Sebulan ke belakang, aktivitas saya padat. Pergi pagi pulang sore tiap hari, beraktivitas di Jatinangor. Pulang lelah, pengennya langsung mandi dan rebahan. Gak sanggup rasanya masak makan malam buat anak-anak. Akhirnya, dengan restu si abah, saya pun memutuskan menggunakan bantuan jasa catering. Ada yang menyediakan jasa catering harian deket rumah saya, dengan harga terjangkau dan yang terutama, menu-menu sehat yang pas buat anak-anak. Alhamdulillah. Bu catering senang, saya senang, anak-anak senang.
Cuman ada satu masalah. Bu catering mengirimkan makanannya menggunakan styrofoam. Dilapisi daun pisang sih, tapi sebagai orang yang tahu efek styrofoam terhadap lingkungan, asa ngeganjel. Anak-anak saya berkomentar semua. Saya juga bilang gak nyaman sih… tapi ya gimana lagi. Tiap menerima 3 styrofoam per hari, hati saya berontak, tapi ya…gimana lagi.
Adalah si gadis kecil, si 9 tahun kelas 3 SD itu yang protesnya paling keras. Dia memang pecinta lingkungan sejati. Gara-gara bacaannya Bobo dan Kuark, yang selalu memaparkan tema-tema cinta lingkungan. Dia yang cerewetin saya soal penggunaan listrik yang gak perlu, penggunaan kendaraan secara minimal, membawa bekal minum daripada beli air mineral dalam botol, memakai saputangan dibanding pake tissue; sampai kalau saya masak, dikomentarin juga. “Ibu, harusnya wajannya dibersihin bawahnya, itu meminimalisir pembakaran bu… sama ibu pake wajan yang permukaannya luas harusnya, karena bla..bla..bla……”. Tiap menerima catering styrofoam, kalau kakak-kakak dan adiknya cuman komentar saja, dia melayangkan protest keras. Protesnya semakin meningkat setiap hari. “Ibu, coba ibu bayangkan… keluarga kita aja 3 kali 5 sama dengan 15 styrofoam tiap minggu. Berapa orang yang langganan?” styrofoam itu gak bisa diurai ibu…bayangkan gimana jadinya bumi kita….”. Hari lain, dia memaksa untuk mengumpulkan styrofoamnya, untuk di re-cycle katanya. “Nanti teteh cari di youtube gimana re-cyclenya” katanya. Daaan..akhirnya, suatu hari protestnya berubah menjadi ancaman : “Kalau masih pake styrofoam, teteh gak akan mau makan”. Waduh, gawat ini….
Saya tak bisa lagi mengabaikan pendapatnya. Akhirnya 2 minggu lalu, saya sengaja sempatkan ke borma beli sepasang rantang. Saya sampaikan ke bu catering kalau saya gak mau pake styrofoam lagi. Bu catering bilang ia juga pengennya gitu, tapi belum ada modal. Saya doakan semoga ibu catering seger apunya modal untuk beli rantang-rantang, Alhamdulillah semua kembali senang.
Temans para ibu muslimah, minimal 17 kali dalam sehari kita memohon pada Yang Maha Kuasa : “ihdinassirootol mustaqiim” . Tunjukkan kepada kami jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu, adalah jalan kebaikan dan kebenaran. Jalan yang membawa kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Secara garis besar, melalui doa itu, kita bermohon agar Allah tetapkan kita dalam agama yang kiya yakini baik dan benar ini, yaitu Islam. Dan kalau kita perluas secara operasional, doa itu kita mohonkan agar dalam day to day aktifitas kita, Allah juga tunjukkan jalan dan cara yang baik dan benar, yang membawa kebahagiaan dan keselamatan.
Apa kaitan cerita saya tentang si gadis kecil dengan ihdinassirootol mustaqiim?
Saya menghayati, bahwa melalui kata-kata anak, banyak sekali jawaban Allah atas doa mohon ditujukkan jalan lurus yang kita mohonkan minimal sehari 17 kali itu. Dalam situasi yang saya gambarkan di atas: Islam meminta kita mencintai lingkungan, mencintai bumi. Tapi tanpa ada “desakan” dari si gadis kecil, pengetahuan saya untuk mencintai bumi sebagai rasa syukur atas nikmat bumi ini, hanya sekedar pengetahuan saja. Tak berbuah menjadi amal. Saya percaya bahwa terutama anak yang belum baligh, basyirah-nya masih jernih. Nurani mereka belum terhalangi oleh jelaga dosa. Maka, pikiran dan perasaan mereka sangat berarti. Harusnya kita dengarkan.
Dalam konteks pengasuhan, kita sangat ingin cara kita mengasuh adalah cara yang baik dan benar. Cara yang bisa membawa kita dan anak kita pada kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Pikiran dan perasaan anak mengenai bagaimana cara kita mengasuh mereka, adalah kompas yang berharga bagi saya. Itulah yang mendasari #ParentingGames 02 di status facebook saya tanggal 27 Maret lalu.
Kita tanya pada anak-anak kita,
(1) kamu paling seneng kalau ibu/ayah (tergantung siapa yg bertanya) gimana sama kamu?
(2) kamu paling gak seneng kalau ibu/ayah (tergantung siapa yang bertanya) gimana sama kamu?
Note :
Formulasi pertanyaan bisa diubah sesuai pemahaman anak
Usia anak tidak dibatasi ya… usia dewasa pun oke banget
Sayangnya, berbeda dengan #ParentingGames 01, tak banyak yang ikut sharing kali ini. Hanya 4 orang.
