Mereka adalah salah satu pasangan favorit saya. Dua-duanya akademisi; suaminya profesor istrinya doktor. Suaminya berusia 71 tahun, istrinya 69 tahun. Mereka sudah pensiun. Saya senang mengamati relasi pasangan yang sudah sekian lama bersama. Pasangan ini sudah 40 tahun bersama ! Dan ketika bulan lalu saya menginap di rumah mereka di jantung kota Amsterdam, saya dapat “rejeki” mengamati relasi keseharian mereka di rumahnya. Biasanya, saya melihat relasi mereka saat mereka berkunjung ke Indonesia, dalam situasi formal-akademik. Di rumahnya, tentu relasi mereka lebih natural.
Salah satu momen yang saya nikmati adalah saat mereka sedang “bargaining” mengenai aktifitas mereka. Pak Prof yang sangat senang menonton film dokumenter mengajak istrinya menonton, sedangkan istrinya tampaknya kurang terlalu suka, dan punya rencana lain. Mereka membicarakan waktu yang pas, sehingga si istri tetap bisa ikutan nonton, dan aktifitas si istri juga bisa terlaksana. Karena ada beberapa variabel yang belum pasti, akhirnya si suami berkata : “Ya udah, saya tetep akan beli 2 tiket. Nanti kalau pada saatnya kamu bisa, yuks nonton bareng. Kalau engga bisa, nanti saya akan ajak temen saya”. Selesai “berdiskusi”, mereka menyadari saya ada di sana, lalu menjelaskan : “ya, beginilah tipikal kami bargaining” kata mereka.
Lalu si istri menambahkan : “Waktu ia menyatakan keinginannya menikah, saya tanya apa arti menikah buat dia. Lalu dia jawab, menikah adalah dedikasi buat saya”, Si suami kemudian menjelaskan : “Ya, dedikasi artinya saya siap melakukan apa yang tidak saya sukai, tapi disukai sama istri saya” . “Begitu pula saya”, tambah istrinya.
Salah satu hal yang essential but beautiful dalam pernikahan adalah, ketika 2 orang yang berbeda bersatu. Bersatu secara fisik-ketubuhan, bersatu secara psikologis, melangkah bersama. Iyesh, itu tidak mudah. Tapi prosesnya selalu indah. Indah, dengan catatan ada kesadaran dari dua orang itu, untuk “bergeser ke tengah”. Salah satu aja keukeuh sureukeuh selalu bertahan di titiknya, maka mungkin secara kasat mata-fisik mereka tetap bersama, namun secara psikologis, menabung bom waktu. Kenapa ? karena kemauan untuk “bergeser” adalah tanda bahwa “pasangan saya cukup berharga” untuk didengarkan, untuk dipertimbangkan. Dan perasaan DIHARGAI, adalah kunci kebahagiaan dalam semua relasi. Itulah sebabnya dalam psikologi, menikah adalah tugas perkembangan di usia dewasa. Setelah individu mengenal dirinya, matang dalam membuat pertimbangan, empati dalam problem solving. Setiap kali membantu pasangan dalam sesi couple therapy, esensi proses yang saya lakukan adalah; membuat pasangan saling mendengarkan dan bergeser ke tengah. Itu kalau mereka merasa pernikahan mereka masih layak untuk diperjuangkan.
Seorang artis laki-laki Indonesia berumur 38 tahun, sudah sekian lama single. Padahal ia adalah super idola para wanita. Katanya ia belum menemukan “tipe”nya. Ketika diwawancara tipe perempuan seperti apa yang ia inginkan untuk menjadi istrinya, dia menjawab kurang lebih : “Yang enak diajak ngobrol, soalnya pengennya kan langgeng. Kalau udah tua kan secantik apapun pasti pudar, aktifitas kita kalau udah tua ya paling ngobrol. Kebayang kalau istri saya nanti gak enak diajak ngobrol”. Meskipun jawabannya sederhana, tapi menurut saya itu adalah perspektif yang benar.
