Connection Before Correction #ParentingGame01

Ada beragam macam teori dalam pengasuhan, yang diformulasikan melalui beragam perspektif dan beragam metode. Tapi dari seluruh teori pengasuhan, hampir selalu ada komponen yang namanya cinta, penerimaan, dukungan, keterlibatan, kedekatan, kelekatan, koneksi. Intinya adalah, hubungan yang baik dan dekat antara orangtua dan anak.

Kalau kita ibaratkan kehidupan yang akan anak lalui  sebagai sebuah labirin yang rumit dimana kita harus menunjukkan pada anak lorong mana yang benar dan lorong mana yang berujung pada kesesatan, maka sebelum kita bisa melakukan hal itu, kita harus membuat anak membuka pintu dirinya, mempersilahkan kita masuk untuk menemaninya melalui atau menunjukkan arah di lorong-lorong itu. Sehebat apapun kemampuan kita untuk menunjukkan anak kita jalur labirin yang benar, sebesar apapun keinginan kita untuk menemani anak agar terhindar dari jalur labirin yang salah, tak akan bisa lakukan kalau ia tak membuka pintunya untuk kita.

Dan yang bisa menjadi kunci pembuka, yang akan membuatnya mempersilahkan kita menemaninya lalu  menunjukkan jalan yang benar, adalah kedekatan hubungan kita dengan anak. Connection before correction. Suatu frase yang super duper saya sukai. Iyesh. Jalin hubungan dulu, buat anak kita membuka hatinya buat kita, buat anak menerima kita dengan sukarela. Barulah kita bisa memberikan arahan-arahan yang akan dihayati oleh anak untuk kemudian ia internalisasikan dalam dirinya.

Membangun koneksi dengan anak itu, gampang-gampang susah. Awalnya gampang, lama-lama kalau yang gampang kita lewatkan, bisa jadi susah. Sesungguhnya, Allah Yang Maha Sempurna sudah membuat perkembangan manusia sedemikian sempurna-nya sehingga sebenarnya, secara fitrah, hubungan yang dekat antara orangtua dengan anak, bisa terjalin.

Ada yang pernah liat bayi yang wajahnya menyebalkan? 99,99 persen gak akan ada. Saya pernah membaca sebuah penelitian bahwa proporsi wajah bayi (yang berbeda dengan wajah orang dewasa), itu Allah desain sedemikian rupa sehingga memandangnya, akan mengaktifkan pengeluaran hormon oksitosin, si hormon cinta. Bahkan wanita yang wajahnya “baby face”, konon lebih menarik bagi laki-laki karena proporsi wajah bayi atau seperti bayi, menunjukkan kebutuhan akan kasih sayang dan perlindungan. Belum lagi aroma yang keluar dari bayi. Hhmm…keringetnya, “bau acem”nya, “memaksa” kita untuk menciumnya, mendekapnya. Kenapa Allah buat seperti itu ? karena bayi membutuhkannya. Ia sangat tergantung pada orang dewasa. Maka ia harus punya sesuatu yang menarik hati orang dewasa. Selelah apapun seorang ibu, memandang wajahnya, tak akan tega mengabaikannya.

Allah menyediakan fasilitas “penampakan” dan perilaku anak usia bayi sampai dengan usia prasekolah yang selalu mengandung  aspek lucu dan menggemaskan, agar kita bisa menjalin relasi dengan anak, dengan cara yang paling primitif, mudah dan sederhana; kontak fisik. Memeluk, mencium. Gak usah bicara. Peluk dan cium saja mereka, maka jalinan yang kuat, hangat dan dekat akan terjalin. Saya pernah melakukan penelitian, “ngobrol” dengan 100an anak usia TK A dan TK B, kurang lebih mengenai kapan mereka merasa “disayangi” oleh ibu mereka. Dan jawaban mereka adalah : ketika dipeluk dan dicium ibu.

Selanjutnya, mulai usia pra pubertas, kelas 5an SD, kita harus mulai memikirkan bentuk lain untuk mempertahankan jalinan hubungan yang hangat dan dekat tadi. Kenapa? karena rutinitas memeluk, mencium, menjadi berkurang. Anak kelas 5an mungkin sudah tidak mau lagi kiat “kelonin” saat menjelang tidur. Belum lagi biasanya mereka sudah punya adik. 1 atau 2 biasanya. Tak ada momen khusus ynag membuat kita bisa mendekapnya erat dan hangat dalam waktu yang lama.

Lalu ketika mulai masuk pubertas, sekitar kelas 6 atau kelas 7 untuk anak perempuan dan kelas 7 atau kelas 8 untuk anak laki-laki, secara fisik, sulit bagi kita untuk “menyukai” anak. Ketek bau menyengat, wajah berminyak dan atau berjerawat, raut merengut, saat ini adalah saat yang paling kritis. Biasanya, kalau hubungan dekat di fase sebelumnya belum terjalin, maka di usia ini hubungan ortu-anak rentan untuk  “putus” . Bentuknya apa? saling kesal, selalu saling marah, selalu merasa saling salah. Nah, kalau sudah situasi gini, gimana kita bisa menemani mereka menjalani kehidupannya? menunjukkan jalan yang benar dan salah dalam setiap kasus di keseharian mereka? padahal di usia ini lah mereka mulai menjelajah duna luar. DI usia inilah mereka mulai merasakan naik angkutan umum, pesan kendaraan online, punya smartphone sendiri, memiliki rasa suka dengan lawan jenis, rasa penasaran terhadap hal-hal baru.

Ada beberapa ibu yang kadang “mati gaya”, kehabisan ide, bagaimana secara teknis menjalin hubungan baik dengan anak-anaknya. Berdasarkan pemikiran tersebutlah, tgl. 7 Maret lalu, saya membuat status mengenai hal ini. Dan amazing, Beragam sharing mengenai aktifitas yang real bisa dilakukan pada anak di beragam usia, membuat saya berkaca-kaca saat membacanya. Ternyata banyaaaaaaaak yang bisa kita lakukan untuk membuka pintu hati anak kita, membuat mereka mempersilahkan kita masuk ke dalam kehidupan mereka.

Semuan sharingnya keren dan inspiratif. Dan saya sudah menjanjikan utuk memilih 3 sharing yang paling inspiratif untuk saya kasih buku Bukan Emak Biasa. Seperti saya bilang di atas, semua sharingnya keren. Tapi 3 sharing yang saya pilih ini unik dan menarik untuk diulas.

Yang pertama adalah dari Andy Nuriya Setiawan. Salam kenal kang, karena saya belum mengenal beliau. Sharing beliau adalah :  P_3_cerita tentang waktu dia bayi sebelum tidur. 

Yesh… “cerita kelahiran” adalah juga kisah favorit buat anak-anak saya, yang selalu direquest hampir setiap malam. Buat saya yang gak kreatif, menceritakan kisah kelahiran mereka, dibumbui oleh emosi positif dan intonasi yang”dramatis”, adalah sangat mudah karena tak harus mengarang. Kita tinggal “memanggil kenangan indah itu”. Lalu, kenapa anak suka? Karena itu bermakna sangat dalam. Setiap orang butuh akar hubungan. Itu adalah identitas diri paling dasar. Dan diceritakan bagaimana kehidupannya bermula, bagaimana kebahagiaan orangtuanya menyambutnya, mengokohkan keyakinan akan akar dan perasaannya dicintai.

Saya pernah membaca literatur mengenai adopsi anak, dan disana dikatakan bahwa bagi anak yang diadopsi, ada fase keraguan mengenai identitas. Itu sebabnya seorang teman saya yang mengadopsi anak, selalu menceritakan kisah bagaimana awal mulai ia mengadopsi anak tersebut. Bagaimana ketika pertama kali ibunya “jatuh cinta” melihat wajahnya di panti asuhan, bagaimana perasaan ibunya ketika pertama kali memeluknya, membawanya ke rumah. Sehingga meskipun anak tau bahwa ibunya bukan yang melahirkannya, tak ada keraguan mengenai identitas diri dan keyakinan bahwa ia dicintai. Sejarahnya jelas. Itu yang dibutuhkan anak.

Sebaliknya, percaya atau tidak, seorang ibu pernah bercerita pada saya, karena salah satu anaknya punya warna kulit yang berbeda, iseng ia suka cerita, ngegodain kalau anaknya itu diambil dari rumah sakit karena ibunya meninggal.  Keisengan itu terus berlanjut sampai si anak usia SD kelas 2an. Dan betapa kagetnya ia ketika si anak pada usia SMA, benar-benar mengadakan pencarian. Menelusuri setiap rumah sakit di kota itu, bertanya data di tahun ia lahir mengenai ibu yang melahirkan dan wafat, sampai akhirnya sambil menangis bertanya serius pada orangtuanya, benar gak dia anaknya. Perlu berkali-kali ibunya meyakinkan bahwa benar ia anaknya.

Saya juga pernah sekali, cuman sekali, bercanda bilang bahwa si bungsu “bukan anak ibu”, tapi “anak teteh” (pengasuhnya). Dan reaksi si bungsu bikin saya kapok. Anak 5 tahun itu marah bukan main, Dia pukul saya, sesuatu yang tidak pernah ial lakukan, lalu bilang; “jangan pernah bilang gitu!”. Maka, buat para ibu, jangan iseng soal identitas anak; dan buat yang belum pernah, menceritakan kelahirannya, wajib kudu dicoba dilakukan. APalagi menjelang tidur. Saat tubuh biasanya rileks, sambil dipeluk, sambil diceritakan tentang “akar”nya, seberapa besar ia berharga, ah precious banggets!

Sharing kedua ini saya pilih karena originalitas gagasannya. Teh Rika Tjahyani  dengan sharingnya : L_11_jalan2 backpacking naik kereta berdua ke luar kota. Teh Rika ini kebetulan tetangga satu kompleks dengan saya. Tapi tentu bukan karen aitu saya memilih sharingnya. Saya tahu, puteranya saat ini adalah putera tunggal. Tapi gagasan jalan-jalan backpaking naik kereta berdua ke  luar kota, adalah gagasan yang keren, dan wajib dicoba oleh ortu lain, yang memungkinkan untuk berperjalanan berdua dengan si anak praremaja.

Dalam tulisan saya https://fitriariyanti.com/2015/03/02/xx-x-2/, saya menyampaikan bahwa dalam sebuah keluarga, hubungan interpersonal antara dua orang di dalamnya, perlu untuk dilakukan. Apalagi buat si sulung yang biasanya setelah punya adik, tak pernah lagi punya waktu “berdua” dengan ibu, pengalaman teh Rika ini sangat bisa dicoba. Apa sih yang bisa dilakukan dalam perjalanan berdua ini? Ngobrol lama dengan suasana rileks. Cuman gitu doang? ya, gitu doang. Tapi ini langka dan sulit terjadi kenyataannya saat ini. Kesibukan ibu dan atau anak, gadget…Jujur aja, berapa lama sih kita bisa ngobrol berdua sama anak kita di rumah dalam satu hari? Padahal di usia  11 tahun ini, menjelang baligh, saatnya kita menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran melalui aplikasi langsung pada pengalaman keseharian anak. Sehingga nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu akan anak rasakan sebagai nilai-nilai yang membumi, nyata, hidup dan terintegrasi dalam kesehariannya. Bukan hanya berupa “nilai langit” yang ia dengar dari nasihat demi nasihat  orangtua maupun guru.

Sharing ketiga yang saya pilih adalah dari Mamanya Dea Dimas. Dea, adalah seorang gadis cantik teman TK si sulung. Sudah lebih dari 7 tahun kita gak ketemu face to face. Halo mbak Laxmi :). Sharing beliau adalah :  P_15 ngebahas cowok ganteng yg ditaksir kaka. Kenapa saya pilih sharing mama Dea  sebagai sharing yang inspiratif? karena saya tahu bahwa menjalin hubungan dekat dengan gadis berusia 15 tahun itu, adalah tidak mudah. Sangat tidak mudah.

Di usia ini, teman perlahan menjadi jauh lebih asyik dari ortu. Maka, kalau ada anak gadis mau cerita tentang hal yang paling privat yaitu cowok yang ditaksirnaya dengan mamanya, berarti mamanya berhasil membuat hubungan dekat dan hangat itu bertahan di masa-masa kritis ini.

Dua tahun lalu, waktu saya mendengar si sulung punya hubungan istimewa dengan salah seorang teman laki-lakinya, saya perlu mengingatkan batasan hubungan laki-laki perempuan di usianya. Jadi, waktu itu saya masuk ke kamarnya, memulai pembicaraan dengan serius tentang kabar yang saya dengar dan hasilnya…sumpah ! awkward banget haha… Yups, saya berhasil memberinya nasehat mengenai batasan pergaulan, yang saya yakin dia sudah tau kkk.

Tapi rasa awkward itu tak terlalu terasa saat saya mengobrolkan pesan yang sama saat kami berdua nonton film Kapten Amerika, seperti yang pernah saya tulis di  https://fitriariyanti.com/2017/07/25/captain-america-vs-hulk-obrolan-cinta-dengan-kaka/. Juga ketika kami bahas lagi tema yang sama, tentang bagaimana mengelola rasa suka tanpa melanggar batas agama, setelah kami berdua nonton film Dilan.

Connection before correction. Raih dulu hati anak, biar ia mau membukakan telinganya buat kita. Keneksi itu, muahaaaal…. banget. Setiap kali dapet kasus yang kemudian membutuhkan terapi keluarga (family therapy) untuk menghubungkan kembali koneksi antara orangtua dengan anak di usia remaja ke atas, kami harus bekerja ekstra keras.

Kami siapa? pertama, saya dan rekan-rekan saya sebagai psikolog yang membantu. Kami harus berpikir keras mencari teknik-teknik yang terstruktur, merekonstruksi kembali hubungan yang telah terputus.  Teman saya yang punya sertifikasi dalam hal tersebut, mendapatkan sertifikasi tersebut untuk level basic, dengan harga 12 juta dan sekian jam praktek. Mahal. Itu dari segi kami psikolog. Dari segi ortu dan anak; butuh komitmen kuat dan minimal belasan sesi untuk kembali membangun hubungan itu. Artinya apa? artinya koneksi itu muahallll. Kalau udah “putus”, muahal di uang, waktu, energi untuk menyambungkannya kembali.

connection before correction2Maka, jalin koneksi itu sedejat-dekatnya, sehangat-hangatnya, sekuat-kuatnya ketika anak masih bisa kita peluk, kita cium. Lalu pertahankan dengan sikap fleksibel dan aktivitas kreatif  saat ia tak bisa lagi selalu kita rengkuh dengan pelukan dan ciuman. Ingat ….connction before correction. Kalau mati gaya, meluncur aja ke status saya di tgl 7 Maret. Ada banyak gagasan keren yang disharing oleh teman-teman saya disana.

sumber gambar : https://www.positivediscipline.com/articles/connection-correction-0

 

 

 

 

 

Chapter-Chapter Kehidupan Kita bersama Anak : Apa yang Kita Tuliskan ?

Sebulan lalu, si abah mengirimkan beberapa foto motor touring via whatsapp. Karena kami LDR-an; maka selain weekend, komunikasi kami via wa, telpon dan video call. “Ini keren banget De…kita beli yuks…biar kita bisa touring berdua”. Bla..bla..bla… Ia menceritakan ke-kerenan motor-motor touring itu. Saya baca sambil pengen ketawa. Seperti bapak-bapak lainnya, kalau udah bicara tentang otomotif, persis kayak anak kecil pengen mainan. Persis juga sih sama kelakuan saya kalau lagi merajuk membujuk si abah untuk mengizinkan saya beli tas lah, batik lah, sepatu lah.  Sejak saya punya instagram, memang jadi terpapar barang-barang lutuuuu…. dan meskipun kalau saya beli barang pake uang sendiri dan  si abah pun kalau mau beli sesuatu pake uangnya sendiri, tapi kami punya perjanjian tak tertulis untuk saling minta izin . Kenapa ya? ya untuk saling menghargai saja. Dan kalau masing-masing kami bilang “engga”, biasanya kami urung. Meskipun saya lagi punya banyak uang, kalau si abah bilang “gak usah beli, kan tasmu udah banyak”, saya pasti urung. Demikian juga si abah.

