I hate you but i love you ; catatan tentang ekspresi cinta

Tulisan ini adalah lanjutan tulisan https://fitriariyanti.com/2017/12/28/my-amazing-mother-days/.

wheelchairSejujurnya, ada beragam rasa ketika melihat foto-foto anak-anak bergembira-ria di sana. Pertama dapat foto yang dikirimkan si abah, tak terasa air mata mengalir. Sedih. “If I were there”. Jadi inget ketika akhirnya saya memutuskan “memerintahkan” anak-anak untuk pergi, kala berdua dengan Mas, terucap juga kata-kata menyalahkan Mas atas peristiwa yang terjadi : “Mas sih, aku kan udah bilang pelan-pelan aja jalanin motornya. Kasian anak-anak” ; sambil sesenggukan. Ya, sebagai introvert sejati, harus bedrest beberapa hari, harus ditinggal sendirian, no problem at all. Ada segambreng aktivitas yang bisa saya lakukan. Baca, nulis, ngerjain buku, ngerjain disertasi, ngerjain ini-itu. Tapi yang bikin gak tega adalah liat konflik di anak-anak.

Meskipun setelah ngomong gitu ke Mas sih langsung istighfar. Kalau Allah sudah mentakdirkan, bagaimanapun caranya, kejadian ini sudah pasti terjadi. Dan si awal kejadian, Mas udah berkali-kali minta maaf. Tapi da ini mah udah takdir.

Hari ini adalah hari ke-3 perjalanan anak-anak dan abahnya. Hari kedua perjalanan, si bungsu yang awalnya begitu ekspresif di setiap video call, menunjukkan perilaku aneh. Dia gak mau video call-an dengan saya. Dia selalu berusaha menghindar kontak mata. Atau malah pergi.  Bahkan ketika kakak-kakaknya memaksa mendekatkan layar handphone ke wajahnya, dia menutup matanya. Kalau kakak-kakaknay begitu ekspresif: “ibu kangen…” atau “coba ibu ada di sini…”; si bungsu malah menghindar.

Perilakunya yang dengan sengaja menghindari kontak mata dengan saya, mengingatkan saya pada perilakunya 4 tahun lalu. waktu ia berumur 18 bulan, ketika saya tinggalkan ia 40 hari berhaji. Pulang ke rumah, waktu saya peluk ia dalam tidurnya, ketika terbangun, ia langsung menolak. Ia minta dipeluk kakaknya, si sulung yang waktu itu masih berumur 11 tahun. Dua hari ia menghindari saya, tidak mau saya sentuh. Mas sempat bingung, tapi saya bisa memahami perilakunya. Saya beri dia ruang, sambil memberi ruang juga buat saya (memberi ruang: Saya sesenggukan haha… ). Hari ketiga, dia mulai mau saya sentuh tapi masih menghindari kontak mata. Hari selanjutnya, ia rewel, marah, perlu seminggu untuk memulihkan perasaannya.

Kemarin, perilaku menghindar saat video call itu bertambah jadi perilaku marah. Ketika kakaknya memaksa mendekatkan layar handphone, ia tak hanya menhindar, tapi juga marah. Dan pagi tadi, ia tak hanya marah. Tapi mengancam akan mematikan layar handphone, ancaman yang benar-benar ia lakukan. Tentu tanpa melihat ke layar handphone.

Apakah ia marah pada saya? Ekspresinya marah. Tapi sesungguhnya, yang terjadi adalah, psikisnya sedang menjalankan apa yang disebut sebagai defense mechanism. Mekanisme pertahanan diri secara psikologis saat seseorang sedang merasa “tidak nyaman dan terancam sesuatu yang berat buatnya”. Defense mechanism yang ia tunjukkan namanya adalah “reaction formation”. Ia berperilaku sebaliknya dari apa yang ia rasakan. Semakin meningkat intensitas perilaku “reaction formation”nya, menunjukkan semakin besar kadar rasa tidak nyaman yang ia rasakan. Maka,  dibanding kakak-kakaknya yang begitu lugas mengekspresikan kangennya, saya tahu kadar kangennya si bungsu pada saya, jauh lebih besar. Sedemikian besarnya sampai ia butuh mekanisme pertahanan diri.

Duh, kalau udah gini teh meni rasanya pengen terbang, pengen peluk dia erat. Perasaan yang persis saya rasakan sebulan lalu, ketika suatu siang di Jatinangor saya mendapat telpon dari gurunya, bahwa si bungsu sedang di IGD, telinganya harus dijahit karena terjatuh di sekolah. Menunggu jemputan datang, rasanya pengen terbang sambil tak bisa menahan air mata.

Sebelum liburan kemarin, saat saya melaporkan progres penelitian disertasi pada promotor, kembali promotor meminta saya untuk apply program sandwich. 3 bulan di luar negeri untuk mengolah data, berdiskusi bersama profesor pemilik teori yang saya gunakan. Saat itu saya bilang bahwa saya sudah memutuskan untuk tidak apply, dengan alasan keluarga. Promotor saya meminta saya mendiskusikan ulang dengan keluarga, mempertimbangkan sang profesor sudah membuka peluang dan waktu studi masih panjang.

Saya sudah tahu jawaban yang akan saya sampaikan pada beliau. Saya sudah bulat. Ah, seperti de ja vu dua tahun lalu. Saat saya begitu galau antara mengejar impian menindaklanjuti tawaran LOA di luar, atau memilih mengajak mas bicara dari ke hati karena sikap “diam”nya terhadap semangat saya yang menggebu untuk mengejar impian di luar.

Saat itu, saya membaca buku Bukan Emak Biasa untuk melakukan revisi di cetakan kedua. Satu buku penuh, tamat dari awal hingga akhir. Setelah membaca buku itu, saya baru sadar, betapa saya sangat mencintai keluarga ini, betapa saya sangat mencintai anak-anak saya. Bersama mereka, tak sebanding dengan pencapaian apapun. Rasa yang persis saya rasakan saat ini.

My family, my chidren is not an excuse, they are my priority.

Can’t wait to hug you all…

 

 

1 Comment (+add yours?)

  1. memerumaysa
    Dec 30, 2017 @ 20:02:18

    Barakallahu fiik, mba kalo mau pesan buku Bukan Emak Biasa caranya gimana ya?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: