If we keep running all the time, we’ll miss the beauty along the way

Sebagai planner sejati, maka saya punya hobi hunting buku agenda/catatan yang lutu. Bahkan saya mengoleksinya. Selain suka saya kasih ke orang lain sebagai hadiah, yg saya suka banget saya keep. Jadi udah punya agenda buat 10 tahun ke depan haha.

 

Untuk agenda tahun ini, saya jatuh cinta pada sebuah agenda bersampul kain hijau muda. Saya temukan di “Bookhandel VU” bulan November lalu.

Sebenernya saya gak terlalu suka agenda yg ada tanggal2nya. Saya lebih suka yg kosong, yg bisa saya tulisin sendiri tanggalnya. Tapi begitu saya buka halaman pertamanya, saya langsung jatuh cinta. Meskipun harga euro aganda itu kalau di kurs kan ke rupiah cukup besar, tapi kalau udah jatuh cinta mah susah ya.

Apa yang bikin saya jatuh cinta? Rangkaian tulisan ini. For me, it’s so smart, humble, beautiful and powerful as well. Rangkaian kalimatnya menggambarkan dengan sempurna hari-hari seperti apa yang ingin saya jalani di tahun ini. I am falling love with those words.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Esensi #1

Selepas makan, supervisor saya dan istrinya membereskan piring. Tentu saya ingin membantu. Tapi spv saya dengan gesture dan ekspresi “memohon” bilang : “Please Fitri, just sit and relax”. Jadilah saya bermain dengan si cantik Evy dan Lou. Meskipun ini baru kali kedua bertemu mereka, tapi si 5 dan 3 tahun itu  seperti sudah nyaman dengan saya. Saya menunjukkan beberapa video yang dikirim anak-anak saya di Jatim Park kemarin, saat mereka ngasih makan binatang-binatang dari mobil. Meskipun berbeda bahasa; Evy dan Lou  berbahasa Belanda dan saya berbahasa Inggris, tapi dengan bahasa “tarzan”, bisa juga kami berkomunikasi.

Selanjutnya, saat spv saya dan istrinya mencuci piring, kami main salon-salonan. Dua anak itu menyisiri kerudung saya. “^%$#*(&%%$#” si sulung Evi berkata pada saya (tentu dalam bahasa Belanda yg saya tidak mengerti). Spv saya yang mendengar kata-katanya langsung berkata :”Nee, Nee, Evy, &#^^##^^#*#($@ (dalam bahasa Belanda juga). Yg saya ngerti cuman “Nee” itu artinya “No”. Wajah Evy terlihat kecewa. “She want to see you hair, and I said it’s impossible”; kata spv saya menjelaskan. “Oh, it’s possible if we do it in your kamer” kata saya spontan pada Evy (kamer adalah bahasa Belanda untuk room, satu dari sedikit bahasa Belanda yang saya tau hehe). “Yang gak boleh liat rambut saya cuman Papa. Mama, kamu dan Lou boleh liat”. Begitu saya bilang sama Evy. Spv saya terlihat kaget mendengar penjelasan saya, lalu menerjemahkan pada Evy dan Lou. Begitu papanya selesai menerjemahkan, mereka langsung antusias dan menarik saya ke kamar mereka.

Seperti rumah2 Belanda pada umumnya, rumah spv saya tidak “luas ke samping” (hmmm…gimana jelasinnya yaaa). Rumahnya kurang lebih tipe 60an, terdiri dari beberapa lantai. Tiap lantainya pendek sih, kayak mezanin gitu. Kamar Evy berada di lantai bawah dari ruang dapur dan ruang makan yang di Belanda jadi kayak “ruang utama” karena letaknya pas begitu masuk. Sesampainya di kamar Evy, saya buka kerudung, aduuh lucu banget mereka liat rambut saya, terus pegang2. Haha…curiosity anak-anak melihat hal yang berbeda itu amazing ya. Sekitar 10 menit,  lalu mereka menunjukkan beberapa barang di kamar tersebut, kita ketawa-ketawa, tiduran, sampai saya pikir waktunya kembali memakai kerudung. Waktu saya lagi pake daleman kerudung, Evy mengambil kerudung saya dan mencoba memakai di kepalanya. Saya bilang : “You wanna wear this?” lalu saya pakaikan. Dua gadis kecil itu excited banget. Begitu selesai saya pakaikan, dia langsung lari ke atas, sambil teriak-teriak ke Papa-Mamanya. Saya mendengar mereka heboh seru di atas. Ketika kembali ke kamar 5 menit kemudian, gantian si kriwil Lou yang pengen pake kerudung.

Satu jam kemudian, setelah selesai bimbingan terakhir sama spv saya, lalu mengenang 3 bulan “kebersamaan” kami, dari awalnya “we are totally stranger” sampai saat ini kita “trust each other”, saya pamitan. Pamitan untuk “selamanya”. Kita gak akan ketemu lagi karena 4 hari lagi saya akan pulang ke Indonesia. Mata saya berkaca2. “Sorry, I am a little bit sad now” kata saya. “Me too”; kata beliau. Suasana hati saya haru biru keluar dari rumah itu. Apalagi warna langit begitu menyentuh. Say goodbye pada spv saya mentrigger perasaan say goodbye pada kota ini.

Maka saya memutuskan untuk menenangkan diri dengan jalan. Saya ingat waktu saya bilang suka sama Oosterpark, spv saya bilang “udah ke Vondelpark belum, deket sini loh”. Saya cek di google map, 30 menit. Dekat sama mueseumplein ternyata.

 

Saya duduk di salah satu kursi di Vondelpark. Di depan saya kolam, bebek-bebek asyik berenang disana. Taman-taman di Amsterdam serasa syurga buat saya. Saya bisa melakukan aktifitas favorit saya dengan sangat tenang dan khusyuk disana : membaca, menulis, atau berbincang dengan diri sendiri. Ada satu hal yang wara-wiri di kepala saya saat itu. Gema dari kata-kata yang saya katakan pada si kecil Evy : “Cuman papa yang gak boleh liat rambut tante. Mama, Lou dan kamu boleh liat”.

Kalimat yang “spontan” saya ucapkan itu, berputar-putar dalam kepala saya. Meskipun saya melihat ekspresi kaget di wajah spv saya mendengar jawaban itu (tampaknya beliau tidak banyak tahu tentang Islam, jadi jawaban saya bikin beliau kaget); tapi spv saya tidak bertanya lebih lanjut. Tapi justru jawaban dari diri saya yang memunculkan pertanyaan2 lanjutan dari diri saya sendiri. Kenapa papa gak boleh liat tapi mama boleh liat? Jadi berarti jilbab itu untuk menurut aurat dari siapa? laki-laki non muhrim? kenapa begitu? kenapa pembedanya adalah jenis kelamin? kenapa perempuan non muslim boleh liat?  jadi apa esensinya berjilbab itu?

Iyesh, 84 hari disana memang tak hanya me-refresh kognitif dan self. Tapi juga merefresh aspek religiusitas. Jawaban-jawaban saya pada mereka-mereka yang bertanya tentang filosofi maupun ritual islam, bergema dalam pikiran saya, memaksa saya untuk kembali merenungi, apa esensi dari keberagamaan saya.

Amsterdam, 29 Desember 2019.

 

 

 

Cinta Gothel vs Makna Hamdalah

Minggu lalu, (untuk yang kesekian puluh kali-nya), saya menemani anak-anak nonton film TANGLED, yang diputar di channel TV yang kami langgan. Meskipun sudah puluhan kali menonton bersama, tetap saja kami menikmatinya. Setiap kali saya nonton film ini, saya selalu teringat tafsir ayat kedua dan ketiga surat Al Fatihah. “Alhamdulillahi robbil alamiin”. “Arrahmanirrohiim”. Kalimat pertama adalah kalimat hamdalah, yang otomatis sering kita ucapkan. Asa gak nyambung? haha… trust me, nyambung banget.

Buat yang gak pernah nonton film Tangled, film ini menceritakan tentang Rapunzel, seorang putri berambut ajaib. Rambutnya bisa bercahaya kala ia menyanyi, dan punya banyak khasiat. Khasiat rambut itu akan hilang kalau rambutnya dipotong. Itulah sebabnya Rapunzel punya rambut yang sangat panjang. Rapunzel tinggal bersama “ibunya” bernama Gothel,  yang sebenarnya adalah penyihir yang menculiknya dari kerajaan. Rapunzel diculik karena rambut ajaib Rapunzel berkhasiat membuatnya tetap awet muda. Setiap Rapunzel menyanyi, rambut emasnya akan bersinar, dan Gothel yang sebenarnya sudah berusia ratusan tahun akan tetap muda dan cantik. Dalam film tersebut, Gothel digambarkan sebagai seorang ibu yang cukup penyayang. Ia memelihara Rapunzel, mengupayakan permintaan Rapunzel, melindunginya untuk tidak keluar rumah dan bertemu orang lain, namun semua itu dilakukan dengan satu motif : agar ia tetap bisa mendapatkan manfaat dari rambut Rapunzel.

Nah, apa hubungannya dengan hamdalah ? Saya akan cerita dulu sekilas mengenai tafsir hamdalah versi tafsir Al Misbah karya Prof. Quraish Shihab dan tafsir Al Azhar karya Prof. Hamka. Arti “Alhamdulillahirobbil aalamin” adalah “Segala puji bagi Allah pemelihara seluruh alam’. Lebih spesifik, makna Rabb adalah “pemelihara, penjaga, pendidik, pengasuh”. Pemelihara, penjaga, pendidik dan pengasuh yang bagaimana? Penjelasannya ada di ayat selanjutnya. “Arrahmanirrohiim”. Pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan pengasuhan tak akan dapat terlaksana dengan baik dan sempurna jika tak diserta oleh rahmat dan kasish sayang. Jadi, Allah “memelihara, menjaga, mendidik dan mengasuh” seluruh alam termasuk manusia, bukan untuk kepentingannya atau sesuatu pamrih. Waktu baca rangkaian kalimat di atas, jujur saya masih belum mengerti. Saya baru mengerti ketika kedua mufassir kebanggaan Nusantara ini memaparkan contohnya. Kalau ada seorang CEO perusahaan menyekolahkan karyawannya, apakah ia meneladani sifat “Rabb”? Tidak. Karena ia menyekolahkan karyawannya untuk pamrih. Agar karyawan tersebut setelah sekolah punya kompetensi dan skill yang bisa memajukan perusahaannya. Benefitnya tidak murni untuk si karyawan, tapi untuk dirinya. Contoh lain : Seorang peternak sapi. Ia menyayangi sapinya, memberi makanan terbaik, mengusahakan kesehatan terbaik. Untuk apa ia lakukan ini  ? agar sapinya montok, dan kalau dijual mahal. Jadi si peternak tidak meneladani sifat “Rabb”, karena “kasih sayang, pemeliharaan, penjagaan” yang ia lakukan terhadap si sapi adalah untuk kepentingannya. Keren banget ya makna Al Qur’an itu….. Ayat-ayat ini, yang sudah turun sekian abad lalu, sangat sempurna menggambarkan apa yang kemudian oleh Psikologi disebut sebagai “unconditional love”, cinta tak bersyarat.
gothelNah… dengan paparan di atas, jelas bahwa Gothel, si ibu Rapunzel, sama sekali tidak mengasuh, mendidik, menjaga Rapunzel dengan semangat rahman dan rahiim; tapi untuk penetingannya semata. Ia tak meneladani sifat Rabb. Apa buktinya? buktinya ia marah dan menjadi “jahat” ketika Rapunzel ingin pergi dan mencari kebahagiannya sendiri.

