ISTI : Ikatan Suami ……. Istri

“Yes Mam, Yes Mam, Yes Mam” …. pria paruh baya itu mengangguk-angguk di telpon. Dia adalah “bos” kami dalam sebuah projek. Kami bertiga, sedang mengerjakan projek yang cukup besar. Kami bertiga adalah : Pak Bos, saya dan seorang sahabat saya. Pak Bos adalah seorang pria paruh baya yang sangat expert di bidangnya. Meskipun kami satu tim, tapi sebenarnya beliau bagai mahaguru bagi kami yang masih unyu-unyu di bidang ini. Karen ake-expert-an nya, beliau juga menduduki jabatan penting di instansinya. Kami bertiga cukup akrab karena sudah saling mengenal cukup lama.

Pak Bos sudah selesai menelpon, dan kembali berhadapan dengan kami. “Dimarahin mbak **** ya Bang?” kata sahabat saya. Mbak **** adalah istri beliau, yang juga kami kenal baik.  “Iya nih… gue tuh udah gak boleh minum kopi sama dokter. Trus dia tuh kayak punya telepati gitu. Tauuu aja gue bandel” katanya sambil melirik secangkir kopi dihadapannya (di komunitas kami, biasa ber- elu gue antara senior dan junior). “Trus kayaknya gue harus pulang sekarang uy, **** titip beliin bahan-bahan kue. Mana gue gak tau lagi bahan-bahan itu bentuknya kayak gimana. Makanya agak lama kayaknya muter-muter di supermarket untuk tanya-tanya. Dia lagi seneng banget nyobaik resep-resep dari yutub” katanya. Lalu kemudian ia membagi tugas yang harus dikerjakan oleh masing-masing kami di rumah, untuk dibahas pada pertemuan selanjutnya.

Dulu, duluuuuu banget….saya akan menganggap tipe suami seperti Pak Bos adalah suami yang “tidak berwibawa”. ISTI. Ikatan Suami Takut Istri. Membayangkan wibawa nya di hadapan publik, diantara para stafnya, di lingkungan expertisenya, sangat kontradiktif dengan sikap dihadapan istrinya, seperti yang ia tunjukkan di telpon tadi. Takut Istri. Itu yang suka digambarkan pada sinetron-sinetron, terutama sinetron komedi yang memang sering mengeksploitasi kontradiksi.

Tapi setelah saya menikah, 5, 10, 15 tahun…. mengamati banyak pernikahan, membantu klien-klien dengan masalah pernikahan, saya menjadi punya perspektif baru terhadap para bapak-bapak yang “melepaskan wibawanya” saat sedang berada di hadapan istri. Tetap ISTI. Ikatan Suami Thayank Istri haha….

Yups… tidak mudah bagi seorang suami yang secara agama, kultural maupun sosial dipandang sebagai figur superior dibanding istri, mau “mendengarkan” apalagi “menuruti” kata istrinya. Ada berapa banyak para istri yang sudah menikah belasan bahkan puluhan tahun; tapi si istri tak berani, takut untuk mengingatkan sang suami, memberi masukan pada sang suami, mengerem suami dari perilaku yang kurang pas; baik untuk dirinya maupun ada orang lain.

Misalnya, mengingatkan suami untuk tidak merokok, mengingatkan suami untuk tidak impulsif posting sesuatu di medsos, mengingatkan suami untuk tidak genit pada wanita lain, mengingatkan suami untuk menyeimbangkan hobi pribadi dengan waktu untuk keluarga, mengingatkan suami untuk menyeimbangkan waktu mengejar karier dengan waktu untuk keluarga, mengingatkan suami untuk meninggalkan hal-hal kecil yang gak bermanfaat, mengingatkan suami untuk merubah akhlak buruk.

Setiap kali saya mengingatkan suami saya dari satu perilakunya yang kurang pas, saya selalu bilang : ” I do it because I love you. I care about you. Di usiamu saat ini, di posisimu saat ini, gak akan banyak orang yang berani mengingatkanmu. Bahkan mungkin gak ada”. 

