Untuk apa test Psikologi? Ujian cinta buat ibu

Usianya 8,5 tahun kala itu. Kelas 2 SD. Kreatif; pemikiran-pemikirannya selalu out of the box. Spontanitas dan tingkah polahnya selalu menghangatkan suasana dalam keluarga. Resilient, Ia selalu bisa memandang situasi sulit dari sudut pandang lain, sudut pandang yang unik. Mudah berteman. Kalau di tempat bermain, tiba-tiba dia sedang asyik ngobrol sama teman yang baru ia kenal. Exploratif, sangat suka mencoba hal baru. Saya bangga padanya. Tapi semua kelebihan itu, terhapus tanpa jejak tiap pagi hari dan tiap belajar matematika. Rasa bangga itu berganti dengan kekesalan.

Pelupa. Ia selalu lupa langkah-langkah pengerjaan matematika. Bagi kurung, pecahan senilai, mengalikan dua angka puluhan bersusun ke bawah …. Bukankah itu hal sederhana? prosedural. Yang paling mengesalkan adalah, tiap pagi berangkat sekolah, dia bisa 4 kali bolak-balik lantai atas-lantai bawah untuk mengambil barang-barang yang tertinggal di kamarnya. Tas mukena, botol air minum, bahkan mensletingkan roknya, ia hampir selalu lupa.

Tiap pagi, meskipun saya melepasnya dengan ciuman di kening, tapi perasaan saya adalah, kesal. Bukan hanya kesal karena “masa gitu aja lupa sih?” … tapi seperti seluruh ibu di dunia ini, saya ingin memastikan ia terlindungi. Dan saya merasa “tegang”, sangat takut kalau saya lupa mengingatkan dia untuk mensletingkan roknya, ke sekolah dengan bagian belakang roknya menganga, dia akan diejek sama temen-temannya.  Jadi, kalau dianalisa, rasa kesal dan marah saya terkait sleting rok ini adalah reaksi emosi primer : kesal karena dia lupa; sekaligus reaksi emosi sekunder (saya khawatir dia diejek temannya ketika lupa, dan reaksi saya untuk menunjukkan kekahwatira itu adalah dengan marah). Ah, kehidupan emosi emak-emang memang complicated ya 😉

Begitu terus berlanjut sampai saya merasa : hubungan saya dengannya sudah tak sehat. Saya tidak suka rasa cinta saya padanya, tertutup oleh kekesalan dan kemarahan di titik-titik aktivitas keseharian. Saya juga benci diri saya yang begitu mudahnya “melupakan” semua kelebihan anak ini, tertutup oleh satu hal kekurangannya. Maka, saya merasa harus mengubah pola sikap saya. Dan langkah pertamanya, adalah memahami apa yang terjadi padanya.

Pemeriksaan psikologi. Itulah yang saya lakukan. Saya minta mahasiswa saya melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apa yang terjadi dalam diri anak saya, sehingga perilaku “pelupa” itu tampil. Dalam psikologi, ada hukum BEHAVIOR IS MORE THAN YOU SEE. Ada seribu satu alasan yang berbeda untuk satu perilaku yang sama. Anak pelupa, bisa jadi karena kapasitas kecerdasannya rendah, bisa jadi karena cemas, bisa jadi karena gak peduli, dll dll. Saya harus tahu, apa yang terjadi dalam diri anak saya, yang mendasari munculnya perilaku itu.

Hasil pemeriksaan psikologi pun diberikan mahasiswa saya pada saya. Terkait dengan kesulitan di matematika, saya cek kapasitas kecerdasan dan kemampuan berpikir matematisnya. Hasilnya, IQ-nya 130. Very superior. Sangat cerdas. Lalu kenapa dia kesulitan matematika? kenapa dia pelupa? jawabannya adalah : ada satu aspek berpikirnya, yang membuat dia memang kesulitan untuk mengingat sekuens. Sekuens itu adalah langkah-langkah berurutan. 

Hasil pemeriksaan psikologi itu, membuat saya mengetahui “keunikan” anak saya; kekurangannya.  Itu adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya, keputusannya ada di tangan saya. Apakah saya :

a. mau menerima kelemahan itu  sebagai bagian dari diri anak saya?

atau

b. tetap merasa bahwa anak saya, di usianya saat ini harusnya sudah bisa mengelola diri?

Saya harus menimbang-nimbang. Jika saya memilih option b;  tetap tak mau merubah diri, saya tetap menuntut anak, maka situasi tidak nyaman dalam relasi saya dengannya, akan terus terjadi. Sikap saya padanya akan didominasi oleh kekesalan dan kemarahan. Kebanggaan saya, rasa cinta saya, kelebihan-kelebihannya, akan menjadi invisible. Mengecil, tak terlihat, tertutup. Dia akan merasa tak punya kelebihan, karena input yang ia terima adalah label : “kamu pelupa”. Label itu akan menjadi identitasnya. Identitas yang tertanam dari luar, yang kemudian terinternalisasi menjadi citra dirinya. Dramatis ya? sedihnya, pola itulah yang secara real banyak terjadi.