……………………………..

 

Tiga tahun lagi saya akan masuk fase “melepaskan” anak, si sulung. Meskipun sudah “latihan” dengan melepaskannya ke Boarding School, namun masuk Perguruan Tinggi adalah sebuah milestone perkembangan hidup yang signifikan, karena anak mulai memilih hal-hal penting dan signifikan dalam hidupnya. Pilihan penting yang akan menunjukkan dan menjadi jalan baginya “menjadi diri sendiri”, yang mungkin bisa berbeda dengan pilihan saya.  Saya harus “melepaskan” dia memilih jurusan dan bidang aktualisasi diri yang paling dia mau, dan mungkin beberapa tahun kemudian, saya harus “melepaskannya” memilih pasangan hidup, melepaskannya memilih pola asuh untuk anaknya, dll dll.

Situasi ini membuat saya banyak merenung mengenai hakikat relasi kami. Saya banyak menelisik pikiran dan perasaan saya dalam pengasuhan. Saya ingat, beberapa puluh tahun lalu, senior-senior saya di Fakultas Psikologi UNPAD tergabung dalam sebuah penelitian internasional di sekian puluh negara, mengenai topik value of children. Apa makna anak bagi para responden dari puluhan negara tersebut. Salah satu hasil dari Indonesia adalah, orangtua menilai anak sebagai “investasi”. Kita juga serung denger ya, narasumber yang bilang bahwa anak itu investasi dunia akhirat. Yups, banyak diantara orangtua Indonesia merasa bahwa punya anak itu, jaminan agar “nanti kalau udah tua ada yang ngurus”.

Saya menelisik ke lubuk hati saya, apakah saya juga memaknakan demikian? memberikan yang terbaik untuk anak-anak saya sekarang ini ketika mereka “belum berdaya” , agar nanti saya bisa “menagih” pada saat saya sudah tidak berdaya? Jika ya, apakah itu benar? atau salah? Rasanya sih benar… tapi kalau merenungi makna Rabb dari tafsir tadi, rasanya kok salah ya? Apa bedanya saya dengan Gothel? memelihara agar bisa memetik untung untuk diri.  Bukannya kita harus meneladani asmaul husna?

Saya banyak mengamati para sepuh yang sudah punya anak-anak dewasa. Dan saya melihat… para orangtua yang tulus, mendidik, memelihara anaknya, legowo dengan pilihan anak yang berbeda selama masih dalam koridor kebenaran dan kebaikan… itu mereka mendapatkan balasannya. Apa balasannya? cinta yang tulus juga dari anak-anaknya. Mereka orangtua yang tidak pernah secara verbal mendoktrin anak-anaknya : “sebagai anak kamu harusnya ini itu, kamu berkewajiban ini itu sama orangtua”; justru mereka mendapatkannya. Karena kerelaan anak mencintai orangtua itu tumbuh dari ketulusan orangtua mencintai anak-anaknya, tanpa pamrih.

Sebaliknya, orangtua yang mendoktrin anaknya secara verbal: “sebagai anak kamu harusnya ini itu, kamu berkewajiban ini itu sama orangtua, ridho orangtua itu segalanya loh”; anak-anaknya tidak tulus melakukannya. Terpaksa. “Saya mendoakan ibu saya sih, tapi jujur doanya teh kayak kewajiban aja gitu, gak pake perasaan”. Begitu kata salah seorang anak yang “didoktrin” harus sayang sama orangtua.

Sebagai seorang ibu, meneladani sifat Rabb yang Rahman dan Rahiim, adalah sebuah perjalanan panjang. Mengatakan : “ibu udah cape-cape masak, malah kamu gak makan. kamu gak menghargai ibu” itu wajar, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih. ” Percuma ibu  berkorban anterin kamu les kumon tiap hari, ternyata nilai matematika kamu tetep jelek, malu-maluin ibu aja” itu ungkapan fakta, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih. “Ibu dulu mengorbankan waktu kerja nemenin kamu sakit, masa sekarang kamu gak bisa cuti untuk nemenin ibu?” itu logis, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih.

Semoga kita terus dituntun oleh cahaya Illahi untuk meluruskan niat kita dalam mengasuh anak; belajar untuk terus meneladani sifat-sifat sang Maha Kuasa, karena dalam tubuh kita, ada jejak Asmaul Husna-Nya. Rahim.

 

 

Geliat Hari di Penjara Suci

Hari Sabtu dan  Ahad lalu, saya menengok si sulung di boarding school nya. Di bulan pertama ini, kami bisa menjenguk setiap minggu, memberi waktu untuk kami maupun anak beradaptasi. Sebenarnya jadwal menengok adalah hari Minggu. Namun atas izin Bunda asrama, Sabtu siang kami datang dan menghabiskan waktu bersama si sulung, sampai maghrib.

Kenapa?  karena jumat malam, ketika waktu menelpon, 30 menit waktu menelpon saya pada si sulung diisi oleh isak tangis si sulung. Saya kaget banget. Saya pikir akan mendengar suara cerianya, mengingat ketika kunjungan pertama setelah seminggu di sana, saya menilai proses adaptasinya smooth banget. Tangisannya, curhatannya, adalah tangis dan curhat  yang “sehat”. Oh ternyata, sudah sejak hari sebelumnya dia sakit. Mual, muntah-muntah dan kemudian demam. Ringan sih sakitnya. Tapi membayangkan dia menjalaninya “sendirian”, untuk yang pertama kali, bikin hati saya remuk redam (haha…hiperbola banget ya…). Kenapa “sendirian”nya saya kasih tanda kutip karena sebenernya gak sendirian. Ada Bunda asramanya yang cekatan memberikan obat, menemani dan memijiti, ada 8 teman kamarnya yang bergantian mengompres, mengambilkan makan, dan mentake-over tugas-tugasnya.

Maka, setelah saya ikutan rapat ortu di sekolah si bungsu dan si abah ngurus placement test les bahasa inggris si bujang dan si gadis kecil (balada anak banyak, rempong always haha); kami pun cuzz ke Subang. Ashar kami sampai disana, sampai maghrib. Besoknya, hari Ahad, pagi-pagi kami sudah kembali nangkring di asrama si sulung, menunggu izin keluar jam 8, lalu membawa si sulung istirahat di hotel tempat kami menginap sampai check out, dan menghabiskan waktu sampai ashar kembali di asrama si sulung.

Jadilah dalam jangka waktu di asrama itu, saya punya waktu banyak mengamati aktifitas harian di asrama SMA putri. Saya bisa memahami mengapa secara fisik, si sulung ngedrop. Kalau di rumah selama ini rutinitasnya mulai  jam 4.30 dan tidur jam 9; dua minggu di asrama dia mulai beraktifitas jam 3. Mandi air dingin (Secara di rumah selalu air hangat hehe). Kenapa mandi jam 3? biar gak antri. Lalu qiyamul lail, sampai subuh. Bada subuh, ke sekolah (yang jaraknya tentu dekat) untuk tahfidz. Jam 6an, kembali ke asrama, siap-siap lalu makan pagi. Lalu ke sekolah, mulai aktifitas jam 7. Beraktifitas di sekolah sampai dhuhur, baru ada waktu istirahat dari dhuhur sampai ashar. Waktu istirahat yang biasanya dipakai untuk nyuci baju (meskipun ada laundry seminggu dua kali, namun untuk “daleman” dan seragam, si sulung mengantisipasi nyuci sendiri). Kalau gak dipakai nyuci baju, akan dipakai nyetrika, atau ngobrol sambil ngemil (itulah sebabnya dalam waktu 2 minggu, berat badannya sudah naik 3 kilo haha).  Btw, suply makanan di asrama buanyaaaak banget. Mereka mengumpulkan logistik makanan kiriman ortu dan hadiah-hadiah lomba dalam satu lemari (kebetulan ada satu lemari kosong karena satu orang ternyata gak jadi masuk), menjadi logistik bersama kkk. Ashar sampai jam 5, mereka tahfidz lagi di mesjid. Lalu jam 5 jadwal makan, ke mesjid lagi maghrib sambung isya, lalu jam belajar  sampai jam 10, tidur bangun jam 3. Total tidur 5 jam berarti. Jadi wajar di masa adaptasi ini agak drop. Apalagi karena batas antara “sekolah” dan “rumah” tidak kasat mata, maka banyak juga aktifitas sekolah yang melewati batas waktu jam 10. Misalnya waktu demo ekskul, itu baru selesai jam 12 malam.

Selain drop fisik, saya juga melihat ada pergulatan psikologis yang tentu saja menyita energi.  Jadi inget sama seorang teman saya. Putrinya,  NEMnya tinggi. Tapi gak masuk SMA yang “diimpikannya”, terlempar ke SMA yang kurang ia sukai. Lalu putrinya mengatakan : “Percuma aku berusaha belajar keras selama ini”. Ia pun berkata pada putrinya : “Saat ini, kamu sudah mulai masuk ke kehidupan yang sesungguhnya. Banyak hal yang akan kamu alami, akan jadi pelajaran kehidupan yang berharga buat kamu. Misalnya, bahwa tak selamanya upaya keras kita, membuahkan hasil sesuai harapan kita”. Saya sepakat dengan apa yang dingkapkan teman saya pada putrinya. Ya, tampaknya di usia SMA ini memang anak-anak kita, dengan kemampuan berpikir abstraknya, mulai punya pandangan, keinginan, harapan, antisipasi, penilaian, dan cara mengolah informasi yang lebih “dewasa” dan lebih “kompleks”.