Ya, saya berpegang teguh pada definisi “cinta adalah saling menjaga”. Dengan dua makna:

(1)  Makna yang terkait dengan hubungan kami berdua. Setelah mengarungi pernikahan 15 tahun, saya semakin yakin bahwa Allah menciptakan laki-laki dan wanita itu setara.

Teori bahwa laki-laki itu rasional dan perempuan itu emosional, itu gak berlaku dalam pernikahan. Yang ada adalah, dalam situasi tertentu suami lebih rasional, dalam situasi tertentu ia emosional. Sama dengan istri. Maka, ketika istri sedang emosional, suami bersikap tenang dengan kekuatan rasionalitasnya. Dan ketika suami emosional, istri bisa menjernihkan pikiran suaminya dengan keteduhan rasionalitasnya.

Laki-laki itu pelindung dan wanita itu makhluk lemah yang harus dilindungi? Totally wrong ! Iyesh, sering wanita butuh perlindungan suaminya lewat kekokohan pelukannya. Kala ia sedih, kecewa, disakiti, mengalami kegagalan, dll.  Tapi saya sudah menyaksikan berpuluh-puluh suami; yang tak ingin melepaskan genggaman tangan istrinya, yang merasa kuat saat istrinya berada disampingnya;  kala mereka sakit, kala mereka down, kala mereka takut…

Dua gambaran yang sebenarnya sudah bisa kita ketahui lewat kisah Rasulullah yang merasa takut dalam pelukan istrinya Khadijah saat mendapatkan wahyu pertamanya.

(2) Makna yang terkait dengan pasangan kita dengan lingkungannya. Dalam perjalanan hidup ini, kita butuh rem. Agar tak melaju di jalan yang salah. Agar kita menjalani kehidupan ini tidak dengan menutup mata, yang penting cepat. Agar kita punya waktu untuk selalu awas pada belokan-belokan kebenaran yang mungkin kita lewatkan.

Suami dengan rasionalitasnya, bisa jadi rem untuk istrinya. Dengan pikirnya, ia akan bisa membayangkan resiko-resiko, dan beragam elemen yang akan mengarahkan jalan istrinya di jalan yang benar.

Di sisi lain, suami langkahnya lebih panjang. Ia tak terikat anak-anak. Tak terikat rumah. Darahnya cenderung bergejolak memenangkan kompetisi dalam beragam bentuk. Maka, istri-lah yang bisa jadi rem. Membuatnya melambatkan larinya, mengajaknya berbincang agar sempat ia melihat sekeliling dan berefleksi, menemaninya mengevaluasi arah hidupnya, menariknya kembali pada nilai-nilai yang akan menjadi berharga saat di akhir hidup ia mengevaluasi perjalanan kehidupannya.

Tak ada yang otomatis terjadi dalam dunia ini. Itu adalah sunnatullahNya. Tak ada cinta yang begitu saja tumbuh dan menguat. Tak ada komunikasi dari hati ke hati yang begitu saja terlatih, tak ada rasa yang begitu saja menyatu dalam satu frekuensi, “hanya” karena usia pernikahan telah bertambah. 

Saya ingat suatu saat Pak Bos menasehati kami: “Bagi kalian, di masa-masa ini mungkin merasa hubungan kalian dengan suami baik-baik saja. Karena masing-masing fokus dengan urusan anak. Tapi ketika tak ada lagi anak-anak yang harus diurus, saat kalian berduaan kembali, di situlah kedalaman hubungan kalian teruji. Bukan tak mungkin kalian akan jadi bingung, apa yang harus diobrolin. Ngomong ini, takut menyinggung, ngomong itu, gak tau mulainya dari mana. Bukan tak mungkin kalian merasa saling asing; kalau proses saling mendekat, saling menyelami, saling mendengarkan dan saling menghargai itu tak terus diusahakan dan diperjuangkan. Lebih asyik ngobrol sama teman di luar rumah atau dengan teman kerja, jangan sampai itu terjadi” katanya.

loveSaya juga ingat seorang ustadz di ceramah tarawih ramadhan masjid salman tahun lalu, menyampaikan bahwa ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka berarti ia bersedia mengikutsertakan pasangannya dalam setiap pertimbangan perilakunya. Sekecil apapun, sebesar apapun, sehebat apapun konteks perilakunya.

