Kisah seorang Ibu

Tak ada yang sederhana

Tentang kisah menjadi seorang ibu

Terutama tentang berjuta rasa yang menderanya,

Tentang anak-anaknya

 

Tak pernah ada kisah sederhana bagi seorang ibu,

Kala terkait dengan anak-anaknya

Meski sang ari telah terputus setelah 9 bulan menyatu,

Namun takkan ada yang mampu memutuskan ikatan rasa selamanya

 

Seluruh bahagia, seluruh rasa suka, seluruh resah, seluruh gundah, seluruh luka

Yang dirasa anak, dirasa pula oleh ibu

Bedanya, sang ibu merasakan 2 kali lipatnya.

Atau lebih

 

Lima tahun, lima belas tahun, dua puluh lima tahun, … lima puluh lima tahun usia anak,

Walau berbeda kisah,

Namun berjuta rasa yang dialami seorang ibu tentang anak-anaknya,

Tak akan pernah berubah.

 

Seluruh kisah tentang seorang anak, adalah bagian kisah ibunya.

ibuuuuuuuuuuu

Sang Rahim

Terbanglah anakku,
terbanglah setinggi yang kau mau,
terbanglah setinggi yang kau bisa

More

I hate you but i love you ; catatan tentang ekspresi cinta

Tulisan ini adalah lanjutan tulisan https://fitriariyanti.com/2017/12/28/my-amazing-mother-days/.

wheelchairSejujurnya, ada beragam rasa ketika melihat foto-foto anak-anak bergembira-ria di sana. Pertama dapat foto yang dikirimkan si abah, tak terasa air mata mengalir. Sedih. “If I were there”. Jadi inget ketika akhirnya saya memutuskan “memerintahkan” anak-anak untuk pergi, kala berdua dengan Mas, terucap juga kata-kata menyalahkan Mas atas peristiwa yang terjadi : “Mas sih, aku kan udah bilang pelan-pelan aja jalanin motornya. Kasian anak-anak” ; sambil sesenggukan. Ya, sebagai introvert sejati, harus bedrest beberapa hari, harus ditinggal sendirian, no problem at all. Ada segambreng aktivitas yang bisa saya lakukan. Baca, nulis, ngerjain buku, ngerjain disertasi, ngerjain ini-itu. Tapi yang bikin gak tega adalah liat konflik di anak-anak.

Meskipun setelah ngomong gitu ke Mas sih langsung istighfar. Kalau Allah sudah mentakdirkan, bagaimanapun caranya, kejadian ini sudah pasti terjadi. Dan si awal kejadian, Mas udah berkali-kali minta maaf. Tapi da ini mah udah takdir.

Hari ini adalah hari ke-3 perjalanan anak-anak dan abahnya. Hari kedua perjalanan, si bungsu yang awalnya begitu ekspresif di setiap video call, menunjukkan perilaku aneh. Dia gak mau video call-an dengan saya. Dia selalu berusaha menghindar kontak mata. Atau malah pergi.  Bahkan ketika kakak-kakaknya memaksa mendekatkan layar handphone ke wajahnya, dia menutup matanya. Kalau kakak-kakaknay begitu ekspresif: “ibu kangen…” atau “coba ibu ada di sini…”; si bungsu malah menghindar.

Perilakunya yang dengan sengaja menghindari kontak mata dengan saya, mengingatkan saya pada perilakunya 4 tahun lalu. waktu ia berumur 18 bulan, ketika saya tinggalkan ia 40 hari berhaji. Pulang ke rumah, waktu saya peluk ia dalam tidurnya, ketika terbangun, ia langsung menolak. Ia minta dipeluk kakaknya, si sulung yang waktu itu masih berumur 11 tahun. Dua hari ia menghindari saya, tidak mau saya sentuh. Mas sempat bingung, tapi saya bisa memahami perilakunya. Saya beri dia ruang, sambil memberi ruang juga buat saya (memberi ruang: Saya sesenggukan haha… ). Hari ketiga, dia mulai mau saya sentuh tapi masih menghindari kontak mata. Hari selanjutnya, ia rewel, marah, perlu seminggu untuk memulihkan perasaannya.

Kemarin, perilaku menghindar saat video call itu bertambah jadi perilaku marah. Ketika kakaknya memaksa mendekatkan layar handphone, ia tak hanya menhindar, tapi juga marah. Dan pagi tadi, ia tak hanya marah. Tapi mengancam akan mematikan layar handphone, ancaman yang benar-benar ia lakukan. Tentu tanpa melihat ke layar handphone.

Apakah ia marah pada saya? Ekspresinya marah. Tapi sesungguhnya, yang terjadi adalah, psikisnya sedang menjalankan apa yang disebut sebagai defense mechanism. Mekanisme pertahanan diri secara psikologis saat seseorang sedang merasa “tidak nyaman dan terancam sesuatu yang berat buatnya”. Defense mechanism yang ia tunjukkan namanya adalah “reaction formation”. Ia berperilaku sebaliknya dari apa yang ia rasakan. Semakin meningkat intensitas perilaku “reaction formation”nya, menunjukkan semakin besar kadar rasa tidak nyaman yang ia rasakan. Maka,  dibanding kakak-kakaknya yang begitu lugas mengekspresikan kangennya, saya tahu kadar kangennya si bungsu pada saya, jauh lebih besar. Sedemikian besarnya sampai ia butuh mekanisme pertahanan diri.

Duh, kalau udah gini teh meni rasanya pengen terbang, pengen peluk dia erat. Perasaan yang persis saya rasakan sebulan lalu, ketika suatu siang di Jatinangor saya mendapat telpon dari gurunya, bahwa si bungsu sedang di IGD, telinganya harus dijahit karena terjatuh di sekolah. Menunggu jemputan datang, rasanya pengen terbang sambil tak bisa menahan air mata.

Sebelum liburan kemarin, saat saya melaporkan progres penelitian disertasi pada promotor, kembali promotor meminta saya untuk apply program sandwich. 3 bulan di luar negeri untuk mengolah data, berdiskusi bersama profesor pemilik teori yang saya gunakan. Saat itu saya bilang bahwa saya sudah memutuskan untuk tidak apply, dengan alasan keluarga. Promotor saya meminta saya mendiskusikan ulang dengan keluarga, mempertimbangkan sang profesor sudah membuka peluang dan waktu studi masih panjang.

Saya sudah tahu jawaban yang akan saya sampaikan pada beliau. Saya sudah bulat. Ah, seperti de ja vu dua tahun lalu. Saat saya begitu galau antara mengejar impian menindaklanjuti tawaran LOA di luar, atau memilih mengajak mas bicara dari ke hati karena sikap “diam”nya terhadap semangat saya yang menggebu untuk mengejar impian di luar.

Saat itu, saya membaca buku Bukan Emak Biasa untuk melakukan revisi di cetakan kedua. Satu buku penuh, tamat dari awal hingga akhir. Setelah membaca buku itu, saya baru sadar, betapa saya sangat mencintai keluarga ini, betapa saya sangat mencintai anak-anak saya. Bersama mereka, tak sebanding dengan pencapaian apapun. Rasa yang persis saya rasakan saat ini.