Misalnya, bertemu dengan teman-teman barunya dari beragam kota di Indonesia bahkan beberapa dari luar negeri yang tak bisa berbahasa Indonesia, melihat beragam kehebatan teman-temannya, di sulung “galau”. Ada yang sudah hafal 16 juz, ada yang jago bahasa Jepang, ada yang melukisnya keren banget, ada yang juara OSN, ada yang fisika nya pinter banget … dia merasa …bisa “survive” gak ya, diantara teman-temannya yang “hebat-hebat”… Yups…ketidaktahuan memang meresahkan … jadi inget film jurassic world, ketika si dinosaurus hasil rekayasa kabur, si pawang dino bilang : dia gak tau posisi dia di rantai makanan tuh dimana, jadi dia akan membabi buta menyerang semua dino untuk tau posisi dia dimana.  Nah, kalau dinosaurus mah ekspresi cemas nya teh menyerang, kalau manusia mah galau … stress … gitu kali ya haha…

Kegalauan lain adalah, di satu sisi dia pengen aktif; jadi pengurus OSIS, ikut beragam ekskul. Jangankan anaknya ya, emaknya aja galau pengen ikutan semua ekskul haha… soalnya pas liat demo ekskulnya di live IG, keyeeen banget. Tari samannya, amazing banggets… klub debatnya keren, ekskul science, ekskul OSN, jurnalistik, panahan, basket, broadcasting, PASUS dengan koreo yang keren banget …. emang bikin bingung mau pilih yang mana hehe. Tapi di satu sisi, dia juga takut cita-cita ke PT dan jurusan yang dia inginkan, menjadi terganggu karena waktunya tersita oleh beragam aktifitas. Kemarin dia terpilih seleksi paper untuk menjadi pengurus OSIS, tapi kemudian ia mengundurkan diri karena pertimbangan takut terlalu menyita waktu belajar. Di satu sisi hatinya  bangga karena tak semuanya terpiih, di satu sisi “otaknya” menimbang-nimbang itu akan mengancam tujuan jangka panjangnya. Jadilah ia memutuskan mengundurkan diri dengan air mata haha….

Bener kan …. di usia ini, ia mulai menghadapi “pilihan-pilihan sulit”. Kalau dipikir-pikir sih, pilihannya gak sulit. Mungkin pernah ia hadapi sebelumnya. Tapi kemampuan berpikir yang lebih kompleks dan dewasa, membuat pertimbangannya menjadi kompleks. Soalnya adiknya, si bujang kelas 7, menghadapi pilihan yang sama : ekskul, OSIS dan target prestasi, dengan santai dia membuat keputusan : ikut OSIS. Alasannya? “Keren pas MPLS bisa bentak-bentak adik kelas” hahaha….

Selain adaptasi fisik dan pergulatan psikologis, tak ada yang perlu dikhawatirkan ternyata. Secara pribadi, saya menilai usia SMA memang usia yang paling “pas” untuk masuk boarding school (nanti secara lebih detil akan saya sampaikan paparannya, di tulisan lain). Secara emosi dan regulasi diri, mereka sudah cukup matang untuk mengelola perbedaan antara teman sekamar. Ada yang takut gelap, ada yang manajemen dirinya belum rapi, ada yang tidak terbiasa rapi; bisa mereka kelola dan tetap kompak. Mereka punya panggilan sayang khusus dalam satu kamar ini. Mereka juga saling dukung secara emosional. Ada yang kangen banget ortu, ada yang pengen pindah, mereka punya cara untuk saling memberikan support.

Minggu lalu, beberapa teman sekamar si sulung yang lanjut ikut proses seleksi menjadi OSIS dan MPK, mendapatkan challenge dari kakak kelasnya. Yang calon MPK dikasih kasus tentang pengurus OSIS; mereka harus menyelesaikan kasus itu, membuat keputusan dan menyampaikan argumen di depan panel kakak-kakak kelasnya. Yang calon pengurus OSIS bidang minat bakat, harus menyiapkan pidato persuasif dengan tema tertentu, yang calon pengurus OSIS bidang kedisplinan, harus presentasi ke kakak-kakak kelas 12. Salut banget deh…mereka saling bantu. Yang sudah menyiapkan pidato, “tampil” dihadapan teman-teman sekamarnya, lalu diberi feedback sebaiknya gimana, yang latihan memecahkan kasus, “diuji” oleh teman-temannya… Mereka juga kompak bersatu mengusulkan ekskul-ekskul yang belum ada, yang mereka minati untuk diusulkan ke skolah, karena prosedur itu dimungkinkan.

Pagi-pagi, saat saya berkunjung, sebagian bermain basket, sebagian bermain badminton di lapangan depan asrama. Sisanya, anak-anak yang tak akan dikunjungi oleh orangtuanya, diajak jalan-jalan oleh Bunda asrama ke luar. Seorang  gadis cantik yang berasa dari luar negeri, yang minggu lalu saya lihat tak berhenti-henti menangis ketika dijenguk orangtuanya, pagi itu saya lihat duduk menghadap lapangan basket, sambil membuat sketsa. Saya intip sekilas, sktesanya baguuuus.

Suara radio menyala lewat pengeras suara, siaran dari anak-anak ekskul broadcasting. Radio el-syifa ini, bisa didengarkan di seluruh kota katanya. Pengumuman makan dan menunya, dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian olahraga dan kesehatan; sedangkan pengumuman waktu sholat dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian rohis. Semua pengumuman di sampaikan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa arab. Jam 1 sampai maghrib, language time menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak tim bahasa yang akan mengontrol.

penjara suciJujur saja, saya senang sekali melihat geliat aktivitas harian di sekolah ini. Tidak adanya handpone dan TV yang pernah saya khawatirkan; tercover oleh adanya lab komputer, fasilitas olahraga, dan kegiatan ekskul yang beragam. Seperti yang disampaikan oleh kepala sekolah, dari beliau saya pertama kali mendengar istilah “penjara suci”; bagi anak-anak itu, asrama ini bisa jadi dipersepsikan sebagai penjara. Mereka tak bisa melakukan banyak hal yang dilakukan oleh teman sebaya mereka “di luar sana” melalui gadget dan keleluasan mobilitas. Mereka kelhilangan kesempatan bertambah pengetahuan dan pengalaman yang bisa diberikan oleh kemajuan teknologi dan media sosial. Mereka terpenjara oleh rutinitas, oleh aturan.

Tapi saya melihat, untuk kesejahteraan psikologis mereka,  di usia itu, tak ada yang terampas. Bermain, beraktifitas, membangun intimacy dalam persahabatan, mengelola diri, mengolah pikir untuk problem solving, menghadapi keragaman, fasilitasnya bahkan bisa lebih baik dari pada yang bisa saya berikan di rumah.

Saya percaya, untuk mencapai tujuan pengasuhan yang telah kita tetapkan, yaitu ingin putra/puteri kita menjadi sholeh/sholehah; ada banyak cara dan jalan. Turunannya, ada beragam bentuk sekolah yang bisa kita pilih. “Penjara suci” menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan visi itu; menyiapkan anak kita tak hanya untuk jangka pendek : masuk jurusan ini di PT itu. Tapi mewujudkan visi untuk bisa mengenali diri, memiiki pengalaman dan menempa kebijaksanaan untuk menghadapi peran-peran dalam kehidupannya : menjadi muslim/muslimah, menjadi bagian dari masyarakat, menjadi istri/suami, ibu/ayah, menjadi pribadi yang survive dan berprestasi di dunia, dan selamat di akhirat.

Ada banyak cara untuk mencapai visi pengasuhan kita. Yang penting kita dengan sepenuh kesadaran memilihnya. Karena sesunggungguhnya, takdir putera-puteri kita, telah tertulis di Lauhul mahfudz. Yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar maksimal. Itu kewajiban kita.

Sedih itu belum tentu luka

Ada dua “kebijakan” yang diambil oleh boarding school/pesantren terkait dengan siswa baru-nya terkait kunjungan orangtua, terutama di awal masuk.

  1. Tidak memperbolehkan orangtua menjenguk di jangka waktu tertentu di awal
  2. Memperbolehkan, bahkan boleh “lebih sering” di awal.

Masing-masing kebijakan tentunya punya dasar pertimbangan masing-masing. Tapi saya pribadi, lebih setuju dengan kebijakan yang kedua. Maka, saya girang bukan kepalang ketika Boarding School si sulung mengambil kebijakan tersebut. Selama sebulan pertama, bulan Juli, anak-anak boleh dijenguk setiap minggu, setiap hari Ahad. Selanjutnya, dua minggu sekali. Akhwat di Ahad ganjil dan ikhwan di ahad genap (dan para emak akhwat pun mulai menandai bulan-bulan yang terdiri dari  5 minggu haha…)

Secara objektif, kebijakan boleh dijenguk lebih sering di bulan awal tersebut memberikan waktu “beradaptasi” ; baik kepada anak maupun kepada orangtua yang sebelumnya selalu “bersama”, dan kini harus “terpisah”. Saya bisa memahami perspektif lain yang menilai bahwa anak jangan sering ditengok apalagi di awal, karena nanti malah pengen pulang. Nanti “mengganggu” proses adaptasinya. Saya bisa memahami karena saya lihat faktanya.

Hari ahad lalu, tgl 15, adalah minggu pertama kami mengunjungi di sulung. Sejak 5 hari sebelumnya, adik-adiknya terutama si bungsu sudah “menghitung hari”. Tiap bangun tidur pertanyaan si bungsu nambah jadi dua: (1) Berapa hari lagi abah pulang; (2) Berapa hari lagi kita jenguk Kaka. Emaknya juga menghitung hari sih, tapi dengan cara yang berbeda haha….

Sesampainya di kawasan asrama yang asri, di beberapa spot orangtua sudah bersama anak-anaknya. Beberapa anak tampak sedang sesenggukan di pelukan orangtuanya. Saya juga hampir tak dapat menahan air mata saya. Begitu saya masuk kamar si sulung, si sulung langsung memeluk erat, sesenggukan juga.

Tangisan itu, tanda sedih. Sedih itu, tanda sesuatu yang tak menyenangkan. Secara “instinktif”, kita akan menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan buat kita. Itulah mengapa banyak ibu lebih memilih “pergi diam-diam” daripada “pamit” pada anak balita-nya saat akan meninggalkan anaknya; meskipun penelitian sudah menunjukkan bahwa dampak jangka panjang kalau “pamit”; jauh lebih positif dibandingkan pergi tanpa pamit, yang akan membuat anak merasa “tidak aman” karena tidak tahu kapan akan ditinggal, kapan tidak akan ditinggal. Saya, pernah punya 4 balita. Pamit pada anak  balita, adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Mereka akan nangis, ngamuk, dan kita akan gak tega. Kita akan merasa “jahat” meninggalkan mereka. Tak jarang setelah pamit, saya pergi dengan air mata berlinang atau bahkan terisak.

Tangisan itu, tanda sedih. Kita mengasosiasikan sedih dengan luka. Itulah sebabnya mengapa banyak suami yang “tidak tahan” melihat istrinya menangis. Reaksi mereka kala istri menangis adalah : abai, pergi, atau bahkan marah. Dulu, saya pikir para suami itu jahat. Tapi setelah belajar psikologi, lalu berprofesi sebagai psikolog; mendengarkan apa yang sesungguhnya dirasakan para suami itu, tak semuanya jahat. Sebagian besar  justru karena “tidak tahu harus menanggapi gimana”; “engga tahan liat orang yang disayangi terluka”; “merasa sudah bikin sedih, gak buat bahagia istri”. Padahal, kalau ngobrol dengan istri, tak semuanya menangis karena luka. Bagi wanita, menangis adalah ekspresi rasa. Tak semuanya rasa yang negatif.

Wajar memang jika secara “instinktif” kita menghindari tangisan. Saya melihat dan mendengar banyak orangtua yang meminta anaknya untuk berhenti menangis. Atau bahkan memang sengaja tidak menjenguk untuk menghindari tangis itu. Saya pun, mungkin akan mengambil cara itu. Andai saya tak belajar psikologi.

