“Kalau ada yang salah sama anak-anak, pasti deh salah ibunya”. Begitu curhat seorang teman saya. Mendengar kalimat itu, saya nyengir sambil garuk-garuk gak gatel. Kalau di literatur parenting, pandangan itu sudah tertinggal 30an tahun. Pandangan bahwa orangtua khususnya ibu-lah yang “membentuk” anak, adalah pandangan 30 tahun an ke balakang.
“Apalagi kalau ibunya kerja. Pasti deh…langsung terdengar kalimat: ibunya sih kerja” curhat teman saya yang lain, yang seperti saya, memilih untuk beraktivitas di luar rumah. Saya nyengir juga mendengar curhatannya. Iya, saya juga masih sering sih mendengar kalimat itu. seolah-olah “ibunya sih kerja” adalah jawaban dari semua permasalahan yang muncul pada anak. Sedikit banyak, memang kalimat-kalimat itu adalah stressor tambahan buat ibu bekerja. Selain stressor lain misalnya dinilai lebih memilih uang dibanding anak, dinilai lebih menghargai aktualisasi diri daripada anak.
Sejauh yang saya tahu sih…yes…ketika anak merasa tidak dicintai dan tidak berharga, perasaan itu akan menjadi akar yang menumbuhkan tunas-tunas “masalah perilaku”. Dan ibu yang meninggalkan anak sekian jam perhari, tidak selalu ada secara fisik mendampingi anak di rumah, memang hal yang paling kasat mata bisa disalahkan atas tumbuhnya rasa tidak dicintai dan tidak berharga pada diri anak.
Meskipun saya punya pertanyaan polos; apakah PASTI anak yang ditinggalkan oleh ibunya sekian jam sehari, anak yang ketika pulang ke rumah ibunya belum datang, akan merasa ia tidak dicintai dan merasa ia tidak berharga ? Apakah PASTI anak-anak itu “marah” pada ibunya? lalu “balas dendam” dengan menciptakan beragam masalah?
Saya lalu ingat cerita seorang senior saya. Baliau seusia ibu saya. Baliau pernah bercerita bahwa setelah anaknya lulus sekolah, ia baru tahu bahwa anaknya sering sekali dipanggil ke BK (bimbingan konseling) karena “bermasalah” bermasalah gitu lah….nakal-nakal anak jaman dulu. Ketahuan naik motor, bolos pas jam pelajaran, dll. Senior saya tersebut tahu dari gurunya. Senior saya kaget karena ia tidak pernah tahu. Padahal sekolah tersebut ketat sekali selalu memanggil orangtua anak yang melanggar peraturan. Lalu si guru sekolah itu cerita. Setiap kali ia memberi surat untuk memanggil senior saya, anak senior saya tersebut nangis dan bilang: “jangan pak, tolong jangan panggil ibu saya ke sekolah. Saya bukan takut dimarahi ibu saya. Tapi saya kasian sama ibu saya pak. Ibu saya sudah banyak kerjaan di kantornya. Jangan bebani lagi pikiran dia dengan masalah saya. Saya mau melakukan apapun sebagai konsekuensi perilaku saya”. Si guru bercerita, bahwa bukan sekali dua kali si anak itu mau membersihkan toilet seluruh sekolah, asal ibunya tidak dipanggil ke sekolah. Dan beberapa cerita lagi senior saya sampaikan sambil matanya berkaca-kaca saat menggambarkan betapa anaknya “berempati” dengan kondisi ibunya.
Serupa tapi tak sama, saya jadi ingat kejadian tahun lalu. Saat itu ada acara pentas seni. setiap kelas harus menampilkan pertunjukkan. Di wa grup, saya dapat info kalau kelas si bujang kecil akan menampilkan beragam profesi. Mulai H-3 acara, para ibu di wa grup heboh bertanya dimana harus mencari beragam kostum. Kostum tentara, pilot, pemadam kebakaran, dokter, dll dll. Kok si bujang kecil gak bilang apa-apa ya? waktu itu saya memang sedang padat. Sedang jadi panitia sebuah acara besar. H-1 saya tanya si bujang kecil: “Mas, kok ibu-ibu lain heboh cari kostum? Mas harus pake kostum apa?” si anak kelas 4 itu menjawab; “Mas pilih jadi pemain bola bu. Sengaja biar ibu gak usah susah cari kostum kemana-mana. Nanti ibu harus carinya malem-malem. Kasian ibunya. Kalau kostum pemain bola kan udah ada” katanya. Hwaaa….hiks…waktu itu saya langsung sesenggukan.