My family, my chidren is not an excuse, they are my priority.

Can’t wait to hug you all…

 

 

My Amazing Mother Day(s)

Tgl 22 Desember lalu, dikenal sebagai mother day. Hari ibu. Di hari itu, banyaaaak sekali ungkapan cinta terhadap ibu. Berupa gambar, untaian kata-kata, rangkaian tulisan, lagu, bahan meme-meme; dari yang bikin terharu sampai yang lucu. Di hari itu, saya menguji mahasiswa magister bimbingan saya. Mahasiswa-mahasiswa yang saya temui di kampus, saat bertemu saya melemparkan senyum, menyapa, sebagian salaman dan cium tangan, sambil bilang: “selamat hari ibu, mbak” ;). Ibu ketua ujian, sebelum memulai dan mempersiapkan mahasiswa presentasi, juga mengucapkan “Selamat hari ibu” buat kami semua di ruangan ujian. Ya, di ruangan itu kami semua memang perempuan semua. Secara di psikologi, laki-laki adalah makhluk langka ;).

Sehari sebelumnya, tgl 21, saya mengambil raport si gadis kecil dan si bujang kecil. Di kelas 3, kelasnya si gadis kecil, selain raport saya menerima juga setangkai mawar putih dan kartu yang beberapa hari sebelumnya sudah dibuat si gadis kecil atas permintaan gurunya.

Di pagi harinya, waktu saya bangun, saya bilang ke si bungsu : “Dede, hari ini hari ibu loh”. Si bungsu yang terpapar dengan informasi mengenai hari ibu dari film-film yang ia tonton di TV kabel yang kami langgan, bilang: “Wah, de Azzam harus bikin sesuatu yang istimewa buat ibu. Apa ya? bikin kue? dede gak bisa. masakin sarapan? dede belum bisa”. “Doain ibu dong”; kata saya. “Itu mah gak istimewa, kan udah setiap abis sholat”. “Oh, dede tau …bikin kartu!” katanya. Semenit kemudian, si TK B itu menyerahkan sebuah kertas kecil berisi gambar bunga, love, matahari, bertuliskan “ibu”. Udah…gitu aja. Nothing special.

Sejak saya “bebas tugas” mengajar tahun lalu karena sekolah, kami merencanakan akhir tahun sebagai liburan besar, karena saya jadi leluasa gak terbatas oleh tanggal merah dan cuti bersama. Si abah, sejak beberapa minggu lalu tiap hari “lembur”, gak pulang-pulang dari Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaannay agar bisa leluasa liburan. Rencana pun sudah disusun matang.

Tgl. 24-25 kami ada family gathering bersama teman-teman alumni Karisma ITB. Gathering tahunan yang selalu kami nantikan untuk melepaskan rindu dengan sahabat-sahabat seperjuangan dulu.

Tgl. 25 pagi, 6 tiket pesawat menuju Kediri sudah kami pesan. Meskipun hanya ketemu setahun dua kali, tapi anak-anak saya dengan sepupu-sepupunya, cukup dekat. Terutama dengan sepupu yang di Kediri. Mereka sering video call-an melepas rindu. Semua ponakan akan pulang kampung dan semua keluarga Kediri akan ketemuan seperti lebaran.

Tgl. 28, kami akan bergabung dengan family gathering kantor mas, menjelajah destinasi wisata di Malang dan Bromo, kembali ke Bandung tgl 2.

What a colourful holiday … maka tak heran, kami dan anak-anak menunggu-nunggu moment tersebut.

Tgl 24 pagi, saya dan Mas memutuskan untuk ke pasar. Kami akan membeli jagung buat acara gathering alumni Karisma. Kalau berdua, kami pake motor. Nostalgia saat masih berdua haha…. Di perjalanan pulang, saat itu kami sambil ngobrol, tiba-tiba dari jauh, di depan kami, berlawanan arah, terlihat ada motor kencang. Saya minta mas lebih minggir, karena keliatan si motor itu berada di tengah. Tapi hanya beberapa detik kemudian, sebelum mas meminggirkan motor, si motor di hadapan kami sudah melesat, dan senggolan tak terelakkan. Terdengar suara agak keras, motor kami oleng, saya pikir cuman senggolan bodi motor aja. Tapi kemudian saya menyadari telapak kaki kanan saya mati rasa. Ya Allah…saya lihat, ada luka dan …. “something happened”.

Si motor yang bersenggolan tetap melaju kencang, mas memeriksa kaki saya, dan kami segera melaju pulang. Sampai di rumah, turun dari motor, si mati rasa tadi sudah berubah menjadi rasa nyeri yang perlahan menjalar. Mas langsung memanggil tukang urut langganan kami, yang terpercaya menangani beberapa kali keseleo keluarga kami. Benturan tadi sepertinya mengenai bagian jari kaki kanan saya, dari arah bawah. Luka berdarahnya dikit, namun “keseleo”nya tampaknya cukup parah. Saya tak malu menangis sambil dipeluk mas saat diurut.

Setelah selesai, mulailah kami membicarakan rencana kami nanti siang. Kayaknya gak bisa ikut deh. Padahal saya adalah salah seorang “ketua suku” yang mengurus family gathering ini ;). Maka, saya langsung menyiapkan beberapa hal, mengontak beberapa teman, “mendelegasikan” apa-apa yang seharusnya saya lakukan.

Lalu gimana besok pagi ke Kediri? Lihat besok aja. Moga-moga sudah membaik. Tapi menjelang siang, rasa sakit semakin terasa. Rasanya kaki saya hancur gitu, kayak diatasnya ada buldozer hiks…hiperbola ya? tapi bener…rasanya kayak gitu. Saya termasuk orang yang ambang sakitnya tinggi. Setiap melahirkan, baru kalau udah bukaan 9, nangis-nangis. Sebelum bukaan 9 biasanya masih tahan. Tapi rasa sakit ini, bikin air mata saya gak ketahan. Melihat itu, mas meminta anak-anak berkumpul. Membahas rencana besok. Saya sih meminta mas dan anak-anak tetep pergi. Gak tega liat anak-anak udah nunggu-nunggu, juga sayang uang tiket angus (emak-emak mode: on;). Anak-anak juga ikut nangis, bahkan si gadis kecil tersedu-sedu beberapa jam. Alasan anak-anak menangis beragam: si sulung dan si bujang kecil menangis kasian liat ibu, si bungsu nangis karena pengen mudik sama ibu, si gadis kecil nangis karena konflik; di satu sisi pengen banget mudik, di sisi lain gak mau ninggalin ibu.