Setelah belajar psikologi, saya jadi menghayati bahwa setiap emosi, gak mungkin Allah ciptakan tanpa tujuan. Demikian pula kesedihan. Mengapa harus kita hindari? Kalau yang udah pernah nonton film “inside out”, salah satu pesan moral yang ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa kesedihan itu, sama diperlukannya oleh diri kita seperti juga kebahagiaan. Emosi, Allah ciptakan bukan untuk kita hindari atau abaikan. Emosi Allah ciptakan untuk kita hayati, kita kelola agar tidak merusak diri kita.  Banyak hikmah yang akan kita dapat kalau kita lakukan proses ini.

Misal ketika kita sebagai ibu pamit lalu meninggalkan si kecil yang “ngamuk” gak mau ditinggal oleh kita; air mata kita mengalir, kita akan sadar betapa kita ingin selalu dekat dengan anak. Penghayatan ini mungkin tak akan kita rasakan kalau kita pergi tanpa pamit. Demikian pula penghayatan itu, akan dirasa anak kita, jika kita bantu dia mengenali dan “mengajarkannya”. “Dede tadi nangis karena gak mau ditinggal ibu ya, dede pengen sama ibu terus ya? Berarti dede sayang sama ibu. Ibu juga sayang sama dede. Ibu juga gak mau ninggalin dede. Tapi ibu harus kerja. Ibu pergi, bukan berarti engga sayang sama dede. Ibu tetep sayang sama dede. Makanya ibu pulang cepet-cepet pas kerjaan ibu selesai.” 

Berbeda dengan padangan umum tentang “ketegaran”, psikologi melihat kesedihan sebagai sebuah mekanisme alami yang wajar. Sehat. Tidak merusak. Yang tidak sehat adalah yang menghindari dan mengabaikan rasa itu. Karena menghindari sunnatullahNya. Dan biasanya akan berdampak tidak sehat di kemudian hari.

Kemarin, setelah puas bertangis-tangisan dengan si sulung, lalu mendengarkan  si sulung cerita bahwa emosi yang ia rasakan nano-nano di minggu pertamanya; kadang seneng banget, kadang excited, kadang sedih, kangen rumah, kangen orang rumah… lalu gantian saya yang ceritain perasaan adik-adiknya, perasaan abah, perasaan saya yang juga tak kalah nano-nanonya…. lalu kami cerita gimana kami berusaha mengatasi rasa itu ….  saya bilang bahwa sedih itu wajar. Sedih itu tandanya kita saling sayang. Kalau Kaka gak sedih, kalau ibu gak sedih, berarti selama ini kita gak punya ikatan apapun. Sedih itu tandanya apa yang kita sedihkan itu, berharga buat diri kita.

Yups, sad is oke. Ia bukan tanda tidak mandiri, bukan tanda cengeng, bukan tanda tak berdaya. Sedih adalah tanda bahwa kita terkoneksi dengan dunia; dengan tempat, dengan orang, dengan peristiwa, dengan nilai-nilai. Sedih adalah tanda bahwa kita hidup. Dan rasa sedih yang Allah anugerahkan, menghidupkan hati kita.

 

Senyum Ramah yang Melekat di Hati

Kemarin sore, kabar duka itu saya terima. Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. Allahummaghfirlaha warhamna waafihi wa’fuanha.

Sedih sekali setiap mendengar satu per satu guru kami kembali pada Yang Maha Kuasa. Meskipun itu adalah sebuah keniscayaan, namun tetap saja… rasa bahwa kami tak bisa lagi memeluk mereka, melihat senyum mereka, menyerap ilmu-ilmu mereka, itu terasa mengguncang.

Prof. Kusdwirati Setiono. Ibu Tri, kami memanggil beliau. Akan selalu lekat senyum ramah dan kelembutan suaranya bagi kami para muridnya. Saat beliau mengajar saya mata kuliah Psikologi Perkembangan Keluarga dan Metodologi Penelitian. Saya masih ingat intonasi beliau saat menyebutkan kata “hipotetico deduction“.

Setelah menjadi kolega, saya lebih banyak mengenal beliau, meskipun tak dekat seperti teman-teman lain yang satu jurusan dengan beliau. Karena pergaulan saya adalah di psikologi, maka saya banyak menemukan mozaik-mozaik kepribadian baik dari guru-guru, teman-teman, dan adik-adik saya di lingkungan ini.

Beberapa tahun lalu,  digelar acara pelepasan beliau sebagai profesor sekaligus launching buku beliau. Buku yang saya simpan di lemari dalam kategori buku “istimewa”. Dalam acara itu, ada tempat dimana kami bisa menuliskan pesan dan kesan mengenai beliau. Dan disana, saya menuliskan : “ibu adalah salah seorang role model bagi saya”.

Yups, yang saya tulis memang benar. Dalam dunia karier, beliau telah mencapai puncaknya. Profesor, dekan. Kecintaan pada bidang ilmunya, membuatnya banyak memberikan kontribusi baik pada ilmu pengetahuan maupun pada institusi dimana beliau berkarya. Saya ingin menjadi seperti itu? tentu.

Apakah setelah pensiun beliau “kehilangan arah” ? tidak. Beliau tetap berkarya dengan bentuk yang berbeda. Petikan kecapinya selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan di universitas kami. Kecintaan beliau terhadap ilmu, sangat mengagumkan. Beberapa tahun terakhir, saat beliau mulai mengalami beberapa masalah kesehatan, beliau masih semangat menguji dengan ditemani suster yang membantu aktifitasnya.

Selain itu, yang membuat saya juga terpesona oleh beliau. Diri beliau sebagai ibu. Apakah karena beliau “sempurna” menjalankan peran sebagai ibu? Bukan. Justru sebaliknya. Dalam acara pelepasan itu, beliau bercerita bagaimana dulu putra-putrinya sering “protes” pada beliau, karena ketika minta dibacakan buku menjelang tidur, tidak pernah tamat karena beliau kelelahan dan ketiduran. Anak-anaknya akan membangunkannya, lalu beliau akan melanjutkan cerita dengan kepala pusing, untuk beberapa saat tertidur lagi. Entah mengapa, buat saya itu romantis sekali. Upaya beliau untuk tetap menjalankan peran beliau sebagai ibu, diantara aktivitas mencapai mimpinya. Beliau juga bercerita pernah merasa begitu “hancur” hatinya saat anak-anaknya ingin bermain, namun ia harus menyelesaikan disertasinya. Anak-anaknya biasa “ngintip” di kaca kamarnya.

Waktu saya ke rumah beliau beberapa tahun lalu untuk brainstorming mengenai topik disertasi saya, saya pun ditunjukkan ruang kerja dan kaca tempat putera-puteri beliau “ngintip”. Ya, saya ingat sekitar 5 tahun lalu, saya ingin mulai “memikirkan” topik disertasi, dan berdiskusi dengan beberapa senior. Saya memberanikan diri mengontak beliau. Beliau bersedia ditemui di rumahnya yang asri. Beberapa bahan beliau berikan, beliau mendengarkan dan menanggapi saya dengan penuh perhatian, dan kemudian kami berbincang-bincang mengenai manajemen waktu antara aktivitas di luar rumah dan di dalam rumah.

Pak Fuad Nashori dalam tulisan beliau di bawah ini, sudah merangkum keseluruhan kesan kami kepada ibu Tri. Semua yang beliau tulis, saya rasakan juga. Para murid dan koleganya, juga merasakan. Saya ingat salah seorang senior saya, bercerita bahwa saat itu, beliau sebagai mahasiswa sudah di ujung tanduk drop out. Ia sendiri sudah kehilangan fokus untuk menyelesaikan kuliahnya. Suatu siang, saat ia membuka pintu kost-an nya, Ibu Tri ada di sana, duduk menunggunya bangun. Mengajaknya untuk kembali menyelesaikan kuliahnya.

Ibu, tentu sebagai manusia ibu tidak sempurna. Ada tentunya kesalahan dan kekeliruan ibu. Tapi bagi saya, ketika seseorang kembali ke hadapan Allah dan hanya kebaikan yang dikenang orang-orang yang mengenalnya terhadap orang tersebut,  maka ia adalah orang baik. Ibu telah menjejakkan inspirasi bagi kami. Untuk menjadi pendidik yang baik, pecinta ilmu yang baik, berkarya, dan seorang ibu yang tak melupakan kodrat dan perannya.

Selamat jalan ibu. Kebaikan, karya, ilmu dan inspirasi dari ibu, semoga memeluk ibu dengan hangat. Amal jariah ibu bagi kami, akan menjadi penerang ibu di alam kubur. Semoga kami bisa kembali menikmati hangatnya senyum ibu, di syurga-Nya kelak Aamiin,

butri4

Tulisan Pak Fuad Nashori :

In Memorium
PROF Kusdwiratri Setiono
ORANG YANG SUPER BAIK

Dr. H. Fuad Nashori

Baru saja mendapat kabar dari Ibu Efi Fitriana (dosen Psikologi Unpad) bahwa Ibu Tri, panggilan akrab Prof Kusdwiratri Setiono, telah dipanggil kembali Allah swt. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga Allah memberikan ampunan untuk beliau, pahala yang berlipat atas semua amal baiknya, alam kubur yang penuh kedamaian, tempat yang terbaik di sisi-Nya, masuk surga, dan bebas dari neraka.
Perkenankan saya mengingatkan kembali kebaikan super dari beliau.

Saya pertama kali mengenal nama beliau (1994) saat membaca tulisannya di Jurnal Psikologi dan Masyarakat, yang terbit awal 1990-an. Beliau menulis artikel tentang penalaran moral. Sebuah tulisan yang sangat saya sukai. Sebuah tulisan yang saya banyak kutip untuk skripsi saya di Fakultas Psikologi UGM.
Dikarenakan berpikir ada ahlinya, saya ingin memahami kajian ini lebih mendalam dari beliau. Saya telepon beliau dari Yogya. Syukur alhamdulillah beliau membuka diri untuk berdiskusi di Kampus Dago, Bandung.

Suka Berbagi
Saya merasa begitu terhormat ketika memasuki ruangan kerjanya. Beliau tampak sangat siap menyambut saya. Di mejanya ada belsan atau bahkan puluhan buku yang bertema moral judgment. Tentu beliau menanggapi dengan suka hati topik dan judul skripsi yang saya ajukan. Sesekali menunjukkan bab buku yang terkait dengan isi pembicaraan kami. Di akhir pertemuan beliau mempersilakan saya meng-copy buku-buku tersebut. Saya masukkan dalam tas saya dan tas yang beliau pinjamkan buku-buku tersebut. Dari peristiwa ini saya catat orang baik adalah mau berbagi hal terbaik yang dimilikinya kepada orang lain. Tentu saja orang baik juga sangat mempercayai orang lain, sekalipun orang itu relative baru dikenalnya.

