Duniaku, Duniamu, Dunia Kita

Beberapa tahun terakhir ini, saya senang karena mulai banyak klien yang datang untuk konseling pra-nikah. Memang, masih belum mengalahkan jumlah klien “konseling pra-perceraian” atau “pasca perceraian”. Tapi peningkatan jumlah klien konseling pra-nikah, saya maknakan sebagai besarnya kesadaran muda-mudi untuk menyiapkan diri masuk ke jenjang pernikahan dengan semaksimal mungkin. Dari beberapa pasangan yang datang, mereka mengatakan bahwa datang ke psikolog, adalah salah satu agenda “safari” mereka. Setelah atau sebelumnya, mereka datang ke ustadz, dan atau ke orang-orang yang mereka tua-kan, dengan agenda yang sama : mendiskusikan hal-hal yang dirasa “mengganjal” sebagai bagian dari keputusan “ya” atau “tidak” untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Menikah, konon sekarang “kesakralan”nya sudah berkurang. Terutama di barat, banyak yang menyatakan “tidak percaya institusi pernikahan”. Di Timur, termasuk di negara kita tercinta, kesakralan pernikahan pun sudah tercemari dengan adanya beberapa pernikahan settingan para artis, atau pernikahan-pernikahan yang hanya berlangsung beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu.

Meskipun demikian, tetap saya melihat, pernikahan ini masih SESUATU banget. Di barat misalnya, saya pernah lama berdiskusi dengan teman saya yang area penelitiannya memang di “marriage“. Saya ambil contoh kasus Brad Pitt sama Angelina Jolie. Mereka berdua menikah hanya 5 tahun sebelum bercerai, tapi sudah tinggal bersama bahkan punya anak lebih lama dari usia pernikahan “resmi”nya. Kenapa gak nikah aja gitu dari awal? Setelah saya baca referensi-referensi yang dikasih temen saya itu, saya jadi paham, bahwa justru perilaku semacam itu dikarenakan pemaknaan bahwa pernikahan itu memang “agung”. Kalau belum yakin banget bahwa saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya dengan orang ini dengan setia, mereka gak akan “propose”.

Tentulah itu satu kutub yang sangat tak sesuai dengan agama dan budaya Indonesia. Tapi kutub satunya, yang menganjurkan para pemuda menikah di usia belia dengan jargon “menikah lebih baik daripada berzina” TANPA memberikan advokasi mengenai hakikat pernikahan, penghayatan pernikahan, menanamkan “benih” untuk siap menghadapi persoalan-persoalan pernikahan; menurut saya juga melecehkan makna sakral pernikahan. Kalau saya lihat dari beberapa medsos penggiat nikah muda, duh suka miris deh. Gak proporsional dan gak memberikan pengetahuan/pemahaman yang benar menurut saya. Kadang pernikahan dilihat hanya sebagai potongan romantisme semata. Tak heran dengan gambaran itu, banyak yang kemudian tak siap ketika berada dalam pernikahan sesungguhnya. Karena 99,9% dunia pernikahan itu, tak seperti yang tampak indah di IG 😉 Masalahnya adalah, di Indonesia, menikah itu “satu paket” dengan punya anak. Sebagai psikolog yang concern pada kesejahteraan anak, saya suka pengen “ngamuk” deh kalau menghadapi persoalan pernikahan dua orang yang “gak mateng” lalu anak jadi korban ketidakmatangan keduanya. Jadi, buat saya bukan soal muda atau tua-nya terkait dengan menikah. MATANG ! itu yang penting.

Jangan main-main sama pernikahan ! Dalam agama, pernikahan disebut mitsaqan ghaliza; ikatan yang kokoh dan kuat (QS.An Nisaa : 21). Allah sandingkan pernikahan, ikrar dua manusia, dengan janjiNya dengan para nabi. Karena “mitsaqan ghaliza”, hanya Allah sebut dalam Al-Qur’an 3 kali, yaitu dalam konteks perjanjian dengan para Nabi Ulul Azmi (QS. AL Ahzab : 7) dan dalam konteks ketaatan Bani Israil (QS. An Nisaa : 154).

Dalam psikologi, pernikahan adalah relasi dua manusia yang paling panjang durasinya, dan paling intens. Pada hakikatnya, sepanjang hidup kita selalu menjalin relasi. Begitu lahir, kita sebagai anak dan atau adik atau kakak. Lalu kemudian menjalin relasi sebagai teman, sebagai murid, dst dst. Tapi dari semua relasi sepanjang hidup manusia itu, pernikahan adalah relasi yang paling “dalam”. Paling kumplit harusnya. Ada perlindungan dan kehangatan yang kita rasa sebagai anak, ada kenyamanan yang kita rasa sebagai teman, ada bimbingan dan arahan yang kita rasa sebagai “bawahan”, dan yang paling membedakan adalah, hubungan seksual. Saya pernah membaca buku mengenai hubungan seksual dari segi fenomenologis. Duh, daleeem banget. Menyatunya dua tubuh yang menjadi simbol menyatunya juga dua hati, dua jiwa, dua pikiran, dua dunia. Itulah hakikatnya pernikahan.

Menurut saya, ada 4 situasi setelah dua orang memutuskan untuk menikah. Pernikahan sehat, pernikahan sakit, perceraian sehat, perceraian sakit. Tentu yang paling ideal adalah pernikahan sehat. Tapi bila itu tak bisa diwujudkan setelah berusaha keras, maka pilihan kedua saya bukanlah pernikahan sakit, tapi perceraian sehat. Pilihan ketiga pernikahan sakit, dan yang suka bikin saya pengen “nangis darah” adalah perceraian sakit.

Intimacy. Itu konsep yang menggambarkan bergabungnya dua dunia kalau dua orang memutuskan untuk menjalani kehidupan bersama dalam pernikahan. Ada 6 ciri dari hubungan intimacy ini. Buat saya, enam hal ini adalah indikator dari pernikahan sehat, operasionalisasi dari konsep sakinah, mawaddah warohmah.  yaitu :

(1) Knowledge / Pengetahuan ; pasangan yang relasinya sehat punya pengetahuan yang banyak/dalam satu sama lain. Kalau diibaratkan bawang merah, manusia punya banyak lapisan. Pada siapa ia “berani” membuka lapisan yang paling dalam, pada dialah ia punya relasi yang paling dalam. Mereka saling berbagi rahasia, berbagi sejarah hidup, berbagi apa yang disukai/tidak disukai, berbagi perasaan, berbagi mimpi-mimpi; yang… tak mereka ceritakan pada orang lain. Intinya, pasangan adalah orang yang harusnya paling mengenal diri kita, bukan malah netijen/ friend di medsos ya… yang lebih mengenal kita 😉

(2) Caring / Kepedulian ; pasangan yang relasinya sehat, saling peduli. JAdi, setelah saling mengetahui, jika pengetahuan tentang pasangan ditanggapi dengan pemahaman dan penghargaan (misal : “aku tuh gak pernah dipuji sama ibu aku”. Tanggapan pasangan: “kamu pasti sedih banget ya, sini aku peluk” … bukan … “kamu kan udah dewasa, jangan lebay ah”) ; maka tumbuhlah peduli. Duh, saya gak kuat untuk menuliskan “kata mutiara” paporit sayah : “lawannya cinta bukan benci, melainkan tidak peduli” haha…

(3) Interdependence / Kesalingtergantungan ; pasangan yang relasinya sehat, mereka saling tergantung. Mereka saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Saya pernah baca buku yang menjelaskan dari sudut pandang gelombang2 gitu deh lupa lagi kkk  mengapa pasangan menikah, makin lama makin “mirip”. Karena mereka saling mempengaruhi. Itu yang kasat mata. Yang gak kasat mata? nilai, pemikiran, perasaan. Kesalingtergantungan ini punya akar sejarah panjang dari mulai awal kehidupan manusia. Mungkin kita yang baik-baik saja, yang sehat-sehat saja perkembangannya, gak akan percaya kalau ada orang yang gak bisa saling tergantung. Bisa secara ekstrim gak mau “digantungi” orang lain, atau “gak mau menggangungkan diri pada orang lain”.

(4) Mutuality / Kebersamaan; Sebagai konsekuensi dari 3 hal diatas, maka  setelah menikah, sepasang manusia itu sekarang punya kosakata baru : “kita”. Ada uangku, ada uangmu, ada uang kita. Ada hobiku, ada hobimu, ada hobi kita. Ada waktu untukku sendiri, waktu untukmu sendiri, ada waktu kita bersama. Ada film kesukaanku, film kesukaanmu, film kesukaan kita. Ada ustadz favoritku, ustadz favoritmu, ustadz favorit kita. Ada ibumu, ada ibuku, ada ibu kita; dst dst.

Nah, dalam aspek ini, 27 tahun yang lalu,  Aron, Aron, and Smollan menciptakan alat ukur bernama “the inclusion of other in the self scale”; untuk menggambarkan penghayatan kita akan kedekatan hubungan emosional kita dengan pasangan. Alat ukurnya kayak gini : Kita diminta untuk menilai kedekatan emosional dengan psangan kita, di diagram yang mana? selfothers

(5) Trust / Kepercayaan ; Keempat aspek diatas menjadi sebab dan juga akibat dari kesalingpercayaan pasangan. Kalau psangan sudah kehilangan rasa saling percaya, maka pasti sulit untuk bisa terbuka. Karena rasa sakit yang akan dirasakan. Sulit juga untuk mau mendengarkan keterbukaan pasangan, jika rasa sakit atau tidak nyaman juga yang dirasakan. Tanpa rasa percaya? menggantungkan diri menjadi tidak aman. Misalnya, dalam banyak kasus banyak perempuan yang mempertahankan tetap bekerja sampai ia merasa “aman” dan bisa percaya bahwa pasangannya bisa ia “gantungi” secara psikologis, bukan secara finansial ya… Karena kalau sudah tumbuh rasa percaya mah, kalau kata Sheila on Seven mah “kita lawan bersama.. dingin dan panas dunia… “ 😉

(6) Commitment / Komitmen ; komitmen artinya menginvestasikan waktu, upaya, dan semua sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan pernikahan. Bahasa romantisnya mah “berupaya sekuat tenaga terus bergenggaman erat membangun mimpi bersama” 😉 

Keenam aspek ini, adalah operasionalisasi “sakinah mawaddah warohmah” dalam pernikahan. Pernikahan yang sehat itu menguatkan, melengkapi, membuat seseorang menjadi lebih indah. Surga dunia lah pokoknya mah.

Saya sendiri, menjadikan 6 hal ini acuan evaluasi kekuatan psikologis pernikahan kami. Karena pernikahan itu, ada tahap-tahapnya. Setiap tahap punya faktor keindahan dan faktor potensi kehancuran. Tahap berdua, tahap tinggal sama mertua, tahap riweuh punya balita, tahap fokus ngurus lebih dari satu anak, tahap udah gak ngurus anak, tahap anak-anak udah dewasa, tahap berduaan lagi… semua ada keindahan, kekuatan, juga ada potensi kehancurannya.

Mulai dari menghayati dan mengukur kedekatan emosional dengan pasangan, menggunakan alat ukurnya Mas Aron. Kalau penilaian kita dengan pasangan beda, lanjutkan dengan “ngobrol”; apa yang membuat berbeda. Kalau sama juga ngobrol sih.. apa yang membuat sama. Lalu merenung:

Apakah kita tahu kekhawatiran terdalam, kebahagiaan terdalam, mimpi terbesar pasangan kita, apakah ia mengetahui juga kekhawatiran terdalam, kebahagiaan terdalam, mimpi terbesar kita? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah saya cukup peduli pada kekhawatirannya? kebahagiaannya? mimpi-mimpinya? apakah dia peduli pada kekhawatiran saya? kebahagiaan saya? mimpi-mimpi saya?Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah saya merasa aman untuk tergantung padanya, apakah dia mau tergantung pada saya? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah kami sudah berupaya untuk memperbesar zona “kami”? atau kami adalah dua orang yang tinggal bersama tanpa ada irisan apapun? dua orang dalam gelembung dunia yang berbeda? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah saya berusaha sekuat tenaga untuk “berinvestasi” pada pernikahan ini?Apakah dia berusaha sekuat tenaga untuk “berinvestasi” pada pernikahan ini? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Pertanyaan-pertanyaan itu bisa jadi obrolan hangat saat pillow talk, atau momen-momen mengobrol lainnya.

