Working mom : Karena anak kita “hidup”


“Kalau ada yang salah sama anak-anak, pasti deh salah ibunya”. Begitu curhat seorang teman saya. Mendengar kalimat itu, saya nyengir sambil garuk-garuk gak gatel. Kalau di literatur parenting, pandangan itu sudah tertinggal 30an tahun. Pandangan bahwa orangtua khususnya ibu-lah yang “membentuk” anak, adalah pandangan 30 tahun an ke balakang.

“Apalagi kalau ibunya kerja. Pasti deh…langsung terdengar kalimat: ibunya sih kerja” curhat teman saya yang lain, yang seperti saya, memilih untuk beraktivitas di luar rumah. Saya nyengir juga mendengar curhatannya. Iya, saya juga masih sering sih mendengar kalimat itu. seolah-olah “ibunya sih kerja” adalah jawaban dari semua permasalahan yang muncul pada anak. Sedikit banyak, memang kalimat-kalimat itu adalah stressor tambahan buat ibu bekerja. Selain stressor lain misalnya dinilai lebih memilih uang dibanding anak, dinilai lebih menghargai aktualisasi diri daripada anak.

Sejauh yang saya tahu sih…yes…ketika anak merasa tidak dicintai dan tidak berharga, perasaan itu akan menjadi akar yang menumbuhkan tunas-tunas “masalah perilaku”. Dan ibu yang meninggalkan anak sekian jam perhari, tidak selalu ada secara fisik mendampingi anak di rumah, memang hal yang paling kasat mata bisa disalahkan atas tumbuhnya rasa tidak dicintai dan tidak berharga pada diri anak.

Meskipun saya punya pertanyaan polos; apakah PASTI anak yang ditinggalkan oleh ibunya sekian jam sehari, anak yang ketika pulang ke rumah ibunya belum datang, akan merasa ia tidak dicintai dan merasa ia tidak berharga ? Apakah PASTI anak-anak itu “marah” pada ibunya? lalu “balas dendam” dengan menciptakan beragam masalah?

Saya lalu ingat cerita seorang senior saya. Baliau seusia ibu saya. Baliau pernah bercerita bahwa setelah anaknya lulus sekolah, ia baru tahu bahwa anaknya sering sekali dipanggil ke BK (bimbingan konseling) karena “bermasalah” bermasalah gitu lah….nakal-nakal anak jaman dulu. Ketahuan naik motor, bolos pas jam pelajaran, dll. Senior saya tersebut tahu dari gurunya. Senior saya kaget karena ia tidak pernah tahu. Padahal sekolah tersebut ketat sekali selalu memanggil orangtua anak yang melanggar peraturan. Lalu si guru sekolah itu cerita. Setiap kali ia memberi surat untuk memanggil senior saya, anak senior saya tersebut nangis dan bilang: “jangan pak, tolong jangan panggil ibu saya ke sekolah. Saya bukan takut dimarahi ibu saya. Tapi saya kasian sama ibu saya pak. Ibu saya sudah banyak kerjaan di kantornya. Jangan bebani lagi pikiran dia dengan masalah saya. Saya mau melakukan apapun sebagai konsekuensi perilaku saya”. Si guru bercerita, bahwa bukan sekali dua kali si anak itu mau membersihkan toilet seluruh sekolah, asal ibunya tidak dipanggil ke sekolah. Dan beberapa cerita lagi senior saya sampaikan sambil matanya berkaca-kaca saat menggambarkan betapa anaknya “berempati” dengan kondisi ibunya.

Serupa tapi tak sama, saya jadi ingat kejadian tahun lalu. Saat itu ada acara pentas seni. setiap kelas harus menampilkan pertunjukkan. Di wa grup, saya dapat info kalau  kelas si bujang kecil akan menampilkan beragam profesi. Mulai H-3 acara, para ibu di wa grup heboh bertanya dimana harus mencari beragam kostum. Kostum tentara, pilot, pemadam kebakaran, dokter, dll dll. Kok si bujang kecil gak bilang apa-apa ya? waktu itu saya memang sedang padat. Sedang jadi panitia sebuah acara besar. H-1 saya tanya si bujang kecil: “Mas, kok ibu-ibu lain heboh cari kostum? Mas harus pake kostum apa?” si anak kelas 4 itu menjawab; “Mas pilih jadi pemain bola bu. Sengaja biar ibu gak usah susah cari kostum kemana-mana. Nanti ibu harus carinya malem-malem. Kasian ibunya. Kalau kostum pemain bola kan udah ada” katanya. Hwaaa….hiks…waktu itu saya langsung sesenggukan.

Sebenarnya anak itu berhak untuk “gak mau tau” memilih jadi ini itu dengan kostum yang aneh.  Sebenarnya dia punya hak untuk marah kala saya misalnya terbatas waktu untuk mencari kostumnya. Tapi saya merasa ia memilih untuk menerima dan memahami keadaan ibunya.

Apakah ia sedih? apakah ia menderita? apakah ia merasa tidak dicintai? apakah merasa tidak berharga? bukan kita yang bisa menjawabnya. Tapi mereka. Anak-anak itu. Para peneliti di bidang parenting terkini, sudah sepakat bahwa anak bukanlah individu pasif, yang hanya “menerima perlakuan” dan “otomatis” terbentuk oleh perilaku orangtua. Mereka aktif memaknakan perilaku orangtua mereka.

Itulah sebabnya kita melihat keragaman: Ada orangtua yang sangat ketat dan disiplin, anaknya ada yang disiplin, ada yang engga. Ada orangtua yang mencontohkan menjadi sholeh, anaknya ada yang sholeh ada yang engga. Ada orangtua yang menunjukkan besarnya rasa cinta dengan memberikan perhatian, anaknya ada  yang merasa dicintai ada yang merasa dibatasi. Ada anak yang hanya ketemu ayahnya setahun sekali karena ayahnya mencari nafkah, bisa mencintai ayahnya karena menghayati ayahnya bekerja keras untuknya. Tapi ada anak yang ayahnya selalu ada untuknya, malah menghayati ayahnya tidak mempercayainya. A-Childs-Mind-Quote-680

Anak adalah individu aktif yang memaknakan perilaku orangtuanya. Maka, penghayatan anak adalah kuncinya. Oleh karena itu, yang harus kita upayakan bukanlah memberikan cinta dan kasih sayang  dalam bentuk “menurut kita”. Tapi, mencintai dan menghargai anak “menurut anak”.  Kuncinya? kesungguhan dan ketulusan, menurut saya. Kesungguhan mencari cara untuk mencintai mereka, ketulusan dan kerendahan hati mencintai mereka, sesuai dengan keadaan kita. 

Khusus untuk ibu-ibu bekerja: yups, memang kita harus “ekstra” berusaha untuk memahamkan bahwa -meskipun kita meninggalkan mereka setiap hari kerja, bukan berarti mereka tak penting. Mereka penting, dalam semesta kepentingan yang lain. Kita harus “ekstra” berusaha untuk memahamkan bahwa cinta itu banyak bentuknya, bukan hanya berbentuk  keberadaa kita saat mereka pulang sekolah. Kita perkenalkan cara kita mencintai dan menghargai mereka sesuai dengan kondisi kita. Jangan lupa: mengecek penghayatan mereka.

Kita tunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh mencintai mereka, sesuai dengan kondisi kita. Kita tunjukkan juga bahwa kita tulus mencintai mereka. Yakinlah, mereka bukan angka-angak yang memenuhi hukum jika a maka b. Mereka adalah manusia kompleks. Makhluk Tuhan yang paling sempurna. Yang aktif dalam merasa dan meng-akal. Jangan pernah berpikir bahwa mereka adalah individu yang pasif, yang tergantung, yang membutuhkan untuk “diisi” dan “dibentuk” sepenuhnya oleh kita. Pandangan itu, akan membuat kita stress. Bener.

Maka, cintai dan hargai mereka dengan sungguh-sungguh, tulus dan alami; kita ngobrol soal penghayatan dan perasaan mereka sambil memeluk mereka dengan erat dan hangat, sambil mengobrol dan bercanda ria dengan mereka. Kita  mengobrol tentang perasaan mereka dan perasaan kita. Mengobrol tentang sedihnya mereka tak dijemput tiap hari oleh kita, juga tentang sedihnya kita yang tak bisa menjemput mereka tiap hari. Tentang senangnya mereka saat dibawain oleh-oleh meskipun cuman sebutir permen, juga tentang bahagianya kita memberikan permen sepulang kerja untuk mereka. Tentang pentingnya kegiatan mereka, juga tentang pentingnya kegiatan kita. Tentang kebahagiaan mereka beraktifitas dengan teman dan guru,  juga kebahagiaan kita beraktifitas dengan teman, klien, pelanggan, maupun bos kita. Tentang kangennya mereka terhadap kita, juga kangennya kita terhadap mereka.

Sungguh…anak-anak kita, bukanlah individu pasif yang harus kita “beri”. Kita pun, bisa mendapatkan sesuatu dari mereka. Mereka, punya kapasitas untuk menilai dan bijaksana.

sumber gambar: http://www.lifehack.org/338675/18-best-parenting-quotes-live

ibu : memilih sepenuh hati, memilih dengan rendah hati

Hari ini, karena sesuatu hal, saya tidak beraktivitas. Memang aktifitas kampus baru mulai tgl. 15 nanti, sehingga bisa dikatakan saat ini masih “libur”, meskipun justru karena sedang “libur”, maka banyak kegiatan yang tidak bisa dilakukan saat perkuliahan berjalan, diagendakan di saat “libur” ini.

Tapi hari ini, saya memang mengangendakan di rumah. Pagi tadi, yang terakhir sekolah adalah Azzam si anak PG, berangkat jam 8.  Hana, yang hari libur karena kemarin fieldtrip, bilang pengen ikut sekolah sama de Azzam. Setelah saya wa bu guru Azzam menanyakan apakah Hana boleh ikutan masuk kelas dan ibu guru mengizinkan, berangkatlah dua anak itu. Tinggal saya sendirian. Beberes? engga. Ada teh Rini yang bantu mencuci dan beberes rumah. Masak dikit, lalu saya mengerjakan beberapa hal ringan.

Jam 11, dua anak itu datang dari sekolah. Saya siapin makan, lalu main…saya agak ngantuk….lalu saya pun berniat bobo siang hihi…rasanya udah berpuluh-puluh tahun gak bobo siang. Tapi, pas mau tidur banget, Azzam teriak pengen bab, naik ke wc nya masih harus dibantu. Beres itu, dia minta dibikinin susu. Hana sih anteng baca. Tapi Azzam bolak balik minta saya nemenin dia. Minta dicariin gambar untuk diwarnai, minta main lempar tangkap bola seperti semalam, minta main lompat tali seperti kemarin malam, lalu pengen mandi, dan saya agak kesal menanggapinya. Selama 5 jam bersama di rumah, entah berapa kali nada suara saya naik. Apalagi pas mandi, Azzam sengaja pipis di gelas buat kumur-kumur….haduuuh…Kini dia udah anteng main berdua Hana, main jadi Bananas in Pijamas, Hana jadi B1 dan Azzam jadi B2.