Memberi Surprise dan Perhatian Individual
Tiga tahun berikutnya (1997), karena kesan positif saya terhadap beliau, saya mengirim undangan ke beliau bahwa saya akan menikah di Sukabumi, lebih kurang 3 jam ke arah barat dari Bandung. Beliau lagi-lagi memberikan surprise. Beliau datang bersama suami beliau, Pak Setiono. Sesuatu yang sangat istimewa. Sesuatu banget. Saya sungguh tak menduganya. Dari sini saya catat orang yang sungguh-sungguh baik adalah orang yang memberi surprise yang menyenangkan.
Tak lupa, sering saya bertemu beliau di acara-acara temu ilmiah psikologi, saya sangat sering bertegur siapa dan bertukar kabar dengan beliau. Saya sangat senang setiap bertemu karena tokoh kita ini tampak selalu menunjukkan kasih sayangnya. Saat mengirim tulisan ke jurnal ilmiah yang saya kelola, Jurnal Psikologika, beliau juga beberapa mengirim leaflet tentang adanya peluang-peluang konferensi internasional di luar negeri. Beliau menunjukkan bahwa beliau selalu mengingat saya. Saya catat lagi ciri orang baik, yaitu suka menunjukkan perhatian individual.

Rajin Memberi Bimbingan
Ketika akhirnya saya memutuskan Unpad sebagai tempat studi S3 saya, saya memiliki harapan agar beliau bersedia menjadi salah seorang pembimbing disertasi. Alloh mengabulkan doa saya. Di kampus inilah saya menemukan salah satu penggalan kisah terindah dalam hidup saya. Saya dibimbing oleh promotor-promotor terbaik, orang-orang yang teramat baik. Para promotor yang sangat dekat secara personal (misalkan saya sempat menginap di rumah Prof Zulrizka dan Kang Gimmy, dengan inisiatif mereka sendiri mengajak makan di restoran terbaik di Bandung, dsb).
Saya fokuskan ke Ibu Tri. Beliau menyediakan diri untuk membimbing saya setiap akhir pekan. Yang istimewa -dan ini dibilang sahabat-sahabat saya sebagai kisah termanis saya saat studi- adalah hampir selalu tiga promotor saya hadir dalam bimbingan bersama. Ibu Tri, sekalipun usianya sudah lebih dari 70 tahun saat itu, hampir selalu hadir dalam bimbingan.

Rendah Hati dan Percaya
Ada beberapa sikap yang menunjukkan beliau orang yang sangat baik. “Mas Fuad, bila nanti ada perbedaan pendapat antara saya dan Promotor Utama, anda ikuti saja pendapat beliau,” ungkap beliau. Sebuah sikap yang menunjukkan kerendahhatian. Orang baik selalu berendah hati.
Suatu saat Ibu Tri minta agar bimbingan dilakuan di rumah beliau. Saat ada di rumahnya, beliau memberikan pesan via whatssapp bahwa beliau ada di luar rumah, belum bisa ke rumah sebagaimana janji. Beliau pesan agar saya masuk dalam rumah dengan mengambil kunci yang beliau letakkan di salah satu sudut rumah, lalu bersantai-santai di sana. Naun, saya menolaknya dengan alasan yang dapat beliau terima. Saya catat orang baik adalah orang percaya kepala orang lain.

Meluruskan yang Bengkok
Sebagai orang yang baik, Ibu Tri juga memberitahu saya kalau ada yang salah. Pada suatu hari saya membuat janji dengan beliau di rumah beliau. Saya pikir tamu yang baik ya bawa oleh-oleh. Saya bawa bakpia Yogya. “Selama periode bimbingan gini sebaiknya mahasiswa tak bawa oleh-oleh. Ini agar tidak ditafsirkan macam-macam. Kalau mau ngasih nanti saja setelah lulus, ” ungkap beliau. “Setelah hubungan pembimbing-mahasiswa selesai, berubah jadi bimbingan personal, dikasih pesawat pun saya terima.” Saya paham bahwa orang baik adalah orang yang meluruskan apa yang bengkok.

Penutup: Menghibur yang Bersedih
Di bawah para pembimbing yang hebat, alhamdulillah saya dapat menyelesaikan studi dengan sangat lancar. Ketika saya menunjukkan sedikit kekecewaan karena tidak berhasil meggapai cumlaude (syarat cumlaude di Unpad min 3,80, saya dapat 3,78), beliau berbisik. “Disertasi anda sangat bagus, dapat nilai terbaik.” Orang yang baik bisa membaca perasaaan dan menghiburnya.
Ringkas cerita, senangnya bertemu dan bergaul dengan orang-orangterbaik. Semoga kebaikan mengalir terus kepada penerus-penerus kebaikan. Menjadi amal baik bagi mereka dan kita sebagai penerusnya.

Kisah seorang Ibu

Tak ada yang sederhana

Tentang kisah menjadi seorang ibu

Terutama tentang berjuta rasa yang menderanya,

Tentang anak-anaknya

 

Tak pernah ada kisah sederhana bagi seorang ibu,

Kala terkait dengan anak-anaknya

Meski sang ari telah terputus setelah 9 bulan menyatu,

Namun takkan ada yang mampu memutuskan ikatan rasa selamanya

 

Seluruh bahagia, seluruh rasa suka, seluruh resah, seluruh gundah, seluruh luka

Yang dirasa anak, dirasa pula oleh ibu

Bedanya, sang ibu merasakan 2 kali lipatnya.

Atau lebih

 

Lima tahun, lima belas tahun, dua puluh lima tahun, … lima puluh lima tahun usia anak,

Walau berbeda kisah,

Namun berjuta rasa yang dialami seorang ibu tentang anak-anaknya,

Tak akan pernah berubah.

 

Seluruh kisah tentang seorang anak, adalah bagian kisah ibunya.

ibuuuuuuuuuuu

Calon Mantu

Ada banyak “rules of life” yang saya “temukan” dalam kurun waktu  39 tahun menjalani kehidupan ini. Salah satunya adalah, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, tak akan pernah ada kata EXPERT. Berbeda dengan profesi atau bidang kerja yang setelah kita jalani bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun membuat kita menjadi EXPERT, tidak demikian dengan hidup.

Mengapa?

Karena setelah kita “expert” dalam suatu situasi, maka Allah Sang Maha Kuasa lalu membuat kita harus selalu bisa move on dari ke-expert-an kita, dengan memberikan kita situasi dan kondisi kehidupan yang berubah dari sebelumnya. Psikologi, menyebutnya life span development; perkembangan sepanjang rentang kehidupan.

Perkembangan sepanjang rentang kehidupan adalah perkembangan yang terjadi pada diri manusia sepanjang hidupnya. Dari sejak kecil sampai dewasa? Bukan. Sejak konsepsi sampai dengan wafat. Perkembangan itu berupa perubahan fisik, biologis, berpikir, emosi (yang ada di dalam manusia), serta tuntutan sosial ( yang ada di luar tubuh manusia)

Setiap kali mengamati dan menghayati perkembangan pada manusia, saya selalu berpikir: Kenapa Ya, Allah ciptakan sistem seperti ini ? Kenapa Allah membuat anak yang sudah “anteng” di usia SD, menjadi  “dis-equilibrium” dengan kecamuk hormon pubertas yang mengubah “penampakan” dirinya?  Kenapa anak laki-laki yang udah enak lempeng-lempeng aja kemudian harus mengalami rasa ser-ser-an kala lihat lekuk tubuh teman perempuannya?

Lalu setelah gejolak hormon pubertas itu mereda, mereka sudah “stabil” dalam hal itu, muncullah gejolak baru. Tidak berbentuk kecamuk fisik, tapi kecamuk rasa dan pikir. Mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan penting : memilih jurusan, lalu memilih bidang kerja, memilih pasangan hidup. Ketika itu semua sudah didapat, apakah “stabil”? tidak. Muncul “dis-equilibrium” yang lain : jadi menantu, jadi istri/suami, jadi ibu/ayah, lalu jadi mertua, jadi nenek/kakek, terus…terus… dan terus..   Dalam psikologi, perubahan yang membuat dis-equilbrium itu  disebut tugas perkembangan.

Kenapa Allah ciptakan episode kehiduan manusia seperti itu? Bertahun-tahun saya mempertanyakan hal itu, sampai akhirnya menemukan jawabannya. Jawabannya adalah, biar kita terus “bergerak”. Perubahan itu, dis-equilibrium itu, adalah “dinamika” yang Allah ciptakan untuk menggerakkan mesin kehidupan diri kita, menuju akhir hidup yang penuh wisdom kalau kata pendekatan psikososial Erikson. Khusnul Khatimah kalau kata Islam. Nafsul muthmainnah.

Jadi, perubahan yang kita rasakan dalam diri, adalah wajar. Kegalauan, keresahan, kekhawatiran yang menyertai perubahan itu, juga wajar. Dosen saya pernah mencontohkan perubahan itu dengan sebuah demonstrasi. Dia menunjuk gelas yang berisi air. Beliau simpan di atas meja. Air tenang. Stabil. Tidak bergerak. Lalu ia pindahkan, air bergejolak sebentar, sebelum kemudian tenang lagi.

Maka, demikian pula hidup kita. Galau-galau saat mengalami perubahan, adalah sangat manusiawi. Yang penting jangan galau terus-terusan hehe… Kegalauan itu, jadikan nyala api untuk membuat kita “bergerak” : mencari ilmu, belajar keterampilan baru, menghayati hal baru, beradaptasi dengan cara baru. Kita jadi move on terus. Diri kita “berkembang”. Menjadi lebih baik dan lebih bijak. Kalau tidak, kita akan tetap stuck di satu titik. Misalnya dalam konteks pengasuhan: anak kita udah remaja, skill pengasuhan kita masih mengandalkan pola untuk anak TK. Anak kita makin dewasa, tapi kita tak ikut mendewasa.

Tahun-tahun terakhir dan beberapa tahun ke depan;  saya dan keluarga kami, sedang berada di masa “bergejolak” itu. Ada 3 orang yang akan mengalami masa transisi dalam kehidupan psikologisnya. Saya, beranjak 40 tahun. Transisi dari tahap “dewasa awal” ke “dewasa madya” mulai terasa. Baik dalam segi fisik, pemikiran, emosi dan tuntutan sosial. Syukurlah si abah, sudah melewati masa itu 2-3 tahun lalu, dan saya melihat ia melewatinya dengan sangat baik. Kegalauan yang ia rasakan berujung pada perubahan perspektif dalam memandang kehidupan, alhamdulillahnya ke arah yang baik dan benar. Jadi saya bisa nyontek hehe.

Si sulung, tahun ini akan meninggalkan masa remaja awal dengan tema persoalan khas remaja putri. Dan si bujang, masuk ke masa remaja awal. Tanda-tandanya sudah terlihat dan menguat. Tanda-tanda yang berbeda dengan si sulung. Membuat saya cemas, namun jadi banyak belajar.