Kalau hasil evaluasinya masih “buruk”, jangan khawatir. Kesediaan untuk mengevaluasi, itu adalah sudah menunjukkan pernikahan yang sehat. Karena ada banyak pasangan yang menggunakan jurus “menyapu debu ke bawah karpet”. Menghindari obrolan “dalam” tentang evaluasi pernikahan, karena dirasa tidak nyaman dan mengancam. Makanya ngobrolnya sambil pelukan hehe… Akhirnya, tak sadar karpet tempat mereka beraktivitas menjadi penuh debu, berbau, menyesakkan pernafasan dan …. neraka dunia yang dirasakan

Semoga kita semua dikarunia Allah kekuatan dan kesabaran untuk memperjuangkan kualitas dalam pernikahan, agar “separuh” agama ini tak hanya beruba gombalan yang tak kita hayati maknanya.

 

 

Children Have Their Own Wisdom : Kisah Butterfly Hug saat Liburan

Lima puluh dua tahun yang lalu, pada tahun 1967, dua orang psikiater bernama Thomas Holmes dan Richard Rahe meneliti apakah stress berpengaruh terhadap kondisi sakit pasien. Mereka mensurvey lebih dari 5,000 pasien, dan pada akhirnya menyusun “The Social Readjustment Rating Scale” atau terkenal dengan “Holmes-Rahe Stress Scale”.  Dalam alat ukur ini, ada 43 “life event” atau kejadian dalam hidup, dengan bobot stress-nya masing-masing, diurut dari yang bobot stress-nya paling tinggi ke yang paling rendah. Lima daftar stressor tertinggi yaitu : (1)  kematian pasangan, bobot stress 100, (2) Perceraian, bobot stress 73, (3) Perpisahan dalam pernikahan, bobot stress 65, (4) Masuk penjara, bobot stress 63, (5) Kematian anggota keluarga yang dekat dengan kita, bobot stress 63. Bagi teman-teman ynag ingin melihat daftar lengkapnya, mangga googling dengan keyword “Holmes-Rahe Stress Scale”. Yang berbentuk gambar juga banyak beredar. Yang menariknya, dalam daftar stressor itu adalah, ada “vacation”/ liburan, dengan bobot stress 13. Waktu baca itu beberapa tahun lalu, saya mengeryitkan kening. Kenapa liburan yang harusnya refreshing juga bisa jadi stressor ya?

Saya baru paham dan setuju bahwa liburan, ternyata bisa juga jadi stressor buat kita setelah mengalaminya bulan Desember lalu. Jadi Desember lalu, kami sekeluarga ber-6 merencanakan liburan berupa umroh plus turki. Jadi kami akan 3 hari ke Turki, baru umroh : 3 hari di Madinah, 4 hari di Mekah. Sejak packing, udah terasa tuh ketegangan stress itu. Yang jadi sumber utamanya adalah 2 anak “kecil” itu. Si gadis kecil 9 tahun dan si bungsu 6 tahun. Pertama, ini adalah perjalanan jauh pertama kami sekeluarga. Kami akan ber-pesawat selama 12 jam. Padahal perjalanan pesawat terlama anak-anak hanyalah ke Lombok, 3 jam-an. Khawatir banget dua anak itu “rewel” dan mati gaya di pesawat dan proses sebelum-setelahnya. Kedua, di Istanbul sudah masuk winter. Saya pernah ke Osaka pas winter, jadi sedikit kebayang. Tapi anak-anak kan belum pernah. Jadi saya cemas banget apakah persiapan saya cukup untuk anak-anak atau engga. Pas di toko baju winter maupun pas packing 6 koper, pikiran dan perasaan saya selalu bergejolak : masukin segala perlengkapan, trus berpikir: ini terlalu berlebihan gak ya? kluarin lagi. Tapi kalau nanti kurang persiapan, nyesel loh. Masukin lagi. Karena si sulung boarding dan si abah di Jakarta, maka packing 6 koper itu bingung sendiri. Ada sih si bujang, si gadis kecil dan si bungsu nemenin. Tapi minta pendapat ke mereka mah… bukan solusi dalam hal ini haha…Ketiga, karena ini bukan semata-mata liburan tapi ibadah, maka itu juga bikin stress. Saya tahu sih, pada dua anak “kecil” itu harapan saya gak terlalu tinggi. Tujuannya mengajak ke tanah suci juga adalah mengenalkan mereka pada jatidiri mereka sebagai muslim. Tapi tetep aja perasaan bahwa harus menyiapkan mereka secara spiritual, itu membuat stress hadir. Jadi dua bulan sebelum Desember, tiap malam “bacain buku cerita” sebelum tidurnya adalah pengenalan pada sejarah-sejarah di tempat-tempat di tanah suci yang akan mereka kunjungi. Dan yang keempat adalah, saya stress karena takut nanti pas liburan stress haha….bener kan, kehidupan emak itu selalu complicated …. Duh, soalnya saya sering denger cerita anak-anak, klien saya, yang menghayati liburan bukan sebagai momen menyenangkan tapi momen menegangkan. Dan itu semua disebabkan oleh karena….. ibunya stress jadi marah-marah haha….

Singkat kata singkat cerita, tgl 22 Desember kami berangkat. Kami ber-6 plus 6 koper bagasi, 3 koper kabin dan 2 tas gendong. Salah satu dari 3 koper kabin adalah milik si bungsu, yang keukeuh pengen “bawa koper sendiri”. Sebagai penganut madzhab parenting “autonomy support”, saya izinkan juga dengan penjelasan kondisi di bandara nanti gimana, tanggung jawab dia gimana, plus tentunya saya pilihkan koper yang mudah dan bisa saya bantu nanti kalau dia mengalami kesulitan. Isi kopernya segala macam hal yang membuat saya merasa bisa mengantisipasi kalau dia rewel atau si gadis kecil mati gaya. Buku-buku favorit mereka, buku dan alat gambar, mainan kesukaan. Selain yang “kasat mata”, saya juga mengajarkan dua anak kecil itu “butterfly hug”. Butterfy hug adalah teknik relaksasi sederhana, yang saya ajarkan untuk dilakukan anak-anak kalau mereka panik, cemas, bete dll. Teman-teman yang mau tau, bisa googling di youtoube ya…

Sampai di Bandara jam 2 siang, pesawat kami take off jam 21. Jam 19, kami mulai prosesnya. Saya udah mulai sport jantung. Saya khawatir anak-anak lelah dan bete. Tapi alhamdulillah selama menunggu, mereka ternyata punya coping masing-masing. Si abah, mudah banget terlelap nyenyak. Si bujang asyik dengan novel tebalnya. Si sulung khusyuk dengan hafalan Qur’annya. Si gadis kecil dan si bungsu? ah, mereka ternyata gak pernah kehilangan gaya dengan beragam imajinasi berdua mereka. Kadang mereka lari-lari, pas saya tanya lagi ngapain, mereka bilang lagi jadi binatang. Kadang cekikikan berdua. Saya mulai berpikir: kayaknya saya yang perlu butterfly hug haha….

Masuk ke pesawat, saat saya masih tegang-tegang menenangkan diri (maklum, cerita-cerita tentang kecelakaan pesawat pasti langsung datang tak diundang dalam pikiran), eh pas saya liat, dua anak kecil itu udah asyik main game dan explore fitur-fitur yang ada di layar depan mereka. Jadi ketegangan karena pikiran saya harus “menenangkan” anak-anak, ternyata memang kecemasan belaka. Si bungsu dan si gadis kecil memilih duduk dengan saya, sementara si sulung, si bujang dan si abah di baris belakang kursi kami. Pikiran bahwa saya harus “take care of” dua anak kecil itu, ngajarin ini itu, ternyata tak terjadi. Malah beberapa jam ke depan, saya yang diajarin beragam macam fitur layar. “Liat bu, kita diatas Irak nih” kata si gadis kecil. “Bu, ibu mau denger murrotal? sini dede pilihin” kata si bungsu. Saya sekali lagi merasa, butterfly hug itu tak dibutuhkan anak-anak, saya yang membutuhkannya.

Sampai di bandara Istanbul, menjelang subuh. Setiap masuk antrian imigrasi, saya suka tegang. Mungkin karena kebanyakan nonton “locked up abroad” haha… Tambah tegang karena si anak-anak itu keukeuh pengen “sendiri”. Pegang paspor sendiri, cek imigrasi sendiri. Saya tau mereka sangat excited dengan hal baru, seneng ekslporasi, dan di ujungnya, akan merasa “aku bisa”, lalu mereka akan tumbuh menjadi berdaya dan percaya diri. Akhirnya saya bolehin sambil degdegan, terutama karena liat wajah petugas imigrasi Turki yang jutek2. Tapi lihatlah… dua anak itu masuk ke pengecekan imigrasi dengan riang. Dan lalu, si wajah jutek petugas itu pun senyum, tos-tos-an segala… Kembali saya merasa, saya yang harus butterfly hug😉

Kami sholat subuh di Bandara, dan bertemu dengan guide kami, om Yusuf. Orang Turki yang fasih berbahasa Indonesia ;). Keluar dari Bandara, udara dingin mulai terasa. Saya mulai cemas. Si gadis kecil punya asma. Saya takut banget dia gak menikmati liburan kalau asmanya kambuh. Kembali kekhawatiran saya tak terbukti. Si gadis kecil anteng-anteng aja. Si bungsu bahkan gak mau pake jaket tebel, cukup sweater aja. Kami tidak langsung ke hotel, melainkan langsung city tour. Selama city tour ke kota tua Istanbul, dua anak kecil itu udah “ngilang” aja. Terutama si bungsu yang maunya selalu jalan di depan sama om Yusuf. Saking cerewetnya dia, om Yusuf punya panggilan buatnya : “little monster” 😉 . Di sepanjang perjalanan, hampir selalu si anak-anak itu ada yang manggil, lalu dikasih sesuatu. Ada makanan, es krim, entah sama pedagang ataupun sama pengunjung. Ada juga yang sekedar memeluk atau mencium.

Tiga hari di Istanbul dan main-main salju di kota Bursa, tibalah saat kami terbang ke Madinah. Take off jam 12 malam, setelah menunggu sekitar 4 jam di bandara. Sampai di Madinah, antrian imigrasi panjaaaang… saya mulai stress lagi. Saya aja, orang dewasa, lelaaah banget rasanya. Apalagi anak-anak. Tapi kembali, saya semakin yakin kalau butterfly hug itu buat saya, bukan buat anak-anak. Di tengah kelelahan berdiri sekitar 2 jam-an, anak-anak itu punyaaaa aja cara. Tiba-tiba ketawa-ketawa. Saya perhatikan… ternyata mereka lagi cepet-cepetan nyari “Sultan”. Jadi mereka berdua pernah nonton channel youtube yang menggambarkan “kehidupan sultan vs kehidupan orang biasa”. Bodor-bodoran tentunya. Misalnya : “orang biasa, kalau gerah… pake kipas kertas. kalau sultan, gerah, kipas-kipasnya pake kipas uang ;)”. Di youtube itu, si sultan digambarkan pake gamis putih dan kafiyeh khas timur tengah. Nah… disana kan yang antri banyak…jadi mereka tiap kali liat yang yang pake baju gitu bilangnya sultan dan menghitung jumlah mereka haha….

childrenhasownwisdomDi pesawat pulang, ketika semuanya telah terlelap, saya pun merenung… perjalanan liburan keluarga ini mengajarkan banyak hal. Satu hal yang peling penting adalah… saya semakin yakin bahwa children has their own wisdom. Kita, sebagai orangtua, sering merasa bahwa kita adalah kuat, mereka adalah lemah. Kita adalah berdaya, mereka adalah bergantung. Padahal 15 tahun menjadi ibu dari 4 anak, plus membantu puluhan kasus relasi anak-orangtua, mengajarkan bahwa… teori perkembangan yang bilang bahwa setiap periode perkembangan itu punya kekuatan dan kelemahan masing-masing itu, benar.