Beberapa menit lalu, saya jadi merenung. Kenapa ya, kok saya gak sesemangat kemarin dan  kemarinnya lagi menemani anak-anak main? Mmmhh….satu hal yang saya rasakan adalah, ketika saya keluar rumah seharian setiap hari, saat pulang saya berkomitmen untuk memberikan “quality time” pada anak-anak saya sebagai “balasan”. Maka, selepas memasak makan malam dan menyuapi, saya akan menemani mereka bermain apapun yang mereka inginkan. Tanpa menolak. Paling saya izin mandi dulu biar segar. Maka, 2-3 jam yang saya punya setiap hari dengan anak-anak, sepenuh hati saya dedikasikan seutuhnya. Semalam, main lempar tangkap bola sampai jam 9 dengan Azzam dan Hana. Dengan berbagai gaya, membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal dan mengeluarkan kata-kata yang menandakan mereka enjoy; “lagi bu….lagi bu…”. Malam sebelumnya, kita menggambar tangan pake cat. Malam sebelumnya, karena mereka saya beliin produk finger print drawing, kita pun asyik membuat beragam gambar menggunakan cap jari. Malam sebelumnya lagi, seru-seruan main puzzle, yang sedang digandrungi Azzam.

Saya jadi membayangkan teman-teman saya yang memilih menjadi IRT. Saya tahu, mereka banyak yang tidak punya ART. Membereskan rumah, mencuci, menyetrika, sambil mengasuh satu, dua atau lebih balita. Mmmhhh….kalau melakukan seperti yang mereka lakukan, rasanya saya tak akan punya energi lagi untuk tersenyum, tertawa, menikmati, bermain, apalagi menstimulasi anak-anak. Eh tapi itu mah saya deng…

Oh ya…..saya jadi mengerti….itu yang dimaksudkan pahala ibu yang tinggal di rumah itu tak terhingga. Saat tubuh lelah dan merasa “berhak beristirahat” dengan nonton film atau medsos-an, atau sekedar memejamkan mata sebentar, bukan tak mungkin si kecil justru tak mau kompromi. Seperti kelakuan Azzam tadi. Dan saat itu, sang ibu pun harus mau melayani si kecil.

Beberapa hari yang lalu, saya membaca buku tentang “mothering”. Di buku itu disampaikan bahwa salah satu faktor yang bisa jadi stressor buat ibu adalah, tuntutan sosial. Terkait pilihan menjadi IRT, saya menghayati banyaknya “jargon” yang memuliakan pilihan menjadi IRT, satu sisi lainnya justru bisa jadi sumber stress.

Misalnya bahwa IRT itu menjalankan peran sebagai madrasah yang pertama dan utama, bahwa IRT berpendidikan tinggi itu mendedikasikan pendidikan tingginya untuk membangun kualitas anaknya, bahwa IRT itu 24 jam bersama anaknya, sehingga anaknya menjadi full terstimulasi, terdampingi dan terjaga kualitasnya.

Buat saya, justru beberapa “jargon” yang selama ini “mendiskreditkan” ibu yang memilih bekerja, di satu sisi membuat saya bisa menjalankan peran sebagai ibu dengan lebih “rileks”. Misalnya kalau anak saya main ipad terus, sekolah telat, malas-malasan, rasanya lingkungan sudah memaklumi dengan berkata “ibunya kerja sih”. Sedangkan kalau saya memilih menjadi IRT, kalau anak-anak saya kurang berkualitas, lingkungan biasanya bilang “padahal ibunya di rumah loh” .

Nah, makanya……saya sangat tak setuju dengan apapun yang berbau “membandingkan”. Saya lebih setuju menghayati bahwa….perjuangan ibu itu, apapun pilihannya, sama menantangnya. Cuman bentuknya yang berbeda. Oleh karena itu, pada setiap ibu apapun pilihannya, saya lebih memilih “menemani”.

Menghayati kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai konsekuensi dari pilihannya.Tak ada pilihan di dunia ini yang 100% menyenangkan. Kebosanan dan perasaan “tak berkembang” yang dirasakan ibu yang memilih menjadi IRT, atau kepenatan pikiran karena tuntutan pekerjaan dan kebingungan saat ada acara keluarga penting yang bentrok dengan tanggung jawab di pekerjaan yang dirasakan oleh ibu yang memilih bekerja, itu nyata adanya.

Lalu saling berbagi, bagaimana dengan pilihan apapun, kita bisa optimal. Ibu bekerja yang cuma punya 3 jam setiap hari dengan anak-anaknya, bagaimana mengoptimalkan 3 jam itu menjadi waktu yang sangat berkualitas, yang mampu “mengcover” waktu 8 jam saat si ibu berperan sebagai “karyawan” di luar rumah. Ibu yang memilih tinggal di rumah, kita sharing bagaimana caranya mengelola emosi, agar tak terjebak pada pemikiran “saya 24 jam bersama anak-anak”, padahal 24 jam itu berlalu tanpa interaksi yang berarti karena ibu melakukan ini itu lalu merasa lelah.

Dan yang terakhir, jangan lupa kita saling mengingatkan untuk bersyukur. Bersyukur itu, kata pak Ustadz adalah memanfaatkan apa yang kita punya agar menjadi bermakna. Ibu yang memilih menjadi IRT, selalu bersama dengan anak. Maka, jangan biarkan belasan jam itu berlalu begitu saja. Ibu yang memilih bekerja, punya kesempatan mengembangkan wawasan dalam bidang dan profesinya seluas-luasnya, bertemu banyak orang yang menginspirasinya, maka tularkan energi yang didapat dari luar rumah itu untuk anak-anaknya.

il_fullxfull.566212618_l7pm

Jangan ikut-ikutan membandingkan. Baik membandingkan dalam hati, saat ngobrol di tukang sayur atau di kantor, apalagi di waG dan medsos. Nanti terjebak pada “pepesan kosong”. Apapun pilihan kita, lakukan dengan sepenuh hati dan rendah hati. Syukuri, lalu berbagi. Lebih seru mulia bersama-sama daripada mulia sendirian.

 

 

 

sumber gambar : http://jillcampadesigns.com/products/a-mother-is-like-a-flower-each-one-beautiful-and-unique-handcrafted-pendant-necklace-gift-for-mom-gift-for-step-mom-mom-jewelry?variant=854228583

Moms Unity !

Di sebuah wa grup ibu-ibu ortu murid prasekolah, sedang ramai membahas kegiatan fieldtrip ke luar kota. Yang jadi perbincangan seru adalah mengenai waktu. Para ibu bekerja mengusulkan waktunya weekend, karena mereka sangat ingin mendampingi putera-puterinya yang memang masih usia 2-3 tahun. Belum mungkin menitipkan anak-anak usia ini pada gurunya. Di sisi lain, para ibu yang tidak bekerja mengusulkan waktunya hari kerja, dengan alasan tempat fieldtrip lebih lowong.

Pembicaraan masih terus berlangsung, namun tampaknya karena jumlah ibu tidak bekerja lebih banyak, keputusan yang akan diambil adalah tetap di hari kerja. Usulan untuk pindah tempat fieldtrip ke tempat yang bisa lebih lowong kalau weekend, ditolak.

Saya sendiri, tau diri. Sejak dulu anak-anak saya kalau masih usia PG, gak ikutan fieldtrip dari sekolah. Kecuali saat TK B, saat saya bisa menitipkan anak saya ke bu guru. Biasanya saya “membayar” ketidak ikutan fieldtrip anak-anak dengan pergi ke tempat fieldtrip tersebut di weekendnya sekeluarga. Tapi beberapa ibu bekerja di wa grup tadi, tampaknya berjuang keras untuk ingin ikut, agar keriaan fieldtrip juga bisa dirasakan oleh anak-anak mereka, oleh mereka juga. Mereka berusaha mempersuasi untuk weekend aja fieldtripnya, atau  mencari tempat fieldtrip yang lebih luang kalau weekend, juga beberapa alternatif lainnya yang memungkinkan semua bisa ikutan. Tapi tampaknya tak berhasil. Kalah jumlah.

Tiba-tiba, entah mengapa saya merasa sedih. Sangat sedih malah. Menghayati betapa keinginan mereka terlibat dalam kegiatan anak-anaknya, tidak terfasilitasi. Dan sebagai minoritas,  ya itu resiko.

Bahwa pendapat saya ini sangat dipengaruhi oleh pilihan saya sebagai ibu bekerja, pastinya. Tapi saya teh memimpikan apapun kondisi dan pilihan ibu, para ibu harusnya membentuk satu “unity”. Saling mempedulikan. Jadi menurut saya, meskipun tak salah, namun akan lebih bijak kalau ibu bekerja diberi ruang juga untuk sama-sama bisa optimal terlibat dengan anak-anaknya.

Di sebuah sekolah yang lain, saat pembagian raport di hari kerja, ibu-ibunya bersepakat kalau jadwal ambil raport pagi, adalah buat ibu bekerja. Jam 8 sampai jam 9. Biar setelah itu bisa ke kantor lagi. Sedangkan ibu-ibu yang tidak bekerja, yang waktunya lebih luang, memilih mengambil raport lebih siang. What a wonderfull collaboration.

Saya juga ingat, di sekolah tersebut, beberapa waktu yang lalu, saat merencanakan acara perpisahan anak kelas 6, yaitu menginap di luar kota, kami bersepakat. Ibu-ibu yang tidak bekerja bagian survey dan panitia teknis. Ibu-ibu yang bekerja, yang susah ikutan rapat maupun survey, berinisiatif menyumbang finansial dan makanan. Secara sukarela. What a wonderfull collaboration …

Saat acara, ibu-ibu tidak bekerja yang bisa hadir, memfotokan satu-satu anak dari ibu-ibu bekerja yang tak bisa hadir. Ibu-ibu yang tidak bekerja yang bisa hadir, “melaporkan” pandangan mata masing-masing anak pada ibunya, memvideo-kan…. sehingga si ibu bekerja tetap bisa terlibat dengan anaknya. What a wonderfull collaboration

we-are-all-mothersSemoga kotak-kotak yang kini semakin banyak, tak terjadi pada kita para ibu ya….

Tugas menjadi ibu itu berat….Kita harus bersatu! saling membantu! saling mengingatkan! saling mendukung! saling menjaga ! The Power of Moms Unity !

Dunia lebih indah jika kita bersatu …..

 

sumber gambar : http://stillstandingmag.com/2015/04/mothers/

 

Working Mom; Biar tak bertekuk lutut pada target ramadhan ,,,,,

never give upBeberapa jam lagi, semoga umur kita sampai….kita akan memasuki bulan Ramadhan. Bulan suci, penuh berkah, penuh kebaikan, bulan yang dirindukan oleh seluruh umat muslim.

Di bulan ini, Allah memberikan jamuanNya yang sangat istimewa. Pahala dilipatgandakan,  kesempatan untuk meleburkan dosa-dosa kita, terbuka luas. Serta tak lupa ada satu jamuan super istimewa dariNya : malam Lailatul Qadr.

Setelah selama dua bulan kita berdoa “Allahumma baariklana fi rojaba wa sya’ban wa balligna romadhon”…Ya Allah, berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikanlah kami ke bulan Romadhon”, adalah sangat amat bodoh jika kita tak mempedulikan jamuan yang super istimewa dari Dia Yang Maha. Operasionalisasinya, hari-hari terakhir ini banyak yang mengingatkan dan menyemangati untuk membuat target ibadah bulan Ramadhan.