Sebenarnya anak itu berhak untuk “gak mau tau” memilih jadi ini itu dengan kostum yang aneh. Sebenarnya dia punya hak untuk marah kala saya misalnya terbatas waktu untuk mencari kostumnya. Tapi saya merasa ia memilih untuk menerima dan memahami keadaan ibunya.
Apakah ia sedih? apakah ia menderita? apakah ia merasa tidak dicintai? apakah merasa tidak berharga? bukan kita yang bisa menjawabnya. Tapi mereka. Anak-anak itu. Para peneliti di bidang parenting terkini, sudah sepakat bahwa anak bukanlah individu pasif, yang hanya “menerima perlakuan” dan “otomatis” terbentuk oleh perilaku orangtua. Mereka aktif memaknakan perilaku orangtua mereka.
Itulah sebabnya kita melihat keragaman: Ada orangtua yang sangat ketat dan disiplin, anaknya ada yang disiplin, ada yang engga. Ada orangtua yang mencontohkan menjadi sholeh, anaknya ada yang sholeh ada yang engga. Ada orangtua yang menunjukkan besarnya rasa cinta dengan memberikan perhatian, anaknya ada yang merasa dicintai ada yang merasa dibatasi. Ada anak yang hanya ketemu ayahnya setahun sekali karena ayahnya mencari nafkah, bisa mencintai ayahnya karena menghayati ayahnya bekerja keras untuknya. Tapi ada anak yang ayahnya selalu ada untuknya, malah menghayati ayahnya tidak mempercayainya.
Anak adalah individu aktif yang memaknakan perilaku orangtuanya. Maka, penghayatan anak adalah kuncinya. Oleh karena itu, yang harus kita upayakan bukanlah memberikan cinta dan kasih sayang dalam bentuk “menurut kita”. Tapi, mencintai dan menghargai anak “menurut anak”. Kuncinya? kesungguhan dan ketulusan, menurut saya. Kesungguhan mencari cara untuk mencintai mereka, ketulusan dan kerendahan hati mencintai mereka, sesuai dengan keadaan kita.
Khusus untuk ibu-ibu bekerja: yups, memang kita harus “ekstra” berusaha untuk memahamkan bahwa -meskipun kita meninggalkan mereka setiap hari kerja, bukan berarti mereka tak penting. Mereka penting, dalam semesta kepentingan yang lain. Kita harus “ekstra” berusaha untuk memahamkan bahwa cinta itu banyak bentuknya, bukan hanya berbentuk keberadaa kita saat mereka pulang sekolah. Kita perkenalkan cara kita mencintai dan menghargai mereka sesuai dengan kondisi kita. Jangan lupa: mengecek penghayatan mereka.
Kita tunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh mencintai mereka, sesuai dengan kondisi kita. Kita tunjukkan juga bahwa kita tulus mencintai mereka. Yakinlah, mereka bukan angka-angak yang memenuhi hukum jika a maka b. Mereka adalah manusia kompleks. Makhluk Tuhan yang paling sempurna. Yang aktif dalam merasa dan meng-akal. Jangan pernah berpikir bahwa mereka adalah individu yang pasif, yang tergantung, yang membutuhkan untuk “diisi” dan “dibentuk” sepenuhnya oleh kita. Pandangan itu, akan membuat kita stress. Bener.
Maka, cintai dan hargai mereka dengan sungguh-sungguh, tulus dan alami; kita ngobrol soal penghayatan dan perasaan mereka sambil memeluk mereka dengan erat dan hangat, sambil mengobrol dan bercanda ria dengan mereka. Kita mengobrol tentang perasaan mereka dan perasaan kita. Mengobrol tentang sedihnya mereka tak dijemput tiap hari oleh kita, juga tentang sedihnya kita yang tak bisa menjemput mereka tiap hari. Tentang senangnya mereka saat dibawain oleh-oleh meskipun cuman sebutir permen, juga tentang bahagianya kita memberikan permen sepulang kerja untuk mereka. Tentang pentingnya kegiatan mereka, juga tentang pentingnya kegiatan kita. Tentang kebahagiaan mereka beraktifitas dengan teman dan guru, juga kebahagiaan kita beraktifitas dengan teman, klien, pelanggan, maupun bos kita. Tentang kangennya mereka terhadap kita, juga kangennya kita terhadap mereka.
Sungguh…anak-anak kita, bukanlah individu pasif yang harus kita “beri”. Kita pun, bisa mendapatkan sesuatu dari mereka. Mereka, punya kapasitas untuk menilai dan bijaksana.
sumber gambar: http://www.lifehack.org/338675/18-best-parenting-quotes-live
Recent Comments