Waktu liat foto-foto motor touring itu, saya mengakui sih…itu motor keren-keren banggets. Ya sesuai harganya lah haha… Mendengar cerita si abah tentang rencana touring berdua ke tempat-tempat yang keren, saya jadi membayangkan emang enak banget dibonceng sambil memeluk punggungnya ,,,ya…mirip-mirip adegan Dilan dan Milea lah #eaaaaa… Tapi ketika kita lagi asyik ngobrolin rencana itu, tiba-tiba terintas sesuatu di pikiran saya ; lalu saya sampaikan ke si abah: “Tapi bah, kapan kita mau touring berdua nya? segitu tiap weekend kita hectic  sama acara anak-anak…” . “Oh iya ya..” kata si abah. “Kapan ya, kita bisa punya waktu berdua di weekend? kayaknya 6 tahun lagi ya? kalau si bungsu udah SMP? Ya udah…beli motor touringnya 6 tahun lagi aja ya kalau begitu”. Kata si abah. “Iya, tapi 6 tahun lagi, kita masih kuat gitu touring berdua?” kata saya hahaha…..

Yups…saat ini, di tahun ke-15 pernikahan kami, dengan 4 anakumur 15, 12, 9 dan 6,  kami memang sedang hectic-hecticnya dengan urusan anak-anak. Setelah beberapa bulan ke belakang weekend kami dihasbisakn untuk survey boarding school SMA untuk si sulung dan survey SMP untuk si bujang, lalu lanjut rangkaian test, setelahnya, weekend kami juga selalu full untuk urusan anak-anak. Anter ekskul setiap sabtu, lalu nemenin  lomba, atau aktivitas lain yang pengen diikutin anak-anak. Kadang hiking, kadang mendongeng, kadang anter si sulung kerja kelompok ini, syuting itu, hunting ini, tryout itu…bahkan seperti minggu lalu, karena kegiatannya bareng, kita harus split, si abah nemenin anak yang mana, saya nemenin anak yang mana.

Kami tak pernah bicarakan ini secara lugas sih, tapi sepertinya kami berkomitmen untuk mendedikasikan weekend kami untuk anak-anak. Kalau gak kepepet-kepepet banget, gak pernah bikin acara sabtu minggu. Kalaupun akan ada acara yang gak bisa diganti hari lain, maka kami harus koordinasi jauh-jauh hari. Misalnya si abah ada rapat pentiiiing yang harus weekend, atau ikutan ujian sertifikasi apaaa gitu… atau saya ada undangan mengisi seminar, atau misalnya ada klien dari luar kota yang hanya bisa di weekend. Kenapa? karena kami tak punya ART. Anak-anak, terutama si gadis kecil dan si bungsu belum bisa ditinggal sendiri. Harus diawasi si sulung. Padahal si sulung punya segudang aktifitas di weekend.

Sejujurnya, banyak kesempatan pengembangan diri bagi saya dan si abah yang tak bisa dilakukan karena weekend kaki kami “terikat” oleh anak-anak. Kadang saya  dapat tawaran tampil di acara besaaar, kadang ada workshop keren banget, kumpul-kumpul asyik, kadang si abah ada kegiatan sertifikasi penting… Tapi kami selalu saling mengingatkan. Kami jadi rem buat masing-masing. Dan beberapa tahun terakhir ini, saya sangat menikmati kehectican di weekend untuk kegiatan anak-anak. Kenapa?

Beberapa bulan lalu, kami ke bioskop ber-5. Saya dan 4 anak saya. Saat itu anak-anak sedang libur, abahnya tentu kerja di luar kota. Kami bersepakat nonton, kebetulan film yang diputar di bioskop sedang bagus-bagus. Film apa yang akan kami tonton? anak-anak keukeuh pengen nonton film Coco. Saya pengeeeeen banget nonton film Wonder. Saya bingung. “Okelah, ibu gak akan nonton film Wonder. Nanti aja kalau udah ada DVDnya ibu beli”. Saya akhirnya memutuskan. Tapi lalu si sulung bilang: “Kenapa kita gak pisah aja bu? Sok aja ibu nonton Wonder, kayaknya ibu pengen banget. Ga apa-apa kita nonton Coco”. Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya saya terima tawaran itu. Masalahnya adalah, selain kami tentunya beda studio, waktu tayangnya juga beda. Film Wonder diputar 45 menit lebih awal dari film Coco. “Percaya bu, kita berdua bisa jagain si dua krucil ini ” kata si sulung. Akhirnya rencana itu kita jalankan. Saya masuk saat film Wonder akan dimulai. Tentu sambil terus-terusan kontak anak-anak, yang dari video callnya sih baik-baik saja haha…