Yups, saya one hundred percent agree kalau kita HARUS bikin target amalan dan ibadah di bulan Ramadhan ini. Kita juga harus ajak pasangan dan anak-anak kita untuk bikin target. Saya juga setuju kalau targetnya harus SMART- Spesific, Measurable, Attainable, Result Oriented, Time Limit. Saya haqqul yaqin, kalau kita bikin target abstrak semisal “mendekatkan diri pada Allah” tanpa menurunkannya menjadi langkah konkrit gimana-nya, perilaku kita akan sulit untuk tergerakkan mewujudkannya. Tapi jika “mendekatkan diri pada Allah” itu kita operasionalisasikan menjadi : “Baca Qur’an dan tafsirnya, 1 juz per hari. Shalat Tarawih tanpa bolong, Sholat tahajjud dan dhuha minimal 2 rakaat setiap hari, Shodaqoh minimal 5 juta”. Nah, itu lebih  powerfull untuk mengarahkan perilaku kita. Konkrit apa yang harus kita kerjakan.

Tapi, bikin target yang SMART juga ada jebakannya loh….terutama buat para ibu-ibu, dan terutama lagi yang berkomitmen pada satu organisasi/instansi tempat ia bekerja.

Saya mau curhat dulu ah…Tau gak…tiap Romadhon, mimpi saya adalah ….saya off dari semua kegiatan, tiap hari siang malam itikaf di mesjid, baca Qur’an dan tafsirnya. Hiks…tapi itu kan hanya mimpi ya? Aktifitas kita kadang gak sinkron sama keinginan. Kayak sekarang nih…asyiikkkk…kuliah udah libur. Tapi …tapi…kenapa agenda minggu depan yang tadinya kosong melompong sekarang udah penuh terisi jadwal aktifitas ya? ujian mahasiswa, bimbingan mahasiswa, rapat ini, pertemuan itu, klien ….. Saya juga kadang berkhayal … coba kalau gak kerja…kabita sama ibu-ibu komplek yang tiap tahun punya jadwal tadarus 3 jam per hari …. tapi masih punya anak kecil…gak bisa juga khusyuk ngaji selama itu. Ah, kalau gak move on dari khayalan ini, gak akan mungkin bisa ramadhan dengan khusyuk.

Tetap punya target pribadi saat ramadhan, berusaha khusyuk di tengah-tengah hiruk pikuk aktifitas sehari-hari, adalah pilihan realistisnya. Baiklah…set target … tapi …tapi … 10 hari pertama, udah gak semangat ….jauh ketinggalan dari target awal… kenapa? hiks…ternyata karena gak realistis…. maklum lah ibu-ibu…pulang kerja, nyiapin buat buka. Malem mau tarawih, si kecil rewel dan gak mau kompromi dengan rutinitas menjelang tidur. Sahur udah bangun beberapa jam lebih awal, harus bagi waktu antara sholat, ngaji, pengen nonton kajian tafsir di tv, nyiapin sahur, mengkondisikan anak-anak yang baru belajar puasa biar gak keluar rasa kesal …. Abis sahur…mau ngaji nikmat lagi…harus nemenin anak-anak biar gak tidur lagi kalau sekolah….

Kadang-kadang, realitas itu membuat kita bertekuk lutut dan “menyerah” pada target yang kita buat. Padahal itu bahaya banggets ! Gak punya target = gak akan melakukan apa-apa. Akhirnya, jamuan istimewaNya di bulan ini pun …. lewat begitu saja. Padahal belum tentu kita dipertemukan lagi dengan ramadhan tahun depan.

Nah, berdasarkan hal itu, dalam tulisan ini saya ingin berbagi “trik” biar kita, para ibu-ibu bekerja yang cuman punya waktu terbatas buat beribadah, tak bertekuk lutut dan menyerah pasrah pada target ramadhan.

(1) Meniatkan seluruh aktifitas kita sebagai ibadah. Kang Syamril, senior saya di Salman, membuat buku berjudul Kerja itu Ibadah. Dalam pengantarnya, beliau menyampaikan kalau kita hanya meniatkan ibadah itu sholat, mengaji, dan yang sifatnya “ritual”, betapa minimnya waktu ibadah kita, dari 24 jam waktu yang kita punya. Maka dari itu, dengan sepenuh kesadaran kita harus meniatkan bahwa aktifitas kerja yang kita lakukan- entah itu mengajar, rapat, memeriksa pasien, ketemu klien, dan segala macemnya, adalah ibadah. Artinya, kita harus aware betul bahwa aktifitas kita memenuhi 3 syarat ibadah: bermanfaat, baik dan benar.

(2) Beberapa bulan yang lalu, dalam Majelis Percikan Iman, Ustadz Aam membahas tema “agar selalu bersemangat dalam beribadah”. Salah satu poin yang beliau sampaikan adalah “mulai dari yang ringan”. Karena kan, di Surat Al Mulk ayat 2 pun Allah menyampaikan bahwa Allah menguji kita, siapa diantara kita yang LEBIH BAIK amalnya. Bukan yang LEBIH BANYAK amalnya. Lalu ada hadits yang menyatakan bahwa “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”. HR Bukhari dan Muslim. Kalau kita konsisten melakukan satu amalan, lalu suatu saat karena uzur (misal sakit atau ada halangan mendadak) kita tidak bisa melakukannya, maka malaikat tetap akan mencatat bahwa kita melakukannya. Meskipun amalannya “kecil”. Misal shalat dhuha 2 rokaat, atau wudhu sebelum tidur, atau apapun.

Kalau saya hayati, “menurunkan standar” ini seperti gampang, tapi sebenarnya berat loh…karena itu tadi, karena kita sangat semangat …. Beraaaat untuk kemudian kita secara realistis menurunkan sesuai dengan “kemampuan” kita. Misalnya, kita semangat buat ngaji ODOJ. One day one juz. Itu artinya, setiap habis shalat kita harus baca dua lembar Qur’an. Masa sih, dua lembar aja gak bisa…itu semangat kita. Tapi kenyataannya…mungkin kita harus realistis bahwa ba’da dhuhur, ashar dan maghrib, target baca Qur’an  2 lembar gak tercapai karena keriweuhan kita sebagai emak-emak. Lalu berarti utangnya numpuk….numpuk terus, nah itu yang bikin patah hati dan “menyerah kalah”. Realistis aja. Kalau gak bisa ODOJ, sekarang ada grup OWOJ. One week one juz. Ah, dikit banget sih..males banget …daripada gak punya target sama sekali hayo ???? Baca tafsir…pengennya sih khatamin tafsir al-misbah nya Pak Quraish Shihab misalnya ….tapi itu beurat banget loh ! harus dicerna kata-kata dan kalimatnya satu persatu, karena uraian beliau filosofis sekali. Ya udah, targetnya diturunin. Jadi targetnya khatamin tafsir sampai juz 10 misalnya, nanti lanjut setelah bulan Ramadhan. Atau tetap mau 30 juz, tapi Tafsir yang lebih ringkas, misalnya Tafsir Ibnu Katsir yang hanya 10 jilid. Atau Tafsir ringkas Al Lubab, yang hanya 4 jilid ringkasannya tafsir Al Misbah. Di covernya juga ditulis : “tafsir untuk orang sibuk” 😉 Prinsip ini berlaku untuk sholat, dll.

3. Nyari waktu khusyuk untuk ngaji dan baca? gak akan mungkin dapet ibu-ibu mah. Catatan : ibu-ibu yang masih punya anak kecil ya. Maka, manfaatkan waktu luang di kantor, di perjalanan, buat ngaji, baca, dzikir. Kalau malu disebut “sok alim” baca qur’an di kantor, sekarang kan android gampang banget nginstal al Qur’an. Ama artinya, tafsirnya malah. Jenuh baca? pasang aja earphone. Dengerin murrotal. Gak bisa konsentrasi, istighfar dalam hati. Dijamin gak akan ada yang tau kalau kita “sholehah” hehe….

4. “Kompensasikan” kekurangan kita pada amalan yang berbasis waktu, dengan amalan yang tak “membutuhkan” waktu. Kalau kuantitas sholat, ngaji, baca kita kurang dibanding ibu-ibu lain yang kuantitas waktu luangnya lebih banyak, mari kita cari amal lain yang strategis, yang tak membutuhkan kuantitas waktu. Shodaqoh misalnya. Kita genjot. Kan katanya PNS mau ada gaji ke-13 ? nah, bisa tuh kita shodaqohin … atau kita sisihkan sekian persen THR …. trus waktu pengajian pembekalan ramadhan 2 minggu lalu, ustadz Wahab menyampaikan ada satu amalan “strategis” yang kita suka lupa, dan potensial dilakukan oleh ibu-ibu. Yaitu…memberi makan orang yang berbuka puasa. Pahalanya sama dengan orang yang berpuasa tersebut loh….. Kalau kita gak sempet masak, kita bisa beliin atau kasih mentahnya ke satpam, office boy di kantor kita, para dhuafa, dhuafa difabel….banyaaak banget yang membutuhkan.

Tulisan ini tentunya tak bermaksud untuk melemahkan semangat ibu-ibu bekerja yang “siap tempur” untuk mencapai target amalan ibadah yang “tinggi”. Amalan yang banyak dan baik, TOP BANGET. Tapi dibanding gak punya amalan sama sekali, amalan sedikit tapi konsisten is a better choice.

Dan penghayatan saya, keistimewaan dan keberlimpahan rahmatNya di bulan Ramadhan adalah “reinforcement”, fasilitas pembelajaran dariNya untuk membentuk sikap mental kita. Yang namanya proses belajar, cirinya adalah menetap. Jadi, sikap mental kita yang dibangun saat ramadhan, agar perilaku kita setelah ramadhan berubah. Dalam bahasa agama, Ramadhan adalah fasilitas pembelajaran dariNya biar kita jadi orang bertaqwa. Menjadi rang yang lebih baik. Mulai dari hal kecil, yang kita mampu lakukan, namun kita pelihara terus meskipun ramadhan nanti telah berlalu.

Marhaban ya Ramadhan……Semangat !!!!!

Working Mom : Berharga-kah anak kita?

harga Beberapa waktu yang lalu, beredar meme seperti di samping ini. Di jaman media sosial dan wa grup sekarang ini, dimana informasi beredar dalam hitungan detik, maka biasanya meme-meme seperti ini pun beredar dengan cepat. Jangan heran bila kita bisa menerima satu share-an yang sama, dari beragam grup yang kita ikuti, dalam hari yang sama, jam yang sama atau bahkan menit yang sama.

Terkait dengan meme di samping, ada dua hal yang ingin saya ungkapkan.