Kalau bahasa spiritual nya mah… dalam setiap tahap perkembangan, manusia  tuh “sempurna”. Dalam perjalanan liburan ini saya Allah menunjukkannya. Ya, anak-anak memang gak punya pengetahuan banyak mengenai keterampilan memecehkan masalah. Tapi mereka punya cara sendiri memcahkan masalah mereka. Mereka memang fisiknya lebih lemah dibanding kita, tapi mereka punya antusiasme, spontanitas, rasa ingin tahu …

Ada banyak hal yang dari perjalanan liburan ini, meyakinkan saya bahwa seringkali kita hanya melihat anak-anak dari satu sisi, bahwa mereka belum kuat dalam pemikiran, emosi ataupun fisik. Itu sebabnya kita merasa bahwa kita harus selalu dalam posisi take care of mereka. Kita harus “menjaga ” mereka, kita harus “memberi” mereka. Kita harus serba kuat, serba bisa, serba tahu. Itu yang bikin kita menjadi tegang, dan stress.

Padahal Allah menciptakan mereka tak se-pasif itu, Mereka bukan anak yang diam “menunggu menjadi matang dan dewasa”. Kita tak selalu harus menjaga mereka, kita sesekali harus “berani” melepas mereka. Dan kadang, bahkan seringkali, kalau kita mau “melihat dan mendengar”, mereka yang take care of kita. Mereka yang “menjaga” kita. Syaratnya satu… kita lebih rileks untuk memberi ruang buat mereka. Dan biar kita rileks, kita lah yang memang perlu sering-sering ber-butterfly hug 😉

 

 

Untuk apa test Psikologi? Ujian cinta buat ibu

Usianya 8,5 tahun kala itu. Kelas 2 SD. Kreatif; pemikiran-pemikirannya selalu out of the box. Spontanitas dan tingkah polahnya selalu menghangatkan suasana dalam keluarga. Resilient, Ia selalu bisa memandang situasi sulit dari sudut pandang lain, sudut pandang yang unik. Mudah berteman. Kalau di tempat bermain, tiba-tiba dia sedang asyik ngobrol sama teman yang baru ia kenal. Exploratif, sangat suka mencoba hal baru. Saya bangga padanya. Tapi semua kelebihan itu, terhapus tanpa jejak tiap pagi hari dan tiap belajar matematika. Rasa bangga itu berganti dengan kekesalan.

Pelupa. Ia selalu lupa langkah-langkah pengerjaan matematika. Bagi kurung, pecahan senilai, mengalikan dua angka puluhan bersusun ke bawah …. Bukankah itu hal sederhana? prosedural. Yang paling mengesalkan adalah, tiap pagi berangkat sekolah, dia bisa 4 kali bolak-balik lantai atas-lantai bawah untuk mengambil barang-barang yang tertinggal di kamarnya. Tas mukena, botol air minum, bahkan mensletingkan roknya, ia hampir selalu lupa.

Tiap pagi, meskipun saya melepasnya dengan ciuman di kening, tapi perasaan saya adalah, kesal. Bukan hanya kesal karena “masa gitu aja lupa sih?” … tapi seperti seluruh ibu di dunia ini, saya ingin memastikan ia terlindungi. Dan saya merasa “tegang”, sangat takut kalau saya lupa mengingatkan dia untuk mensletingkan roknya, ke sekolah dengan bagian belakang roknya menganga, dia akan diejek sama temen-temannya.  Jadi, kalau dianalisa, rasa kesal dan marah saya terkait sleting rok ini adalah reaksi emosi primer : kesal karena dia lupa; sekaligus reaksi emosi sekunder (saya khawatir dia diejek temannya ketika lupa, dan reaksi saya untuk menunjukkan kekahwatira itu adalah dengan marah). Ah, kehidupan emosi emak-emang memang complicated ya 😉

Begitu terus berlanjut sampai saya merasa : hubungan saya dengannya sudah tak sehat. Saya tidak suka rasa cinta saya padanya, tertutup oleh kekesalan dan kemarahan di titik-titik aktivitas keseharian. Saya juga benci diri saya yang begitu mudahnya “melupakan” semua kelebihan anak ini, tertutup oleh satu hal kekurangannya. Maka, saya merasa harus mengubah pola sikap saya. Dan langkah pertamanya, adalah memahami apa yang terjadi padanya.

Pemeriksaan psikologi. Itulah yang saya lakukan. Saya minta mahasiswa saya melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apa yang terjadi dalam diri anak saya, sehingga perilaku “pelupa” itu tampil. Dalam psikologi, ada hukum BEHAVIOR IS MORE THAN YOU SEE. Ada seribu satu alasan yang berbeda untuk satu perilaku yang sama. Anak pelupa, bisa jadi karena kapasitas kecerdasannya rendah, bisa jadi karena cemas, bisa jadi karena gak peduli, dll dll. Saya harus tahu, apa yang terjadi dalam diri anak saya, yang mendasari munculnya perilaku itu.

Hasil pemeriksaan psikologi pun diberikan mahasiswa saya pada saya. Terkait dengan kesulitan di matematika, saya cek kapasitas kecerdasan dan kemampuan berpikir matematisnya. Hasilnya, IQ-nya 130. Very superior. Sangat cerdas. Lalu kenapa dia kesulitan matematika? kenapa dia pelupa? jawabannya adalah : ada satu aspek berpikirnya, yang membuat dia memang kesulitan untuk mengingat sekuens. Sekuens itu adalah langkah-langkah berurutan. 

Hasil pemeriksaan psikologi itu, membuat saya mengetahui “keunikan” anak saya; kekurangannya.  Itu adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya, keputusannya ada di tangan saya. Apakah saya :

a. mau menerima kelemahan itu  sebagai bagian dari diri anak saya?

atau

b. tetap merasa bahwa anak saya, di usianya saat ini harusnya sudah bisa mengelola diri?

Saya harus menimbang-nimbang. Jika saya memilih option b;  tetap tak mau merubah diri, saya tetap menuntut anak, maka situasi tidak nyaman dalam relasi saya dengannya, akan terus terjadi. Sikap saya padanya akan didominasi oleh kekesalan dan kemarahan. Kebanggaan saya, rasa cinta saya, kelebihan-kelebihannya, akan menjadi invisible. Mengecil, tak terlihat, tertutup. Dia akan merasa tak punya kelebihan, karena input yang ia terima adalah label : “kamu pelupa”. Label itu akan menjadi identitasnya. Identitas yang tertanam dari luar, yang kemudian terinternalisasi menjadi citra dirinya. Dramatis ya? sedihnya, pola itulah yang secara real banyak terjadi.

Saya juga akan terus marah saat mengajari dia matematika, sehingga bisa jadi dia “takut” dengan matematika. Tak bisa dibedakan lagi materi matematika mana yang dia kuasai dan materi matematika mana yang ia kesulitan.

Kalau saya menuntutnya untuk berubah? jelas hasil pemeriksaan psikologi menunjukkan dia punya “lack” disitu. Saya berpikir… kalau saya menuntut dia yang berubah, bukan saya yang berubah, maka secara filosofis, mental saya sama dengan mental anak. Casing saya ibu yang umurnya 38 tahun, tapi mental saya mental egois karena menganggap anak yang umurnya beda 30 sama saya, “harus mengalah”. Dan jika saya memilih option b, saya jelas-jelas membiarkan anak saya berjuang sendirian mengatasi kelemahannya. Saya bukan bantuan bagi anak. Saya adalah ancaman buatnya. Saya bukan bagian dari sumber daya yang ia miliki, tapi saya adalah sumber stress buatnya.

Oke, baiklah. Saya memilih option a. Saya akan menerima kelemahan anak saya sebagai bagian dari dirinya. Saya akan berjuang untuk mencintainya tanpa syarat. So, what next? selalu memaklumi kah? selalu mengingatkannya tiap pagi untuk mensletingkan roknya? selalu menyimpankan handout materi pelajarannya yang tercecer? Lalu apa kabar dengan “kemandirian” yang kita idam-idamkan dimiliki oleh anak kita?

Lalu saya pun membuka-buka buku plus banyak merenung. Saya harus selesaikan “pergulatan rasa” dalam diri saya sebelum bersikap padanya. Saya merasa jauh lebih mudah menganalogikan situasi yang kini sedang terjadi, dengan pengalaman konkrit. Saya bayangkan anak saya sedang belajar berjalan. Usianya 18 bulan. Sudah mulai tanda “kuning” kalau di usia itu, belum bisa ajeg berdiri dan belajar melangkah sendiri. Ketika anak saya belum bisa melangkah sendiri padahal harusnya sudah bisa, apakah saya tega membiarkannya melangkah tanpa bantuan? apakah saya bilang pada si bayi 18 bulan itu : “kamu harusnya udah bisa jalan. ayo dong berusaha!kamu pemalas”. Tidak. Saat menghadapi situasi itu, seperti juga ibu-ibu lainnya di dunia ini, saya akan memutar otak sekuat tenaga bagaimana memberikan bantuan pada anak ini. Misal saya akan ngasih kursi, yang bisa dia dorong-dorong. Jadi meskipun tidak kita pegang, dia bisa belajar berjalan. Lalu kita kasih tepukan. Kita tak membiarkannya berdiri sendirian, tanpa bantuan, meskipun seharusnya dia sudah bisa. Kita tetap mencintainya, dan membantunya, lalu memberikan pujian meskipun dia berada di bawah “standar” harapan kita. 

Lalu, kalau kita bisa begitu sama anak waktu dia masih bayi,  kenapa sekarang jadi gak bisa? dia, adalah bayi itu. Anak yang sama. Dengan perasaan “tidak berdaya” yang sama karena kelemahannya. Dia butuh bantuan. Kalau dulu dia bisa jalan dengan proses bantuan kursi, maka bantuan apa yang bisa saya kasih sekarang?

Lalu saya ingat saat saya membantu ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus

“Pada anak-anak yang memiliki ganguan konsentrasi (ADD), saat mereka membaca, ajarkan mereka untuk menunjuk apa yang dibaca dengan jari. Itu membuat mereka bisa memfokuskan perhatiannya”.  itu kata saya.

“Pada anak-anak yang mengalami autisme non verbal, aturan-aturan keselamatan dibuat dalam bentuk foto dan tanda-tanda sederhana, misal gerbang sekolah, diberi tanda “X”; artinya tidak boleh keluar gerbang sekolah”. itu tips yang saya sampaikan

Pada anak-anak yang belum bisa membedakan sepatu kiri dan kanan, saya kasih tips pada orangtua untuk membuat stiker smile yang digunting dibagi dua, tempelkan masing-masing di sepatu, bilang ke anak “kalau pake sepatu, sepatunya harus ketemu jadi senyum ya”.

Pada anak yang sering ilang tempat minum di sekolah, saya minta anak buat gantungan kunci berisi gambar tempat minumnya, yang cukup besar sehingga tiap dia mau pulang sekolah, dia ingat untuk mengecek tempat minumnya.

Saya ingat juga waktu si bujang usia 4 tahun, saya “membantu dia” untuk tidak tantrum karena pengen mainan, dengan menghindari melewati lorong mainan. Sampai usia 6 tahun, saya ingat betul dia suatu saat gak mau turun dari mobil. Dia bilang : “aku disini aja. kalau ikut aku suka tergoda beli mainan, nanti aku tantrum”.

Saya juga ingat 5 tahun lalu, si bujang selalu kehilangan handout atau lembar tugasnya, saya bantu dengan sederhana : Saya sediakan box, dengan satu perintah : tumpuk apapun yang diterima dari sekolah di box itu. Gak rapi? gapapa. Sehingga apapun, bisa dicari di box itu. And its works.

hanadiaList gambar sederhana yang ia buat sendiri, ia tempel di dinding kamarnya, ia cek sebelum ia turun ke bawah untuk sarapan, menyelesaikan semua masalah anak saya, dan relasinya dengan saya. Saya buang label “pelupa” yang suka dia sematkan pada dirinya sendiri. “Teteh bukan pelupa. Teteh suka lupa kalau gak diingetin. Artinya, kalau ada yang ngingetin, teteh gak lupa. Masalahnya, ibu gak selalu ada untuk ngingetin teteh. Jadi teteh ibu bantu buat punya cara untuk mengingatkan diri sendiri”. 

Saya tak lagi marah karena dia bolak-balik, tak lagi tegang karena harus ingetin  untuk sletingin roknya.

