun izinkan. Kami gendong papah ke mobil adik saya yang akan mengantar, kami cium tangannya. 

Jam 3 kemarin, adik saya mengirim foto. Papah sedang duduk di pinggir kolam, melihat ikannay yang besar-besar. Meskipun di kursi roda, namun bahasa tubuhnya menunjukkan ia memiliki “daya”; tidak lemas. Saya senang sekali. 

Tadi subuh, telpon rumah berdering-dering. Di sebrang telpon, terdengar suara isak tangis mamah. 

Papah…subuh tadi, sang malaikat maut menjemputnya dengan lembut. Ya….kami menangis, kami bersedih, kami kehilangan. Namun semua itu diiiringi oleh perasaan tenang. Tenang karena seluruh doa kami, telah dikabulkan olehNya. Doa bahwa papah tidak diambil dalam keadaan kesakitan. Beberapa bulan terakhir ini, tidak ada keluhan sakit yang papah rasa. Dampak kemo pun tampak minimal. Dan doa agar papah diambil nyawanya dengan cara yang mudah. Doa ini, papah sendiri yang panjatkan sebulan terakhir ini. 

Kala memandikan papah tadi, saya genggam terus tangannya. Ya, saya tidak lagi bisa mencium harum khas kulit papah lagi. Tentu saya sedih sekali. Tapi kesedihan ini diiringi  ketenangan. Tangan itu, adalah tangan yang saya lihat selalu dipakai bertakbir segera setelah adzan selesai. Dalam segala situasi: berdiri, duduk, berbaring; di rumah saya, di rumah sakit, di UGD….

Orang bilang, sebagai anak saya sudah maksimal berbakti pada papah di akhir hidupnya. Tapi entahlah…masih banyak penyesalan yang saya rasakan. Masih banyak “kurang” yang saya rasa. Saya ingat, setiap kali saya cium tangan papah selama papah sakit, papah yang selalu bilang “hampura papah nya teh”. Rasanya saya belum banyak meminta maaf sama papah. 

Waktu awal kakeknya ada di rumah kami, saya jelaskan pada anak-anak kondisi sakit kakek. Saya jelaskan tentang kanker. Si gadis kecil yang ceriwis bertanya pada saya: “Kenapa sih bu, Allah teh menciptakan penyakit jahat banget kayak gitu, Allah gak sayang gitu sama kakek?”

Saat itu saya jelaskan bahwa Allah memang memberikan kesakitan, kesedihan, tapi Allah tidak pernah memberikan keburukan. Selalu kebaikan yang Allah berikan. Hanya bentuknya yang berbeda.

Kebaikan apa yang Allah berikan dengan sakitnya papah?

Mendengarkan dzikir istighfar papah setiap kali merasa kesakitan, saya teringat kata-kata seorang ustadz: “Allah mungkin menciptakan kesakitan, karena hanya dengan cara itu dosa seseorang bisa terampuni, jika dia ikhlas”. Menyaksikan penerimaan yang papah tunjukkan dengan sikap, perilaku dan kata-kata terhadap kondisinya, membuat saya memahami bahwa seberat apapun ujian, kita punya kapasitas untuk menjalaninya. Melihat bagaiman mamah dan papah terikat begitu kuat, membuat saya yakin “growing old together” dan cinta sejati itu ada. Dan bersama-sama menjalani ujian ini sebagai satu keluarga; kami 5 putera/puteri, 3 mantu dan 8 cucu yang saling bahu-membahu, memberikan semua yang kita punya -harta, tenaga, waktu, pengetahuan, kelucuan- , membuat saya yakin bahwa kerja keras membangun sebuah keluarga, tak akan berakhir sia-sia.

papahIstirahatlah pah. Perjuangan papah sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah, telah berakhir. Kini saatnya papah menikmati buah dari perjuangan papah: untaian doa yang tak akan lupa kami panjatkan minimal 5 Kali sehari. Meskipun secara raga papah sendiri, tapi secara ruh, kami selalu bersama papah. Mamah selalu menggenggam tangan papah, kami – 5 anak, 3 mantu, 8 cucu- selalu bersama papah; seperti 4 hari lalu. 

Kami akan teruskan kebaikan-kebaikan papah. Kami akan terus saling menjaga. Sampai bertemu lagi di syurgaNya pah. Banyak yang rindu suara papah kala menjadi imam di mesjid. Apalagi kami. 

Allahummaghfirlahu warhamhu, waafihi wa’fuanhu.