Setelah nangisnya reda, si abah dan anak-anak membahas lagi beberapa opsi. Opsi gak jadi liburan, opsi pergi tanpa ibu, opsi hanya sebagian yang pergi, sebagian nemenin ibu. Dua anak besar bulat gak mau pergi, mau nemenin ibu. “Ibu kan gak bisa bergerak. Walaupun minta nenek nemenin, pasti ibu lebih enak sama kita”. Si gadis kecil masih bingung, nangis lagi. Si bungsu yang awalnya memutuskan pilih opsi tetep mudik sama abah “dibantai” kakak-kakaknya: “Kamu teh gak empati banget sih…kan kita satu keluarga. Keluarga itu harus bersama dalam suka dan duka. Kamu gak kasian liat ibu? Kita juga gak akan seneng-seneng disana, pasti inget ibu terus. Kalau de Azzam sakit kan ibu juga suka batalin acara ibu sepenting apapun…itu karena ibu sayang sama de Azzam… kita kan sayang sama ibu…mana tega ninggalin ibu. Apalagi buat liburan”. Haha…memang si bungsu, dengan keterbatasan penghayatan perasaan di usianya, tiap berpisah bawaannya paling “perkasa”. Nah, nanti pas menjelang tidur, biasanya muncul video call dia nangis-nangis mau dipeluk ibu ;). Pengen ketawa deh denger dinamika musyawarah mereka di ruang tengah, sementara saya nguping dari kamar.

Maka, saya pun merelakan tiket pesawat angus. Malam itu, saya terpaksa minum obat pereda sakit karena sampai malam, rasa nyeri kian bertambah. Alhamdulillah, besoknya nyeri sudah hilang, berganti bengkak. Saya benar-benar tak bisa bergerak. Syukurlah ada 5 perawat pribadi. Gantian membawakan minum, menyuapi, mendorong kursi beroda ke kamar mandi, dll.

Memperhatikan anak-anak berempat beraktivitas di rumah, ber video call dengan keponakan-keponakannya dan bilang : “kita gak jadi liburan..mau nemenin ibu”; akhirnya saya bilang ke mas bahwa saya “memerintahkan” mas dan anak-anak untuk liburan ke Malang ikut family gathering. Saya panggil lagi anak-anak.

Mereka masih keukeuh gak mau, mau nemenin ibu. Bahkan si bungsu pun sudah ter”brain wash”; dengan alasan khasnya: “kalau ibu gak ikut, nanti siapa yang peluk de Azzam kalau bobo? gak ada yang badannya se-anget ibu”. 

Sambil tak kuasa menahan tangis, saya bilang: “Ibu seneng banget anak-anak sayang sama ibu, pengen nemenin ibu. Ibu terima sayang kalian. Tapi ibu juga sayang sama anak-anak. Ibu pengen kalian bersenang-senang. Ga apa-apa ibu ada nenek yang nemenin di sini. Betul, keluarga itu harus bersama dalam suka dan duka. Tapi kondisi ibu gak apa-apa ditinggal sendiri. Ibu bisa beresin buku ibu, ibu bisa baca banyak. Ibu gak akan menderita”. Lama……akhirnya anak-anak tetap ingin saya ikut, solusinya adalah pakai kursi roda. Oke, carilah tempat sewa kursi roda. Kondisi kaki saya sudah lebih baik dari hari sebelumnya, meskipun masih bengkak dan belum bisa menjejak.

Keputusan finalnya, kami akan ke dokter dulu, minta pendapat dokter bagaimana. Pas mau pergi ke dokter sambil ambil kursi roda …huaaa hiks…. ternyata kaki ini belum bisa ditekuk … gak mungkin bermobilitas. Maka dari situ saya ketok palu. “Anak-anak, melihat kondisi ibu, ibu perintahkan kalian liburan sama abah, ibu istirahat di rumah, nanti kita ketemu seminggu lagi, ibu udah baikan, kalian udah besenang-sennag, kita jalan-jalan lagi”.

Dan kemarin pagi mereka berangkat. Saya cium mereka satu-satu. Sejam sekali mereka video call, tanya kondisi ibu; cerita aktivitas mereka di perjalanan panjang pake bis ke malang. Si gadis kecil asyik tiduran sambil menikmati buku “Amelia”nya, si sulung dan si bujang asyik ngobrol berdua, si bungsu di pangkuan abahnya, menunjukkan alat sulap yang dia beli di perjalanan…

Dan saya…berdua dengan mamah. Ya, meskipun satu hari setelah menikah kami langsung memisahkan diri dari mamah-papah; namun setiap ada situasi emergency: melahirkan, sakit, operasi, ke luar kota, dan tentu saja saat ini, mamah adalah bantuan yang selalu bisa diandalkan. Mamah dan papah ketika masih ada, adalah back up andalan kami, baik secara teknis maupun psikologis.

Seharian kemarin, berjam-jam kami mengobrol tentang beragam hal di sela-sela aktifitas mamah mengaji, membuat makanan untuk saya, mendorong kursi roda ke kamar mandi, olesin obat…

quote-our-family-is-a-circle-2Hari ibu tahun ini, adalah hari ibu super istimewa buat saya. Karena hidup saya begitu penuh cinta. Sebagai ibu, tak diragukan lagi besarnya cinta anak-anak saya kepada saya. Dan sebagai seorang anak, saya pun bisa merasakan besarnya cinta ibu saya pada saya.

Terima kasih ya Allah, telah memberikan rasa dan mengajarkan makna cinta melalui ibuku dan pengalamanku menjadi ibu.

 

 

Aku.Kamu.Kita : #Renungan 180 Purnama (Sneak Peek)

Beberapa tahun yang lalu, mas mengajak saya menghadiri undangan ulang tahun pernikahan ke-25 seorang seniornya. Ini adalah undangan ulang tahun pernikahan “orang lain” pertama yang saya hadiri. Acaranya meskipun sederhana namun meriah. Alur acara ditata apik dan dikomandoi oleh seorang MC profesional yang asik dan kocak, mengajak hadirin turut larut dalam kebahagiaan pasangan yang berulang tahun.

Dari rangkaian acara yang ada: tiup lilin, tausyiah dari ustadz, kuis-kuis dengan doorprize menarik, makanan yang enak-enak, ada satu mata acara yang sangat berkesan buat saya. Ialah ketika sang suami, menyampaikan rasa syukur atas perjalanan 25 tahun pernikahannya. Ia, didampingi oleh istri dan anak-anaknya, menceritakan kisah perjalanan 25 tahun pernikahannya, diiringi oleh tayangan foto-foto sesuai dengan ceritanya. Mata beliau dan istrinya sesekali basah, sesekali tertawa riang…dan saya pun ikut larut dalam emosi mereka. Beliau menceritakan bagaimana latar belakang keluarganya dan istrinya, bagaimana mereka bertemu, perjuangan mereka di awal menikah, kisah kelahiran anak-anak mereka, suka duka saat kuliah di luar negeri, pengorbanan istrinya, …. sampai kini beliau pribadi maupun keluarganya menjadi keluarga yang “sukses”.

Pulang dari acara itu, di mobil topik pembicaraan kami masih seputar acara itu. Kami mengandai-andai pernikahan kami sampai di usia 25 tahun. Seperti apa kira-kira “rupa” keluarga kami ya? Mas berarti sudah umur 51 tahun. Karirnya udah sampai mana ya? Mimpi-mimpinya, target-target pribadinya, sejauh mana yang sudah tercapai? Saya sudah berumur 48 tahun. Udah jadi apa ya? Udah berkarya apa saja? Si sulung 24 tahun. Udah nikah? Udah punya anak? Si bujang kecil umur 21 tahun. Sudahkah kuliah di Swiss seperti yang ia impikan? Si gadis kecil umur 18 tahun. Si ceriwis itu penampakannya kayak gimana ya? Si bungsu 15 tahun, udah kayak apa ya? Masihkan selalu riang seperti saat ini?