Cara sederhana ini, bisa membuat anak merasa tidak berjuang sendirian. Ia akan merasa dipahami, diterima, dicintai. Penerimaan orangtua, adalah benih bagi anak untuk menerima dirinya. Cinta orangtua, adalah benih untuk dia mencintai dirinya.

Bantuan sederhana ini, juga membuat ia  merasa  “aku bisa”. Kita mengajarkan padanya bahwa tak ada orang yang sempurna, kita semua punya kelemahan. Tapi kelemahan itu bukan penyakit.  Tak ada obat yang bisa menyembuhkannya secara instan, namun kita bisa mengelolanya. Kita juga mengajarkan bahwa setiap masalah ada solusinya. Punya prinsip itu, membuat anak jadi merasa “berdaya”. Kalaurasa “berdaya” dan “menerima kekurangan diri”  sudah dirasakan, maka semua potensi dari dirinya akan bersinar.

Buat kita sebagai ibu, bantuan sederhana ini pun membuat kita bisa memeluknya dengan erat, dengan tulus, karena saldo cinta kita padanya, lebih besar dari saldo kekesalan, kemarahan, dan kekecewaan kita. Lalu kita pun bisa menertawakan kejadian-kejadian yang melibatkan kelemahan anak, bersama-sama. Mentertawakan saat dia lupa membawa tas ke sekolah (ini bener kejadian loh … haha…) dan bisa geleng-geleng kepala tanpa marah saat “insiden2 kecil” terjadi.

Happy ending ini terjadi tentu bukan tanpa proses. Dan dalam prosesnya, kadang kita bisa toleransi, kadang masih meledak, tergantung suasana hati kita dan apakah kita lagi PMS atau engga haha. But its oke. Itu lebih baik dibandingkan kita terus-terusan marah dan kesal. Menjadi ibu ideal, memang harapan kita. Tapi kalau tak bisa, lakukan saja semaksimal yang kita bisa. Karena terfokus untuk jadi ideal, seringkali membuat kita malah jadi tak berbuat apa-apa dan membuat kondisi buruk semakin buruk.

Teman-teman, pasti sedikit banyak mengalami yang saya alami. Mungkin dalam bentuk yang berbeda, dengan kadar yang berbeda. Pengalaman saya dengan teman-teman yang memiliki masalah dengan isu “merasa tidak disayangi, tidak diterima apa adanya, tidak dibanggakan” oleh ibu, rasa itu tak pernah hilang. Itu bagai lubang, yang sulit untuk bisa ditutup dengan pencapaian prestasi pribadi apapun, dengan hadirnya sosok siapapun. Luka batin itu akan menganga, karena Yang Maha Kuasa memang menitipkan cintaNya pada makhluk, lewat sosok ibu. Karena dalam dirinya ada namaNya. Rahiim.

Karena begitu bermakna dan berharga cinta ibu, maka buat kita sebagai ibu, ujian untuk menumbuhkan cinta, menjaga cinta dan menguatkan cinta kita pada anak, bukan hal mudah. Melalui pergulatan rasa, yang tak hanya melibatkan diri kita saat ini, tapi juga kenangan masa lalu dan keresahan akan masa depan. Tapi ingat ! Kita punya rahiim! kita punya sifat Allah dalam diri kita. Kita bisa !Kita bisa menumbuhkan cinta itu. Kita bisa menjaga cinta itu, kita bisa menguatkan cinta itu. Cinta tanpa syarat. Sebanyak apapun kesalahan anak kita, kita punya potensi untuk tetap memeluknya.  Separah apapun kelemahannya, kita punya potensi untuk tetap berada di sampingnya. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mencintai anak kita sebesar itu? siapa yang akan memaklumi anak sesabar itu?

Ujian mencintai tanpa syarat ini, memang berat. Dan tak akan berhenti di usia anak berarapun. Hanya akan beda bentuk saja. Tapi kalau kita terus belajar dan berjuang, doa “robbighfirlii wali-wali dayya warhamhumaa kamaa robbayani soghiro” akan terucap dengan tulus dari anak-anak kita buat kita, semoga.

 

 

Mars and Venus on Earth : Introduction

Dalam waktu singkat taaruf kami 16,5 tahun lalu (mulai taaruf Februari, khitbah Maret, menikah Juni ;), salah satu buku yang saya khatamkan dan saya pelajari sungguh-sungguh sebagai persiapan menikah adalah buku “Men Are From Mars, Women Are From Venus”. Saat itu, baca sambil senyum-senyum, dan rasanya isinya udah ada di luar kepala haha…. Dan ketika masuk ke dunia pernikahan sesungguhnya, entah kenapa semua yang sudah ada di luar kepala itu kabur semua kkkk…..

Saya ingat, kurang lebih 11 tahun lalu (saya inget karena sudah ada si bujang); berarti di usia pernikahan 6 tahunan, suatu hari saya marah besar. Jadi waktu itu si abah sepertinya sedang ada masalah di kantor. Dan dalam bayangan saya sebagai istri, romantis banget gituh kalau suami teh curhat sama istri, lalu sebagai istri saya memberikan masukan, lalu suami berterima kasih terhadap istri, lalu berpelukan… haha…. Tapi kenyataannya bukan begitu. Dengan muka kusut, si abah lebih banyak tidur, menghindar dari saya. Akhirnya saya “meledak”, “ngambek”. Saya bilang, saya merasa tidak dihargai sebagai istri. Saya ingin kita berbagi suka dan duka. Saya gak tega liat dia pusing sendiri. Saya pengen bantu. Setelah bilang gitu, saya melancarkan aksi bisu (senjata istri itu kan diam seribu bahasa ;), dan konon katanya suami lebih tahan dicerewetin daripada didiemin kkk). Lalu kemudian, si abah pun bicara. Kurang lebih kayak gini lah : “Maaf ya De, bukan aku gak menghargaimu. Tapi kalau lagi ada problem, aku tuh lebih nyaman kalau tidur. Bangun tidur, pikiran lebih fresh dan aku bisa berpikir jernih untuk selesein masalahku. Aku malah tambah pusing kalau dirimu tanya-tanya terus”.

Mendengar kalimat itu, tiba-tiba saya teringat kalimat-kalimat dalam buku Mars & Venus yang saya baca waktu taaruf : A man goes into the cave when he wants to be alone to think, or rather not think, about a problem that’s currently weighing on his mind. Any number of reasons – from work to finances to health – could send him heading for his cave and, subsequently, leave a woman in the dust feeling confused and wronged. Semua yang disampaikan si abah benar. Dia bukan tak menghargai saya. Bukan tak ingin berbagi dengan saya. Dia sebagai laki-laki, hanya berbeda cara dalam menyelesaikan masalah, dengan saya sebagai perempuan. Saya, perempuan, bicara. Berbagi. Dia, laki-laki, “masuk ke dalam gua”. Tidur.

Kesadaran akan pengetahuan itu, membuat kami tak pernah lagi bertengkar mengenai hal itu. Saya tau kapan harus membiarkannya menyepi di “gua”nya, dan menjelaskan pada anak-anak. Dan semakin kesini saya juga tahu, bahwa itu gak hitam putih. Si abah akan cerita masalahnya ke saya, akan meminta pendapat saya, kalau dia sudah bisa mengurai masalahnya dengan lebih jernih. Bukan kayak saya yang kalau curhat, saya juga gak ngerti mana ujungnya mana pangkalnya, dan apa maunya saya haha….

Dan penjelasan saya ke si abah bahwa perempuan kalau lagi ada problem copingnya adalah cerita, bukan untuk mendapatkan solusi tapi untuk didengarkan, juga berhasil mengurangi pertengkaran kami. Dulu kan kalau saya cerita, si abah ngasih solusi, saya malah marah karena merasa gak dimengerti. Kesini-sini, si abah tau kalau saya lagi cerita, jawaban efektif yang bisa membuat saya “meleleh” adalah :’hhhmmm… oh gitu..”. Sampai si sulung dan si bujang suatu hari bilang : “kayaknya abah sebenernya gak ngedengerin deh, dalam pikirannya mikirin hal lain, cuman hemm..hemm aja” haha….gapapa… yang penting mau berproses belajar. Itu kunci penting.

marsvenusPernikahan, adalah sebuah perjalanan panjang pembelajaran. Yups, ada pernikahan-pernikahan yang diusahakan segimananya pun, akan tetap “sakit”. Maka, perceraian akan membuat pasangan menjadi lebih “sehat”. Biasanya, itu karena salah satu atau keduanya punya masalah psikologis yang “berat”, misalnya sangat tidak matang kepribadiannya, dll. Tapi ada banyak perceraian yang terjadi, yang diakibatkan oleh masalah-masalah yang dialami oleh semua pasangan lain di dunia ini. “suami tidak romantis, istri yang terlalu cerewet, suami yang tak mau disalahkan, istri yang baperan”……itu mah keluhan semua pasangan di dunia ini. Masalah-masalah kecil yang bisa kita selesaikan, dengan langkah awal : “tahu”. Tahu bahwa ada hal-hal yang memang Allah ciptakan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kenapa Allah ciptakan banyak perbedaan padahal mereka berdua harus “menyatu?” tentu ada hikmah besar dibalik itu. Salah satu hikmahnya : biar kita terus belajar, biar pikir kita terus terasah, rasa kita terus terolah. Sakinah Mawaddah Warohmah itu, bukan cerita dongeng. Ia harus kita raih dengan perjuangan berupa mencari pengetahuan, melatih kerendahan hati, menjaga kesungguhan. Perjuangan itulah hakikatnya manfaat dari pernikahan. Pernikahan, tak otomatis membuat kita menjadi “bijak” kalau kita tak mau belajar. Trust me, usia pernikahan tak selalu berbanding lurus dengan kemampuan mengenali diri dan pasangan, dengan kemampuan mengelola konflik, jika kita tak mau belajar.

Maka, ketika awal tahun ini saya menemukan seri buku-buku bernuansa “Mars & Venus” di Toko Buku Periplus langganan saya; Why Men don’t Listen and Women Can’t Read Maps, Why Men Lie and Woman Cry, Why Men Want Sex and Woman Need Love, langsung saya borong. Setiap wiken saya baca, kali ini bukan sambil senyum-senyum, tapi sambil ketawa ngakak (gak pake guling-guling sih haha…). Beberapa kali, saya “baca bareng” si abah. Maksudnya baca bareng adalah saya baca buku itu, si abah baca buku lain atau nonton TV atau tidur kkkk….

Dan yesh, hadits “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”; nyata kebenarannya. Ada banyak hal yang biasanya bikin saya marah atau kezel, setelah baca buku itu jadi berkurang frekuensi dan intensitasnya (meskipun masih dipengaruhi faktor PMS haha….). Misalnya, dulu suka kezeeeeel banget kalau si abah nyari sesuatu dan bilang “gak ada” . Dan setelah saya datang kesitu, ya ampuuun….itu di depan mata apa bah….. Sekarang jadi berkurang setelah mengetahui bahwa sistem dan proses penginderaan laki-laki dan perempuan memang berbeda. Lalu satu hal lagi, dulu saya suka marah kalau nanya si abah, “abah sayang gak sama aku?” trus si abah gak bisa jawab atau jawabannya gak memuaskan kkkk (Sampai sekarang juga doi belum memberikan jawaban yang memuaskan loooooh….kkk). Ternyata di salah satu buku itu diceritakan, bahwa “do you love me?” adalah pertanyaan paling sulit buat seorang pria haha…. ternyata suamiku normal hihihi….

Dan yang jauh lebih penting, pengetahuan ini membuat pandangan saya pada si abah lebih positif. Maklum, rasanya sumber kemarahan seorang istri  dari suaminya itu banyak banget ya? kkk… Saya tersadar bahwa banyak hal sumber konflik, terjadi bukan karena dia “gak peduli” (kan buat perempuan mah berlaku ungkapan ” lawannya cinta bukan benci, melainkan tidak peduli; right? ;), Tapi karena dia berbeda.

Nah, karena tidak semua teman-teman punya kesempatan baca buku-buku seri Mars & Venus itu, insyaallah saya akan share isinya disini. Seru deh pokoknya kkk. Insyaallah, semoga ALlah memberikan izinNya.