Kalau memegang teguh nasihat ini, masalah pelakor dan pebinor mah ga ada arti apa-apa.

Maka, buat saya sekarang, seorang laki-laki yang berkata: “yes mam” atau “oke bos” pada istrinya, bukanlah suami penakut. Tapi ia suami penyayang. Yang menganggap kata-kata istrinya perlu ia dengarkan, yang menghayati bahwa ia butuh dijaga oleh istrinya, yang menganggap bahwa istrinya setara dan berharga. Seorang suami yang mencintai istrinya.

PAUD dan PR

Hari Kamis lalu, menjelang long wiken, saat saya tiba di rumah sore, si bungsu TK B bercerita bahwa ia dikasih “PR” sama gurunya. Apaaaah? anak TK dikasih PR? TK apa itu? pasti TK gak bener itu ! pasti cuman bisnis doang ! makanya, sebelum SD itu anak gak usah “disekolahkan”. Ibu adalah guru terbaik buat anak. Tuh kaaan…kalau disekolahkan anak dikasih beban yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Anak PAUD itu harusnya bermain yang kreatif bersama ibu, bukan dibebani dengan PR.

Kira-kira begitulah reaksi saya kalau dikomik-kan heheh #hiperbola. Yups, saya pernah membaca pendapat yang meng”haram”kan PR. Apalagi pada anak PAUD. Kenapa ya, gak boleh ada PR ? Kenapa anak PAUD gak boleh dikasih PR?

Oh…oh…saya tau jawabannya: Karena “PR” itu identik dengan “akademik”. PR menghafalkan perkalian. PR ngerjain berlembar-lembar soal. Kadangkala, konon katanya PR dijadikan alat bagi guru-guru yang “malas” menjelaskan materi. Jadi murid dikasih PR yang belum dijelaskan materinya. Itulah sebabnya PR, konon juga katanya jadi pintu gerbang buat ibu-ibu yang gemesh sama anaknya yang gak ngerti materi pelajaran, dan melakukan KDRT dengan verbal : “masa gitu aja gak bisa?” atau dengan perilaku : mencubit, menjiwir, memukul. Duh, bahaya banget ya dampak PR itu 😉

Nah, bener-bener…kalau anak PAUD dikasih PR, bahaya banget tuh… padahal, setiap kali saya sharing sama ibu-ibu maupun guru TK, saya selalu bilang : “sekolah formal” pertama anak-anak itu adalah SD. SEKOLAH Dasar. Kalau TK, ya bukan sekolah. Namanya juga TAMAN. Secara filosofis nama juga beda. 

Oke…oke…kalau ngasih PR ke anak TK itu adalah “malpraktik” pendidikan anak usia dini, pasti anak akan terbebani, kesel, males, muncul emosi negatif. Baiklah, mari kita amati si bungsu…

Waktu si bungsu ngasih tau bahwa dia punya “PR” dari bu guru, kenapa dia memberi tahu saya dengan wajah “sumringah” ya? “Bu, de Azzam dikasih PR sama bu guru. Ibu tau gak PRnya? de Azzam harus bikin makanan atau minuman kesukaan de Azzam. Terus, pas bikinnya, de Azzam harus di video-in, terus dikirim ke bu guru. Gitu bu…de Azzam, gak sabar pengen ngerjain PRnya ! bikin apa ya bu? bikin nutrijel, de Azzam udah bisa sendiri belum? harus sendiri bu, jadi harus pilih bikin-bikin yang de Azzam gak perlu bantuan ibu dan abah”

Hhhmmm….aneh nih. Kan harusnya anak stress ya kalau dikasih PR, tapi ini kenapa gak stress ya? malah antusias. Yang salah teorinya atau anaknya ya? Seinget saya, ini memang bukan kali pertama si bungsu dapat “PR” dari gurunya.