Pembicaraan lalu beranjak pada milestone-milestone penting yang diceritakan senior mas tadi. Lalu kami pun mengenang milestone-milestone penting pernikahan kami. Mata berkaca dan tawa menertawai kebodohan kami berdua, juga mewarnai obrolan kami. Obrolan diakhiri dengan perdebatan panjang bagaimana bentuk acara yang akan kami gelar pas ulangtahun pernikahan ke 25 nanti haha…. Perdebatan panjang seperti yang biasa terjadi di toko mebel, di toko gorden, di toko wallpaper, juga di toko bunga setiap kali kami akan membeli barang-barang  untuk menghiasi rumah kami kkkk.

Dan seperti biasanya, perdebatan panjang kami belum menemukan titik temu. Memang biasanya titik temu akan terjadi ketika perdebatan sudah masuk ronde ke lima haha…Akhirnya kalimat penutup kami “nanti lah, kita obrolin lagi, masih lama ini”. Tapi satu hal yang kami sepakati dalam perbincangan dan perdebatan panjang kami, bahwa pernikahan yang telah kami jalani, harus kami syukuri.

Tgl 15 Juni, kami tetapkan sebagai hari ulang tahun keluarga. Merencanakan apa yang akan kami lakukan di tanggal itu, sudah jadi semacam ritual. Mulai dari makan bareng, bikin-bikin sesuatu yang akan jadi “jejak” dalam keluarga kami, dan saya selalu sempatkan untuk menuliskan renungan tahun demi tahun pernikahan kami. Sungguh, saya benar-benar bersyukur memiliki pasangan yang menjadi pelengkap hidup saya. Sebagai teman, sahabat, imam, soulmate. Tapi saya kadang suka berpikir: ih, lebay gak ya? Baru aja nikah segitu tahun. Belom ada apa-apanya kaleee…

Suatu waktu, dalam perbincangan saya dengan dua senior saya yang usia pernikahannya sudah menjelang tahun ke-40, saya bertanya: apa yang membuat mereka bisa mempertahankan pernikahan se-lama ini. Dari perbincangan itu saya menyimpulkan bahwa proses adaptasi, proses mengenal pasangan, proses belajar menyelesaikan masalah,  terus terjadi tahun demi tahun pernikahan. Mengapa? Karena suami dan istri, adalah manusia yang mengalami perubahan. Maka, sesungguhnya, orang yang kita nikahi, bisa jadi menjadi berbeda dalam sebagian dirinya. Demikian juga diri kita.

Kalau kata salah satu senior saya, menikah itu kayak kuliah. Setiap semester pelajarannya berbeda, ujiannya juga beda. Kata-kata itulah yang membuat saya yakin bahwa pernikahan yang telah kami jalani, harus kami syukuri. Tahun demi tahunnya, bulan demi bulannya, minggu demi minggunya, hari demi harinya. Tak perlu menunggu tahun ke-25. Kami tak tahu pelajaran apa yang akan kami pelajari di tahun-tahun ke depan, sesulit apa ujiannya, dan apakah kami akan sanggup melewatinya. Tapi yang pasti, pelajaran di 15 tahun ini, hasil ujian yang kami lewati 15 tahun ini, adalah sebuah “prestasi” yang harus benar-benar kami syukuri.

Beberapa tahun terakhir ini, cukup banyak mahasiswa saya yang menikah. Beberapa dari mereka, mengantarkan undangannya secara personal, entah janjian di kampus atau di rumah. Dalam kesempatan tersebut, sebagian curcol mengenai hal-hal yang diresahkan, sebagian meminta “nasihat pernikahan” haha…jelas banget saya udah tua 😉. Tapi dari obrolan itu, membuat saya menyadari bahwa teryata banyak hal-hal yang saya pelajari dalam perjalanan pernikahan ini. Ya…hal-hal yang engga kepikir waktu saya dalam posisi seperti mahasiswa-mahasiwa saya, yang baru akan memasuki dunia pernikahan. Ternyata, pelajaran-pelajaran itu adalah hal yang berharga bagi yang belum menjalaninya.

Tahun-tahun terakhir ini pula, saya banyak bertemu dengan persoalan-persoalan yang terkait dengan pernikahan. Meskipun fokus utama dalam menjalani profesi saya adalah kesejahteraan anak, namun nyatanya kesejahteran anak dalam keluarga tak lepas dari kualitas pernikahan orangtuanya. Maka, membahas persoalan anak, biasanya lekat dengan bahasan mengenai kualitas pernikahan. Oleh karena itulah, akhirnya saya belajar mengenai couple therapy dan family therapy. Kerangka pikir yang saya dapat dari hasil belajar tersebut, dipadukan dengan hasil penelitian teman-teman saya yang area penelitiannya di bidang pernikahan serta pengamatan dan penghayatan saya terhadap kehidupan pernikahan, maka semakin jelas “peta potensi masalah dan kunci-kunci keberhasilan sebuah pernikahan”. Saya juga semakin menyadari bahwa hal-hal “kecil” yang terkadang luput dari perhatian dalam kehidupan pra dan pasca pernikahan, bila tak kita sadari, pada suatu saat akan menjadi bom waktu yang membuat pernikahan yang seharusnya menjadi syurga dunia, berbalik menjadi neraka dunia.

Untuk mensyukuri keberkahan yang kami rasakan selama 15 tahun kebersamaan kami, mas memprovokasi saya untuk menyusun sejumlah tulisan dengan tema-tema yang kami temui dalam perjalanan 15 tahun ini. Buku ini tidak bertutur banyak mengenai perjalanan pernikahan kami. Biarlah itu tersimpan di diary saya pribadi hehe… tapi topik-topik dalam buku ini, terinspirasi dari perjalanan pernikahan kami.

Tadinya, buku ini akan launching tepat hari ini. Seorang teman yang mengetahui rencana ini, berkomentar: “swit swiw…romantis amat launching buku pas wedding anniversary”. Iya, rencananya memang se-romantis itu. Tapi romantisme itu ternyata berbenturan dengan kenyataan. Jadwal finalisasi naskah bentrok sama deadline target disertasi. Mana yang harus lebih diprioritaskan? tentunya realitas. Sama persis situasinya sama kondisi pernikahan di usia 15 tahun ini hehe…

Insya allah, beberapa bulan yang akan datang buku ini akan launching, dalam bentuk ebook, free download. Buat yang suka dan pengen punya versi hardnya, insyaallah akan dicetak juga.

Cover cantik buku ini adalah buah karya teman saya yang coretan-coretannya, selalu membuat saya jatuh cinta. Laila Qodariah, Lai panggilan sayangnya. Karya-karya cantiknya bisa dilihat di instagram @gambaremak. Bentuk gambar, font sampai printil-printil adalah hasil vote dari si abah dan anak-anak.