 

Cinta Gothel vs Makna Hamdalah

Minggu lalu, (untuk yang kesekian puluh kali-nya), saya menemani anak-anak nonton film TANGLED, yang diputar di channel TV yang kami langgan. Meskipun sudah puluhan kali menonton bersama, tetap saja kami menikmatinya. Setiap kali saya nonton film ini, saya selalu teringat tafsir ayat kedua dan ketiga surat Al Fatihah. “Alhamdulillahi robbil alamiin”. “Arrahmanirrohiim”. Kalimat pertama adalah kalimat hamdalah, yang otomatis sering kita ucapkan. Asa gak nyambung? haha… trust me, nyambung banget.

Buat yang gak pernah nonton film Tangled, film ini menceritakan tentang Rapunzel, seorang putri berambut ajaib. Rambutnya bisa bercahaya kala ia menyanyi, dan punya banyak khasiat. Khasiat rambut itu akan hilang kalau rambutnya dipotong. Itulah sebabnya Rapunzel punya rambut yang sangat panjang. Rapunzel tinggal bersama “ibunya” bernama Gothel,  yang sebenarnya adalah penyihir yang menculiknya dari kerajaan. Rapunzel diculik karena rambut ajaib Rapunzel berkhasiat membuatnya tetap awet muda. Setiap Rapunzel menyanyi, rambut emasnya akan bersinar, dan Gothel yang sebenarnya sudah berusia ratusan tahun akan tetap muda dan cantik. Dalam film tersebut, Gothel digambarkan sebagai seorang ibu yang cukup penyayang. Ia memelihara Rapunzel, mengupayakan permintaan Rapunzel, melindunginya untuk tidak keluar rumah dan bertemu orang lain, namun semua itu dilakukan dengan satu motif : agar ia tetap bisa mendapatkan manfaat dari rambut Rapunzel.

Nah, apa hubungannya dengan hamdalah ? Saya akan cerita dulu sekilas mengenai tafsir hamdalah versi tafsir Al Misbah karya Prof. Quraish Shihab dan tafsir Al Azhar karya Prof. Hamka. Arti “Alhamdulillahirobbil aalamin” adalah “Segala puji bagi Allah pemelihara seluruh alam’. Lebih spesifik, makna Rabb adalah “pemelihara, penjaga, pendidik, pengasuh”. Pemelihara, penjaga, pendidik dan pengasuh yang bagaimana? Penjelasannya ada di ayat selanjutnya. “Arrahmanirrohiim”. Pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan pengasuhan tak akan dapat terlaksana dengan baik dan sempurna jika tak diserta oleh rahmat dan kasish sayang. Jadi, Allah “memelihara, menjaga, mendidik dan mengasuh” seluruh alam termasuk manusia, bukan untuk kepentingannya atau sesuatu pamrih. Waktu baca rangkaian kalimat di atas, jujur saya masih belum mengerti. Saya baru mengerti ketika kedua mufassir kebanggaan Nusantara ini memaparkan contohnya. Kalau ada seorang CEO perusahaan menyekolahkan karyawannya, apakah ia meneladani sifat “Rabb”? Tidak. Karena ia menyekolahkan karyawannya untuk pamrih. Agar karyawan tersebut setelah sekolah punya kompetensi dan skill yang bisa memajukan perusahaannya. Benefitnya tidak murni untuk si karyawan, tapi untuk dirinya. Contoh lain : Seorang peternak sapi. Ia menyayangi sapinya, memberi makanan terbaik, mengusahakan kesehatan terbaik. Untuk apa ia lakukan ini  ? agar sapinya montok, dan kalau dijual mahal. Jadi si peternak tidak meneladani sifat “Rabb”, karena “kasih sayang, pemeliharaan, penjagaan” yang ia lakukan terhadap si sapi adalah untuk kepentingannya. Keren banget ya makna Al Qur’an itu….. Ayat-ayat ini, yang sudah turun sekian abad lalu, sangat sempurna menggambarkan apa yang kemudian oleh Psikologi disebut sebagai “unconditional love”, cinta tak bersyarat.
gothelNah… dengan paparan di atas, jelas bahwa Gothel, si ibu Rapunzel, sama sekali tidak mengasuh, mendidik, menjaga Rapunzel dengan semangat rahman dan rahiim; tapi untuk penetingannya semata. Ia tak meneladani sifat Rabb. Apa buktinya? buktinya ia marah dan menjadi “jahat” ketika Rapunzel ingin pergi dan mencari kebahagiannya sendiri.

……………………………..

 

Tiga tahun lagi saya akan masuk fase “melepaskan” anak, si sulung. Meskipun sudah “latihan” dengan melepaskannya ke Boarding School, namun masuk Perguruan Tinggi adalah sebuah milestone perkembangan hidup yang signifikan, karena anak mulai memilih hal-hal penting dan signifikan dalam hidupnya. Pilihan penting yang akan menunjukkan dan menjadi jalan baginya “menjadi diri sendiri”, yang mungkin bisa berbeda dengan pilihan saya.  Saya harus “melepaskan” dia memilih jurusan dan bidang aktualisasi diri yang paling dia mau, dan mungkin beberapa tahun kemudian, saya harus “melepaskannya” memilih pasangan hidup, melepaskannya memilih pola asuh untuk anaknya, dll dll.

Situasi ini membuat saya banyak merenung mengenai hakikat relasi kami. Saya banyak menelisik pikiran dan perasaan saya dalam pengasuhan. Saya ingat, beberapa puluh tahun lalu, senior-senior saya di Fakultas Psikologi UNPAD tergabung dalam sebuah penelitian internasional di sekian puluh negara, mengenai topik value of children. Apa makna anak bagi para responden dari puluhan negara tersebut. Salah satu hasil dari Indonesia adalah, orangtua menilai anak sebagai “investasi”. Kita juga serung denger ya, narasumber yang bilang bahwa anak itu investasi dunia akhirat. Yups, banyak diantara orangtua Indonesia merasa bahwa punya anak itu, jaminan agar “nanti kalau udah tua ada yang ngurus”.

Saya menelisik ke lubuk hati saya, apakah saya juga memaknakan demikian? memberikan yang terbaik untuk anak-anak saya sekarang ini ketika mereka “belum berdaya” , agar nanti saya bisa “menagih” pada saat saya sudah tidak berdaya? Jika ya, apakah itu benar? atau salah? Rasanya sih benar… tapi kalau merenungi makna Rabb dari tafsir tadi, rasanya kok salah ya? Apa bedanya saya dengan Gothel? memelihara agar bisa memetik untung untuk diri.  Bukannya kita harus meneladani asmaul husna?

Saya banyak mengamati para sepuh yang sudah punya anak-anak dewasa. Dan saya melihat… para orangtua yang tulus, mendidik, memelihara anaknya, legowo dengan pilihan anak yang berbeda selama masih dalam koridor kebenaran dan kebaikan… itu mereka mendapatkan balasannya. Apa balasannya? cinta yang tulus juga dari anak-anaknya. Mereka orangtua yang tidak pernah secara verbal mendoktrin anak-anaknya : “sebagai anak kamu harusnya ini itu, kamu berkewajiban ini itu sama orangtua”; justru mereka mendapatkannya. Karena kerelaan anak mencintai orangtua itu tumbuh dari ketulusan orangtua mencintai anak-anaknya, tanpa pamrih.

Sebaliknya, orangtua yang mendoktrin anaknya secara verbal: “sebagai anak kamu harusnya ini itu, kamu berkewajiban ini itu sama orangtua, ridho orangtua itu segalanya loh”; anak-anaknya tidak tulus melakukannya. Terpaksa. “Saya mendoakan ibu saya sih, tapi jujur doanya teh kayak kewajiban aja gitu, gak pake perasaan”. Begitu kata salah seorang anak yang “didoktrin” harus sayang sama orangtua.

Sebagai seorang ibu, meneladani sifat Rabb yang Rahman dan Rahiim, adalah sebuah perjalanan panjang. Mengatakan : “ibu udah cape-cape masak, malah kamu gak makan. kamu gak menghargai ibu” itu wajar, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih. ” Percuma ibu  berkorban anterin kamu les kumon tiap hari, ternyata nilai matematika kamu tetep jelek, malu-maluin ibu aja” itu ungkapan fakta, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih. “Ibu dulu mengorbankan waktu kerja nemenin kamu sakit, masa sekarang kamu gak bisa cuti untuk nemenin ibu?” itu logis, tapi menahannya dalam hati, itu latihan untuk tak berpamrih.

Semoga kita terus dituntun oleh cahaya Illahi untuk meluruskan niat kita dalam mengasuh anak; belajar untuk terus meneladani sifat-sifat sang Maha Kuasa, karena dalam tubuh kita, ada jejak Asmaul Husna-Nya. Rahim.

 

 

Kala Anak Kita “Memilih Orang Lain” : The story about true love

Hari ini, saya seharian di rumah. Saya agendakan untuk menyelesaikan naskah untuk bimbingan tgl 2 Desember nanti . Saat jam menunjukkan pukul 14, saya menunggu-nunggu suara teriakan si bungsu dari bawah. Jam 14 adalah jam kedatangan si bungsu kelas 1 SD itu dari sekolah. Tapi teriakan khas-nya tak kunjung terdengar. Lima belas menit kemudian, saya mengambil handphone untuk mengontak pak sopir menanyakan sudah dimana. Ternyata ada pesan whatsapp dari pak sopir : “Bu, Dede katanya gak mau pulang. Mau di rumah teh Rini main bola sama de Rendy dan A Reza, sama mau nonton Kungfu Panda”. Teh Rini adalah istri Pak Ayi, sopir kami. Sejak usia si bungsu  7 bulan, setelah kami tidak mendapatkan pengasuh dan asisten yang bisa menginap, memang si bungsu diasuh oleh teh Rini, di rumahnya yang tak jauh dari rumah kami. De Rendy dan A Reza adalah putra dan keponakan teh Rini. Masing-masing kelas 4 dan 6 SD. Sejak saya sekolah S3 dua tahun lalu dan mendapat status tugas belajar, setiap pulang sekolah si bungsu selalu pulang ke rumah, karena program S3 saya yang by Research membuat saya bisa mengerjakan sebagian besar riset saya di rumah.

Saya tercenung agak lama membaca pesan itu. Saya ingat, dulu ketika awal-awal saya S3 dan anak-anak terutama si bungsu menyadari bahwa ibunya tak lagi datang menjelang maghrib, tiap akan berangkat sekolah mereka selalu bertanya : “nanti siang ibu ada di rumah?”. Kalau saya jawab “ya”; mereka akan melompat kegirangan sambil teriak “yes!”. Dan kegirangan itu terus terbawa sampai nanti dia pulang sekolah, berteriak “ibu ! ibu !” dari pintu masuk, agar terdengar oleh saya di ruang kerja di lantai atas.

Hari ini, saya ada di rumah, dan si bungsu memilih untuk tidak mau pulang menghabiskan waktu dengan saya, malah memilih “orang lain”. Beberapa tahun lalu, mungkin saya akan merasakan emosi “negatif”. Sedih mungkin? kesal? kecewa? Tapi tidak rasa negatif itu tak saya rasakan saat ini. Kenapa?

………………………………………………………………………………………………..

Seorang teman saya pernah bertanya pada saya beberapa minggu lalu: “Beneran kan lu udah jarang nulis ya? apa gw yang gak dapet notif? padahal gw pasang notif di imel kok”. Dan saya mengangguk. Yups, sudah sangat jarang memang saya menulis di blog ini. Saya baru menyadari bahwa walaupun tulisan di blog bukanlah tulisan yang “berat”, tapi ternyata menulis itu butuh energi ya…. Dan prioritas saya untuk mengerjakan disertasi ternyata menghabiskan energi sehingga tak cukup untuk menuliskan  pikiran dan perasaan seperti biasanya.

