Minggu lalu, (untuk yang kesekian puluh kali-nya), saya menemani anak-anak nonton film TANGLED, yang diputar di channel TV yang kami langgan. Meskipun sudah puluhan kali menonton bersama, tetap saja kami menikmatinya. Setiap kali saya nonton film ini, saya selalu teringat tafsir ayat kedua dan ketiga surat Al Fatihah. “Alhamdulillahi robbil alamiin”. “Arrahmanirrohiim”. Kalimat pertama adalah kalimat hamdalah, yang otomatis sering kita ucapkan. Asa gak nyambung? haha… trust me, nyambung banget.
Buat yang gak pernah nonton film Tangled, film ini menceritakan tentang Rapunzel, seorang putri berambut ajaib. Rambutnya bisa bercahaya kala ia menyanyi, dan punya banyak khasiat. Khasiat rambut itu akan hilang kalau rambutnya dipotong. Itulah sebabnya Rapunzel punya rambut yang sangat panjang. Rapunzel tinggal bersama “ibunya” bernama Gothel, yang sebenarnya adalah penyihir yang menculiknya dari kerajaan. Rapunzel diculik karena rambut ajaib Rapunzel berkhasiat membuatnya tetap awet muda. Setiap Rapunzel menyanyi, rambut emasnya akan bersinar, dan Gothel yang sebenarnya sudah berusia ratusan tahun akan tetap muda dan cantik. Dalam film tersebut, Gothel digambarkan sebagai seorang ibu yang cukup penyayang. Ia memelihara Rapunzel, mengupayakan permintaan Rapunzel, melindunginya untuk tidak keluar rumah dan bertemu orang lain, namun semua itu dilakukan dengan satu motif : agar ia tetap bisa mendapatkan manfaat dari rambut Rapunzel.
Nah, apa hubungannya dengan hamdalah ? Saya akan cerita dulu sekilas mengenai tafsir hamdalah versi tafsir Al Misbah karya Prof. Quraish Shihab dan tafsir Al Azhar karya Prof. Hamka. Arti “Alhamdulillahirobbil aalamin” adalah “Segala puji bagi Allah pemelihara seluruh alam’. Lebih spesifik, makna Rabb adalah “pemelihara, penjaga, pendidik, pengasuh”. Pemelihara, penjaga, pendidik dan pengasuh yang bagaimana? Penjelasannya ada di ayat selanjutnya. “Arrahmanirrohiim”. Pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan pengasuhan tak akan dapat terlaksana dengan baik dan sempurna jika tak diserta oleh rahmat dan kasish sayang. Jadi, Allah “memelihara, menjaga, mendidik dan mengasuh” seluruh alam termasuk manusia, bukan untuk kepentingannya atau sesuatu pamrih. Waktu baca rangkaian kalimat di atas, jujur saya masih belum mengerti. Saya baru mengerti ketika kedua mufassir kebanggaan Nusantara ini memaparkan contohnya. Kalau ada seorang CEO perusahaan menyekolahkan karyawannya, apakah ia meneladani sifat “Rabb”? Tidak. Karena ia menyekolahkan karyawannya untuk pamrih. Agar karyawan tersebut setelah sekolah punya kompetensi dan skill yang bisa memajukan perusahaannya. Benefitnya tidak murni untuk si karyawan, tapi untuk dirinya. Contoh lain : Seorang peternak sapi. Ia menyayangi sapinya, memberi makanan terbaik, mengusahakan kesehatan terbaik. Untuk apa ia lakukan ini ? agar sapinya montok, dan kalau dijual mahal. Jadi si peternak tidak meneladani sifat “Rabb”, karena “kasih sayang, pemeliharaan, penjagaan” yang ia lakukan terhadap si sapi adalah untuk kepentingannya. Keren banget ya makna Al Qur’an itu….. Ayat-ayat ini, yang sudah turun sekian abad lalu, sangat sempurna menggambarkan apa yang kemudian oleh Psikologi disebut sebagai “unconditional love”, cinta tak bersyarat.
Nah… dengan paparan di atas, jelas bahwa Gothel, si ibu Rapunzel, sama sekali tidak mengasuh, mendidik, menjaga Rapunzel dengan semangat rahman dan rahiim; tapi untuk penetingannya semata. Ia tak meneladani sifat Rabb. Apa buktinya? buktinya ia marah dan menjadi “jahat” ketika Rapunzel ingin pergi dan mencari kebahagiannya sendiri.