Beberapa bulan lalu, pas long wiken juga, si bungsu dikasih PR menggambar. “Kata bu guru, menggambarnya jangan langsung sekali, harus dicicil tiap hari sedikit-sedikit. Biar bagus. Idenya harus kreatif”. Dan pesan gurunya, dia amalkan sepenuh hati. Tiap pagi dia akan mengingatkan saya untuk “temenin bikin PR menggambar”. Lalu seperempat jam kemudian, dia berhenti : “Kan kata bu guru gak boleh langsung selesai, biar bagus. Besok dikerjain lagi”. Dan jadilah gambar itu, hardfilenya dikumpulkan ke bu guru, softfilenya saya kirim ke majalah bobo junior, yang ternyata 2 minggu kemudian dimuat. Wah, bahagia sekali si bungsu (dan emaknya hehe).

PR lainnya yang saya ingat adalah : membuat roket dari barang bekas. Hasilnya dikirim via foto di grup wa. Ngerjainnya sama papanya masing-masing. Waaah…gile..kreatif-kreatif ternyata para papa memberikan ide dan mengerjakan “PR” itu bersama anak-anaknya. Akhirnya, setelah 2 minggu karena si abah lagi padet di luar kota, roket si bungsu pun jadi. Waktu bikin, dia semangaaat banget. Sampai pas udah jadi, sebelum dikumpulkan (dan ternyata hanya diperlihatkan aja sama bu guru, selanjutnya dibawa pulang lagi), dia pajang di lemari. Sesekali diambil, dipeluk, dicium-cium sambil muji diri sendiri : “ternyata de Azzam, bisa bikin roket yang bagus ya”.  Saking terharunya bu guru karena anak-anak begitu antusias mengerjakan, bu guru pun membuat gantungan kunci buat anak-anak, bergambar foto masing-masing anak dengan roket buatannya. Gantungan kunci itu jadi kebanggan si bungsu.

PR lainnya yang saya ingat adalah, sebulan lalu bu guru minta anak-anak yang sudah bisa menulis untuk menulis kata, yang berawalan huruf tertentu. Hurufnya berurut mulai dari a,b,c,d, dst per hari. Si bungsu yang termasuk sudah terlatih motorik halusnya dan sudah bisa mengeja, juga semangat mengerjakan “PR” ini. Meskipun dia bilang: “Bu guru engga bilang harus nulis berapa kata, katanya terserah. Kalau de Azzam tulisannya kecil, berarti harus banyak. De Azzam mau tulisannya besar aja aaah….biar sedikit kata-nya”. Cukup menyenangkan menemaninya mengerjakan PR ini. Terutama ketika si bungsu “mikir” kata apa yang berawalan huruf tersebut, lalu terpikir satu kata yang lucu: seperti “cangcut dan dodolipret” 😉

Dan, PR membuat makanan kesukaan ini, akhirnya dikerjakan dengan tak kalah antusiasnya dengan PR-PR nya sebelumnya. Saya jadi penonton, si abah jadi kameramen. Dia sudah memutuskan akan membuat telor ceplok kesukaannya. Mulai dari memecahkan telur, memasukkan ke wajan, membalik telur, sampai mengangkat ke piring. Menyalakan dan mematikan kompor, di hasil video terlihat tangan si abah membantu hehe… Sambil melakukan aksinya, gaya si bungsu udah kayak youtuber-youtuber gitu, Meskipun gak pake kata “gays” ya kkk… “Haloo…kita akan membuat ceplok telor…oke, kita mulai saja….”.

Kemarin, ketika saya pulang sore, dia cerita : “Bu, yang kirim video ke Bu Guru cuman bertiga. Dia sebut nama temannya dan apa yang dibuatnya. Gak apa-apa gak ngumpulin juga. Tapi yang ngumpulin dikasih kertas stiker …yeay….