Semoga tulisan-tulisan sederhana dalam buku ini bisa menemani perjuangan dalam sebuah marathon bernama pernikahan. Mohon doa juga semoga  pernikahan kami, keluarga kami, selalu dikarunia keberkahan di dunia dan keselamatan di akhirat nanti.

15 Juni 2017

Dia Ciptakan Seorang Kekasih: Tak Sekedar Puisi

Beberapa minggu terakhir ini, entah mengapa saya teringat sebuah puisi. Bukan puisi biasa. Puisi istimewa. Karena ia sangat istimewa, 15 tahun lalu, saya tuliskan puisi itu di undangan pernikahan kami. Saya juga engga tau kenapa tiba-tiba ingat puisi itu. Padahal ulang tahun pernikahan kami masih 5 bulan lagi.

Masalahnya adalah…. saya gak ingat puisi itu judulnya apa, kata-katanya gimana. Yang saya ingat persis adalah, puisi itu karya Kang Jalal, Jalaludin Rakhmat. Yups, Kang Jalal yang “syiah” itu. Apa itu berarti saya juga syiah? Mangga aja kalau mau menyimpulkan begitu. Tapi saya sendiri berprinsip bahwa fakta bahwa beliau syiah, tak berarti membuat saya harus melihat beliau sebagai orang yang 100% JELEK. Saya tetap mengakui bahwa beliau adalah seorang komunikator yang baik, yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan konsep-konsep rumit menjadi bahasan yang ringan dan mudah dicerna. Beberapa karya puisi beliau juga sangat dalam maknanya. Salah satunya adalah yang berusaha setengah mati saya ingat, yang saya tuliskan di surat undangan pernikahan kami 15 tahun lalu.

Saya tanya si abah: “bah, inget gak puisi Kang Jalal yang kita tulis di undangan pernikahan kita?”. Si abah menjawab dengan spontan: “inget” . Wah, surprise banget nih si abah yang selalu lupa dimana nyimpen kunci, dimana nyimpen kacamata, dimana nyimpen pulpen, sabuk, dll inget puisi ! dari 15 tahun lalu! “Apa sih bah judulnya?” tanya saya lagi. “Antara Krawang dan Bekasi kan?” Jawabnya pede. Dasarrrrr….

Maka, langkah terakhir adalah….membuka contekan haha. Saya buka laci tempat saya menyimpan puluhan diary sejak kelas 1 SMP dulu, tempat saya nyimpen file email-emailan kita saat taaruf dulu, tempat saya nyimpen hasil USG anak-anak waktu masih di perut…. dan di situ ada surat undangan pernikahan kami.

Tadaaa…inilah puisi itu ….

Dia Ciptakan Seorang Kekasih

Diciptakan Allah bumi dengan segala isinya
Samudera luas, bukit tinggi, hutan belantara
Diedarkan Allah mentari, rembulan dan gemintang
Diturunkan hujan, ditumbuhkannya pepohonan
Dan disiramkannya tetanaman
Semuanya untuk kebahagiaan manusia

Tetapi Allah Maha Tahu,
Memberikan lebih daripada itu
Diketahuinya getar dada kerinduan hati
Dia tahu, betapa kita sering memerlukan seseorang
Yang mendengar bukan saja kata yang diucapkan
Namun juga jeritan hati yang tak terungkapkan
Yang mau menerima perasaan

Allah tahu pada saat kita diharu-biru
Dihempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka
Kita memerlukan seseorang
Yang mampu meniupkan kedamaian,
Mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, memperkuat hati

Allah tahu, kadang kita berdiri sendirian
Lantaran keyakinan atau mengejar impian
Kita memerlukan seseorang
Yang bersedia berdiri di samping kita

………

15 tahun lalu, puisi ini saya maknai hanya sekedar sebagai rangkatan kata yang indah. Tapi saat ini, menjelang 15 tahun menjalani pernikahan, saya menghayati tak sekedar rangkaian kalimatnya, tapi juga maknanya.

Apa yang diungkapkan dalam puisi di atas adalah pengejawantahan dari makna bahwa suami/istri kita, adalah seseorang yang “melengkapkan separuh agama”. Pengejawantahan dari kata “sakinah”; menentramkan. Penggambaran dari keinginan “growing together with you”.

Di usia kita yang menjelang 40 tahun, (usia saya maksudnya haha…); ada sebagian teman kita diuji kesabarannya dengan belum dipertemukan dengan belahan jiwanya dalam ikatan pernikahan. Atau pernah dipertemukan, namun terpisah. Padahal kata seorang teman, memiliki seorang “kekasih” seperti tergambar dalam puisi di atas, adalah suatu fitrah, keinginan terdalam seseorang. Se”hebat” apapun dia sebagai individu. Teman saya tersebut, menyampaikan keprihatinannya akan banyaknya kasus perceraian saat ini. Tapi saya punya keprihatinan yang lain. Keprihatinan bahwa banyak pasangan, menjalani kehidupan pernikahan hanya secara “kasat mata”. Mereka tinggal bersama, ke kondangan pake baju seragam, foto di medsos berdua, tapi secara psikologis, secara batin, mereka terpisah jauh.

Dulu, saya berpikir bahwa waktu, akan menyelesaikan banyak hal. Lamanya waktu menikah, akan membuat kita semakin menyatu dengan pasangan kita. Tapi ternyata tidak. Ada banyak pernikahan yang usianya belasan, puluhan tahun, tapi masih merasa asing dengan pasangannya, hubungan masih didominasi rasa “takut”, atau rasa”tidak percaya”, atau bahkan rasa “gak tau harus gimana”. Padahal tinggal bersama, bicara, berhubungan badan, memiliki putra/putri selama belasan/puluhan tahun.

Lalu apa yang salah? lama waktunya-kah? bukan. Waktu, memang akan mengajarkan banyak hal. Pengalaman, memang menjadi guru yang terbaik. Namun cara kerjanya, bukan dengan otomatis. Allah menganugerahkannya sebagai konsekuensi jika kita sungguh-sungguh mau menghayati dan belajar, mau mencurahkan seluruh energi untuk saling menumbuhkan rasa percaya, peduli, menghargai, menerima, mencintai.

Ya, ada sebagian dari kita diuji dengan psangan yang memiliki gangguan psikologis. Pasangan yang tak punya empati, tak mau belajar, pasangan yang rapuh pribadinya sehingga ia tak bisa mendapatkan masukan, pasangan yang merasa perlu mempertahankan egonya dengan menunjukkan kuasanya. Tapi itu hanya berapa persen? Sebagian besar dari kita, hidup bersama pasangan yang bisa belajar.

Kata seorang teman saya yang penelitiannya di bidang perkawinan, saat ini banyak orang yang kehilangan kepercayaan pada institusi perkawinan. Sebagian dari mereka memutuskan untuk tidak menikah. Sebagiannya memutuskan menikah namun tak percaya bahwa pernikahan ini akan menjadi yang pertama dan terakhir seumur hidup.