Yang pertama, sebenarnya jika saya mengetahui siapa penggagas pertama kali tulisan ini, saya ingin memberi masukan pada beliau untuk memberikan “konteks” pada tulisan ini. Tapi saya tidak tahu bagaimana menemukannya, mungkin terjemahan dari versi Inggris, karena saya menemukan versi Inggrisnya. Memang tidak jelas karena tanpa pencantuman sumber. Meskipun tidak eksplisit situasi apa yang digambarkan dalam tulisan tersebut, namun biasanya meme ini disebar untuk membahas mengenai ibu bekerja. Meskipun sebenarnya, bisa jadi “menitipkan anak pada pembantu” terjadi karena situasi lain. Ibunya sekolah, misalnya. Atau sakit. Tanpa konteks dan sering dibahas dalam kaitannya dengan ibu bekerja, maka tulisan ini potensial melukai perasaan ibu-ibu yang tidak punya pilihan lain selain menitipkan anak-anaknya pada pembantu. Ibu-ibu yang single parent, misalnya….yang Allah uji dengan perceraian atau kematian suaminya. Yang harus berjuang mencari nafkah untuk diri dan anak-anaknya. Atau ibu-ibu yang suaminya penghasilannya terbatas dibandingkan kebutuhannya, sehingga terpaksa harus ikut mencari nafkah. Teman saya seorang ibu single parent yang ditinggal wafat suaminya dan terpaksa harus menitipkan tiga anaknya setiap hari pada pembantu, bertanya kepada saya bagaimana ia harus menanggapi tulisan ini, yang tersebar di wa grup yang ia ikuti dan diaminkan oleh hampir seluruh anggota wa grupnya. Sebelum menjawab pertanyaannya, kami berpelukan dulu, saya memeluknya yang menangis sedih karena terluka oleh tulisan itu.

Yang kedua, saya mencoba memahami isu sentral yang ingin diusung oleh tulisan ini. Bahwa anak itu berharga. Jauh lebih berharga dibandingkan uang dan perhiasan. Kalau uang dan perhiasan saja tidak berani kita titipakan pada orang yang tidak kita percaya, apalagi anak. Tampaknya tulisan ini bermaksud mengingatkan para orangtua bahwa jika kita akan menitipkan anak, titipkanlah pada orang yang benar-benar kita percaya. Itu interpretasi a. I agree. One hundred percent.

Interpretasi b adalah, tersirat bahwa tulisan ini ingin menyampaikan pesan bahwa ibu-ibu yang menitipkan anak-(anak)nya pada pembantu, berarti  si ibu menganggap anaknya tak berharga. Dan anaknya merasa ia tak cukup berharga sehingga “dititipkan pada pembantu”. Dua interpretasi itu yang saya tangkap dipersepsi oleh kelompok-kelompok yang aktif menyebarkan tulisan ini.

Poin 2b inilah yang akan saya ulas dalam tulisan ini. Buat saya sebagai ibu bekerja, poin 2b ini memang potensial terjadi. Bahwa anak kita merasa dia tak cukup berharga sehingga ibunya lebih memilih pekerjaan yang “lebih berharga” dibandingkan dirinya, memang mungkin terjadi. Potensial terjadi, dan sangat bisa terjadi pada kita. Padahal, mungkin berharga atau tidak berharganya anak dibanding pekerjaan, bukanlah issue utama pilihan ibu bekerja. Tidak sesederhana itu. Ada beragam isu lain. Maka, saya ingin memfokuskan pikiran saya untuk memikirkan, bagaimana caranya agar para ibu bekerja seperti saya, setelah “menggugat niat” bekerja dan menemukan jawaban bahwa pekerjaannya halal, tidak potensial menimbulkan fitnah dan diridhoi suami, bisa mengkondisikan agar anak-anaknya tidak merasa bahwa mereka “kurang berharga” dibanding pekerjaan ibunya.

Yang terpikir oleh saya, pendekatannya bisa dua cara. Pertama,  pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak memahami bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga. Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak meyakini bahwa pemahamannya bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya adalah benar.

(1) Pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak MEMAHAMI bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga.Cara ini bisa dilakukan dengan “memperluas cakrawala pemikiran” anak. Bahwa isu menitipkan anak atau bukan, itu bukan soal berharga atau tidak berharga. Memahamkan pada anak bahwa ia berharga, adalah perlu. Tapi memberikan pemahaman bahwa ada banyak nilai berharga lain di luar diri anak, menurut saya tak kalah penting.

Saya kenal seorang anak, yang selalu dititipkan pada pembantu selama ibunya pergi. Apakah ia merasa tidak berharga? tidak. Karena ibunya selalu menceritakan apa yang dilakukannya ketika ia pergi. Ibunya terapis. Ibunya selalu menceritakan, kondisi anak-anak yang ia bantu, betapa bahagianya ia saat mendapatkan kliennya mendapat kemajuan, sampai anaknya hafal nama-nama klien ibunya dan malah bertanya, bagaimana perkembangan si ini… si itu udah bisa bicara apa saja, si ini sudah bisa duduk diam berapa lama…. dan anak ini, bangga sekali pada pekerjaan ibunya. Ia merasa berharga, dan ia merasa profesi ibunya membantu anak-anak berkebutuhan khusus juga berharga.

Saya pribadi mulai mencontek cara ini. Setiap hari sepulang beraktivitas, saat menjelang tidur dan ngelonin si 6 tahun dan si 3 tahun, saya ceritakan tentang tingkah polah mahasiswa-mahasiswa saya di kampus, apa yang saya ajarkan dan bagaimana caranya, tentang klien-kilen yang saya temui pas hari praktek….minimal mereka tahu apa yang dikerjakan ibunya, nilai apa yang dikejar ibunya, dan semoga ia memahami bahwa ibunya menitipkannya pada teteh, bukalah karena mereka tidak berharga. Yang saya rasakan, dengan menceritakan aktivitas keseharian kita di luar rumah, kit ajuga jadi mengevaluasi, seberapa berharag sebenarnya aktivitas kita tersebut.

Meskipun sederhana, cara ini tampaknya cukup bermakna, mengingat saya menemukan beberapa remaja yang tidak tahu apa pekerjaan ayahnya, apa pekerjaan ibunya. Anak-anak seperti ini yang mungkin kemudian mengembangkan persepsi bahwa ia “ditinggalkan” oleh ibunya, bahwa ia tak cukup berharga.

(2) Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak MEYAKINI  bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya. Langkah pertama harus digenapkan dengan langkah kedua. Pembuktian. Harus ada bukti bahwa ibunya memang merasa si anak berharga. Caranya? menurut saya melalui exception. Situasi pengecualian. Boleh lah, ibunya tiap hari menitipkannya pada pembantu. Tapi ada situasi-situasi spesial, dimana ibunya akan mencancel apapun untuknya. Pembagian raport, pentas seni, saat anak sakit, perlombaan yang diikuti anak. Itu adalah momen-momen yang buat anak, biasanya berharga.

Seorang teman saya yang meneliti self esteem pada anak usia sekolah menemukan bahwa “harga diri” anak salah satunya ditentukan oleh kehadiran orangtua terutama ibu pada acara-acara sekolah. Exception ini juga bisa menjadi indikator bagi kita untuk menghayati, benarkah memang anak kita berharga buat kita? kalau setiap kali momen istimewa anak kita, kita tak bisa hadir karena tersandera pekerjaan ..maka mungkin saatnya mengevaluasi perasaan kita pada anak, mengevaluasi kembali apa yang menjadi prioritas hidup kita.

Untuk poin kedua ini, saya mendapat banyak role model dari senior saya, para ibu-ibu high achiever yang akan mengorbankan kesempatan sebesar apapun saat berbenturan dengan momen istimewa anaknya. Mereka memberi contoh bagaimana memprioritaskan keluarga dibanding prestasi, bukan menjadikan keluarga sebagai alasan untuk tidak berprestasi.

Well…semoga saya bisa menyampaikan dengan tepat “pesan” yang ingin saya sampaikan. Mengoptimalkan peran ibu, apapun pilihan aktivitasnya. Itu misi saya. Saya yakin dan percaya, setiap ibu-apapun pilihannya dan dimanapun ia beraktivitas, masing-masing memiliki potongan puzzle kebaikan bagi keluarga dan lingkungannya. Daripada saling meniadakan potongan puzzle itu, maka sebaiknya kita mulai merapatkan barisan. Bukan saling membandingkan siapa yang lebih baik, siapa yang lebih hebat, siapa yang lebih “berkorban”. Melainkan saling mengingatkan, saling menolong dan saling melengkapi, dengan puzzle kebaikan yang bisa kita lakukan  masing-masing.

Semangat !!!

 

Ibu Bekerja : Mengelola “Guilty Feeling” dengan apple to apple

Salah satu hal yang konon lazim dirasakan oleh ibu bekerja, adalah “perasaan bersalah”. Perasaan bersalah atau “guilty feeling” ini bisa dirasakan sebagai dampak  dari adanya kesenjangan antara “nilai” yang tertanam pada diri kita bahwa seharusnya seorang ibu itu “ada di rumah”, “selalu ada” untuk anak-anaknya, dengan kenyataan yang kita pilih dan kita jalani, yaitu “meninggalkan anak-anak”.

Menurut saya, “guilty feeling” itu, perlu dipertahankan. Setelah itu, lalu dikelola. Kenapa harus dipertahankan? Karena memang “value” bahwa ibu itu “heart of family”, harus dipertahankan. Nilai ini yang akan menjadi salah satu “kalibrasi kompas peran” kita sebagai ibu, yang memilih untuk bekerja. Lalu selanjutnya dikelola. Maksudnya?

guilty girl comicSama seperti emosi negatif lainnya seperti marah, kesal, kecewa, dll… emosi “guilty feeling” ini menjadi salah satu “ciri kemanusiaan” kita. Kalau kita hilangkan, akan terjadi “ketidakseimbangan ekosistem psikologis” yang berdampak buruk. Tapi kalau kalau tak kita hilangkan namun tak kita kelola, juga tak kalah buruk dampaknya. Nah, ini nih yang sering “ter-expose”; dampak guilty feeling ibu bekerja yang tak terkelola.

Kalau tak dikelola, si guilty feeling ini paling sering muncul dalam bentuk “mengkompensasi ketidakhadiran diri dengan memenuhi keinginan anak”. Misalnya…masa udah seharian gak ada di rumah trus pulang-pulang memberikan aturan ini-itu pada anak. Masa pas gak ada di rumah merasa sangat terbantu dengan ipad, trus pas datang harus mengganggu “kenikmatan” anak main ipad meskipun mainnya udah entah berapa belas jam ….Menurut penghayatan saya, itu adalah bentuk guilty feeling yang “pasif”. Hehe…bikin teori sendiri  ;). Kalau bentuk yang aktif gimana? beliin ini-itu buat anak yang sebenarnya gak diperlukan anak. Misalnya beliin anak mainan mahal-mahal, ngajak anak makan disana-sini, dll dll.

Jujur saja, saya pernah mengalami fase ini. Saat loading pekerjaan begitu banyak dan memaksa saya p4; pergi pagi pulang petang;  maka saya mengkompensasi ketidaksempatan saya memasak masakan kesukaan anak-anak dengan membelikan makanan istimewa dari resto favorit mereka. Saya juga mengkompensasi minimnya waktu bermain anak-anak dengan saya, dengan membelikan mereka mainan istimewa. Namun selanjutnya, saya menyadari bahwa perilaku “mengkompensasi” ini jika tak dikendalikan, bisa “kebablasan”.

Apa maksudnya kebablasan?