Sambil menikmati film Wonder yang super duper keren, saya merasa amazing dengan kondisi saya. 15 tahun menjadi ibu, inilah pertama kalinya saya menikmati hal-hal yang “entertaining” tanpa anak-anak. Ya, saya beberapa kali sih ke luar  negeri atau luar pulau dan luar kota untuk conference atau pekerjaan. Tapi full menghibur diri, sendirian…rasanya ajaib. Serasa gak percaya gitu haha…Jadi, sambil duduk rileks menyaksikan film, ngemil popcorn plus menyeruput soda, pikiran saya pun melayang.

Ada saat-saat dimana nonton film ke bioskop begitu melelahkan bagi saya. Kala saya masih punya balita. Melelahkan fisik dan psikologis. Psikologis? takut ada salah satu atau salah dua anak saya nangis, atau teriak. Jadi sepanjang film (biasanya kita nonton film anak-anak untuk si sulung), maka saya dan si abah sibuk menenangkan adik-adiknya. Takut ganggu orang. Belum lagi kalau anak laki-laki, kalau gak teriak atau ngomong keras dia jalan-jalan…aduuuh…buat pencemas sejati seperti saya, itu stressful bangget. Belum lagi kalau mau pipis. Trus pipisnya gantian. Baru balik anter pipis si ini, adiknya bilang pengen pipis. Alhasil, jarang bisa menikmati keseluruhan film. Jadi, saya bisa menikmati film dengan rileks, sendirian, itu saya rasakan sebagai sebuah pengalaman “baru”.

Saya juga ingat…. baru ramadhan kemarin saya menikmati itikaf. Full 10 hari terakhir, nginep tiap malam. Dulu waktu masih berdua kami beritikaf berdua. Waktu punya bayi satu, masih suka itikaf. Tapi setelah dua, tiga, empat; lebih banyak cemasnya dibanding khusyuknya saat itikaf dan tarawih. Takut nangis, takut teriak, takut ganggu orang lain… Si abah suka ngajak tarawih ke mesjid tiap ramadhan. “Dirimu kan seneng banget di mesjid” katanya. “Iya, tapi aku stress kalau sambil takut anak-anak teriak, nangis, lari-larian, aku sholat di rumah aja”. Begitu jawaban saya biasanya.  Nah kalau tahun kemarin, saya merasa nikmat banget. Kalau si bungsu bosen dan “rewel”, saya tugaskan si gadis kecil ngajak main di halaman. Antri makan sahur/buka? ada 4 anak yang siap mengambilkan. Wudhu gantian, jaga si bungsu gantian.

Ya, ya…ada masa-masa itu. Masa dimana saya gak mau diajak si abah silaturahim ke sosok-sosok yang kami hormati. Kenapa? dengan 4 anak yang lagi loncat sana-loncat sini, ngomong rebutan…saya engga nyaman bertamu. Kalau kondangan, kami gak pernah makan dulu. Datang, salaman, lalu pulang. Karena anak-anak gak nyaman di kondangan yang biasanya penuh sesak orang yang tak ia kenal.

Tapi sekarang, masa-masa itu sebagian sudah terlewati.

Maka, kalau ada adik-adikku yang nangis-nangis; merasa “lelah”, craving for me time; sini saya peluk. I feel it. I’ve been there. Saya ingat banget di rumah kontrakan saya di Tubagus Ismail 13 tahun lalu, saat si sulung masih berusia 2 tahun-an, waktu itu saya udah lama gak bisa sholat dan doa khusyuk. Waktu saya abis sholat lalu mau mulai menengadahkan tangan, eeeh…si sulung pipis. Di sajadah. Waktu itu saya nangis tersedu-sedu. Saya inget banget kata-kata saya “Ya Allah, plissss. Aku teh bukan pengen apa-apa. Bukan pengen main, bukan pengen tidur nyenyak… Aku cuman pengen berdoa khusyuk…masa gak bisa” ….