Ada juga sebagian yang menyatakan ingin berjuang untuk “tumbuh menua bersama” pasangannya. Sebuah cita-cita mulia. Namun, cita-cita semata tak cukup. Ia harus diwujudkan dalam sebuah kesadaran. Kesadaran ini yang akan membuat kita selalu mengevaluasi. Apakah pasangan kita adalah seorang “kekasih” bagi kita? atau ia hanya sekedar seorang “suami” yang fotonya tertera di buku nikah kita? apakah istri yang telah belasan tahun bersama kita adalah seorang yang menentramkan kita? atau ia hanyalah seseorang yang mendampingi kita saat undangan?

Tumbuh tua bersama, kalau itu menjadi cita-cita kita, semoga Allah memudahkan jalannya. Namun, cita-cita semata tak cukup. Ia harus diwujudkan dalam sebuah perjuangan. Perjuangan ini yang akan membuat kita setelah mengevaluasi, mau “bergerak” untuk mengubah keadaan. Tak hanya diam dan berlindung dibalik kata “sabar”. Karena sabar sama sekali berbeda makna dengan diam tak berupaya.

Ada satu  indikator nyata proses pembelajaran kita dalam pernikahan. Komunikasi. Semakin kita “dekat” secara hati dengan seseorang, maka akan semakin yakin bagi kita untuk mencoba membicarakan apa yang kita pikir dan rasakan pada orang tersebut. Meskipun apa yang akan kita bicarakan adalah sesuatu yang tak nyaman bagi kita atau baginya, kalau hati kita dekat, kita akan punya kekuatan untuk tak menyerah, terus berusaha membicarakannya. Mengapa? kita tahu pembicaraan ini mungkin akan mengesalkan, mungkin akan menyedihkan, mungkin akan melukai, tapi kita saling percaya bahwa ia tak akan pergi. You know what? yang paling menyedihkan buat saya adalah saat bertemu pasangan-pasangan yang pernikahannya telah puluhan tahun, namun menyimpan bom waktu yang meledak di akhir kehidupan mereka.

oldMaka, kalau pernikahan kita sudah belasan atau puluhan tahun, semoga kita semakin dekat pada cita-cita “tumbuh menua bersama”. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Apa yang akan kita rasakan saat kita telah berhasil meraihnya?

Apakah saat itu, meskipun tubuh kita telah renta dan ringkih, namun kita tak merasa “sendiri” saat kita berpelukan? sedalam apa pembicaraan kita saat tangan-tangan keriput kita bergenggaman? Apa yang akan kita kenang saat ia meninggalkan kita terlebih dahulu? apakah hanya sebagai seorang suami/istri kita? ayah/ibu nya anak-anak? orang yang selama ini menafkahi keluarga? orang yang selama ini mengelola keluarga? atau, ia sebagai “kekasih” kita? yang kita rindukan untuk menyertai kita di dunia abadi nanti?

Memiliki belahan jiwa adalah sebuah fithrah, kebutuhan terdalam seorang manusia. Maka, bagi kita yang diberikan dengan karunia itu, cara terbaik  untuk mensyukurinya adalah dengan berjuang sekuat tenaga. Sebagai diri, mari kita berusaha menjadi indah, agar pasangan menjadi jatuh hati pada kebaikan kita. Sebagai pasangan, mari kita belajar bagaimana membuka lapis demi lapir barrier psikologis antara kita dan pasangan.

Berpuluh tahun bersamanya, kita harus semakin mengenalnya. Semakin mengenalnya, seharusnya kita semakin tau bagaimana teknik dan strategi bicara padanya. Untuk apa ? untuk mengungkapkan perasaan kita. Untuk memberikan umpan balik padanya. Agar kita semakin saling mendekat. Jangan sampai “keburukan kita”, “keburukan psangan kita”, adalah sama, sejak tahun pertama pernikahan sampai dengan belasan atau puluhan tahun kemudian.

Ikhtiar dan doa adalah dua sayap yang tak terpisahkan. Jangan malas berikhtiar, jangan ragu berdoa. Kebahagiaanperkawinan, adalah sesuatu yang layak kita perjuangkan sampai titik darah penghabisan !

Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yunin waj-’alna lil-muttaqîna imama. “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74)

Sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/560909328569893742/

Dear Soulmate

Dear Soulmate,
Tak terasa hari ini, 14 tahun sudah kita bersama.
Lebih dari 5000 hari kita lalui.
Sudah banyak cerita, tawa bahagia diselingi sesekali mata yang berkaca-kaca.

Dear soulmate,
Jangan lupa kita punya janji untuk tumbuh tua bersama
Bergenggaman sampai tangan-tangan kita menjadi keriput
Terpisahkan sementara oleh ajal,
Lalu bertemu kembali bersama anak cucu kita di hari-hari yang abadi.

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Untuk telinga lebarmu
Yang selalu siap mendengarkan segala kisah dari relung asa dan rasa
Hingga tak ada cerita yang tersisa yang kau tak tau dari diriku

Dear  soulmate,Terima kasih ya…
Untuk tawa nikmatmu mentertawakanku
Yang justru membuatku menikmati kebodohanku
Membuatku merasa bodoh itu indah haha….

Dear  soulmate, Terima kasih ya…
Untuk pelukanmu yang selalu hangat
Yang membuat aku berani menghadapi segala ketakutanku
Membuatku tak pernah merasa sendirian

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Telah menjadi tangan guritaku
Saat aku menyadari bahwa tanganku hanya dua

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Untuk teori cintamu yang super sederhana
Yang tak banyak kata namun tak pernah lupa mengamalkannya

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Telah memberiku ruang dan waktu
Untukku tetap bisa memeluk erat mimpi-mimpiku
Walau kau terkadang tak sepenuh hati setuju

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Untuk nasehat-nasehatmu yang selalu bisa menenangkan batinku
Kala aku gundah dan tak tahu arah

Dear soulmate, Terima kasih ya…
Atas kesabaranmu
Menanggapi kemarahan-kemarahanku

Dear Soulmate, Terima kasih ya…
Untuk pelukan eratmu,
Yang telah mempercayaiku tanpa ragu
Bahwa aku tak akan pernah meninggalkanmu
Sebesar apapun mimpi yang ingin kukejar

Dear soulmate, I love You
Semoga seluruh kebaikan, kebahagiaan
dan keberkahan
di penjuru langit dan bumi tercurah pada kita

13221027_10209481292770052_6854373361520096318_n

 

Hai Soulmate ….

Hai Soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk telinga lebarmu
Yang selalu siap mendengarkan segala kisah dari relung asa dan rasa
Hingga tak ada cerita yang tersisa yang kau tak tau dari diriku

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk tawa nikmatmu mentertawakanku
Yang justru membuatku menikmati kebodohanku
Membuatku merasa bodoh itu indah haha….