  • Dampak pada pengasuhan yang menjadi tak terkonsep dengan jelas (terutama jika bentuk guilty feelingnya adalah ibu jadi permisif);
  • Kalau anaknya pinter, anak bisa “memanipulasi” perasaan guilty feeling ibu ini loh…ia akan memanfaatkan rasa bersalah ibu untuk mendapatkan apa yang ia mau
  • Seringkali ibu merasa bahwa dengan cara tertentu,  ia telah “membayar” “kekurangan karena ia bekerja” pada anaknya, namun di sisi lain anaknya tidak menghayati demikian. Nah, ini tragis banget. Tapi kenyataannya, ada. Beberapa kali saya menemukan relasi ibu-anak;  yang ibunya berpendapat : “Saya sudah ajak dia liburan ke luar negeri, saya sudah beliin apapun yang dia mau, saya sudah bla..bla..bla…tapi anak saya tetap ngungkit kenapa saya tidak hadir waktu dia pentas abcdxyz” . Sementara anaknya berkata: “saya gak butuh liburan ke luar negeri, saya gak butuh gadget…saya butuh ibu hadir waktu saya pentas abcxyz” misalnya. Ini ilustrasi aja. The point is, seringkali kombinasi antara guilty feeling dan hambatan psikologi untuk mengungkapkan emosi antara ibu-anak, membuat kejadian “tragis” seperti ini terjadi.

Karena posisi saya sebagai ibu, maka menurut saya…”mengkompensasi” itu hal yang wajar, namun kompensasinya harus apple to apple. Kompensasi apple to apple untuk mengurangi kadar guilty feeling kita, menurut saya bisa dilakukan dengan dua cara:

(1) Menkompensasi kuantitas waktu yang “hilang” karena kita bekerja, dengan kualitas waktu. Quality time. Terdengar sangat  familiar bukan?. Tapi saya baru menghayatinya secara mendalam minggu lalu. Biasanya, sejak tak punya pembantu, saat di rumah memang “terpaksa” saya “melayani” kebutuhan anak-anak tanpa disambi aktifitas lain. Da emang gak bisa…Pulang dari aktifitas sore, lagi masak untuk makan malem…si bungsu Azzam ngajak main bola….gak mungkin masak sambil main bola. Terpaksa lah si kompor dimatikan, tak peduli sedang pada tahap apa si proses memasak. Deadline menggunung, tapi Hana minta diajarin belajar baca, terpaksa si deadline dilupakan da gak mungkin disambi. Begitu seterusnya. Nah, minggu lalu, karena mas ada di rumah saya coba-coba, di rumah nemenin anak-anak sambil buka laptop. Sebenarnya gak ngerjain yang serius sih, cuman mau ngerekap progres kerjaan aja. Dan hasilnya…saya kesel, karena kerjaan saya gak kelar-kelar. Anak-anak, gak kalah keselnya. Azzam rewel, Hana protes…. dan kalau mereka tau ibunya gak “konsentrasi” pada mereka, tiba-tiba ajakan si abah untuk main, menjadi gak laku ;(

Ah, saya jadi inget prinsip quality time dalam bertinteraksi dengan anak HERE AND NOW. Ibu ada DISINI, SEKARANG. Pikiran dan perasaan ibu, hadir bersama. Dan anak, di usia berapapun -menurut pengalaman saya- punya “sensor” untuk merasakan apakah ibunya “HERE” atau “THERE”. Dan ternyata, mencurahkan pikiran dan perasaan sepenuhnya saat berinteraksi dengan anak itu, tak hanya bermanfaat untuk anak-seperti yang selama ini saya pikir. Namun ternyata bermanfaat juga buat kita. Menari hockey pockey sambil inget kerjaan, tentu beda proses dan hasilnya dengan saat kita menari hockey pockey d dengan benar-benar menikmatinya. Anak akan merasa bahwa ketawa kita, gak palsu. Tulus. Dan, kita akan larut dan menikmati serta merasakan energi positif dari bermain. Double impact 😉

Berdasarkan pengalaman tersebut, maka untuk ibu bekerja, satu jam yang kita punya sebelum berangkat bekerja, beberapa jam yang kita punya sepulang kerja sampai anak-anak tidur, jangan sia-siakan. Jangan sia-siakan. Kosongkan pikiran dari semua hal yang terkait pekerjaan. Simpan hape jauh-jauh, silent-kan. Hayu kita “bayar” kuantitas waktu yang hilang dengan waktu yang “berkualitas super”. Interaksi ibu-anak yang paling berkualitas menurut saya adalah, interaksi tanpa media. Alat permainan yang paling jitu untuk membangun relasi yang berkualitas antara ibu dan anak adalah…tubuh kita. Saling memeluk, saling  mencium, saling gelitik, permainan “bila gajah berjalan…bila semut berjalan”, beragam macam tepuk (tepuk badut, tepuk polisi, tepuk sambel, tepuk si cepot, dlsb), guling sosis, dll dll. Fungsinya ganda: membuat anak merasa berharga, dan membuat ibu merasa bahagia karena bisa menghilangkan kepenatan dari pekerjaan.

(2) Jujur saja, setiap hari saya merasa harus meminta maaf pada anak-anak saya. Saat setiap siang saya telpon Hana dan ngobrol dia lagi apa lalu  si TK B itu menjawab  lagi main ini-itu sendirian, saya bayangkan kalau saya ada di rumah, dia pastinya akan jauh lebih senang. Perasaan bahwa hak anak-anak menjadi terkurangi karena pilihan kita bekerja, menurut saya akan menjadi amunisi yang tak terhingga bagi kita untuk memanjatkan doa yang paling tuluuuuuus untuk anak-anak kita, setiap hari-nya. Dan doa ibu….bagaimana kedahsyatannya, tak diragukan lagi.

Jadi, demikianlah curhat tengah malam kali ini. Semoga bermanfaat 😉

sumber gambar : http://www.thehugginghome.ca/2011/06/mother-guilt-i-have-it-and-i-feel.html

Working mom : Click !

Akhirnya saya membuat folder baru. WORKING MOM.

Hal ini karena di usia menjelang 10 tahun sejak saya menerjunkan diri dalam “dunia bekerja”, saya memasuki babak baru. Coba tanya pada semua ibu-ibu yang memilih untuk menjadi dosen. Apa alasan mereka memilih pekerjaan ini? KELUANGAN WAKTU. Sebagian besar jawabannya adalah demikian. Termasuk saya. Namun pada kenyataannya, dunia perdosenan tidak hanya mengajar titik. Semakin “naik” jenjang pangkat kita, semakin banyak “tugas tambahan” yang sifatnya manajerial maupun keprofesian yang harus dilakukan. Itulah sebabnya sampai tahun lalu, saya masih belum menghayati bahwa saya “bekerja”. Karena waktu saya sangat fleksibel. Hanya mengajar beberapa jam dalam seminggu. Sisanya? bisa di rumah, bisa beraktifitas pribadi. Lalu kemudian ada masa dimana saya merasa “terpaksa” melakukan tugas-tugas tambahan…Dan kini, babak baru itu adalah, saat saya menyadari bahwa “tugas-tugas tambahan” ini adalah menjadi tanggung jawab saya. Banyaknya senior yang memasuki masa pensiun, dan diskusi-diskusi dengan teman-teman sebaya, tampaknya berhasil menumbuhkan “sense of belonging” saya terhadap “rumah” tempat saya beraktivitas … eh bekerja. Di bidang profesi-pun, tak bisa saya pungkiri, saya sudah masuk ke fase …apa ya…middle? kalau dulu ada kasus yang “sulit” saya akan refer pada senior saya, sekarang….satu per satu mulailah para “junior” saya merefer kasus pada saya. Secara operasional, tahun ini saya memasuki babak baru sebagai ibu bekerja, yang aktifitas dan tanggung jawab saya membuat saya harus bekerja fulltime. Senin-Jumat, pagi-sore.

Setiap perubahan, pastilah membut dis-equilibrium. Situasi baru, tantangan baru. Untuk saya yang juga sangat ingin tetap menjadi “heart of my family” dalam arti yang sesungguhnya, saya menghayati betul bahwa saya harus belajar. Ini adalah kelas baru. Saya harus belajar pelajaran baru. Terutama karena justru support system di rumah kurang menjamin. Saya membayangkan….dulu enak banget ya saya, anak dua…pembantu dua. Beraktifitas cuman dua harian lah dalam seminggu. Sekarang, anak empat. Aktifitas full. Pembantu hanya pulang pergi. Ah, tapi alhamdulillah banget punya Pak Ayi sopir multitasking dan istrinya yang sangat membantu mengasuh Azzam dan Hana selama siang saya bekerja.

Yups, saya sudah membaca banyak referensi tentang work-family balanced. Saya sudah menemukan pendekatan yang paling “pas” untuk mengelola pekerjaan dan keluarga sama baiknya. Secara teoretis. Saya juga bersyukur, di kampus kolega saya 90 persen adalah ibu-ibu. Mereka punya anak, punya keluarga. Saya punya banyak “role model”. Saya bisa pilih siapa yang bisa jadikan “role model”, yang value-nya sama dengan saya dalam mengelola pekerjaan dan kehidupan keluarga secara seimbang. Yang bisa “hebat” di luar rumah dan “ibu yang menenangkan” di dalam rumah. Namun tetap saja, dalam menjalankannya, jatuh-bangun itu terasa. Tidak mudah.

Salah satu hal yang cukup terasa adalah saat ada beberapa “kesempatan besar” di depan mata, yang tak bisa diambil karena pertimbangan keluarga. Workshop ini-itu yang menggiurkan dan bisa meningkatkan kompetensi tapi beberapa hari di luar kota, Conference in-itu yang menawarkan pengalaman seru jalan-jalan ke luar negeri, kesempatan sekolah, acara sharing ini-itu yang bsia mengeyangkan kehausan akan ilmu tertentu…serta “komitmen” kita terhadap pekerjaan…

“Hal-hal kecil” juga tak kalah menggoda : godaan untuk beraktifitas di hari Sabtu-Minggu. Aktifitas sosial. Advokasi pada masyarakat. Padahal saya sudah berkomitmen untuk “menambal” minimnya kuantitas waktu di weekdays, dua hari di wiken itu saya harus ber-quality time bersama keluarga.

Pilih keluarga ! itu teorinya. Mudah. Tapi menjalaninya, menghayatinya, tak semudah itu. Saya yakin perasaan ini dialami oleh banyak ibu-ibu bekerja. Karena pilihannya bukan baik-buruk. Tapi baik-lebih baik.

Dulu, sebagai penonton, saya mudah berkomentar. Tapi sebagai pemain, menjalaninya….tak semudah itu ya…

Kadang dalam situasi itu, beberapa kali saya berpikir “coba ya, kalau anak-anak udah besar”. Pengen cepet-cepet si bungsu “bisa ditinggal”.