Saya juga akan terus marah saat mengajari dia matematika, sehingga bisa jadi dia “takut” dengan matematika. Tak bisa dibedakan lagi materi matematika mana yang dia kuasai dan materi matematika mana yang ia kesulitan.

Kalau saya menuntutnya untuk berubah? jelas hasil pemeriksaan psikologi menunjukkan dia punya “lack” disitu. Saya berpikir… kalau saya menuntut dia yang berubah, bukan saya yang berubah, maka secara filosofis, mental saya sama dengan mental anak. Casing saya ibu yang umurnya 38 tahun, tapi mental saya mental egois karena menganggap anak yang umurnya beda 30 sama saya, “harus mengalah”. Dan jika saya memilih option b, saya jelas-jelas membiarkan anak saya berjuang sendirian mengatasi kelemahannya. Saya bukan bantuan bagi anak. Saya adalah ancaman buatnya. Saya bukan bagian dari sumber daya yang ia miliki, tapi saya adalah sumber stress buatnya.

Oke, baiklah. Saya memilih option a. Saya akan menerima kelemahan anak saya sebagai bagian dari dirinya. Saya akan berjuang untuk mencintainya tanpa syarat. So, what next? selalu memaklumi kah? selalu mengingatkannya tiap pagi untuk mensletingkan roknya? selalu menyimpankan handout materi pelajarannya yang tercecer? Lalu apa kabar dengan “kemandirian” yang kita idam-idamkan dimiliki oleh anak kita?

Lalu saya pun membuka-buka buku plus banyak merenung. Saya harus selesaikan “pergulatan rasa” dalam diri saya sebelum bersikap padanya. Saya merasa jauh lebih mudah menganalogikan situasi yang kini sedang terjadi, dengan pengalaman konkrit. Saya bayangkan anak saya sedang belajar berjalan. Usianya 18 bulan. Sudah mulai tanda “kuning” kalau di usia itu, belum bisa ajeg berdiri dan belajar melangkah sendiri. Ketika anak saya belum bisa melangkah sendiri padahal harusnya sudah bisa, apakah saya tega membiarkannya melangkah tanpa bantuan? apakah saya bilang pada si bayi 18 bulan itu : “kamu harusnya udah bisa jalan. ayo dong berusaha!kamu pemalas”. Tidak. Saat menghadapi situasi itu, seperti juga ibu-ibu lainnya di dunia ini, saya akan memutar otak sekuat tenaga bagaimana memberikan bantuan pada anak ini. Misal saya akan ngasih kursi, yang bisa dia dorong-dorong. Jadi meskipun tidak kita pegang, dia bisa belajar berjalan. Lalu kita kasih tepukan. Kita tak membiarkannya berdiri sendirian, tanpa bantuan, meskipun seharusnya dia sudah bisa. Kita tetap mencintainya, dan membantunya, lalu memberikan pujian meskipun dia berada di bawah “standar” harapan kita. 

Lalu, kalau kita bisa begitu sama anak waktu dia masih bayi,  kenapa sekarang jadi gak bisa? dia, adalah bayi itu. Anak yang sama. Dengan perasaan “tidak berdaya” yang sama karena kelemahannya. Dia butuh bantuan. Kalau dulu dia bisa jalan dengan proses bantuan kursi, maka bantuan apa yang bisa saya kasih sekarang?

Lalu saya ingat saat saya membantu ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus

“Pada anak-anak yang memiliki ganguan konsentrasi (ADD), saat mereka membaca, ajarkan mereka untuk menunjuk apa yang dibaca dengan jari. Itu membuat mereka bisa memfokuskan perhatiannya”.  itu kata saya.

“Pada anak-anak yang mengalami autisme non verbal, aturan-aturan keselamatan dibuat dalam bentuk foto dan tanda-tanda sederhana, misal gerbang sekolah, diberi tanda “X”; artinya tidak boleh keluar gerbang sekolah”. itu tips yang saya sampaikan

Pada anak-anak yang belum bisa membedakan sepatu kiri dan kanan, saya kasih tips pada orangtua untuk membuat stiker smile yang digunting dibagi dua, tempelkan masing-masing di sepatu, bilang ke anak “kalau pake sepatu, sepatunya harus ketemu jadi senyum ya”.

Pada anak yang sering ilang tempat minum di sekolah, saya minta anak buat gantungan kunci berisi gambar tempat minumnya, yang cukup besar sehingga tiap dia mau pulang sekolah, dia ingat untuk mengecek tempat minumnya.

Saya ingat juga waktu si bujang usia 4 tahun, saya “membantu dia” untuk tidak tantrum karena pengen mainan, dengan menghindari melewati lorong mainan. Sampai usia 6 tahun, saya ingat betul dia suatu saat gak mau turun dari mobil. Dia bilang : “aku disini aja. kalau ikut aku suka tergoda beli mainan, nanti aku tantrum”.