Hal soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk pelukanmu yang selalu hangat
Yang membuat aku berani menghadapi segala ketakutanku
Yang membuatku tak pernah merasa sendirian

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Telah menjadi tangan guritaku
Saat aku menyadari bahwa tanganku hanya dua

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk teori cintamu yang super sederhana
Yang tak banyak kata namun tak pernah lupa mengamalkannya

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Telah memberiku ruang dan waktu
Untukku tetap bisa memeluk erat mimpi-mimpiku
Walau kau tak sepenuh hati setuju

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk pelukan eratmu,
Yang telah mempercayaiku tanpa ragu
Bahwa aku tak akan pernah meninggalkanmu
Sebasar apapun mimpi yang ingin kukejar

I-heart-you-hanging-Happy-Valentines-Day-2015-WallpaperHai soulmate,
I love you …

 

 

sumber gambar : http://gotomarketguy.com/love/

 

Tiga Belas Tahun : Antara Romantisme dan Realitas

Hari ini, adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-13. Sejak sebulan lalu, saya sudah menyiapkan dua tulisan istimewa. Di dalam kepala tentunya, karena belum punya waktu luang untuk mengetiknya. Bahkan saya sudah menyimpan referensi dua tulisan itu di meja dekat kamar tidur saya. Satu paket referensi 3 buku tafsir dan satu lembar tulisan Prof. Sawitri mengenai gambaran dinamika pernikahan.

Rencananya, semalam saya akan bangun dini hari dan menulis dua tulisan itu. Namun apa daya….aktifitas full sabtu minggu, membuat saya terlelap dan bangun subuh pagi tadi. Kehectican pagi tadi bertambah dengan informasi dari teh Rini, pengasuh anak-anak yang izin hari ini karena akan ambil raport anaknya. Artinya, saya harus bawa Hana dan Azzam ke Jatinangor untuk mengawas ujian. Baca wa group, ada kabar RI 1 dan para mentri akan melantik para wisudawan IPDN yang artinya….harus berangkat lebih pagi biar nyampe kampus tepat waktu meskipun terhadang di IPDN. Si abah pun, tadi pagi hectic dengan proposal yang harus diselesaikannya. Pengen candle light dinner? sore ini saya udah janjian bawa Azka, Umar dan Hana ke dokter gigi. Biasanya akan sampe jam 7an.

Beberapa hari lalu, saya senyum-senyum baca status seorang teman saya, yang menggambarkan bagaimana romantisme sepasang kekasih yang menjadi suami istri dan menjadi bapak-ibu, telah berubah menjadi realistis membahas hal-hal “remeh temeh” soal anak.

Yups, tahun ini, keluarga kami masuk “fase baru”. Tampaknya si sulung Azka, telah “resmi” menjadi remaja. Dengan segala karakteristiknya, yang mewarnai pula keluarga kami. Maka, kami pun resmi menjadi “family with teenager” dalam tahap perkembangan keluarga. Tahap perkembangan baru, tentu saja tantangan baru dan butuh ilmu baru.

Di usia pernikahan ke-13 ini, hal-hal ideal dan romantis sudah tak sempat lagi kami usahakan. Lha wong tadi pagi saya nyari-nyari selembar kertas referensi buat tulisan yang udah saya siapin di meja kamar saya, udah ilang…saya curiga…kalau gak dipake “gambar rambutan” oleh Azzam, paling dipake bikin perahu sama Umar ;(

Seminggu lalu saya berkesempatan “mengobrol” dengan seorang “rekan” yang usia pernikahannya sudah 35 tahun ! Saya tanya, apa sih yang membuat ia dan pasangannya “bertahan”. Saya pernah melihat mereka berdua begitu….”romantis” gituh. Bukan…bukan romantis yang lebay seperti menuliskan perbincangan mesra di status atau gelendotan di tempat umum. Perilaku dua kakek nenek itu itu biasa saja, tapi aura kasih sayang, aura “i love you” itu begitu kuat terasa. Padahal mereka sering LDR-an, dengan aktivitas masing-maisng.

Cerita beliau mengenai perjalanan 35 tahun pernikahannya, suka dukanya, pasang surutnya, cinta-bencinya, idealisme dan realitasnya, membuat saya semakin yakin….mempertahankan pernikahan yang membawa kebaikan dan kebahagiaan itu, tak mudah. Ada banyak episode yang harus dilalui. Ada banyak proses perubahan yang harus dilakukan. Dan ada satu benang merah kekuatan yang akan membuat kita dan pasangan bertahan menghadapi tiap episode itu.Itulah yang harus saya aware-i dan harus saya pertahankan, bahkan perkuat.

Episode 13 tahun pernikahan kami, adalah episode realitas. Setiap hari kami disibukkan dengan beragam macam tetek bengek urusan anak-anak. Mulai dari hal filosofis sampai hal teknis remeh temeh. Pergi berdua? it’s not our style.

C360_2015-06-15-14-59-46-310~2Dalam hiruk pikuk reaalita sehari-hari dari tahun ke-13 ini, ada satu hal yang selalu bikin saya senyum. Bahwa semakin hari, kami semakin sering melakukan hal yang sama, di hari yang sama, tanpa janjian. Membelikan kebutuhan dan kesukaan masing-masing, paling sering membelikan kebutuhan dan kesukaan anak-anak. Misalnya, membelikan cemilan kesukaan anak-anak yang sama, sampai dengan beliin vitamin yang sama. Meskipun anak-anak suka “protes” …. “kenapa sih, ibu dan abah  suka beliin hal yang sama?” bahkan Azka yang lagi “nyinyir” suka bilang : “emang ibu dan abah gak koordinasi ya?” haha…namun dalam hati saya tersenyum. Semoga ini tanda bahwa dalam hiruk pikuk realitas pernikahan kita, hati kita semakin menyatu” haha……aamiin….

Renungan tahun ke-dua belas : Bisakah kita mengubah pasangan ?

112 tahun5 Juni lalu, pernikahan kami tepat berusia 12 tahun. 12×365 hari. Lumayan lama. Sejak dua tahun lalu, kami mendeklarasikan tanggal 15 Juni sebagai hari  ulang tahun keluarga pada anak-anak. Kami “memperingatinya” sebagai rasa syukur. Apalagi sejak beberapa tahun lalu, mulai ada beberapa teman yang  rumah tangganya kandas. Bukan oleh masalah besar. Tapi oleh masalah-masalah “biasa” yang juga kami alami. Artinya, “potensi” berpisah itu, juga kami miliki. Biasanya kami mensyukurinya dengan liburan  bersama. Ada sesi doa bersama untuk kebahagiaan keluarga kami.

Ada yang istimewa di hari “ulang tahun keluarga” tahun ini. Apakah itu? Yang pertama, si abah inget !!! haha…. saya agak kaget waktu 2 minggu sebelumnya si abah bbm bilang “ulang tahun keluarga kita liburan ke **** yuks” …. buat seseorang yang gak pernah inget hari ulangtahunnya sendiri, ini hal yang luar biasa….berarti saya berhasil membrain-wash nya haha…Yang kedua….selagi saya berencana untuk mengumpulkan foto momen bersama kami, si sulung Azka suatu hari datang dengan ide brilian. Dia akan bikin “short movie” perjalanan keluarga….maklum, baru 3 minggu lalu dia diajarin “movie maker” di les fotografinya…

Berdasarkan teori  “Kisaran Kerentanan Relasi Antar Pasangan Pada Usia Perkawinan” yang saya dapat dari  Prof Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, maka pernikahan kami ini (10-15/18) termasuk usia “lampu kuning”. Katanya di usia ini, baik istri maupun suami masuk ke masa “puber kedua”. Tapi istri biasanya fokus untuk menghadapi anak pertama yang umumnya sudah menginjak remaja. Bila tidak diwaspadai, suami bisa fokus pada remaja lain di luar perkawinan hehe …(wil gituh 😉. Tapi istri juga rentan dengan hadirnya pil, sehingga di usia pernikahan ini sering juga terjadi perceraian. Kalau ditinjau dari tahap perkembangan keluarga, maka menurut om Duvall (1977) kami sedang berada pada tahap perkembangan “family with school children”; yang salah satu tugas perkembangannya adalah “mempertahankan keintiman sebagai pasangan” disamping membantu anak-anak mencapai tugas perkembangannya.