Teman saya yang lain bilang : “nulis penghayatan lu tentang parenting dong…gw kangen tulisan lu ttg itu”. Nah, tentang ini, saya juga vakum untuk waktu yang cukup lama. Terakhir kali nulis bulan apa ya? sampai lupa haha… Kenapa tak menulis lagi tentang penghayatan parenting? karena beberapa bulan lalu, saya masuk ke fase selanjutnya dari pengalaman menjadi ibu, seiring perubahan pada anak-anak saya, terutama pada si sulung dan si bujang yang masuk usia SMA dan SMP. Ada banyak perubahan dan penghayatan yang saya rasa. Ada banyak pengalaman dan kejadian yang membuat saya butuh waktu untuk merenung…. mencerna apa yang terjadi, menghayati apa yang saya rasakan, mempertanyakan hal-hal yang selama ini saya yakini dan saya pahami…. Proses itu membuat saya belajar rasa yang baru, pemikiran yang baru, dan sikap serta perilaku yang baru. Saya belajar dimensi baru dalam perjalanan menjadi seorang ibu.

Dan satu dari sekian banyak pelajaran itu adalah, merasa “it’s oke” ketika anak kita memilih “orang lain” dibandingkan kita. Mungkin ini tampak sederhana dan bisa terjadi secara “otomatis” bagi ibu lain. Tapi tidak buat saya. Dan buat sebagian ibu, juga ini bukan hal yang mudah. Saya ingat seorang remaja pernah bilang ke saya : “ibu saya suka bilang kalau saya harus mandiri. Tapi saya ngeliat, kalau saya misalnya melakukan sesuatu sendiri, ibu aku teh suka sedih, trus suka bilang tuh kan kamu udah gak butuh ibu lagi. Jadi kadang aku teh pura-pura gak bisa sendiri biar ibu aku ngerasa tetap dibutuhkan”. 

Buat saya, anak-anak have their own wisdom. Saya selalu dapat banyak hal ketika mendengarkan kata-kata mereka, terutama apa yang mereka rasakan dan katakan tentang orangtua mereka. Saya selalu mempersepsi, kata-kata anak-anak mengenai orangtuanya adalah pelajaran dariNya untuk saya, yang Allah titipkan lewat lisan mereka.

Saya pernah menulis di status medsos, bahwa ketika anak kita kecil, lalu mereka lebih mengidolakan guru mereka, atau teman-teman mereka, kita tak keberatan. Kita berterima kasih pada bu guru, kita senang karena teman-teman anak kita menemani anak kita. Tapi saat itu, mereka masih menceritakan “semuanya” pada kita. We are still their “number one” 

Tapi kemudian, ada suatu masa, dimana anak kita mulai memilah. Ada hal-hal yang tidak ia ceritakan pada kita sebagai orangtuanya.  Ada hal-hal yang tak dia bagi lagi dengan kita, namun di abagi dengan orang lain ynag “istimewa” buat dia. Kita tak lagi jadi “their number one”. Ada masa dimana anak kita bilang pada seseorang yang istimewa buatnya : “lo lebih ngertiin gw dibanding ibu gw” . Dan pada saat itu terjadi,  tiba-tiba saya merasa… tak bisa se-legowo ketika anak-anak saya mengidolakan gurunya, atau menceritakan sahabat-sahabatnya.

Sebuah pergulatan yang berat buat saya untuk meresapi situasi ini. Perasaan “saya tak dibutuhkan lagi”, kenyataan bahwa “ada seseorang lain yang lebih penting buat anak saya”, ternyata begitu menakutkan dan menyakitkan. Butuh waktu lama bagi saya untuk meresapi dan memahami perubahan konstelasi psikologis ini. Sampai kemudian, pergulatan panjang ini membuat saya mendapatkan  sebuah pelajaran : bahwa seiring waktu berkembangnya anak kita, ada ruang-ruang yang tak lagi bisa saya masuki. Sesayang apapun saya sama dia, dia perlu bentuk sayang lain yang berbeda dengan sayang dari orangtuanya.

trueloveTidak mudah menerima bahwa ada “orang lain” yang berarti buat anak saya dibandingkan saya. Tapi pada akhirnya, pergulatan itu membuat saya meresapi hakikat rahim. Rahim yang sebelum ada janin di dalamnya hanya sebesar buah alpukat, bisa mengembang begitu amat luas dan memberikan kehangatan. Saya merasapi, itu adalah analogi dari yang Maha Kuasa,  bahwa seorang ibu, yang punya rahim dalam dirinya, harus punya ruang cinta yang luas. Ruang cinta yang memberikan tempat bagi anak kita merasakan cinta yang lain, yang juga memberikan tempat bagi orang lain untuk masuk dan turut mencintai anak kita. Ada pelajaran berharga yang saya dapat, bahwa kalau sebelumnya saya memandang “orang lain” itu sebagai “perebut” anak saya, kini saya memandang bahwa kami, sama-sama menyayanginya. Dengan bentuk sayang yang berbeda, yang melengkapi kebutuhan anak saya.

Setiap kali membaca mengenai perkembangan anak dan bagaimana orangtua harus belajar untuk “berkembang bersamanya”, saya selalu punya pertanyaan : Kenapa Allah menciptakan proses perkembangan anak kayak gitu? Mengapa kami orangtua harus belajar untuk melekatkan diri di tahun-tahun awal kehidupan mereka, harus menunda dan bahkan “melupakan” mimpi-mimpi besar kami karenanya? mengapa mereka dibuat sedemikian tak berdaya sehingga “tergantung pada kami orangtuanya? Lalu setelah kita begitu lekat, perlahan meraka menemukan “orang lain”, perlahan mereka tak membutuhkan kita lagi dengan bentuk yang sama seperti yang kita inginkan.

Sekarag saya tau jawabannya. Perkembangan anak, sejatinya adalah media buat kita orangtua untuk belajar menjadi wise, menjadi bijaksana, menjadi rendah hati, dan menjadi bisa mencintai tanpa syarat. Ketika wisdom itu sudah didapat, rendah hati sudah dipelajari, cinta tanpa syarat sudah dimiliki; tak akan ada lagi rasa sesak saat nanti anak kita lebih memilih passion-nya dibandingkan arahan kami; lebih memilih keputusan pasangan hidupnya dibandingkan keputusan kami. Akan ada rasa legowo ketika cucu-cucu saya lebih memilih nenek “sana” dibanding saya.

Dan hasil pembelajaran itu terasa hari ini. Ketika jam 5 tadi si bungsu datang dan menceritakan keseruan bermain dengan teman-temannya, menceritakan kekangenannya dipeluk teh Rini, saya tak merasa “tersaingi”. Seperti yang saya sampaikan pada teman istimewa anak saya, saya akan bilang ke teh Rini : “terima kasih sudah sayang sama anak saya” 

 

 

 

 

 

cerita pesiar: dua kekhawatiran dan dua rasa perpisahan

Awal Oktober lalu, tgl 2-7 Oktober, adalah waktu yang dinanti-nanti si sulung, teman-teman se-boarding schoolnya, dan keluarganya masing-masing. Pesiar. Waktunya “pulang”. Empat hari yang sudah dinanti-nanti selama 3 bulan. Setiap menengok si sulung, saya selalu tak bisa menahan senyum melihat “kalender pesiar” yang ditempel di kamar si sulung, karya teman-teman sekamarnya. Ada deretan tanggal sejak akhir Juli, sampai dengan hari H pesiar. Setiap hari yang terlewati disilang sepenuh hati, tak jarang dengan beragam ekspresi emosi yang tertuang  dalam bentuk tekanan, gambar dan komentar 😉

Riak euphoria pesiar sudah mulai terasa 3 minggu sebelumnya di grup telegram orangtua.  Mulai dari pendaftaran travel, serta koordinasi pembookingan tiket pesawat bagi santri yang di luar kota/luar pulau/luar negeri. Di minggu terakhir menengok sebelum pesiar, euphoria itu sangat terasa di kamar asrama. Saya senyum-senyum sambil berkaca-kaca melihat gadis-gadis remaja itu “heboh” packing, menyiapkan baju apa yang akan dipakai pulang, membuat rencana kegiatan yang akan dilakukan selama 4 hari di rumah. Ketika ketemu adik-adiknya, si sulung sudah berkali-kali wanti-wanti : “Awas loh! kamar Kaka jangan berantakan ! Harus kalian beresin!”. Kalimat itu disertai tatapan tajam setajam silet, khususnya pada si bujang yang saat ini menempati kamarnya haha….

Euphoria juga terasa di rumah kami. Selain si gadis kecil dan si bungsu yang heboh bikin gambar dan surat penyambutan buat kakaknya, saya pun tak mau kalah. Saya kosongkan semua jadwal saya di minggu itu. Beberapa kali saya harus “menolak” beragam aktifitas di minggu itu dengan mengatakan : “anakku mau pulang” ;). Si abah, saya tugasi mengecat kamar si sulung dengan warna biru, warna favoritnya. Plus nempel-nempelin foto-foto kelas SMP, bergabung bersama foto-foto kelas SD-nya.

Tapi seiring dengan euphoria itu, di sudut hati saya, ada 2 kekhawatiran yang muncul. Kekhawatiran pertama,  bernuansa “rasio”. Kekhawatiran kedua, bernuansa emosi.

Kekhawatiran pertama. Saya khawatir bahwa “kebaikan” yang terbiasa dilakukan si sulung di boarding school-nya (baik yang sifatnya habit : sholat malam, tilawah, dll; maupun yang sifatnya value), “luntur” saat tiba di rumah. Saya sudah banyak mengetahui dan menyaksikan bahwa anak-anak “sholih/sholihah-disiplin” di boarding school itu, bisa berubah 180 derajat saat di rumah. Artinya, nilai-nilai yang coba ditanamkan, hanya bersifat “perilaku situasional”, bukan terinternalisasi menjadi kepribadian. Saya banyak mendengar, bagaimana anak-anak yang terbiasa bangun jam 4 itu, saat di rumah kembali susah dibangunkan dan kesiangan shalat subuh. Saya juga tida jarang mendengar kisah, pemisahan antara putera-puteri di boarding, membuat mereka seperti “kuda keluar dari kandangnya” saat di rumah.

Kekhawatiran kedua. Seperti ibu-remaja putri lainnya, saya mengalami fase-fase “renggang” dengan si sulung di usia SMPnya. Hari-hari kami dipenuhi konflik, saling kesal dan saling marah. “Perpisahan” ini lah yang kemudian memberi andil besar pada kedekatan hati kami kembali. Berpisah, membuat masing-masing kami punya waktu untuk menelusuri relung-relung hati. Meresapi banyak rasa seiring dengan menelusuri beragam peristiwa selama 3 tahun terakhir. Memunculkan rasa sesal, kangen, perasaan bersalah, rasa bangga, bercampur aduk. Campur aduk rasa itu yang saya tuangkan dalam bentuk surat, yang saya berikan setiap saya mengunjunginya. Maka, tiga bulan secara fisik berpisah, tapi kami merasa justru secara hati sangat dekat. Tanpa konflik-konflik keseharian, setiap bertemu kami berpelukan erat dan lama, saya kembali bisa merasakan degup jantungnya di dada saya. Tanpa kekesalan sehari-hari, saya kembali bisa menciumi wajahnya, dan dia menjadi my little sweet girl kembali. Saya sangat khawatir, 3 bulan masa “bulan madu” itu, hancur dalam 4 hari. Saya takut gesekan-gesakan aktivitas, ketidaksesuaian harapan saat kami bersama 4 hari, kembali memunculkan kekesalan-kekesalan yang membuat jarak kembali antar kami berdua.

Dan hari itu pun tiba. Tidak tahu siapa yang lebih heboh; 5 orang yang menyambut atau satu orang yang disambut 😉. Dua hari penuh, saya menghabiskan waktu bersama si sulung. Nonton, makan, jakan-jalan, belanja belanji, masak, dan tentu saling curhat diantara aktivitas-aktivitas tersebut. Dua hari lainnya, terbagi menjadi satu hari untuk janjian dengan teman-temannya dan satu hari sendirian di rumah. Saya pikir saya juga pelu memberi ruang buat dia untuk sendiri. Dia juga ternyata pulang dengan membawa banyak tugas. Selain tugas menghafal 7 hadits, murojaah hafalannya, mencari sumber untuk lomba essay yang akan diikutinya, juga memvideokan 5 aktivitas untuk ujian TKK pramuka-nya : berenang, bersepeda, memasak, beres-beres rumah, dan menjahit 😉

Dan, tak terasa tanggal 7, kami mengantarkannya kembali ke asrama. Kehadirannya sore itu disambut teriakan teman-temannya yang sudah duluan datang. Dan lalu mereka berebut saling cerita tentang pengalaman pesiar, plus tentu saja kabar terbaru dari monyet-monyet… eh cinta-cinta monyet mereka haha….