Tahun ini, usia pernikahan saya 19 tahun. Perjalanan bersama yang semakin kesini semakin saya hargai dan syukuri. Karena saya menyaksikan perjalanan banyak pasangan; tak mudah untuk sampai di titik ini baik secara waktu, apalagi secara kualitas. Maka, oleh-oleh paling berharga setiap kali saya pulang dari perjalanan kemanapun adalah; amunisi untuk terus mengikatkan hati dan meningkatkan kualitas koneksi dengan si abah. Secara teoretis, terasa banget fase demi fase yang digambarkan dalam teori pernikahan: fase berdua, fase punya anak bayi, fase punya anak di usia sekolah, dan kini fase anak usia remaja. Tahun ini, si sulung 17 tahun, si bujang 14 tahun, si gadis kecil 11 tahun, si bungsu 8 tahun. Saya 41 tahun, si abah 44 tahun.
Saya merasa, betul yang dikatakan teori itu. Bahwa buat pasangan yang punya anak usia remaja, pernikahan memasuki tahap baru. Tahap baru karena tak hanya anak-anak yang berubah tahap perkembangan, kami pun mengalami perubahan tahap perkembangan dari dewasa muda ke dewasa madya (dan ini kerasa banget dalam diri saya : perubahan baik dalam hal fisik maupun psikologis). “PR-PR” terkait anak-anak sudah berkurang. Topik obrolan yang biasanya didominasi masalah teknis tentang anak-anak, menjadi berkurang. Banyak waktu kami habiskan berdua, dengan ngobrol. Ngobrol tentang apa? di sinilah titik kritisnya. Di sinilah saat yang tepat untuk mengamalkan jurus “dedikasi” yang diungkap pak profesor.
Mengobrol adalah pengejawantahan hakiki dari kerendahan hati, ketulusan sekaligus kesungguhan untuk menghargai pasangan & menguatkan koneksi. Gak semua ungkapan panjang lebar pasangan kita mengerti, kita sukai atau kita setujui. Sejujurnya, banyak topik ynag diceritakan suami saya, yang saya gak ngerti, gak suka & gak setuju. Misalnya tentang sistem perITan, sistem ekonomi negara, politik, dll dll. Sebelum bulan Juli lalu, saya gak aware tentang hal ini. Presentasi seorang peneliti di Melbourne Juli lalu-lah yang membuat saya “sadar”. Kalau kita bisa memberikan respons dengan frekuensi emosi yang sama dengan pasangan kita, irama jantung kita dan pasangan akan selaras. Itulah koneksi secara ketubuhan. Apalagi kalau kontennya kebahagiaan. Happy hearts beat as one. Indah kan?
Maka, setiap kali suami saya cerita hal-hal yang kurang saya sukai topiknya; saya selalu berpikir, mungkin suami saya juga gak menikmati cerita-cerita saya tentang beragam emosi, relasi, segala masalah psikologis manusia… Buat dunia teknik & maskulinnya, mungkin “lebay banget sih manusia teh”. Sepulang dari Melbourne, kita berjanji untuk “berjuang” saling mendengarkan ! Tidak mengabaikan pasangan dengan dengerin sambil pegang hape, tidak memotong pembicaraan. Saya berusaha mendengarkan, memahami, mencerna dan menangkap emosi yang menyertai ceritanya : marah? kesal? sedih? kecewa? senang? berharap? lalu berusaha memberikan respons yang selaras dengan emosi itu. Perjuangan yang tak mudah tapi ketika berhasil, indah banget. Saya merasa dihargai & dicintai; dan saya semakin mencintainya. Kami jadi saling mencintai.
Salah satu yang suka saya bikin sedih adalah pasangan yang “religius”, namun koneksi dengan pasangannya “hampa”. Mempunyai cita-cita bersama dengan pasangannya di syurga, tapi tak merasakan nikmatnya syurga dunia dalam relasi mereka. Koneksi psikologisnya rapuh. “Sakinah mawaddah warohmah” hanya tertulis di kartu undangan pernikahan; namun tak dipahami, dihayati apalagi diperjuangkan dalam operasionalisasi kehidupan sehari-hari.
Hayu ah, dinamika pernikahan itu tidak konstan. Di titik manapun pernikahan kita saat ini, tak ada kata terlambat untuk mengevaluasi, dan untuk membuat “akad baru”. Akad untuk lebih rendah hati bergeser ke tengah; sebagai operasionalisasi saling menghargai dan saling mencintai.
Recent Comments