Inilah yang ingin saya bagi dengan teman-teman sesama ibu bekerja. Bagaimana kita tetap bisa “bertahan” untuk berada di jalur kompas yang benar. Bagaimana kita tak hanya jadi manager, namun tetap jadi leader dalam kehidupan kita. Bagaimana kita tetap bisa luwes memenuhi tuntutan lingkungan, tapi tak pernah lupa arah tujuan hidup kita yang sesungguhnya. Bagaimana kita tetap merasa nyaman dan proporsional menjalani “tanggung jawab  ganda” kita. Bagaimana kita tetap amanah dalam pekerjaan namun tak membuat kita “terlena” dan melupakan apa yang lebih hakiki. Keluarga.

clickSaya percaya tak ada yang kebetulan. Begitupun ketika malam ini film Click ! hadir dan saya tonton. The right film in the rignt time 🙂 Film yang dibintangi Adam Sandler ini, bercerita tentang seorang “Newman” yang ingin mencapai puncak karir di pekerjaannya, dan mendapatkan “remote ajaib” untuk mengatur kehidupannya. Singkat kata singkat cerita, ia selalu menggunakan remote itu untuk “melompat” ke saat-saat ia mencapai keberhasilan dalam pekerjaannya. Promosi, sampai sukses menjadi CEO. Dan dampaknya adalah, ia melewatkan banyak waktu dalam perjalanan kehidupan keluarganya. Seperti film keren lainnya, film ini bikin tertawa karena adegan-adegan lucu-nya, tapi bikin menangis karena adegan-adegan “menyentuh”nya.

Ada momen dimana saya curhat pada sahabat saya, saat satu situasi memaksa saya untuk lebih memprioritaskan pekerjaan daripada keluarga. Saya bilang pada sahabat  saya, saya takut pola perilaku memprioritaskan pekerjaan ini menjadi “kebiasaan” bagi saya. Saya takuuuut sekali bayangan saya tentang masa tua saya (kalau panjang umur); berbincang dengan mas berdua, dengan kulit kami yang telah mengeriput di kursi taman menghadap halaman rumah kami yang luaaaaas  sambil minum kopi dan membicarakan anak cucu kami dengan penuh bahagia, sirna karena tanpa sadar saya dan mas “sibuk” dengan dunia masing-masing. Satu hal yang amat mungkin terjadi dan sudah terjadi pada beberapa senior yang saya amati… dan membuat saya amat resah.

Buat teman-teman yang juga pernah mengalami keresahan yang sama, mari kita ingat pesan dalam film ini. Terkadang kita terlena untuk mengejar mimpi di ujung pelangi. Yang kita bayangkan adalah saat kita sampai disana. Namun ternyata yang kita dapati sampai di ujung sana, hanyalah “sekotak sereal”. Padahal kita sudah melewatkan banyak momen berharga untuk sampai di ujung itu.

Sering-seringlah mengkalibrasi kompas kehidupan kita. Melalui tafakur di keheningan malam, menemukan role model yang sesuai, menghayati waktu demi waktu, membayangkan akhir hidup seperti apa yang kita inginkan…..dan beragam cara lainnya.

Mari saling mengingatkan dan berdoa agar pilihan kita “bekerja” menjadi pilihan yang berkah, yang menjadi sajadah panjang kita untuk melakukan kebaikan. Kebaikan yang melindungi anak-anak  kita saat kita tak ada di sisi mereka, kebaikan dan keberkahan yang membuat kita bisa menikmati indahnya kasih sayang dan kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita,  di akhir hidup kita yang-entah kapan.

Ibu Bekerja atau Ibu Tidak Bekerja ; Siapa yang Lebih Stress?

Ehm…ehm…sebelum memulai tulisan ini, mau membuat “pengakuan dosa” dulu …

Sebenarnya judul tulisan ini tidak tidak terlalu saya suka. Mengacu pada tulisan sebelumnya https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/09/21/ibu-bekerja-dan-ibu-tidak-bekerja-pertanyaan-apa-yang-lebih-tepat/, maka judul tulisan ini tidak tepat. Judul tersebut lebih didasari oleh semangat agar tulisan ini “propokatip” sehingga menarik perhatian untuk dibaca hehe….belajar menjual diri gituh;)

stressed-woman-cartoonMemang saya ingin materi di tulisan ini diketahui banyak ibu. Karena penting, menurut saya. Inti dari tulisan ini adalah mengenai pengelolaan stress. Menurut saya, kemampuan manajemen stress merupakan “kemampuan dasar” yang harus dimiliki oleh para ibu. Beragam penelitian menunjukkan bahwa stress ini, apabila tak dikelola dengan baik, akan menjadi pintu gerbang gangguan kesehatan mental dan fisik. Beragam penelitian terutama di bidang psychoneuroimmunology menunjukkan korelasi yang tinggi antara tingkat stress dengan beragam penyakit yang “berat”.

Kenapa istilahnya “dikelola” bukan “dihilangkan” ? karena memang kita tak bisa menghindari beragam hal dalam detik-detik kehidupan kita, yang potensial jadi sumber stress. Dan pengalaman bertemu dengan banyak ibu, membuat saya menyimpulkan bahwa … pengelolaan stress ini menjadi salah satu faktor penentu apakah seorang ibu bisa mencurahkan perhatiannya secara berkualitas pada keluarganya atau tidak. Faktor pengelolaan stress ini merupakan faktor yang lebih menentukan, dibanding faktor apakah ia bekerja atau tidak bekerja. Dan kita semua tahu, bahwa ibu itu adalah “the heart of family”, entah dia bekerja atau tidak bekerja. Jadi…sepakat kan, kalau ibu-ibu harus bisa mengelola stress-nya?

Tulisan ini adalah tulisan lanjutan dari https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/09/21/ibu-bekerja-dan-ibu-tidak-bekerja-pertanyaan-apa-yang-lebih-tepat/. Mengacu pada tulisan tersebut, maka jelas bahwa pertanyaan di judul adalah pertanyaan yang salah. Dan jawabannya pun jelas, bahwa ibu bekerja dan ibu tidak bekerja, sama-sama bisa mengalami stress, sama-sama bisa tidak mengalami stress. Siapa yang lebih stress? nah, itu tergantung dari bagaimana kemampuan ibu untuk mengelola stressnya. Tulisan ini akan panjaaaaaaaang. Oleh karena itu, sepertinya dalam tulisan kali ini saya hanya akan membahas mengenai stress, stressor dan respons stress. Kenapa mulai dari situ? tak kenal maka tak sayang, bukan? keterampilan mengelola stress mulai dari pemahaman terhadap hal-hal yang terkait dengan stress itu sendiri.

Banyak teori yang mengungkap tentang stress. Dari beragam sudut pandang. Namun agar bisa dinikmati dengan renyah, saya pilih paparan stress dari buku Atkinson & Hilgrad’sIntroduction to Psychologi, 15th edition yang ditulis oleh Noelen-Hoeksema, et all (2009)

Baiklah, mari kita mulai.

Kita seriiing banget mendengar dan mungkin mengucap kata “stress”. Apa sih, stress itu? Secara umum, stress mengacu pada kejadian yang kita persepsikan mengancam kesejahteraan fisik atau psikologis kita. Kejadiannya, disebut stressor. Reaksi kita terhadap stressor, disebut respons stress.

Apa saja yang bisa jadi stressor? Gak akan abis sehari semalam menyebutkannya. Mulai dari hal-hal “besar” seperti kematian orang yang kita cintai, perceraian, bencana alam, bos yang amat sangat menyebalkan, sampai dengan hal-hal keciiiiiiil remeh temeh seperti anak yang numpahin air minum, suami yang lupa beliin barang titipan kita di mini market, hape abis batre, internet yang lelet, status-status di facebook, tukang sayur yang gak lewat-lewat, dll dll.

Secara umum, stressor tersebut bisa dikategorikan menjadi 2 kelompok besar:

1. Kejadian yang traumatis. Yaitu situasi bahaya yang sangat ekstrim yang berada di luar batas pengalaman manusia pada umumnya. Misalnya bencana alam, peperangan, kdrt, perkosaan atau pembunuhan.

2. Bersyukurnya, pengalaman traumatis tidak dialami oleh semua dari kita. Namun sumber stress juga bisa berasal dari “kejadian biasa” loh, tergantung dari :

a. Tingkat kemampuan kontrol kita terhadap situasi/kejadian tersebut. Kontrol adalah derajat seberapa besar kita bisa menghentikan atau menghindari situasi tersebut. Semakin tak bisa kontrol suatu situasi, maka kita akan semakin mempersepsikan situasi ini menjadi stressful. Kematian, misalnya. Tak bisa kita kontrol. Penyakit yang kita derita, juga tak bisa kita kontrol. Terkait hal ini, ada hasil penelitian yang penting bake bingiiits…yaitu : keyakinan bahwa kita bisa mengontrol situasi, dapat mengurangi dampak dari situasi tersebut, bahkan walaupun kita tak pernah melakukan kontrol tersebut. Jadi, kalau kita yakin bahwa kita bisa menangani anak yang rueweeeel, maka walaupun kita belum pernah menanganinya, keyakinan tersebut bisa membuat situasi anak rewel menjadi peristiwa yang tidak stressful buat kita. Dan keyakinan bahwa kita bisa mengonrol situasi, sama pentingnya dengan kemampuan aktual kita mengontrol situasi tersebut. Keyen kan……

b. Sejauh mana situasi tersebut bisa kita prediksi atau tidak. Meskipun kita tak bisa mengontrol satu situasi, tapi kalau kita sudah bisa memprediksikannya, dampak dari situasi tersebut akan jauh lebih ringan buat kita. Meskipun kita bingung gimana beresin rumah sendirian, tapi kalau si art kita yang pulang pergi udah izin sejak kemarin bahwa hari ini ia tidak akan masuk, maka kita tidak akan lebih stress dibandingkan jika si art tak masuk tanpa kabar berita (haha…gampang banget cari contohnya ini mah …dan pasti ibu-ibu pada ngangguk-ngangguk 😉

c. Ada kejadian-kejadian yang disebut “major changes in life circumtances”. Yaitu perubahan  dalam hidup yang kita alami. Kematian pasangan, pernikahan, pensiun, kehamilan, perubahan dalam pekerjaan, beragam perubahan yang terjadi di sekitar kita, adalah termasuk sumber stress yang potensial.

d. Konflik internal. Nah, kalau poin a, b dan c bicara tentang faktor diluar diri, poin ini bicara tentang faktor di dalam diri. Yaitu konflik dalam diri yang belum terselesaikan. Konflik terjadi saat seseorang harus memilih antara dua hal yang bernilai buatnya. Misalnya: Pengen bekerja tapi gak pengen ninggalin anak. Pengen pesbukan tapi harus beresin setrikaan. Pengen sekolah keluar negeri tapi gak mau ninggalin keluarga.

Bagaimana kita mengenali bahwa kita mengalami stress? dari respons kita. Perilaku kita. Ada dua reaksi kita terhadap stress. Bisa psikologis, fisiologis, atau keduanya.

Respons psikologis yang menunjukkan kita stress : Cemas. Marah dan agresi. Apatis dan depresi. Penurunan kognitif.

Respons fisiologis yang menunjukkan kita stress : Peningkatan dalam metabolic rate. Peningkatan detak jantung. Tekanan darah yang meninggi. Otot yang menegang. Pengeluaran endorfin dan ACTH.