Saya juga ingat 5 tahun lalu, si bujang selalu kehilangan handout atau lembar tugasnya, saya bantu dengan sederhana : Saya sediakan box, dengan satu perintah : tumpuk apapun yang diterima dari sekolah di box itu. Gak rapi? gapapa. Sehingga apapun, bisa dicari di box itu. And its works.

hanadiaList gambar sederhana yang ia buat sendiri, ia tempel di dinding kamarnya, ia cek sebelum ia turun ke bawah untuk sarapan, menyelesaikan semua masalah anak saya, dan relasinya dengan saya. Saya buang label “pelupa” yang suka dia sematkan pada dirinya sendiri. “Teteh bukan pelupa. Teteh suka lupa kalau gak diingetin. Artinya, kalau ada yang ngingetin, teteh gak lupa. Masalahnya, ibu gak selalu ada untuk ngingetin teteh. Jadi teteh ibu bantu buat punya cara untuk mengingatkan diri sendiri”. 

Saya tak lagi marah karena dia bolak-balik, tak lagi tegang karena harus ingetin  untuk sletingin roknya.

Cara sederhana ini, bisa membuat anak merasa tidak berjuang sendirian. Ia akan merasa dipahami, diterima, dicintai. Penerimaan orangtua, adalah benih bagi anak untuk menerima dirinya. Cinta orangtua, adalah benih untuk dia mencintai dirinya.

Bantuan sederhana ini, juga membuat ia  merasa  “aku bisa”. Kita mengajarkan padanya bahwa tak ada orang yang sempurna, kita semua punya kelemahan. Tapi kelemahan itu bukan penyakit.  Tak ada obat yang bisa menyembuhkannya secara instan, namun kita bisa mengelolanya. Kita juga mengajarkan bahwa setiap masalah ada solusinya. Punya prinsip itu, membuat anak jadi merasa “berdaya”. Kalaurasa “berdaya” dan “menerima kekurangan diri”  sudah dirasakan, maka semua potensi dari dirinya akan bersinar.

Buat kita sebagai ibu, bantuan sederhana ini pun membuat kita bisa memeluknya dengan erat, dengan tulus, karena saldo cinta kita padanya, lebih besar dari saldo kekesalan, kemarahan, dan kekecewaan kita. Lalu kita pun bisa menertawakan kejadian-kejadian yang melibatkan kelemahan anak, bersama-sama. Mentertawakan saat dia lupa membawa tas ke sekolah (ini bener kejadian loh … haha…) dan bisa geleng-geleng kepala tanpa marah saat “insiden2 kecil” terjadi.

Happy ending ini terjadi tentu bukan tanpa proses. Dan dalam prosesnya, kadang kita bisa toleransi, kadang masih meledak, tergantung suasana hati kita dan apakah kita lagi PMS atau engga haha. But its oke. Itu lebih baik dibandingkan kita terus-terusan marah dan kesal. Menjadi ibu ideal, memang harapan kita. Tapi kalau tak bisa, lakukan saja semaksimal yang kita bisa. Karena terfokus untuk jadi ideal, seringkali membuat kita malah jadi tak berbuat apa-apa dan membuat kondisi buruk semakin buruk.

Teman-teman, pasti sedikit banyak mengalami yang saya alami. Mungkin dalam bentuk yang berbeda, dengan kadar yang berbeda. Pengalaman saya dengan teman-teman yang memiliki masalah dengan isu “merasa tidak disayangi, tidak diterima apa adanya, tidak dibanggakan” oleh ibu, rasa itu tak pernah hilang. Itu bagai lubang, yang sulit untuk bisa ditutup dengan pencapaian prestasi pribadi apapun, dengan hadirnya sosok siapapun. Luka batin itu akan menganga, karena Yang Maha Kuasa memang menitipkan cintaNya pada makhluk, lewat sosok ibu. Karena dalam dirinya ada namaNya. Rahiim.

Karena begitu bermakna dan berharga cinta ibu, maka buat kita sebagai ibu, ujian untuk menumbuhkan cinta, menjaga cinta dan menguatkan cinta kita pada anak, bukan hal mudah. Melalui pergulatan rasa, yang tak hanya melibatkan diri kita saat ini, tapi juga kenangan masa lalu dan keresahan akan masa depan. Tapi ingat ! Kita punya rahiim! kita punya sifat Allah dalam diri kita. Kita bisa !Kita bisa menumbuhkan cinta itu. Kita bisa menjaga cinta itu, kita bisa menguatkan cinta itu. Cinta tanpa syarat. Sebanyak apapun kesalahan anak kita, kita punya potensi untuk tetap memeluknya.  Separah apapun kelemahannya, kita punya potensi untuk tetap berada di sampingnya. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mencintai anak kita sebesar itu? siapa yang akan memaklumi anak sesabar itu?

Ujian mencintai tanpa syarat ini, memang berat. Dan tak akan berhenti di usia anak berarapun. Hanya akan beda bentuk saja. Tapi kalau kita terus belajar dan berjuang, doa “robbighfirlii wali-wali dayya warhamhumaa kamaa robbayani soghiro” akan terucap dengan tulus dari anak-anak kita buat kita, semoga.