Secara umum, keluarga kami pun mengalami perubahan. Penelitian menyebutkan bahwa masa ini, adalah masa rentan kedua setelah 5 tahun pertama pernikahan. Secara sederhana, saya suka bilang : “di masa ini, emaknya biasanya lagi pusing 7 keliling menghadapi perilaku si remaja. Nah bapaknya, kalau gak kuat iman dan regulasi diriya lemah, bisa sibuk dengan “remaja” lain di luar rumah “😉.  Puber kedua juga biasanya dirasakan tak hanya oleh bapak-bapak, tapi juga ibu-ibu. Perselingkuhan, rentan terjadi di usia pernikahan seperti kami, 16-an. Demikian pula perceraian. Apalagi dengan dunia medsos yang membuat potensi “khalwat” dan “mendekati zina”, bisa terjadi meskipun kita mengisolasi diri dalam ruangan tertutup (asal ada hape, kuota dan charger hehe).

Dampak perubahan yang sedang dialami masing-masing anggota keluarga kami yang paling gampang terdeteksi adalah, tema obrolan. Akhir-akhir ini ada beberapa kejadian terkait si sulung yang menginjak usia 15 tahun, yang membuat tema “calon mantu”, menjadi tema obrolan paling intens di keluarga kami. Saya tak menduga sebenarnya issue ini mulai jadi berarti. Karena saya pikir, “saatnya” masih lama, 7-10 tahunan lagi. Dan memang apa yang terjadi, masih berupa “kembang-kembang” aja. Tapi itu cukup untuk membuat saya menyadari bahwa saya-keluarga kami, akan menghadapi hal ini.

calon mantuSeperti yang saya bilang di atas, setiap perubahan membuat kita galau, gelisah, khawatir. Karena kita belum tahu. Demikian juga yang saya alami. Isue tentang calon mantu ini “mengubek-ubek”perasaan saya mengenai 2 hal : melepaskan dan menerima.

 

Satu, melepaskan. Saya menjadi tersadar, bahwa akan ada waktu dimana kita harus “melepasakan anak kita” pada orang lain. Seluruh cinta yang kita punya buat anak-anak kita, seluruh perlindungan yang bisa kita berikan pada mereka, akan sampai pada satu titik, dimana kita menyerahkan yang tersayang, pada “orang lain”. Penghayatan mengenai melepaskan  ini memunculkan suatu refleksi dalam diri saya : betapa kita sering meremehkan perasaan orangtua. Saya jadi paham betul sekarang, mengapa istri yang mengalami KDRT, biasanya masih bisa memaafkan suaminya. Tapi orangtua dari si istri tersebut, biasanya akan sangat terluka. Saya jadi paham mengapa suami yang dikhianati, masih bisa menerima. Tapi orangtuanya, tak bisa memberikan toleransi. Ya, saya ngerti sekarang betapa berat effort yang harus dilakukan orangtua untuk bisa “melepas” anaknya, dan betapa akan terluka hatinya saat orang yang ia percaya, melukai anaknya. Dalam tataran aplikatif, jadi terhayati bahwa sebagai pasangan, kita harus memberikan keyakinan pada mertua kita bahwa kita “bisa dipercaya” untuk memberikan cinta yang sama besar pada anaknya.

Dua,  menerima. Akan ada masanya kami harus menerima “orang lain” menjadi bagian dari keluarga kami. “Gimana kita bisa percaya 100 persen sama orang lain itu ya?” Itu jadi pembicaraan seru saya dengan si abah. Muncullah beragam gagasan, mulai dari yang  konyol kayak : kita sewa detektif (haha….) sampai yang serius : kita jodohkan aja sama anaknya teman yang udah kita kenal banget. Muncul juga obrolan bahwa kita harus belajar legowo dari sekarang, untuk menerima hal-hal yang tak ideal sesuai dengan harapan kita, andai hal-hal itu bukanlah hal prinsip. Misal pengen punya mantu yang rame, eh dapetnya yang pendiam 😉 .

Meski kata si sulung “ibu lebay banget sih, masih lama juga” … tapi saya sangat bersyukur dengan kejadian yang membuat saya “aware” bahwa kurang dari 10 tahun lagi, saya akan menghadapi situasi ini. Untuk seorang pencemas sseperti saya, tak ada yang lebih baik dibandingkan mempersiapkan diri. Dan dalam profesi saya, saya tahu betul, ada banyak potensi masalah rumah tangga kala seorang ibu tak siap melepas anaknya, ataupun menerima calon mantunya.

Kegalauan lain yang saya rasakan  juga adalah, bagaimana bersikap kepada si sulung terkait issue ini. Sudah fitrah-nya bahwa ia menyukai dan disukai oleh lawan jenisnya. Saya mengamati, ada beberapa  pilihan orangtua terkait isu ini, di usia anak usia 15an . (1) membolehkan “pacaran” (2) melarang keras “pacaran” (3) menikahkan dengan alasan “daripada zina”.

Setelah galau memilih pilihan pertama, kedua, atau ketiga; saya pun memutuskan untuk memilih yang keempat haha… yaitu … menjadikan situasi ini “pembelajaran” memilih calon suami buat si sulung kkkk….

Saya merasa untuk diri saya sendiri;  mendengarkan cerita si sulung, perasaannya, pengalamannya… lalu kemudian mengajukan beberapa pertanyaan, mengobrol, membuat saya banyak tahu mengenai apa yang ada di kepala dan hati si sulung terkait issue ini . Siapa yang dia suka, siapa yang dia gak suka, kenapa suka, kenapa gak suka. Bahasa teknik parentingnya, proses ini namanya adalah PACING. Sederhananya “menyamakan langkah”

Dari situ, jadi tau apa yang udah bener, apa yang belum bener. Bisa juga membantu merefleksikan diri padanya untuk mengenal dirinya, sehingga dia jadi tau pasangan hidup seperti apa yang bisa melengkapi dirinya. Yang sholeh? Iya…pasti. Tapi kan yang sholeh teh ada yang romantis ada yang lempeng. Ada yang smart, ada yang biasa aja. Ada yang seneng baca buku, ada yang seneng ngobrol.  Mulai mengidentifikasi mana kriteria prinsip, penting dan kriteria yang “pengen tapi bisa diabaikan”.

Ini adalah pintu masuk yang paling pas untuk mengajarkan salah satu materi sekolah pranikah : menentukan kriteria pasangan hidup haha…. Seru deh membahas apa yang penting di usianya saat ini, apa yang penting di usianya nanti pada saatnya. Apa yang dia rasa gak penting saat ini, padahal itu penting banget “pada saatnya nanti”. Jadi we buka-buka lagi ppt materi sekolah pranikah yang pernah saya bikin buat salah satu sekolah pranikah beberapa tahun lalu, judulnya “evolusi kriteria pasangan hidup” haha…. Proses ini, bahasa parentingnya adalah LEADING. Mengarahkan.

PACING dan LEADING ini jadi resep jitu menanamkan nilai-nilai pada anak. Karena nilai hanya bisa diterima melalui dialog. Kalau divisualisasikan, kayak kita udah melangkah jauh di depan, anak tertinggal, PACING adalah “mundur, lalu menyamakan posisi dengan anak”. Kemudian kita gandeng anak berjalan selangkah demi selangkah menuju titik yang kita mau anak ada di sana, itulah LEADING.

Terakhir, kegelisahan dan kekhawatiran mengenai issue ini menjadi bensin buat saya untuk: berdoa. Berdoa sepenuh hati, agar Allah mempertemukan anak-anak saya dengan jodoh terbaiiiiik…. Yang bersatunya mereka, bisa mengeluarkan kebaikan masing-masing dan menebar kebaikan untuk semesta.  Berdoa sepenuh rasa, agar anak-anak saya dilindungi dari jodoh yang akan membawa keburukan dan melukai. Aamin…ya robbal aalamiin

 

 

 

Sepasang rantang, jalan yang lurus, dan the art of listening #ParentingGame02

Sebulan ke belakang, aktivitas saya padat. Pergi pagi pulang sore tiap hari, beraktivitas di Jatinangor. Pulang lelah, pengennya langsung mandi dan rebahan. Gak sanggup rasanya masak makan malam buat anak-anak. Akhirnya, dengan restu si abah, saya pun memutuskan menggunakan bantuan jasa catering. Ada yang menyediakan jasa catering harian deket rumah saya, dengan harga terjangkau dan yang terutama, menu-menu sehat yang pas buat anak-anak. Alhamdulillah. Bu catering senang, saya senang, anak-anak senang.

Cuman ada satu masalah. Bu catering mengirimkan makanannya menggunakan styrofoam. Dilapisi daun pisang sih, tapi sebagai orang yang tahu efek styrofoam terhadap lingkungan, asa ngeganjel. Anak-anak saya berkomentar semua. Saya juga bilang gak nyaman sih… tapi ya gimana lagi. Tiap menerima 3 styrofoam per hari, hati saya berontak, tapi ya…gimana lagi.

Adalah si gadis kecil, si 9 tahun kelas 3 SD itu yang protesnya paling keras. Dia memang pecinta lingkungan sejati.  Gara-gara bacaannya Bobo dan Kuark, yang selalu memaparkan tema-tema cinta lingkungan. Dia yang cerewetin saya soal penggunaan listrik yang gak perlu, penggunaan kendaraan secara minimal, membawa bekal minum daripada beli air mineral dalam botol, memakai saputangan dibanding pake tissue; sampai kalau saya masak, dikomentarin juga. “Ibu, harusnya wajannya dibersihin bawahnya, itu meminimalisir pembakaran bu… sama ibu pake wajan yang permukaannya luas harusnya, karena bla..bla..bla……”. Tiap menerima catering styrofoam, kalau kakak-kakak dan adiknya cuman komentar saja, dia melayangkan protest keras. Protesnya semakin meningkat setiap hari. “Ibu, coba ibu bayangkan… keluarga kita aja 3 kali 5 sama dengan 15 styrofoam tiap minggu. Berapa orang yang langganan?” styrofoam itu gak bisa diurai ibu…bayangkan gimana jadinya bumi kita….”. Hari lain, dia memaksa untuk mengumpulkan styrofoamnya, untuk di re-cycle katanya. “Nanti teteh cari di youtube gimana re-cyclenya” katanya. Daaan..akhirnya, suatu hari protestnya berubah menjadi ancaman : “Kalau masih pake styrofoam, teteh gak akan mau makan”. Waduh, gawat ini….

Saya tak bisa lagi mengabaikan pendapatnya. Akhirnya 2 minggu lalu, saya sengaja sempatkan ke borma beli sepasang rantang. Saya sampaikan ke bu catering kalau saya gak mau pake styrofoam lagi. Bu catering bilang ia juga pengennya gitu, tapi belum ada modal. Saya doakan semoga ibu catering seger apunya modal untuk beli rantang-rantang, Alhamdulillah semua kembali senang.

 

 

 

Temans para ibu  muslimah, minimal 17 kali dalam sehari kita memohon pada Yang Maha Kuasa : “ihdinassirootol mustaqiim” . Tunjukkan kepada kami jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu, adalah jalan kebaikan dan kebenaran. Jalan yang membawa kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Secara garis besar, melalui doa itu, kita bermohon agar Allah tetapkan kita dalam agama yang kiya yakini baik dan benar ini, yaitu Islam. Dan kalau kita perluas secara operasional, doa itu kita mohonkan agar dalam day to day aktifitas kita, Allah juga tunjukkan jalan dan cara yang baik dan benar, yang membawa kebahagiaan dan keselamatan.