Bagaimana kabar dua kekhawatiran saya diatas? Alhamdulilah keduanya tak terjadi. Mulai terlihat perubahan nilai, sesuai dengan yang ia dapat di boarding schoolnya. Dan secara otomatis, itu mereduksi konflik-konflik dianatar kami. Hal-hal yang dulu jadi bahan “pertengkaran” antara kami, kini sudah tak ada.

azkaaaaaaWaktu kami pulang menjelang maghrib, kami berpelukan eraaat ….saya bisa merasakan degupan dadanya di dada saya. Saya ingat tiga bulan lalu, kami berpisah dengan sejuta keresahan dan kekhawatiran dalam diri masing-masing. Kali ini, rasa resah dan khawatir itu tak ada. Pengalamannya selama 3 bulan disana, kami berdua bersyukur, Allah tunjukkan pilihan terbaik yang paling pas untuk dia.

Satu hal yang masih sama terjadi seperti ketika 3 bulan lalu saya meninggalkannya, satu kesamaan yang tidak saya duga, adalah ternyata saya masih sesenggukan sesampainya di mobil. Dan saya yakin dia juga, begitu sampai di kamarnya. But its oke. Tangis itu belum tentu karena luka. Sedih itu bisa berarti karena seseorang, amat berarti buat kita.

Geliat Hari di Penjara Suci

Hari Sabtu dan  Ahad lalu, saya menengok si sulung di boarding school nya. Di bulan pertama ini, kami bisa menjenguk setiap minggu, memberi waktu untuk kami maupun anak beradaptasi. Sebenarnya jadwal menengok adalah hari Minggu. Namun atas izin Bunda asrama, Sabtu siang kami datang dan menghabiskan waktu bersama si sulung, sampai maghrib.

Kenapa?  karena jumat malam, ketika waktu menelpon, 30 menit waktu menelpon saya pada si sulung diisi oleh isak tangis si sulung. Saya kaget banget. Saya pikir akan mendengar suara cerianya, mengingat ketika kunjungan pertama setelah seminggu di sana, saya menilai proses adaptasinya smooth banget. Tangisannya, curhatannya, adalah tangis dan curhat  yang “sehat”. Oh ternyata, sudah sejak hari sebelumnya dia sakit. Mual, muntah-muntah dan kemudian demam. Ringan sih sakitnya. Tapi membayangkan dia menjalaninya “sendirian”, untuk yang pertama kali, bikin hati saya remuk redam (haha…hiperbola banget ya…). Kenapa “sendirian”nya saya kasih tanda kutip karena sebenernya gak sendirian. Ada Bunda asramanya yang cekatan memberikan obat, menemani dan memijiti, ada 8 teman kamarnya yang bergantian mengompres, mengambilkan makan, dan mentake-over tugas-tugasnya.

Maka, setelah saya ikutan rapat ortu di sekolah si bungsu dan si abah ngurus placement test les bahasa inggris si bujang dan si gadis kecil (balada anak banyak, rempong always haha); kami pun cuzz ke Subang. Ashar kami sampai disana, sampai maghrib. Besoknya, hari Ahad, pagi-pagi kami sudah kembali nangkring di asrama si sulung, menunggu izin keluar jam 8, lalu membawa si sulung istirahat di hotel tempat kami menginap sampai check out, dan menghabiskan waktu sampai ashar kembali di asrama si sulung.

Jadilah dalam jangka waktu di asrama itu, saya punya waktu banyak mengamati aktifitas harian di asrama SMA putri. Saya bisa memahami mengapa secara fisik, si sulung ngedrop. Kalau di rumah selama ini rutinitasnya mulai  jam 4.30 dan tidur jam 9; dua minggu di asrama dia mulai beraktifitas jam 3. Mandi air dingin (Secara di rumah selalu air hangat hehe). Kenapa mandi jam 3? biar gak antri. Lalu qiyamul lail, sampai subuh. Bada subuh, ke sekolah (yang jaraknya tentu dekat) untuk tahfidz. Jam 6an, kembali ke asrama, siap-siap lalu makan pagi. Lalu ke sekolah, mulai aktifitas jam 7. Beraktifitas di sekolah sampai dhuhur, baru ada waktu istirahat dari dhuhur sampai ashar. Waktu istirahat yang biasanya dipakai untuk nyuci baju (meskipun ada laundry seminggu dua kali, namun untuk “daleman” dan seragam, si sulung mengantisipasi nyuci sendiri). Kalau gak dipakai nyuci baju, akan dipakai nyetrika, atau ngobrol sambil ngemil (itulah sebabnya dalam waktu 2 minggu, berat badannya sudah naik 3 kilo haha).  Btw, suply makanan di asrama buanyaaaak banget. Mereka mengumpulkan logistik makanan kiriman ortu dan hadiah-hadiah lomba dalam satu lemari (kebetulan ada satu lemari kosong karena satu orang ternyata gak jadi masuk), menjadi logistik bersama kkk. Ashar sampai jam 5, mereka tahfidz lagi di mesjid. Lalu jam 5 jadwal makan, ke mesjid lagi maghrib sambung isya, lalu jam belajar  sampai jam 10, tidur bangun jam 3. Total tidur 5 jam berarti. Jadi wajar di masa adaptasi ini agak drop. Apalagi karena batas antara “sekolah” dan “rumah” tidak kasat mata, maka banyak juga aktifitas sekolah yang melewati batas waktu jam 10. Misalnya waktu demo ekskul, itu baru selesai jam 12 malam.

Selain drop fisik, saya juga melihat ada pergulatan psikologis yang tentu saja menyita energi.  Jadi inget sama seorang teman saya. Putrinya,  NEMnya tinggi. Tapi gak masuk SMA yang “diimpikannya”, terlempar ke SMA yang kurang ia sukai. Lalu putrinya mengatakan : “Percuma aku berusaha belajar keras selama ini”. Ia pun berkata pada putrinya : “Saat ini, kamu sudah mulai masuk ke kehidupan yang sesungguhnya. Banyak hal yang akan kamu alami, akan jadi pelajaran kehidupan yang berharga buat kamu. Misalnya, bahwa tak selamanya upaya keras kita, membuahkan hasil sesuai harapan kita”. Saya sepakat dengan apa yang dingkapkan teman saya pada putrinya. Ya, tampaknya di usia SMA ini memang anak-anak kita, dengan kemampuan berpikir abstraknya, mulai punya pandangan, keinginan, harapan, antisipasi, penilaian, dan cara mengolah informasi yang lebih “dewasa” dan lebih “kompleks”.

Misalnya, bertemu dengan teman-teman barunya dari beragam kota di Indonesia bahkan beberapa dari luar negeri yang tak bisa berbahasa Indonesia, melihat beragam kehebatan teman-temannya, di sulung “galau”. Ada yang sudah hafal 16 juz, ada yang jago bahasa Jepang, ada yang melukisnya keren banget, ada yang juara OSN, ada yang fisika nya pinter banget … dia merasa …bisa “survive” gak ya, diantara teman-temannya yang “hebat-hebat”… Yups…ketidaktahuan memang meresahkan … jadi inget film jurassic world, ketika si dinosaurus hasil rekayasa kabur, si pawang dino bilang : dia gak tau posisi dia di rantai makanan tuh dimana, jadi dia akan membabi buta menyerang semua dino untuk tau posisi dia dimana.  Nah, kalau dinosaurus mah ekspresi cemas nya teh menyerang, kalau manusia mah galau … stress … gitu kali ya haha…

Kegalauan lain adalah, di satu sisi dia pengen aktif; jadi pengurus OSIS, ikut beragam ekskul. Jangankan anaknya ya, emaknya aja galau pengen ikutan semua ekskul haha… soalnya pas liat demo ekskulnya di live IG, keyeeen banget. Tari samannya, amazing banggets… klub debatnya keren, ekskul science, ekskul OSN, jurnalistik, panahan, basket, broadcasting, PASUS dengan koreo yang keren banget …. emang bikin bingung mau pilih yang mana hehe. Tapi di satu sisi, dia juga takut cita-cita ke PT dan jurusan yang dia inginkan, menjadi terganggu karena waktunya tersita oleh beragam aktifitas. Kemarin dia terpilih seleksi paper untuk menjadi pengurus OSIS, tapi kemudian ia mengundurkan diri karena pertimbangan takut terlalu menyita waktu belajar. Di satu sisi hatinya  bangga karena tak semuanya terpiih, di satu sisi “otaknya” menimbang-nimbang itu akan mengancam tujuan jangka panjangnya. Jadilah ia memutuskan mengundurkan diri dengan air mata haha….

Bener kan …. di usia ini, ia mulai menghadapi “pilihan-pilihan sulit”. Kalau dipikir-pikir sih, pilihannya gak sulit. Mungkin pernah ia hadapi sebelumnya. Tapi kemampuan berpikir yang lebih kompleks dan dewasa, membuat pertimbangannya menjadi kompleks. Soalnya adiknya, si bujang kelas 7, menghadapi pilihan yang sama : ekskul, OSIS dan target prestasi, dengan santai dia membuat keputusan : ikut OSIS. Alasannya? “Keren pas MPLS bisa bentak-bentak adik kelas” hahaha….

Selain adaptasi fisik dan pergulatan psikologis, tak ada yang perlu dikhawatirkan ternyata. Secara pribadi, saya menilai usia SMA memang usia yang paling “pas” untuk masuk boarding school (nanti secara lebih detil akan saya sampaikan paparannya, di tulisan lain). Secara emosi dan regulasi diri, mereka sudah cukup matang untuk mengelola perbedaan antara teman sekamar. Ada yang takut gelap, ada yang manajemen dirinya belum rapi, ada yang tidak terbiasa rapi; bisa mereka kelola dan tetap kompak. Mereka punya panggilan sayang khusus dalam satu kamar ini. Mereka juga saling dukung secara emosional. Ada yang kangen banget ortu, ada yang pengen pindah, mereka punya cara untuk saling memberikan support.

Minggu lalu, beberapa teman sekamar si sulung yang lanjut ikut proses seleksi menjadi OSIS dan MPK, mendapatkan challenge dari kakak kelasnya. Yang calon MPK dikasih kasus tentang pengurus OSIS; mereka harus menyelesaikan kasus itu, membuat keputusan dan menyampaikan argumen di depan panel kakak-kakak kelasnya. Yang calon pengurus OSIS bidang minat bakat, harus menyiapkan pidato persuasif dengan tema tertentu, yang calon pengurus OSIS bidang kedisplinan, harus presentasi ke kakak-kakak kelas 12. Salut banget deh…mereka saling bantu. Yang sudah menyiapkan pidato, “tampil” dihadapan teman-teman sekamarnya, lalu diberi feedback sebaiknya gimana, yang latihan memecahkan kasus, “diuji” oleh teman-temannya… Mereka juga kompak bersatu mengusulkan ekskul-ekskul yang belum ada, yang mereka minati untuk diusulkan ke skolah, karena prosedur itu dimungkinkan.

Pagi-pagi, saat saya berkunjung, sebagian bermain basket, sebagian bermain badminton di lapangan depan asrama. Sisanya, anak-anak yang tak akan dikunjungi oleh orangtuanya, diajak jalan-jalan oleh Bunda asrama ke luar. Seorang  gadis cantik yang berasa dari luar negeri, yang minggu lalu saya lihat tak berhenti-henti menangis ketika dijenguk orangtuanya, pagi itu saya lihat duduk menghadap lapangan basket, sambil membuat sketsa. Saya intip sekilas, sktesanya baguuuus.