Penghayatan kami sendiri…kami sedang merasa “nyaman-nyamannya” di usia pernikahan kami sekarang ini. Ya…berantem-berantem sih masih….tapi “basic trust” antar kami, rasanya telah terbentuk dengan kuat. Frekuensi pun sering nyambung. Empati dan “perspective taking” kerasa banget tumbuh dan berkembang. Pertengkaran-pertengkaran hanya berada di ranah “permukaan”; misalnya milih furniture…hehe…

Gak ada lagi “tragedi sukiyaki” seperti yang saya tulis di note facebook beberapa tahun yang lalu. Sekarang, bahkan  kami sudah bisa “bertelepati”. Di tempat yang berbeda, saya dan mas melakukan hal yang kami harapkan. Yang paling sederhana….pernah saya ke pasar tanpa mas. Di perjalanan pulang, mas nelpon minta dibeliin kue cucur kesukaannya. Tentu saya bilang “terlambat nelponnya”. Nyampe rumah….tadaaaaa….kue cucur saya hidangkan. Itu yang pertama kali saya beli di pasar tadi…haha…. Mas juga begitu. Pulang kerja, bawa sesuatu yang saya pengen banget, padahal saya gak bilang…

Sebulan lalu, si abah bilang gini: “enak ya de, kita sudah saling memahami” …. itu gara-garanya, saya minta tolong mas pesan sesuatu ke temennya. Tapi sebagai orang yang antisipatif dan tau kalau mas pelupa, saya juga langsung menghubungi temen mas tersebut untuk pesen. Dua minggu kemudian, saya “tagih” ke mas, mana pesenan ke temen mas? mas bilang lupa banget…maaf…begitu dia liat di meja…tadaaaa barangnya udah ada…… itu yang dia bilang “kita sudah saling memahami kekurangan masing-masing”. Demikian pun mas. Sudah sangat memahami kebiasaan-kebiasaan buruk saya, dan sudah tau harus bersikap gimana  yang membuat saya pas insyaf, jadi malu sendiri hehe…

Nah, artinya….selama 12 tahun ini kami sudah saling “bergerak”. Entah itu didorong oleh cinta atau komitmen. Gak penting lah…yang penting, kita mau “bergerak” memahami pasangan. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Saya ingin mencoba menjawab pertanyaan seorang teman : “bisakah kita merubah pasangan?”.

Merubah pasangan. Merubah kepribadiannya, kebiasaan buruknya. Bisakah? mmmhhhh….karena ini dalam konteks sebagai seorang yang telah mengarungi perjalanan pernikahan selama 12 tahun, maka saya akan jawab dengan referensi pengalaman. Tapi sebelum itu, saya ingin mengajukan sekaligus menjawab satu pertanyaan.

Haruskah kita mengubah pasangan? itu pertanyaan saya. Jawaban saya? Harus. (Kau yang bertanya….engkau yang menjawab…#dinyanyiin pake lagu dangdut#). Kenapa harus? karena itu bagian dari kewajiban sesama muslim. Amar ma’ruf nahi munkar. Kalau suami kita merokok kita diem aja….suami kita suka mengejek orang kita diem aja….suami kita berlebihan main games kita diem aja…tentu itu tidak benar. Apalagi kalau nanti kita semakin “senior”… mungkin status sosial ekonomi  suami kita udah semakin tinggi….. jadi bos di kantor, disegani masyarakat…akan semakin sedikit orang yang bisa “mengingatkan”. Siapa lagi yang bisa “mengingatkan”nya selain kita, pasangannya? Jadi kita harus “mencanangkan” dalam hati, bahwa kita adalah orang yang selalu akan “menjaga pasangan kita” untuk selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan.

Nah, sekarang baru ke pertanyaan temen saya itu. Bisakah kita merubah pasangan ? jawaban saya : BISA. Sejauh mana kita bisa merubah pasangan ? Naaah…ini yang rada “tricky”.

Mengubah kepribadian? berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya, kepribadian bukan hal yang mudah untuk diubah. Itulah sebabnya, para konselor pernikahan suka meminta calon pasangan suami istri untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan perilaku bermasalah pasangannya. Itu sebabnya juga, ketulusan untuk “mengubah pasangan” yang menggebu sebelum pernikahan, pada umumnya berakhir dengan keputusasaan. Kata rekan saya yang banyak bergerak di dunia KDRT, pada umumnya istri sudah mengetahui kecenderungan suami yang suka menganiaya fisik. Sebagian bahkan sudah mengalami KDP (kekerasan dalam pacaran).

Jadi, apa dong yang bisa diubah? Ada hukum dasar dalam psikologi: B=f (P,E). Behaviour atau perilaku adalah fungsi dari environment dan personality. Kita sulit untuk mengubah personality pasangan kita, yang udah terbentuk saat kita bertemu dengannya. TApi kita BISA mengubah behaviour pasangan kita. Artinya, perilaku dalam konteks tertentu.

JAdi, kita tak akan pernah bisa mengubah suami kita yang pendiam jadi supel. Tapi kita bisa membantu agar  PERILAKU suami kita berubah,  tak mengurung diri di kamar saat berkunjung ke rumah orangtua kita. Kita akan sulit mengubah kecenderungan agresi suami kita, tapi kita bisa mengubah perilaku suami kita untuk tak memaki-maki orang yang nyalip saat ia menyetir, di depan anak-anak. Biar berimbang…suami akan sulit mengubah sikap impulsif istrinya untuk belanja. Tapi suami bisa mengubah perilaku belanja istrinya, saat ia lagi bokek.

Dan perubahan PERILAKU itu, sudah cukup untuk membuat kehidupan berumahtangga menjadi nyaman. Apapun dasar pernikahan kita- entah itu cinta, komitmen, atau intimacy kalau pake teori Triangular Love-nya Sternberg; itu akan cukup membuat kita merubah PERILAKU yang diharapkan oleh pasangan. HAnya satu syaratnya. KEDEWASAAN. Itulah sebabnya pernikahan itu, adalah tugas perkembangan di usia dewasa.

Jadi, kalau mau flashback…memilih calon pasangan itu….ganteng/cantik boleh; soleh/solehah harus; kaya gak apa-apa, pinter gak salah…namun yang WAJIB harus di-cek adalah, apakah ia cukup dewasa untuk mau MENDENGARKAN dan FLEKSIBEL untuk MAU MENGUBAH  PERILAKUNYA DALAM SITUASI TERTENTU, situasi yang bermakna bagi pasangannya.

Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yunin waj-’alna lil-muttaqîna imama.
  “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74).

Previous Older Entries