Mengenai respons stress ini, tampaknya akan dibahas di tulisan selanjutnya. Tapi kalau kita lihat respons fisiologis stress, jadi make sense ya, kenapa si stress ini jadi berpengaruh terhadap kesehatan fisik kita.

Baiklah….saya ingin menutup tulisan ini dengan PR. Termasuk buat saya. Gak cuman buat ibu-ibu. Tapi buat mas-mas, neng-neng, adek-adek, siapapun  yang baca tulisan ini.

PRnya adalah :

Coba hayati, ingat-ingat, dan lalu tuliskan: kejadian/situasi apa saja yang selama ini membuat kita stress. Kita bisa tahu dari respons psikologis dan respons fisiologis kita ya…..Lalu dari masing-masing kejadian/situasi tersebut, coba dihayati…kalau dikasih skala 1-10, berapa bobot stressnya.

Misalnya :

Setrikaan numpuk  9 / Anak berantem 6 / Suami gak jawab sms/bbm 10 /Gak punya waktu ke salon 8 / Deadline kerjaan 5 / Telat nyampe kantor 6

Setelah itu, ranling dari yang bobotnya paling besar ke yang bobotnya paling kecil.

Kalau ada yang merasa susah mengerjakan PR ini , ada dua kemungkinan. (1) Kita emang gak pernah mengalami stress (2) Kita gak peka, gak mengenali dan sulit menghayati diri sendiri. Kalau alternatif pertama sih wokeh, kalau alternatif kedua nih…..bahaya.

Self awareness, itu sangat penting untuk kesejahteraan psikologis kita. Fisik juga sih. Kita akan bertindak secara terarah, kalau kita tahu betul apa ynag terjadi dengan diri kita. Misalnya, contoh yang paling gampang adalah dalam kesehatan fisik. Kalau kita peka, kita akan mengenali kapan tubuh kita mulai “gak enak”. Kalau tenggorokan sakit nelen. Sariawan mulai bertumbuhan. Kalau kita menyadari itu, kita bisa sengaja satu hari istirahat. Karena kita tahu bahwa kalau gak istirahat, ini akan berlanjut menjadi flu berat. Bayangkan kalau kita gak  peka. Kita gak nyadar bahwa “gak enak badan”. Aktivitas hajar terus, akhirnya…tumbeng…. Stress juga kayak gitu. Kalau kita peka, kita bisa lakukan pengelolaan agar gak berlanjut menjadi “sakit”; baik secara psikologis maupun fisik.

Okeh…selamat mengerjakan PR…ini akan kita gunakan dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya. Semoga bermanfaat.

Sumber gambar : http://www.lifewithelizabethrose.com/superwoman-complex-does-this-sound-like-you/stressed-woman-cartoon/

Ibu bekerja dan ibu tidak bekerja : Pertanyaan apa yang lebih tepat?

Entah apa yang menjadi triggernya, issue “mom war” kini menyeruak lagi. Tentunya di dunia maya, di sosial media dan di grup-grupan. Rasanya, kalau di dunia nyata siiih…adem-ayem aja ;). Seorang teman saya di whatsapp grup bilang, membahas jawaban dari pertanyaan “mana yang lebih baik antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja?” itu tidak akan ada habisnya. Yups….saya sepakat dengannya. Tapi menurut saya, setiap pertanyaan pastilah ada jawabannya. Kalau tidak ada jawabannya, maka mungkin pertanyaannya yang salah. Baiklah, mari kita bahas pertanyaannya kalau begitu.

“Mana yang lebih baik antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja?”. Ini adalah pertanyaan yang kurang jelas. Variabelnya “ill defined” kalau bahasa penelitian mah. Apanya yang lebih baik? ada beragam banyak kemungkinannya …mmmhhh…kalau dari perbincangan yang biasa terjadi, mari kita asumsikan yang dimaksud “lebih baik” adalah kualitas pengasuhannya, yang kemudian akan berdampak pada kualitas anaknya. Okey…jadi pertanyaannya sekarang adalah, “mana yang lebih baik kualitas pengasuhannya pada anak, ibu bekerja atau ibu tidak bekerja?”

Karena kita sedang membahas pertanyaan, maka yang harus kita pahami selanjutnya adalah, mengapa pertanyaan itu muncul? Kalau menurut saya sih, pertanyaan itu muncul karena ada kenyataan yang berubah. Mari kita list asumsi apa saja yang harus dipenuhi agar ibu bisa memberikan pengasuhan berkualitas pada anak. (1) adanya waktu  untuk berinteraksi dengan anak, (2) pengetahuan yang memadai untuk menstimulasi dan menanggapi perilaku anak, (3) kesediaan untuk memprioritaskan anak dari segala aktifitas yang lain saat anak membutuhkan, (4) kesabaran menghadapi beragam macam ulah anak, (5) …… apa lagi ya? asa banyak hehe…monggo diteruskan masing-masing…

Nah, tampaknya pertanyaan “mana yang lebih baik….” tadi muncul karena adanya pemahaman bahwa kualitas pengasuhan, tak hanya disebabkan oleh satu faktor saja. Misalnya, banyak yang mengutarakan bahwa anak yang diasuh ibunya yang berpendidikan tinggi, itu lebih baik dibanding diasuh pembantunya yang berpendidikan rendah. Pertanyaannya : apakah otomatis, tingkat pendidikan berbanding lurus dengan kualitas pengasuhan? Gimana kalau si pembantu yang lulusan SD itu, seperti tetehnya anak-anak saya dulu; teh Ema : sangat supel, interaktif, suka bacain buku, suka ngajak main aktif, ngajarin main sepeda, sangat responsif terhadap kebutuhan anak, pinter dan sabar kalau ngebujuk dan nyuapin makan……asumsi tadi menjadi kurang pas dibandingkan sebagian kenyataan yang ada.

Demikian juga dengan asumsi bahwa ibu yang bekerja, itu “eksistensi” dirinya akan lebih tinggi, sehingga dia lebih hepi…Pertanyannya : Apakah tingkat ke-hepi-an seorang ibu bekerja akan otomatis membuat kualitas pengasuhannya menjadi lebih baik? apakah otomatis ke-hepi-annya “menular” pada keluarganya? gimana kalau ke ‘hepi”an seorang ibu bekerja harus dibayar dengan tak adanya kuantitas maupun kualitas  interaksi dengan keluarganya? Anak-anaknya? …

Dulu, jaman saya sebagai anak, ibu-ibu yang “tidak bekerja” adalah ibu-ibu yang secara sistem sosial pada waktu itu, tak mendapat kesempatan berpendidikan tinggi. Sekarang, “profil psikologis” ibu-ibu yang “memilih tidak bekerja” sudah jauh berbeda. Mereka bependidikan tinggi, dengan wawasan yang sangat luas, kemampuan manajemen yang super….Dulu, “ibu bekerja” digambarkan sebagai “wanita karir” yang “egois”, yang “menyerahkan anak pada pembantu”. Sekarang, ibu-ibu bekerja rela membawa pompa asi ke tempat kerja demi memberi asi eksklusif pada bayinya, “membayar” kuantitas waktu pengasuhan yang hilang karena bekerja dengan beragam upaya.

Hasilnya? kualitas anak-anak dari ibu yang tidak bekerja, ada yang okeh …. ada yang kurang okeh. Sama juga dengan anak-anak yang ibunya bekerja. Kalau demikian, jadi mana yang lebih baik?

Nah, kalquestau suatu pertanyaan sudah sulit dijawab, maka….mungkin kita salah mengajukan pertanyaan. Seperti jaman dulu, para ahli psikologi perkembangan bertanya: “mana yang lebih berpengaruh terhadap perilaku individu? faktor bawaan atau faktor lingkungan?” Sekian lama….pertanyaan ini sulit dijawab karena kenyataannya tidak bisa menunjukkan satu keteraturan. Akhirnya, pertanyaannya diganti: “Bagaimana faktor bawaan dan faktor lingkungan berinteraksi dalam menentukan perilaku individu?” . Nah, ini baru bisa dijawab.

Tampaknya…dalam kasus ibu bekerja dan ibu tidak bekerja ini, akan lebih tepat jika pertanyaan “mana yang lebih baik kualitas pengasuhannya, ibu bekerja atau ibu tidak bekerja?” ini diganti dengan : “ibu bekerja yang bagaimana yang kualitas pengasuhannya akan menjadi baik?” ….“ibu tidak bekerja yang bagaimana yang kualitas pengasuhannya akan menjadi baik?” .

Jujur saja, saya jauuuuuuh lebih suka pertanyaan ini.Kenapa?

Pertama : Tak membandingkan. Bekerja atau tidak bekerja, menurut saya adalah perbedaan yang sifatnya diferensiasi, bukan stratifikasi. (Tentu sebagai muslimah, diferensiasi ini berlaku jika pekerjaan yang dilakukan memenuhi kaidah syariat ya….pekerjaannya bermanfaat, halal, dan caranya tak melanggar aturan agama). Kalau sifatnya stratifikasi, ada yang lebih baik dan lebih tidak baik, bagaimana ibu-ibu yang tak punya pilihan? kalau ibu bekerja dipandang lebih baik, bagaimana dengan ibu yang tak punya kompetensi untuk bekerja? apakah dia menjadi “lebih tidak baik”? kalau ibu tak bekerja dipandang lebih baik, apakah ibu yang suaminya wafat dan ia terpaksa harus bekerja menafkahi anak-anaknya menjadi “lebih tidak baik?”

Kedua : Menghembuskan optimisme. Apapun situasi kita, entah karena keterpaksaan atau karena pilihan, kita bisa mengupayakan agar situasinya membuat kualitas pengasuhan kita lebih baik. Interaksi. Kombinasi. Banyak faktornya. Lebih banyak yang bisa kita kendalikan dan upayakan.

Ketiga : Membuat kita “waspada”. Alert. “bergerak”. “Hidup”. Tak ada yang otomatis. Menjadi ibu yang 24 jam bersama anak? tak otomatis membuat kita merasa tak harus “berusaha”. Menjadi ibu yang percaya diri karena prestasi yang diraih di luar rumah? tak otomatis membuat kita merasa tinggal kipas-kipas.

Keempat : Fokusnya bukan pada orang lain. Tapi fokusnya pada diri kita. Kalau kita fokus pada diri kita, gak akan terjadi “mom war”. Kita gak akan punya waktu untuk mengurusi pilihan orang lain. Kita akan “ter-occupied” untuk belajar terus, dan mengavaluasi…apakah pilihan aktivitas kita sebagai ibu, sudah memenuhi kualifikasi “pengasuhan yang berkualitas” atau belum.

Gak usah ikut perang-perangan…lebih baik kita “berdamai” dengan pilihan yang kita ambil. Kalau kita semangat perang dengan ibu-ibu yang pilihannya beda sama kita, jangan-jangan itu karena kita masih galau dengan pilihan  kita 😉

Nanti kita ulas faktor-faktor apa saja dalam diri ibu dan di luar diri ibu yang bisa kita upayakan untuk memberikan pengasuhan yang berkualitas pada anak-anak kita. Insya Allah….