……………………………..
Tiga tahun lagi saya akan masuk fase “melepaskan” anak, si sulung. Meskipun sudah “latihan” dengan melepaskannya ke Boarding School, namun masuk Perguruan Tinggi adalah sebuah milestone perkembangan hidup yang signifikan, karena anak mulai memilih hal-hal penting dan signifikan dalam hidupnya. Pilihan penting yang akan menunjukkan dan menjadi jalan baginya “menjadi diri sendiri”, yang mungkin bisa berbeda dengan pilihan saya. Saya harus “melepaskan” dia memilih jurusan dan bidang aktualisasi diri yang paling dia mau, dan mungkin beberapa tahun kemudian, saya harus “melepaskannya” memilih pasangan hidup, melepaskannya memilih pola asuh untuk anaknya, dll dll.
Situasi ini membuat saya banyak merenung mengenai hakikat relasi kami. Saya banyak menelisik pikiran dan perasaan saya dalam pengasuhan. Saya ingat, beberapa puluh tahun lalu, senior-senior saya di Fakultas Psikologi UNPAD tergabung dalam sebuah penelitian internasional di sekian puluh negara, mengenai topik value of children. Apa makna anak bagi para responden dari puluhan negara tersebut. Salah satu hasil dari Indonesia adalah, orangtua menilai anak sebagai “investasi”. Kita juga serung denger ya, narasumber yang bilang bahwa anak itu investasi dunia akhirat. Yups, banyak diantara orangtua Indonesia merasa bahwa punya anak itu, jaminan agar “nanti kalau udah tua ada yang ngurus”.
Saya menelisik ke lubuk hati saya, apakah saya juga memaknakan demikian? memberikan yang terbaik untuk anak-anak saya sekarang ini ketika mereka “belum berdaya” , agar nanti saya bisa “menagih” pada saat saya sudah tidak berdaya? Jika ya, apakah itu benar? atau salah? Rasanya sih benar… tapi kalau merenungi makna Rabb dari tafsir tadi, rasanya kok salah ya? Apa bedanya saya dengan Gothel? memelihara agar bisa memetik untung untuk diri. Bukannya kita harus meneladani asmaul husna?
Saya banyak mengamati para sepuh yang sudah punya anak-anak dewasa. Dan saya melihat… para orangtua yang tulus, mendidik, memelihara anaknya, legowo dengan pilihan anak yang berbeda selama masih dalam koridor kebenaran dan kebaikan… itu mereka mendapatkan balasannya. Apa balasannya? cinta yang tulus juga dari anak-anaknya. Mereka orangtua yang tidak pernah secara verbal mendoktrin anak-anaknya : “sebagai anak kamu harusnya ini itu, kamu berkewajiban ini itu sama orangtua”; justru mereka mendapatkannya. Karena kerelaan anak mencintai orangtua itu tumbuh dari ketulusan orangtua mencintai anak-anaknya, tanpa pamrih.
Sebaliknya, orangtua yang mendoktrin anaknya secara verbal: “sebagai anak kamu harusnya ini itu, kamu berkewajiban ini itu sama orangtua, ridho orangtua itu segalanya loh”; anak-anaknya tidak tulus melakukannya. Terpaksa. “Saya mendoakan ibu saya sih, tapi jujur doanya teh kayak kewajiban aja gitu, gak pake perasaan”. Begitu kata salah seorang anak yang “didoktrin” harus sayang sama orangtua.
Sebagai seorang ibu, meneladani sifat Rabb yang Rahman dan Rahiim, adalah sebuah perjalanan panjang. Mengatakan : “ibu udah cape-cape masak, malah kamu gak makan. kamu gak menghargai ibu” itu wajar, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih. ” Percuma ibu berkorban anterin kamu les kumon tiap hari, ternyata nilai matematika kamu tetep jelek, malu-maluin ibu aja” itu ungkapan fakta, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih. “Ibu dulu mengorbankan waktu kerja nemenin kamu sakit, masa sekarang kamu gak bisa cuti untuk nemenin ibu?” itu logis, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih.
Semoga kita terus dituntun oleh cahaya Illahi untuk meluruskan niat kita dalam mengasuh anak; belajar untuk terus meneladani sifat-sifat sang Maha Kuasa, karena dalam tubuh kita, ada jejak Asmaul Husna-Nya. Rahim.
Recent Comments