Buat saya pribadi, bertanya mengenai pikiran dan pendapat anak-anak terhadap perilaku saya, benar-benar menyediakan cermin sekaligus kompas untuk menjalani pengasuhan ini. Misalnya, ketika si bujang kecil yang berumur 11 tahun bilang : “Paling gak suka kalau ibu kayak peribahasa seekor kerbau berkubang, semua kena lumpurnya. Ibu marah sama satu anak, semua anak dimarahin”. Saya ternganga. Oh ya? bener gitu kelakuan saya kayak gitu? Lalu si bujang menjelaskan beberapa peristiwa dimana saya menunjukkan perilaku itu, dan bagaimana perasaannya. Itu benar-benar feedback berharga buat saya. Saya pribadi, seorang diri, sama sekali tidak bisa “melihat” perilaku itu dalam diri saya. Karena saya hanya punya 2 mata, yang saya arahkan pada orang lain, pada anak-anak. Oleh karena itu saya butuh bantuan mata anak-anak yang bisa melihat ke arah diri saya. Bayangkan kalau saya gak pernah nanya. Maka, saya akan terus mengulang perilaku “menyebalkan” itu tanpa saya sadar. Saya tak akan pernah jadi ibu yang lebih baik dalam hal tersebut.
Lalu, jawaban si bujang kecil bahwa “kalau ibu nanya pendapat dan perasaan aku” sebagai hal yang paling ia sukai dari saya, juga membuat saya ternganga. Saya tak menyangka bahwa hal “sederhana” itu ternyata sangat ia sukai dan berharga buatnya. Saya suka bilang pada ibu-ibu yang merasa mereka “tidak kompeten” atau “gak pede” mengasuh anak, tanya apa yang paling anak-anak mereka sukai dari ibu. Jawaban anak-anak kita, trust me, seringkali membuat kita merasa perasaan kita jauh lebih baik. Karena ternyata, untuk jadi ibu yang “kompeten” itu, tak harus seideal yang sering dikatakan para narasumber parenting. Ternyata buat anak-anak kita, banyak hal-hal baik yang sudah kita lakukan, yang membuat mereka senang dan berharga.
Yups, kadang-kadang kita suka lupa. Mencari ilmu pengasuhan ke sana kemari, Dan memperlakukan anak-anak kita sebagai “objek”. Padahal, children has their own wisdom. Ilmu pengasuhan, diperlukan sampai tataran prinsip . Komunitas pengasuhan, diperlukan untuk memberikan ide-ide operasionalisasi prinsip pengasuhan.Untuk bisa mengamalkan ilmu itu di rumah, pada anak-anak kita, Jangan lupa…. Posisikan mereka sebagai subjek. Tanya kebutuhan/pendapat mereka dengan tulus, Tumbuhkan kerendahan hati untuk mau mendengarkan, Mempercayai dan menghargai kebutuhan/pendapat mereka.
Karena saya sudah menjanjikan untuk memberikan “sesuatu” pada yang sharingnya paling istimewa, maka dari 4 sharing inspiratif, saya memilih satu yang menurut saya paling istimewa. Adalah sharing dari Ibu Lenny Kendhawati. Yang istimewa dari sharing beliau adalah, “anak” yang beliau tanya bukan berusia 3 tahun atau 13 tahun. Tapi 32 tahun ! yang juga sudah menjadi seorang ibu. Hal ini membuat saya kembali teringatkan bahwa peran menjadi ibu itu, hanya selesai pada saat salah satu dari kita- ibu atau anak-; menutup mata. Peran menyayangi, melindungi, menjaga, mendidik itu terus melekat dalam diri kita.
Berikut adalah jawaban dari puteri ibu Lenny : P_32_(+) kalau ibu bekelin makanan / P_32_(-) kalau ibu meragukan aku. Pas bacanya saya sampai berkaca-kaca… See? hal sederhana “bekelin” makanan, ternyata begitu berkesan. “Diragukan” adalah hal yang paling tidak disukai. Dengan cara ini; dengan ketulusan bertanya, dengan kerendahan hati mendengarkan, kita jadi punya kompas, jalan mana yang tak boleh kita ulangi. Bukankah jawaban-jawaban seperti ini adalah jawaban dari doa “ihdinassirootol mustaqiim” kita?
Meskipun tak banyak yang sharing di postingan #ParentingGames 02, saya berharap kegiatan ini benar-benar dilakukan, untuk beragam hal dalam pengasuhan. Jangan budayakan “saya menyimak”, tapi budayakan “saya amalkan”. Jujur saja, memang aktifitas ini bukan hal yang mudah. Karena kita sebagai “orang dewasa” selalu punya pilihan untuk mengabaikan pikiran dan perasaan anak-anak. Merasa tak perlu mendengarkannya, merasa tak perlu menggali lebih jauh apa maksudnya, merasa tak perlu merenungkan pikiran dan pendapat mereka. Hanya saja, kalau kita terus bersikap demikian, kita telah menutup mata dari kompas pengasuhan yang Allah sediakan sebagai jawaban dari permohonan kita. Atau, mungkin permohonan kita pada Allah hanya basa-basi saja.
Percayalah, “working together with our children” membuat penjelajahan dan perjalanan pengasuhan menjadi seru dan menarik.
Recent Comments