PR2Nah..dari pengamatan saya terhadap jenis PR, sikap si bungsu terhadap PR dan sikap bu guru terhadap PR, saya jadi bisa menyimpulkan : Bukan “Ada PR” atau “Tidak ada PR” yang menjadi inti permasalahan. Tapi yang harus kita cermati adalah:

(1) Apa tujuan PR? Menurut saya, di jenjang pendidikan manapun, tujuan memberi PR atau tugas, akan menentukan bentuk PR apa yang diberikan dan bagaimana sikap siswa terhadap PR tersebut. Misal, di sebuah Perguruan Tinggi nun jauh disana, PR yang diberikan dosen pada mahasiswa adalah menerjemahkan buku/chapter buku. Lalu hasil PR mahasiswa tersebut, di klaim sebagai kinerja menerjemahkan buku untuk kepentingan dosen tersebut. Nah, kalau tugasnya macam ini, mahasiswa gak merasa ada manfaatnya buat dia. Ya, kalau dibikin-bikin sih bisa ada aja. Tapi kalau secara tulus kita hayati, mahasiswa bisa jadi gak dapet apa-apa dengan tugas semacam ini. Saya sendiri sebagai dosen merasakan; ketika merancang tugas/PR itu, tidak mudah. Harus kita hayati betul bentuk aktifitasnya seperti apa, tingkat kesulitannya, lalu nanti bentuk feedbacknya seperti apa.

(2) Bentuk PRnya seperti apa? Setelah saya ngobrol dengan bu guru, ternyata bentuk-bentuk PR yang diberikan pada anak-anak itu, adalah upaya bu guru agar anak-anak terisi waktu luangnya dengan kegiatan yang menstimulasi daya kreatifitas dan kemandirian anak. Maklum, saat libur, para ortu mengeluh ke bu guru: “anak-anak kalau di rumah main gadget terus”. Saya sih gak ikut mengeluh karena saya tahu bahwa  kalau  saya mengeluh begitu, senjata makan tuan buat saya. Kenapa ibu kasih gadget dan gak nemenin anak main? Gak mungkin dong anak  umur 5 tahun main sendiri sementara emaknya gadget-an ;). Dan tugas-tugas tersebut, disesuaikan tingkat kesulitannya dengan kemampuan anak. Juga disesuaikan dengan kondisi “jaman now”. Misal mengirim PR berbentuk foto dan video ke wa bu guru 😉

(3) Reward/punishment terhadap PR. Apakah anak-anak yang tidak mengumpulkan PR diberi hukuman? tidak. Yang mengumpulkan yang diberi reward. Pas dengan tahap perkembangan anak.

Maka, dari pengalaman ini saya mendapatkan satu pelajaran : jangan terjebak nama/istilah. Kita biasakan untuk mengamati (atau bahasa kerennya “menganalisa”) elemen-elemen dari suatu kejadian. Ada banyak keterjebakan yang bisa kita hindari dengan pola seperti ini : mengamati elemen-elemen dari suatu kejadian. Katanya itu yang namanya CRITICAL THINKING. Itu yang membedakan manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna dengan makhluk lainnya : manusia diberi akal. 

Apalagi para emaks jaman now yang mengalami tsunami informasi : kata pakar ini boleh, kata ahli ini gak boleh, kata BC-an yang ini harus begini, kata BC-an yang itu gak boleh begini…

Ketika Allah mentakdirkan kita menjadi ibu, maka Allah sudah menganugerahi potensi untuk berpikir, merasa dan bertindak yang paling tepat bagi anak-anak kita. Ya, ilmu pengasuhan harus kita cari untuk mengaktivasi potensi tersebut. Lalu kemudian, curahkan energi kita untuk mengamati anak, mengamati elemen-elemen kejadian dalam persoalan anak. Kalau ada kebimbangan, diskusikan dengan orang yang kita percayai keilmuannya. Insyaallah, kita akan rileks dan tenang dalam menjalani beragam perjalanan bersama buah hati. Itulah hakikatnya “bukan emak biasa” (yang perlu bukunya inbox ya..haha….pesan sponsor)