Apa kaitan cerita saya tentang si gadis kecil dengan ihdinassirootol mustaqiim?

Saya menghayati, bahwa melalui kata-kata anak, banyak sekali jawaban Allah atas doa mohon ditujukkan jalan lurus yang kita mohonkan minimal sehari 17 kali itu. Dalam situasi yang saya gambarkan di atas: Islam meminta kita mencintai lingkungan, mencintai bumi. Tapi tanpa ada “desakan” dari si gadis kecil, pengetahuan saya untuk mencintai bumi sebagai rasa syukur atas nikmat bumi ini, hanya sekedar pengetahuan saja. Tak berbuah menjadi amal. Saya percaya bahwa terutama anak yang belum baligh, basyirah-nya masih jernih. Nurani mereka belum terhalangi oleh jelaga dosa. Maka, pikiran dan perasaan mereka sangat berarti. Harusnya kita dengarkan.

Dalam konteks pengasuhan, kita sangat ingin cara kita mengasuh adalah cara yang baik dan benar. Cara yang bisa membawa kita dan anak kita pada kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Pikiran dan perasaan anak mengenai bagaimana cara kita mengasuh mereka, adalah kompas yang berharga bagi saya. Itulah yang mendasari #ParentingGames 02 di status facebook saya tanggal 27 Maret lalu.

Kita tanya pada anak-anak kita,
(1) kamu paling seneng kalau ibu/ayah (tergantung siapa yg bertanya) gimana sama kamu?
(2) kamu paling gak seneng kalau ibu/ayah (tergantung siapa yang bertanya) gimana sama kamu?
Note : 
Formulasi pertanyaan bisa diubah sesuai pemahaman anak
Usia anak tidak dibatasi ya… usia dewasa pun oke banget

Sayangnya, berbeda dengan #ParentingGames 01, tak banyak yang ikut sharing kali ini. Hanya 4 orang.

Buat saya pribadi, bertanya mengenai pikiran dan pendapat anak-anak terhadap perilaku saya, benar-benar menyediakan cermin sekaligus kompas untuk menjalani pengasuhan ini. Misalnya, ketika si bujang kecil yang berumur 11 tahun bilang : “Paling gak suka kalau ibu kayak peribahasa seekor kerbau berkubang, semua kena lumpurnya. Ibu marah sama satu anak, semua anak dimarahin”. Saya ternganga. Oh ya? bener gitu kelakuan saya kayak gitu? Lalu si bujang menjelaskan beberapa peristiwa dimana saya menunjukkan perilaku itu, dan bagaimana perasaannya. Itu benar-benar feedback berharga buat saya. Saya pribadi, seorang diri, sama sekali tidak bisa “melihat” perilaku itu dalam diri saya. Karena saya hanya punya 2 mata, yang saya arahkan pada orang lain, pada anak-anak. Oleh karena itu saya butuh bantuan mata anak-anak yang bisa melihat ke arah diri saya. Bayangkan kalau saya gak pernah nanya. Maka, saya akan terus mengulang perilaku “menyebalkan” itu tanpa saya sadar. Saya tak akan pernah jadi ibu yang lebih baik dalam hal tersebut.

Lalu, jawaban si bujang kecil bahwa “kalau ibu nanya pendapat dan perasaan aku” sebagai hal yang paling ia sukai dari saya, juga membuat saya ternganga. Saya tak menyangka bahwa hal “sederhana” itu ternyata sangat ia sukai dan berharga buatnya. Saya suka bilang pada ibu-ibu yang merasa mereka “tidak kompeten” atau “gak pede” mengasuh anak, tanya apa yang paling anak-anak mereka sukai dari ibu. Jawaban anak-anak kita, trust me, seringkali membuat kita merasa perasaan kita jauh lebih baik. Karena ternyata, untuk jadi ibu yang “kompeten” itu, tak harus seideal yang sering dikatakan para narasumber parenting. Ternyata buat anak-anak kita, banyak hal-hal baik yang sudah kita lakukan, yang membuat mereka senang dan berharga.

Yups, kadang-kadang kita suka lupa. Mencari ilmu pengasuhan ke sana kemari, Dan memperlakukan anak-anak kita sebagai “objek”. Padahal, children has their own wisdom. Ilmu pengasuhan, diperlukan sampai tataran prinsip . Komunitas pengasuhan, diperlukan untuk memberikan ide-ide operasionalisasi prinsip pengasuhan.Untuk bisa mengamalkan ilmu itu di rumah, pada anak-anak kita,  Jangan lupa…. Posisikan mereka sebagai subjek. Tanya kebutuhan/pendapat mereka dengan tulus, Tumbuhkan kerendahan hati untuk mau mendengarkan, Mempercayai dan menghargai kebutuhan/pendapat mereka.

Karena saya sudah menjanjikan untuk memberikan “sesuatu” pada yang sharingnya paling istimewa, maka dari 4 sharing inspiratif, saya memilih satu yang menurut saya paling istimewa. Adalah sharing dari Ibu Lenny Kendhawati. Yang istimewa dari sharing beliau adalah, “anak” yang beliau tanya bukan berusia 3 tahun atau 13 tahun. Tapi 32 tahun ! yang juga sudah menjadi seorang ibu.  Hal ini membuat saya kembali teringatkan bahwa peran menjadi ibu itu, hanya selesai pada saat salah satu dari kita- ibu atau anak-; menutup mata. Peran menyayangi, melindungi, menjaga, mendidik itu terus melekat dalam diri kita. 

Berikut adalah jawaban dari puteri ibu Lenny : P_32_(+) kalau ibu bekelin makanan / P_32_(-) kalau ibu meragukan aku. Pas bacanya saya sampai berkaca-kaca… See? hal sederhana “bekelin” makanan, ternyata begitu berkesan. “Diragukan” adalah hal yang paling tidak disukai. Dengan cara ini; dengan ketulusan bertanya, dengan kerendahan hati mendengarkan, kita jadi punya kompas, jalan mana yang tak boleh kita ulangi. Bukankah jawaban-jawaban seperti ini adalah jawaban dari doa “ihdinassirootol mustaqiim” kita? 

Meskipun tak banyak yang sharing di postingan #ParentingGames 02, saya berharap kegiatan ini benar-benar dilakukan, untuk beragam hal dalam pengasuhan. Jangan budayakan “saya menyimak”, tapi budayakan “saya amalkan”. Jujur saja, memang aktifitas ini bukan hal yang mudah. Karena kita sebagai “orang dewasa” selalu punya pilihan untuk mengabaikan pikiran dan perasaan anak-anak. Merasa tak perlu mendengarkannya, merasa tak perlu menggali lebih jauh apa maksudnya, merasa tak perlu merenungkan pikiran dan pendapat mereka. Hanya saja, kalau kita terus bersikap demikian, kita telah menutup mata dari kompas pengasuhan yang Allah sediakan sebagai jawaban dari permohonan kita. Atau, mungkin permohonan kita pada Allah hanya basa-basi saja.

Percayalah, “working together with our children” membuat penjelajahan dan perjalanan pengasuhan menjadi seru dan menarik.

 

 

Connection Before Correction #ParentingGame01

Ada beragam macam teori dalam pengasuhan, yang diformulasikan melalui beragam perspektif dan beragam metode. Tapi dari seluruh teori pengasuhan, hampir selalu ada komponen yang namanya cinta, penerimaan, dukungan, keterlibatan, kedekatan, kelekatan, koneksi. Intinya adalah, hubungan yang baik dan dekat antara orangtua dan anak.

Kalau kita ibaratkan kehidupan yang akan anak lalui  sebagai sebuah labirin yang rumit dimana kita harus menunjukkan pada anak lorong mana yang benar dan lorong mana yang berujung pada kesesatan, maka sebelum kita bisa melakukan hal itu, kita harus membuat anak membuka pintu dirinya, mempersilahkan kita masuk untuk menemaninya melalui atau menunjukkan arah di lorong-lorong itu. Sehebat apapun kemampuan kita untuk menunjukkan anak kita jalur labirin yang benar, sebesar apapun keinginan kita untuk menemani anak agar terhindar dari jalur labirin yang salah, tak akan bisa lakukan kalau ia tak membuka pintunya untuk kita.

Dan yang bisa menjadi kunci pembuka, yang akan membuatnya mempersilahkan kita menemaninya lalu  menunjukkan jalan yang benar, adalah kedekatan hubungan kita dengan anak. Connection before correction. Suatu frase yang super duper saya sukai. Iyesh. Jalin hubungan dulu, buat anak kita membuka hatinya buat kita, buat anak menerima kita dengan sukarela. Barulah kita bisa memberikan arahan-arahan yang akan dihayati oleh anak untuk kemudian ia internalisasikan dalam dirinya.

Membangun koneksi dengan anak itu, gampang-gampang susah. Awalnya gampang, lama-lama kalau yang gampang kita lewatkan, bisa jadi susah. Sesungguhnya, Allah Yang Maha Sempurna sudah membuat perkembangan manusia sedemikian sempurna-nya sehingga sebenarnya, secara fitrah, hubungan yang dekat antara orangtua dengan anak, bisa terjalin.

Ada yang pernah liat bayi yang wajahnya menyebalkan? 99,99 persen gak akan ada. Saya pernah membaca sebuah penelitian bahwa proporsi wajah bayi (yang berbeda dengan wajah orang dewasa), itu Allah desain sedemikian rupa sehingga memandangnya, akan mengaktifkan pengeluaran hormon oksitosin, si hormon cinta. Bahkan wanita yang wajahnya “baby face”, konon lebih menarik bagi laki-laki karena proporsi wajah bayi atau seperti bayi, menunjukkan kebutuhan akan kasih sayang dan perlindungan. Belum lagi aroma yang keluar dari bayi. Hhmm…keringetnya, “bau acem”nya, “memaksa” kita untuk menciumnya, mendekapnya. Kenapa Allah buat seperti itu ? karena bayi membutuhkannya. Ia sangat tergantung pada orang dewasa. Maka ia harus punya sesuatu yang menarik hati orang dewasa. Selelah apapun seorang ibu, memandang wajahnya, tak akan tega mengabaikannya.

Allah menyediakan fasilitas “penampakan” dan perilaku anak usia bayi sampai dengan usia prasekolah yang selalu mengandung  aspek lucu dan menggemaskan, agar kita bisa menjalin relasi dengan anak, dengan cara yang paling primitif, mudah dan sederhana; kontak fisik. Memeluk, mencium. Gak usah bicara. Peluk dan cium saja mereka, maka jalinan yang kuat, hangat dan dekat akan terjalin. Saya pernah melakukan penelitian, “ngobrol” dengan 100an anak usia TK A dan TK B, kurang lebih mengenai kapan mereka merasa “disayangi” oleh ibu mereka. Dan jawaban mereka adalah : ketika dipeluk dan dicium ibu.