Happy n Success Working Mom

Saya bukan orang yang pro atau kontra terhadap situasi wanita/ibu bekerja di domain publik. Tapi saya amat bersyukur bahwa ada wanita2/ibu2 yang memilih bekerja di domain2 publik tertentu. Misalnya, saya amat bersyukur dengan adanya dokter kandungan wanita dan para bidan/perawat, yang membuat saya merasa sangat nyaman saat situasi melahirkan. Tidak  terbayang kalau dokter, bidan dan perawatnya laki-laki…kayaknya akan tambah stress… Demikian juga saya amat bersyukur saat di TK atau SD kelas1-3, anak2 saya dididik oleh seorang guru wanita. Karena anak-anak usia itu, memang lebih membutuhkan figur seorang ibu dibanding figur  guru di sekolah.

Saat tengah malam saya kesakitan menjelang melahirkan dan ditenangkan oleh para perawat yang begitu penuh kasih sayang, saya selalu terharu akan “pengorbanan” mereka meninggalkan buah hati mereka di rumah (saya tahu mereka punya anak kecil dari obrolan2 mereka ;). Saya juga  sering sekali membayangkan “pengorbanan” guru2 TK anak-anak saya saat mereka harus “lembur” mempersiapkan panggung pentas, atau harus menginap di sekolah untuk menemani anak-anak didiknya kemping. Padahal saya tahu mereka punya anak kecil juga. Dan akhirnya, yang bisa saya lakukan adalah mendoakan mereka, agar pekerjaan yang mereka lakukan menjadi jalan mendapatkan keberkahan untuk keluarga dan anak-anak mereka.

Saya juga bisa memahami besarnya pengorbanan ibu-ibu yang memilih (baik dengan kesadaran maupun karena situasi), untuk menjadi ibu rumah tangga. Melakukan pekerjaan yang tak ada habisnya….seringkali tak dianggap sebagai “prestasi”…itu pastinya memerlukan kebesaran hati yang amat sangat. Oleh karena itulah, menurut saya…IRT atau working mom itu masalah pilihan “sajadah panjang” saja. IRT vs working mom bukanlah stratifikasi, tapi lebih merupakan differensiasi. Seorang working mom tak lantas jadi “lebih hebat” dibanding IRT. Demikian juga seorang IRT tak otomatis menjadi “lebih mulia” dibandingkan seorang working mom. Kehebatan dan kemuliaan itu tergantung dari upaya untuk mengerjakan yang terbaik serta keikhlasan menjalani  tugas. Tugas itu hanya jadi media saja untuk mendapatkan keberkahan hidup dunia akhirat, bukan?

Berikut saya ingin berbagi mengenai “kiat sukses dan bahagia” (halah, lebay pisan 😉 bagi working mom. Hal-hal ini merupakan abstraksi dari pengalaman dan pengamatan saya terhadap rekan maupun senior yang berhasil dan berbahagia dalam menjalankan peran gandanya. Artinya, mereka-mereka ini menjadi istri dan ibu yang yang dibanggakan keluarganya,  sekaligus cemerlang dalam karirnya.

Ada 3 kelompok bekal yang dimiliki oleh “happy n success working mom”; yaitu bekal yang terkait dengan spiritual, psikologis dan teknis. Bekal-bekal itu adalah:

Spiritual :

(1) Domain pekerjaan di luar rumah yang dilakukan MUTLAK haruslah HALAL dan THOYYIB. Halal mah udah jelas dan tak bisa ditawar menurut saya. Untuk masalah “Thoyib” atau “baik” ini; saya harus menghaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada para pejuang wanita di DPR/DPRD/LSM kewanitaan yang terus memperjuangkan implementasi perlindungan TKW baik di dalam aupun di luar negeri. Setelah mengikuti suatu talkshow ttg ketenagakerjaan wanita, saya baru tahu bahwa dalam aturannya, perundang-undangan tenaga kerja wanita itu sudah memberikan perlindungan ekstra untuk para wanita. Misalnya adanya cuti haid. Atau adanya aturan bahwa untuk para wanita yag pulang malam, seharusnya perusahaan memberikan layanan antar jemput sampai dengan rumah untuk menjaga keselamatan TKW. Sekali lagi, “take a bow” untuk para pejuang wanita yang seringkali dicibir dengan cap “feminis”.

(2) Izin dari suami. Sebagai muslimah yang ingin setiap langkah yang dijalaninya dalam radar keridhoan Allah, izin suami juga mutlak. Salah satu ilustrasi yang menggambarkan bagaimana seorang istri tak akan sukses bekerja jika tanpa ridho suami adalah sebagai berikut: saya pernah bertemu ibu yang mengeluhkan permasalahan regulasi emosi anaknya. Setelah ditelusuri lagi, hal itu karena pola asuh yang 180 derajat antara da dan suaminya. Ketika si istri memprotes pola asuh suami yang sangat permisif, si suami selalu bilang: “makanya, kamu brenti kerja dong…kalau kamu brenti kerja, aku mau ubah caraku”. “Memang dia gak setuju saya kerja bu, dia emang ngelarang….tapi saya tetep pengen kerja….jadi itu teh cara dia maksa saya berenti kerja bu” ….Tentunya tak ada yang mau situasi seperti di atas terjadi….

Psikologis :

(1) Penghayatan akan pilihan dan motivasi.

Nah…secara psikologis, pilihan ibu bekerja seharusnya didasari oleh penghayatan dan kesadaran terhadap motivasinya. Kebutuhan ekonomi? aktualisasi diri? kegiatan sosial? apapun itu, jika dihayati dan disepakati dengan suami, akan jadi pengarah sekaligus rem dalam berkegiatan di luar rumah. Seorang wanita harus dengan jelas dan jujur mendefinisikan motivasinya dalam beraktivitas sebagai working mom. Karena motivasi ini akan mewarnai bagaimana ia berperilaku.

(2) Self awarenes.

Nah….ini pentiiiiiiing banget. Tak sedikit pilihan “bekerja” istri menjadi pencetus dan penyebab pecahnya suatu keluarga jika self awareness tak dimiliki oleh seorang wanita. Self awareness terhadap apa? terhadap peran domestiknya. Sebagai istri dan ibu. Seorang wanita yang bekerja….harus sepenuhnya menyadari bahwa…ia berperan ganda. Itu artinya, pekerjaannya tidak boleh menjadi EXCUSE untuk tidak menjalankan tugas sebagai ISTRI dan IBU. Jujur saja, saya terkaget-kaget saat membaca jurnal dari USA sono, yang menyatakan bahwa situasi di sana, sama dengan situasi di timur sini. Bahwa seorang wanita bekerja, tetap….dituntut menjalankan peran domestiknya dengan baik. Jika peran domestik itu tak dikerjakan oleh istri, maka hanya ada dua pilihan: (1) tetap tak dikerjakan, (2) dikerjakan oleh tenaga yang dibayar alias ART 😉 Itulah sebabnya…kalau ibu2 berbaju PNS pulang ngantor, sering sekali terlihat sambil menjinjing keresek isinya kangkung, bayem, ayam… saya juga masih ingat salah seorang teman kuliah saya dulu, di tengah-tengah presentasi mendapat telpon dari rumah, yang mengabarkan bahwa gas dan galon abis ;). Kalau tak punya self awarenes untuk menjalankan “second shift” dengan penuh keikhlasan setelah penat menjalankan “first shift” di kantor, bisa bikin keluarga hancur…

Self awareness yang kedua berkaitan dengan issue “The BIG U and teh small i”. Konon, bagaimanapun laki-laki itu punya kebutuhan untuk menjadi figur otoritas bagi wanita. Banyak teori yang menjelaskannya. Ada yang bilang itu genetik, ada yang bilang itu konstruksi sosial, ada juga yang mengatakan itu sudah “fitrahnya”. Yang jelas, di kultur Indonesia, begitulah memang adanya. Saya melihat, working mom yang bisa menyeimbangkan kehidupan keluarga dan kehidupan karir dengan sama suksesnya adalah yang memiliki kesadaran penuh akan hal ini. Saya tahu, beberapa teman saya yang potensial karirnya melejit, menahan diri demi menghargai suaminya. Demikian juga beberapa teman saya berpotensi untuk mendapatkan penghasilan yang jauuuuuuh lebih besar daripada suaminya, mengerem diri juga demi memberikan porsi otoritas itu tetap untuk suaminya. Dan….senior2 saya yang hebat2….yang di kantor dihormati, dielu2kan karena kompetensinya, saat di rumah menanggalkan semua kehebatannya…tetap menjadi seorang istri “biasa”.

Teknis-Strategis

(1) Manajemen emosi dan waktu. Seorang working mom yang sukses, saya lihat manajemen waktunya yahud banget. Punya segudang energi untuk menyelesaikan beragam pekerjaan dengan efisien. Tahu betul apa yang harus dikerjakan dan apa yang tak harus diperhatikan. Dan seringkali, manajemen waktu ini merupakan cerminan manajemen emosi. Bagaimana menunda tugas yang udah mepet karena harus menemani anak, misalnya. Bagaimana harus tetap berkonsentrasi padahal mah pengen bersantai-santai….dll

(2) Punya operasionalisasi prioritas yang jelas. Komitmen untuk menyeimbangkan prestasi di keluarga dan di tempat kerja biasanya hanya menjadi gagasan kalau tak dioperasionalkan. Saya melihat, ibu-ibu bekerja yang “gagal” terjadi karena tak punya operasionalisasi ini, akhirnya tanpa sadar ia telah mengabaikan salah satu. Sedangkan ibu bekerja yang “sukses”, saya lihat punya operasionalisasi yang jelas. Misalnya: sabtu-minggu tak mau terima telpon apapun tentang pekerjaan. Atau ada senior saya yang sengaja tak punya koneksi internet di rumahnya, karena berkomitmen ketika di rumah, tak mau diganggu urusan pekerjaan apapun. Atau, ada juga yang batasannya adalah…gak boleh marah sama anak. Atau opeasionalisasinya adalah…selalu menemani anak belajar ….dll dll…. apapun itu, operasionalisasi itu akan menjadi pengikat dan pengingat serta penanda..

(3) Menjalin persahabatan  di tempat kerja. Nahhh…ini mah pengalaman saya sendiri. Punya lingkaran persahabatan di tempat kerja (atau kita bilang support group) sangat berarti. Tak hanya membuat kita merasa nyaman dan bisa berkarya n berprestasi dengan lebih baik. Tapi lebih daripada itu, bisa menjadi jendela untuk meluapkan emosi yang kita rasakan dalam issu “domestic vs public” ini.

Last but not least adalah…..dukungan keluarga. Terutama dukungan pasangan. Itu mah …. energi yang tak  ternilai buat seorang working mom. Bagaimanapun, ketika seorang ibu berkomitmen terhadap satu pekerjaan, ada tuntutan. Ada konflik, ada situasi negatif, dll……Suami yang memahami, mendorong, menemani, membantu, itu adalah kunci yang amat penting.

So….banyak temuan menunjukkan plus minus dari setiap pilihan wanita saat ia telah menjadi ibu. Apapun pilihan dan situasi kita, yang penting kita pelajari ilmunya, maksimalkan ikhtiarnya, karena akhirnya nanti, nilai seorang manusia adalah RESULTAN DARI KEBAIKAN-KEBAIKAN yang ia lakukan dengan IKHLAS, dimanapun setting dan apapun yang ia lakukan.

Previous Older Entries