Suara radio menyala lewat pengeras suara, siaran dari anak-anak ekskul broadcasting. Radio el-syifa ini, bisa didengarkan di seluruh kota katanya. Pengumuman makan dan menunya, dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian olahraga dan kesehatan; sedangkan pengumuman waktu sholat dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian rohis. Semua pengumuman di sampaikan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa arab. Jam 1 sampai maghrib, language time menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak tim bahasa yang akan mengontrol.

penjara suciJujur saja, saya senang sekali melihat geliat aktivitas harian di sekolah ini. Tidak adanya handpone dan TV yang pernah saya khawatirkan; tercover oleh adanya lab komputer, fasilitas olahraga, dan kegiatan ekskul yang beragam. Seperti yang disampaikan oleh kepala sekolah, dari beliau saya pertama kali mendengar istilah “penjara suci”; bagi anak-anak itu, asrama ini bisa jadi dipersepsikan sebagai penjara. Mereka tak bisa melakukan banyak hal yang dilakukan oleh teman sebaya mereka “di luar sana” melalui gadget dan keleluasan mobilitas. Mereka kelhilangan kesempatan bertambah pengetahuan dan pengalaman yang bisa diberikan oleh kemajuan teknologi dan media sosial. Mereka terpenjara oleh rutinitas, oleh aturan.

Tapi saya melihat, untuk kesejahteraan psikologis mereka,  di usia itu, tak ada yang terampas. Bermain, beraktifitas, membangun intimacy dalam persahabatan, mengelola diri, mengolah pikir untuk problem solving, menghadapi keragaman, fasilitasnya bahkan bisa lebih baik dari pada yang bisa saya berikan di rumah.

Saya percaya, untuk mencapai tujuan pengasuhan yang telah kita tetapkan, yaitu ingin putra/puteri kita menjadi sholeh/sholehah; ada banyak cara dan jalan. Turunannya, ada beragam bentuk sekolah yang bisa kita pilih. “Penjara suci” menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan visi itu; menyiapkan anak kita tak hanya untuk jangka pendek : masuk jurusan ini di PT itu. Tapi mewujudkan visi untuk bisa mengenali diri, memiiki pengalaman dan menempa kebijaksanaan untuk menghadapi peran-peran dalam kehidupannya : menjadi muslim/muslimah, menjadi bagian dari masyarakat, menjadi istri/suami, ibu/ayah, menjadi pribadi yang survive dan berprestasi di dunia, dan selamat di akhirat.

Ada banyak cara untuk mencapai visi pengasuhan kita. Yang penting kita dengan sepenuh kesadaran memilihnya. Karena sesunggungguhnya, takdir putera-puteri kita, telah tertulis di Lauhul mahfudz. Yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar maksimal. Itu kewajiban kita.

Sedih itu belum tentu luka

Ada dua “kebijakan” yang diambil oleh boarding school/pesantren terkait dengan siswa baru-nya terkait kunjungan orangtua, terutama di awal masuk.

  1. Tidak memperbolehkan orangtua menjenguk di jangka waktu tertentu di awal
  2. Memperbolehkan, bahkan boleh “lebih sering” di awal.

Masing-masing kebijakan tentunya punya dasar pertimbangan masing-masing. Tapi saya pribadi, lebih setuju dengan kebijakan yang kedua. Maka, saya girang bukan kepalang ketika Boarding School si sulung mengambil kebijakan tersebut. Selama sebulan pertama, bulan Juli, anak-anak boleh dijenguk setiap minggu, setiap hari Ahad. Selanjutnya, dua minggu sekali. Akhwat di Ahad ganjil dan ikhwan di ahad genap (dan para emak akhwat pun mulai menandai bulan-bulan yang terdiri dari  5 minggu haha…)

Secara objektif, kebijakan boleh dijenguk lebih sering di bulan awal tersebut memberikan waktu “beradaptasi” ; baik kepada anak maupun kepada orangtua yang sebelumnya selalu “bersama”, dan kini harus “terpisah”. Saya bisa memahami perspektif lain yang menilai bahwa anak jangan sering ditengok apalagi di awal, karena nanti malah pengen pulang. Nanti “mengganggu” proses adaptasinya. Saya bisa memahami karena saya lihat faktanya.

Hari ahad lalu, tgl 15, adalah minggu pertama kami mengunjungi di sulung. Sejak 5 hari sebelumnya, adik-adiknya terutama si bungsu sudah “menghitung hari”. Tiap bangun tidur pertanyaan si bungsu nambah jadi dua: (1) Berapa hari lagi abah pulang; (2) Berapa hari lagi kita jenguk Kaka. Emaknya juga menghitung hari sih, tapi dengan cara yang berbeda haha….

Sesampainya di kawasan asrama yang asri, di beberapa spot orangtua sudah bersama anak-anaknya. Beberapa anak tampak sedang sesenggukan di pelukan orangtuanya. Saya juga hampir tak dapat menahan air mata saya. Begitu saya masuk kamar si sulung, si sulung langsung memeluk erat, sesenggukan juga.

Tangisan itu, tanda sedih. Sedih itu, tanda sesuatu yang tak menyenangkan. Secara “instinktif”, kita akan menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan buat kita. Itulah mengapa banyak ibu lebih memilih “pergi diam-diam” daripada “pamit” pada anak balita-nya saat akan meninggalkan anaknya; meskipun penelitian sudah menunjukkan bahwa dampak jangka panjang kalau “pamit”; jauh lebih positif dibandingkan pergi tanpa pamit, yang akan membuat anak merasa “tidak aman” karena tidak tahu kapan akan ditinggal, kapan tidak akan ditinggal. Saya, pernah punya 4 balita. Pamit pada anak  balita, adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Mereka akan nangis, ngamuk, dan kita akan gak tega. Kita akan merasa “jahat” meninggalkan mereka. Tak jarang setelah pamit, saya pergi dengan air mata berlinang atau bahkan terisak.

Tangisan itu, tanda sedih. Kita mengasosiasikan sedih dengan luka. Itulah sebabnya mengapa banyak suami yang “tidak tahan” melihat istrinya menangis. Reaksi mereka kala istri menangis adalah : abai, pergi, atau bahkan marah. Dulu, saya pikir para suami itu jahat. Tapi setelah belajar psikologi, lalu berprofesi sebagai psikolog; mendengarkan apa yang sesungguhnya dirasakan para suami itu, tak semuanya jahat. Sebagian besar  justru karena “tidak tahu harus menanggapi gimana”; “engga tahan liat orang yang disayangi terluka”; “merasa sudah bikin sedih, gak buat bahagia istri”. Padahal, kalau ngobrol dengan istri, tak semuanya menangis karena luka. Bagi wanita, menangis adalah ekspresi rasa. Tak semuanya rasa yang negatif.

Wajar memang jika secara “instinktif” kita menghindari tangisan. Saya melihat dan mendengar banyak orangtua yang meminta anaknya untuk berhenti menangis. Atau bahkan memang sengaja tidak menjenguk untuk menghindari tangis itu. Saya pun, mungkin akan mengambil cara itu. Andai saya tak belajar psikologi.

Setelah belajar psikologi, saya jadi menghayati bahwa setiap emosi, gak mungkin Allah ciptakan tanpa tujuan. Demikian pula kesedihan. Mengapa harus kita hindari? Kalau yang udah pernah nonton film “inside out”, salah satu pesan moral yang ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa kesedihan itu, sama diperlukannya oleh diri kita seperti juga kebahagiaan. Emosi, Allah ciptakan bukan untuk kita hindari atau abaikan. Emosi Allah ciptakan untuk kita hayati, kita kelola agar tidak merusak diri kita.  Banyak hikmah yang akan kita dapat kalau kita lakukan proses ini.

Misal ketika kita sebagai ibu pamit lalu meninggalkan si kecil yang “ngamuk” gak mau ditinggal oleh kita; air mata kita mengalir, kita akan sadar betapa kita ingin selalu dekat dengan anak. Penghayatan ini mungkin tak akan kita rasakan kalau kita pergi tanpa pamit. Demikian pula penghayatan itu, akan dirasa anak kita, jika kita bantu dia mengenali dan “mengajarkannya”. “Dede tadi nangis karena gak mau ditinggal ibu ya, dede pengen sama ibu terus ya? Berarti dede sayang sama ibu. Ibu juga sayang sama dede. Ibu juga gak mau ninggalin dede. Tapi ibu harus kerja. Ibu pergi, bukan berarti engga sayang sama dede. Ibu tetep sayang sama dede. Makanya ibu pulang cepet-cepet pas kerjaan ibu selesai.” 

Berbeda dengan padangan umum tentang “ketegaran”, psikologi melihat kesedihan sebagai sebuah mekanisme alami yang wajar. Sehat. Tidak merusak. Yang tidak sehat adalah yang menghindari dan mengabaikan rasa itu. Karena menghindari sunnatullahNya. Dan biasanya akan berdampak tidak sehat di kemudian hari.

Kemarin, setelah puas bertangis-tangisan dengan si sulung, lalu mendengarkan  si sulung cerita bahwa emosi yang ia rasakan nano-nano di minggu pertamanya; kadang seneng banget, kadang excited, kadang sedih, kangen rumah, kangen orang rumah… lalu gantian saya yang ceritain perasaan adik-adiknya, perasaan abah, perasaan saya yang juga tak kalah nano-nanonya…. lalu kami cerita gimana kami berusaha mengatasi rasa itu ….  saya bilang bahwa sedih itu wajar. Sedih itu tandanya kita saling sayang. Kalau Kaka gak sedih, kalau ibu gak sedih, berarti selama ini kita gak punya ikatan apapun. Sedih itu tandanya apa yang kita sedihkan itu, berharga buat diri kita.

Yups, sad is oke. Ia bukan tanda tidak mandiri, bukan tanda cengeng, bukan tanda tak berdaya. Sedih adalah tanda bahwa kita terkoneksi dengan dunia; dengan tempat, dengan orang, dengan peristiwa, dengan nilai-nilai. Sedih adalah tanda bahwa kita hidup. Dan rasa sedih yang Allah anugerahkan, menghidupkan hati kita.

 

H-2 : Refleksi 15 tahun

Hari Sabtu pagi, kami akan mengantar si sulung masuk babak baru kehidupannya. Boarding school. Di kota tetangga. Jaraknya 2 jam saja. Sejak sebulan lalu, saya mulai melow. Air mata, seringkali jatuh berderai tanpa terasa. Perasaan campur aduk. Yang jelas bukan khawatir. Sekolah yang kami pilih, sudah melalui proses panjang pertimbangan memilihnya, dari berbagai hal yang kami rasa penting. Faktor si sulung sendiri, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Secara psikologis maupun teknis, dia sudah siap menghadapi situasi yang berbeda dari pengalamannya di rumah bersama kami.

Saya baru menyadari bahwa derai tangis ini adalah tanda betapa saya begitu mencintainya. Entahlah… sebulan ini, semua memori rasa tentang si sulung muncul di hati maupun pikiran saya. Meskipun saya punya 4 gunung cinta yang sama besar untuk keempat anak saya, tapi tak bisa dipungkiri bahwa si sulung, adalah first love kami.

Ia menjadi yang pertama dalam beragam hal. Ada banyak, tak terhingga pengalaman pertama kali saya dalam menjadi ibu, saya lalui bersamanya. Kebingungan, kecemasan, excitement, kebahagiaan, semuanya berbaur menjadi satu tiap kali mengalami pengalaman pertama bersamanya.

mantraBersamanya, pertama kali saya belajar mengikatkan diri begitu dalam dengan seseorang. Seseorang yang berbagi darah, tak hanya 9 bulan.  Tapi selamanya. Bersamanya juga, pertama kali saya belajar membuat jarak, melepaskannya, membiarkannya memiliki gelembung kehidupan sendiri, belajar mempercayai pilihannya, belajar menghargai pikiran dan perasaannya, belajar lapang dada melihatnya mengenal cinta lain di luar cinta keluarganya. Bersamanya, saya belajar menghayati makna cinta tak bersyarat. Tak ada yang sederhana dari hubungan seorang ibu dengan anak perempuannya.

Selama 15 tahun bersamanya, ada banyak pembelajaran yang tak mudah untuk dicerna. Jatuh bangun saya menjalaninya, dengan beragam ketidaktahuan, kesalahan dan pergulatan.  Pembelajaran yang penuh makna dan sungguh sangat saya syukuri, karena dengan cara itulah saya dipaksa untuk menjelajah beragam perasaan, penghayatan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman  yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh saya.

Allah, kupercayakan ia padaMu…3 tahun ini, dan sepanjang sisa hidupnya.  Lingkupilah dirinya dengan gelembung kebaikan.

 

Previous Older Entries Next Newer Entries