Selanjutnya, mulai usia pra pubertas, kelas 5an SD, kita harus mulai memikirkan bentuk lain untuk mempertahankan jalinan hubungan yang hangat dan dekat tadi. Kenapa? karena rutinitas memeluk, mencium, menjadi berkurang. Anak kelas 5an mungkin sudah tidak mau lagi kiat “kelonin” saat menjelang tidur. Belum lagi biasanya mereka sudah punya adik. 1 atau 2 biasanya. Tak ada momen khusus ynag membuat kita bisa mendekapnya erat dan hangat dalam waktu yang lama.

Lalu ketika mulai masuk pubertas, sekitar kelas 6 atau kelas 7 untuk anak perempuan dan kelas 7 atau kelas 8 untuk anak laki-laki, secara fisik, sulit bagi kita untuk “menyukai” anak. Ketek bau menyengat, wajah berminyak dan atau berjerawat, raut merengut, saat ini adalah saat yang paling kritis. Biasanya, kalau hubungan dekat di fase sebelumnya belum terjalin, maka di usia ini hubungan ortu-anak rentan untuk  “putus” . Bentuknya apa? saling kesal, selalu saling marah, selalu merasa saling salah. Nah, kalau sudah situasi gini, gimana kita bisa menemani mereka menjalani kehidupannya? menunjukkan jalan yang benar dan salah dalam setiap kasus di keseharian mereka? padahal di usia ini lah mereka mulai menjelajah duna luar. DI usia inilah mereka mulai merasakan naik angkutan umum, pesan kendaraan online, punya smartphone sendiri, memiliki rasa suka dengan lawan jenis, rasa penasaran terhadap hal-hal baru.

Ada beberapa ibu yang kadang “mati gaya”, kehabisan ide, bagaimana secara teknis menjalin hubungan baik dengan anak-anaknya. Berdasarkan pemikiran tersebutlah, tgl. 7 Maret lalu, saya membuat status mengenai hal ini. Dan amazing, Beragam sharing mengenai aktifitas yang real bisa dilakukan pada anak di beragam usia, membuat saya berkaca-kaca saat membacanya. Ternyata banyaaaaaaaak yang bisa kita lakukan untuk membuka pintu hati anak kita, membuat mereka mempersilahkan kita masuk ke dalam kehidupan mereka.

Semuan sharingnya keren dan inspiratif. Dan saya sudah menjanjikan utuk memilih 3 sharing yang paling inspiratif untuk saya kasih buku Bukan Emak Biasa. Seperti saya bilang di atas, semua sharingnya keren. Tapi 3 sharing yang saya pilih ini unik dan menarik untuk diulas.

Yang pertama adalah dari Andy Nuriya Setiawan. Salam kenal kang, karena saya belum mengenal beliau. Sharing beliau adalah :  P_3_cerita tentang waktu dia bayi sebelum tidur. 

Yesh… “cerita kelahiran” adalah juga kisah favorit buat anak-anak saya, yang selalu direquest hampir setiap malam. Buat saya yang gak kreatif, menceritakan kisah kelahiran mereka, dibumbui oleh emosi positif dan intonasi yang”dramatis”, adalah sangat mudah karena tak harus mengarang. Kita tinggal “memanggil kenangan indah itu”. Lalu, kenapa anak suka? Karena itu bermakna sangat dalam. Setiap orang butuh akar hubungan. Itu adalah identitas diri paling dasar. Dan diceritakan bagaimana kehidupannya bermula, bagaimana kebahagiaan orangtuanya menyambutnya, mengokohkan keyakinan akan akar dan perasaannya dicintai.

Saya pernah membaca literatur mengenai adopsi anak, dan disana dikatakan bahwa bagi anak yang diadopsi, ada fase keraguan mengenai identitas. Itu sebabnya seorang teman saya yang mengadopsi anak, selalu menceritakan kisah bagaimana awal mulai ia mengadopsi anak tersebut. Bagaimana ketika pertama kali ibunya “jatuh cinta” melihat wajahnya di panti asuhan, bagaimana perasaan ibunya ketika pertama kali memeluknya, membawanya ke rumah. Sehingga meskipun anak tau bahwa ibunya bukan yang melahirkannya, tak ada keraguan mengenai identitas diri dan keyakinan bahwa ia dicintai. Sejarahnya jelas. Itu yang dibutuhkan anak.

Sebaliknya, percaya atau tidak, seorang ibu pernah bercerita pada saya, karena salah satu anaknya punya warna kulit yang berbeda, iseng ia suka cerita, ngegodain kalau anaknya itu diambil dari rumah sakit karena ibunya meninggal.  Keisengan itu terus berlanjut sampai si anak usia SD kelas 2an. Dan betapa kagetnya ia ketika si anak pada usia SMA, benar-benar mengadakan pencarian. Menelusuri setiap rumah sakit di kota itu, bertanya data di tahun ia lahir mengenai ibu yang melahirkan dan wafat, sampai akhirnya sambil menangis bertanya serius pada orangtuanya, benar gak dia anaknya. Perlu berkali-kali ibunya meyakinkan bahwa benar ia anaknya.

Saya juga pernah sekali, cuman sekali, bercanda bilang bahwa si bungsu “bukan anak ibu”, tapi “anak teteh” (pengasuhnya). Dan reaksi si bungsu bikin saya kapok. Anak 5 tahun itu marah bukan main, Dia pukul saya, sesuatu yang tidak pernah ial lakukan, lalu bilang; “jangan pernah bilang gitu!”. Maka, buat para ibu, jangan iseng soal identitas anak; dan buat yang belum pernah, menceritakan kelahirannya, wajib kudu dicoba dilakukan. APalagi menjelang tidur. Saat tubuh biasanya rileks, sambil dipeluk, sambil diceritakan tentang “akar”nya, seberapa besar ia berharga, ah precious banggets!

Sharing kedua ini saya pilih karena originalitas gagasannya. Teh Rika Tjahyani  dengan sharingnya : L_11_jalan2 backpacking naik kereta berdua ke luar kota. Teh Rika ini kebetulan tetangga satu kompleks dengan saya. Tapi tentu bukan karen aitu saya memilih sharingnya. Saya tahu, puteranya saat ini adalah putera tunggal. Tapi gagasan jalan-jalan backpaking naik kereta berdua ke  luar kota, adalah gagasan yang keren, dan wajib dicoba oleh ortu lain, yang memungkinkan untuk berperjalanan berdua dengan si anak praremaja.

Dalam tulisan saya https://fitriariyanti.com/2015/03/02/xx-x-2/, saya menyampaikan bahwa dalam sebuah keluarga, hubungan interpersonal antara dua orang di dalamnya, perlu untuk dilakukan. Apalagi buat si sulung yang biasanya setelah punya adik, tak pernah lagi punya waktu “berdua” dengan ibu, pengalaman teh Rika ini sangat bisa dicoba. Apa sih yang bisa dilakukan dalam perjalanan berdua ini? Ngobrol lama dengan suasana rileks. Cuman gitu doang? ya, gitu doang. Tapi ini langka dan sulit terjadi kenyataannya saat ini. Kesibukan ibu dan atau anak, gadget…Jujur aja, berapa lama sih kita bisa ngobrol berdua sama anak kita di rumah dalam satu hari? Padahal di usia  11 tahun ini, menjelang baligh, saatnya kita menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran melalui aplikasi langsung pada pengalaman keseharian anak. Sehingga nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu akan anak rasakan sebagai nilai-nilai yang membumi, nyata, hidup dan terintegrasi dalam kesehariannya. Bukan hanya berupa “nilai langit” yang ia dengar dari nasihat demi nasihat  orangtua maupun guru.

Sharing ketiga yang saya pilih adalah dari Mamanya Dea Dimas. Dea, adalah seorang gadis cantik teman TK si sulung. Sudah lebih dari 7 tahun kita gak ketemu face to face. Halo mbak Laxmi :). Sharing beliau adalah :  P_15 ngebahas cowok ganteng yg ditaksir kaka. Kenapa saya pilih sharing mama Dea  sebagai sharing yang inspiratif? karena saya tahu bahwa menjalin hubungan dekat dengan gadis berusia 15 tahun itu, adalah tidak mudah. Sangat tidak mudah.

Di usia ini, teman perlahan menjadi jauh lebih asyik dari ortu. Maka, kalau ada anak gadis mau cerita tentang hal yang paling privat yaitu cowok yang ditaksirnaya dengan mamanya, berarti mamanya berhasil membuat hubungan dekat dan hangat itu bertahan di masa-masa kritis ini.

Dua tahun lalu, waktu saya mendengar si sulung punya hubungan istimewa dengan salah seorang teman laki-lakinya, saya perlu mengingatkan batasan hubungan laki-laki perempuan di usianya. Jadi, waktu itu saya masuk ke kamarnya, memulai pembicaraan dengan serius tentang kabar yang saya dengar dan hasilnya…sumpah ! awkward banget haha… Yups, saya berhasil memberinya nasehat mengenai batasan pergaulan, yang saya yakin dia sudah tau kkk.

Tapi rasa awkward itu tak terlalu terasa saat saya mengobrolkan pesan yang sama saat kami berdua nonton film Kapten Amerika, seperti yang pernah saya tulis di  https://fitriariyanti.com/2017/07/25/captain-america-vs-hulk-obrolan-cinta-dengan-kaka/. Juga ketika kami bahas lagi tema yang sama, tentang bagaimana mengelola rasa suka tanpa melanggar batas agama, setelah kami berdua nonton film Dilan.

Connection before correction. Raih dulu hati anak, biar ia mau membukakan telinganya buat kita. Keneksi itu, muahaaaal…. banget. Setiap kali dapet kasus yang kemudian membutuhkan terapi keluarga (family therapy) untuk menghubungkan kembali koneksi antara orangtua dengan anak di usia remaja ke atas, kami harus bekerja ekstra keras.

Kami siapa? pertama, saya dan rekan-rekan saya sebagai psikolog yang membantu. Kami harus berpikir keras mencari teknik-teknik yang terstruktur, merekonstruksi kembali hubungan yang telah terputus.  Teman saya yang punya sertifikasi dalam hal tersebut, mendapatkan sertifikasi tersebut untuk level basic, dengan harga 12 juta dan sekian jam praktek. Mahal. Itu dari segi kami psikolog. Dari segi ortu dan anak; butuh komitmen kuat dan minimal belasan sesi untuk kembali membangun hubungan itu. Artinya apa? artinya koneksi itu muahallll. Kalau udah “putus”, muahal di uang, waktu, energi untuk menyambungkannya kembali.

connection before correction2Maka, jalin koneksi itu sedejat-dekatnya, sehangat-hangatnya, sekuat-kuatnya ketika anak masih bisa kita peluk, kita cium. Lalu pertahankan dengan sikap fleksibel dan aktivitas kreatif  saat ia tak bisa lagi selalu kita rengkuh dengan pelukan dan ciuman. Ingat ….connction before correction. Kalau mati gaya, meluncur aja ke status saya di tgl 7 Maret. Ada banyak gagasan keren yang disharing oleh teman-teman saya disana.

sumber gambar : https://www.positivediscipline.com/articles/connection-correction-0

 

 

 

 

 

Previous Older Entries