Maka, Kalau ada adik-adikku yang baru punya bayi dan tidak terlihat bahagia tapi justru kelelahan, sini saya peluk. I feel it. I’ve been there. Si sulung adalah anak yang “ajaib”. Tidurnya selalu harus digendong, sambil berdiri. Kalau dia udah tidur lalu saya duduk, maka ia akan bangun. Nangis. Saya ingat saat-saat itu, kami nangis berdua. Sampai saya bikin shif-shift-an gendong si sulung sama si abah, dan setiap kali si abah tertidur tak terbangun mendengar suara tangis bayi, padahal itu adalah shiftnya, saya akan nangis, capek plus kesel sama si abah haha…..

Maka, kalau adik-adikku merasa kehidupannya sangat “terikat”, jadi pendek langkah, sini saya peluk. I feel it. I’ve been there. Saya pernah ditegur sama pimpinan radio tempat dulu siaran rutin jadi narasumber, gara-gara tiap siaran saya bawa si sulung yang waktu itu umurnya 1,5 tahun-an. Katanya biarpun anteng, tapi suaranya masuk kerekam. Baiklah, saya memutuskan untuk berhenti siaran. Berat terasa, tapi ya gimana lagi.

Maka, kalau ada adik-adikku kebingungan saat anak-anaknya tantrum, merasa kesal, putus asa,  sini saya peluk. I feel it. I’ve been there. Saya ingat waktu diliatin orang se-BORMA waktu si bujang ngamuk-ngamuk pengen cd ultraman. Saya ingat hari pertama si sulung sekolah, jam 8 sampai jam 11 gak brenti nangis. Si bungsu, saya anter ke sekolah dengan pakaian batik terbaik saya karena mau ketemu pejabat universitas, eeeh..nangis sampai muntah ke dada saya. Ke kampus dengan sisa bau muntah plus bau tissue basah, pernah saya alami.

Maka, itulah sebabnya saya menikmati masa-masa hectic teroccupied di weekend oleh kegiatan anak-anak. Karena saya tahu, masa itu akan berlalu. Maka, selagi di masa ini, kita jalani saja sekhusyuk-kehusyuknya, ikuti saja alurnya, nikmati saja episodenya. Nanti ada saatnya episode itu berganti.

Saya selalu membayangkan bahwa kehidupan kita itu, seperti chapter-chapter di sebuah buku. Buku-buku yang bagus, tiap chapter sambung menyambung, tapi masing-masing chapter punya cerita yang berbeda. Punya warna yang berbeda, keasyikan yang berbeda saat kita membacanya. Seperti yang terjadi saat saya nonton wonder sendirian itu, saya menikmati momen saya saat itu, sambil tersenyum mengenang momen-momen berbeda sebelumnya.

large-kraft-memory-book-photo-album-ba-book-typography-photo-memory-bookMaka, buat adik-adikku yang masih berkutat dengan hal remeh-temeh terkait anak-anak, mari kita nikmati sepenuh hati episode-episode ini. Episode begadang, episode menghadapi tantrum, episode tas kita penuh dengan remah-remah makanan, episode keompolan, episode cemas takut ganggu orang lain, episode harus bawa anak kemana-mana, episode stress saat bawa anak-anak ke supermarket, kita nikmati aja, here and now. Kita tuliskan kisah episode kehidupan kita di chapter ini, dengan penghayatan terbaik yang kita punya, dengan effort terbaik yang kita bisa. Kita tuliskan keindahan dan keseruan rangkaian kata dan peristiwanya dengan ke khusyuk-an dan penerimaan kita.  Jangan memikirkan “pengen pindah chapter”. Nanti kita akan kehilangan keindahan kenangannya.

Biar nanti, saat kita akan menutup mata kembali pada yang Maha Kuasa, kita bisa membaca kembali chapter demi chapter kehidupan kita, dan kita bisa tersenyum bahagia karena keindahan kenangannya.