Kisah seorang Ibu

Tak ada yang sederhana

Tentang kisah menjadi seorang ibu

Terutama tentang berjuta rasa yang menderanya,

Tentang anak-anaknya

 

Tak pernah ada kisah sederhana bagi seorang ibu,

Kala terkait dengan anak-anaknya

Meski sang ari telah terputus setelah 9 bulan menyatu,

Namun takkan ada yang mampu memutuskan ikatan rasa selamanya

 

Seluruh bahagia, seluruh rasa suka, seluruh resah, seluruh gundah, seluruh luka

Yang dirasa anak, dirasa pula oleh ibu

Bedanya, sang ibu merasakan 2 kali lipatnya.

Atau lebih

 

Lima tahun, lima belas tahun, dua puluh lima tahun, … lima puluh lima tahun usia anak,

Walau berbeda kisah,

Namun berjuta rasa yang dialami seorang ibu tentang anak-anaknya,

Tak akan pernah berubah.

 

Seluruh kisah tentang seorang anak, adalah bagian kisah ibunya.

ibuuuuuuuuuuu

Calon Mantu

Ada banyak “rules of life” yang saya “temukan” dalam kurun waktu  39 tahun menjalani kehidupan ini. Salah satunya adalah, bahwa dalam menjalani kehidupan ini, tak akan pernah ada kata EXPERT. Berbeda dengan profesi atau bidang kerja yang setelah kita jalani bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun membuat kita menjadi EXPERT, tidak demikian dengan hidup.

Mengapa?

Karena setelah kita “expert” dalam suatu situasi, maka Allah Sang Maha Kuasa lalu membuat kita harus selalu bisa move on dari ke-expert-an kita, dengan memberikan kita situasi dan kondisi kehidupan yang berubah dari sebelumnya. Psikologi, menyebutnya life span development; perkembangan sepanjang rentang kehidupan.

Perkembangan sepanjang rentang kehidupan adalah perkembangan yang terjadi pada diri manusia sepanjang hidupnya. Dari sejak kecil sampai dewasa? Bukan. Sejak konsepsi sampai dengan wafat. Perkembangan itu berupa perubahan fisik, biologis, berpikir, emosi (yang ada di dalam manusia), serta tuntutan sosial ( yang ada di luar tubuh manusia)

Setiap kali mengamati dan menghayati perkembangan pada manusia, saya selalu berpikir: Kenapa Ya, Allah ciptakan sistem seperti ini ? Kenapa Allah membuat anak yang sudah “anteng” di usia SD, menjadi  “dis-equilibrium” dengan kecamuk hormon pubertas yang mengubah “penampakan” dirinya?  Kenapa anak laki-laki yang udah enak lempeng-lempeng aja kemudian harus mengalami rasa ser-ser-an kala lihat lekuk tubuh teman perempuannya?

Lalu setelah gejolak hormon pubertas itu mereda, mereka sudah “stabil” dalam hal itu, muncullah gejolak baru. Tidak berbentuk kecamuk fisik, tapi kecamuk rasa dan pikir. Mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan penting : memilih jurusan, lalu memilih bidang kerja, memilih pasangan hidup. Ketika itu semua sudah didapat, apakah “stabil”? tidak. Muncul “dis-equilibrium” yang lain : jadi menantu, jadi istri/suami, jadi ibu/ayah, lalu jadi mertua, jadi nenek/kakek, terus…terus… dan terus..   Dalam psikologi, perubahan yang membuat dis-equilbrium itu  disebut tugas perkembangan.

Kenapa Allah ciptakan episode kehiduan manusia seperti itu? Bertahun-tahun saya mempertanyakan hal itu, sampai akhirnya menemukan jawabannya. Jawabannya adalah, biar kita terus “bergerak”. Perubahan itu, dis-equilibrium itu, adalah “dinamika” yang Allah ciptakan untuk menggerakkan mesin kehidupan diri kita, menuju akhir hidup yang penuh wisdom kalau kata pendekatan psikososial Erikson. Khusnul Khatimah kalau kata Islam. Nafsul muthmainnah.

Jadi, perubahan yang kita rasakan dalam diri, adalah wajar. Kegalauan, keresahan, kekhawatiran yang menyertai perubahan itu, juga wajar. Dosen saya pernah mencontohkan perubahan itu dengan sebuah demonstrasi. Dia menunjuk gelas yang berisi air. Beliau simpan di atas meja. Air tenang. Stabil. Tidak bergerak. Lalu ia pindahkan, air bergejolak sebentar, sebelum kemudian tenang lagi.

Maka, demikian pula hidup kita. Galau-galau saat mengalami perubahan, adalah sangat manusiawi. Yang penting jangan galau terus-terusan hehe… Kegalauan itu, jadikan nyala api untuk membuat kita “bergerak” : mencari ilmu, belajar keterampilan baru, menghayati hal baru, beradaptasi dengan cara baru. Kita jadi move on terus. Diri kita “berkembang”. Menjadi lebih baik dan lebih bijak. Kalau tidak, kita akan tetap stuck di satu titik. Misalnya dalam konteks pengasuhan: anak kita udah remaja, skill pengasuhan kita masih mengandalkan pola untuk anak TK. Anak kita makin dewasa, tapi kita tak ikut mendewasa.

Tahun-tahun terakhir dan beberapa tahun ke depan;  saya dan keluarga kami, sedang berada di masa “bergejolak” itu. Ada 3 orang yang akan mengalami masa transisi dalam kehidupan psikologisnya. Saya, beranjak 40 tahun. Transisi dari tahap “dewasa awal” ke “dewasa madya” mulai terasa. Baik dalam segi fisik, pemikiran, emosi dan tuntutan sosial. Syukurlah si abah, sudah melewati masa itu 2-3 tahun lalu, dan saya melihat ia melewatinya dengan sangat baik. Kegalauan yang ia rasakan berujung pada perubahan perspektif dalam memandang kehidupan, alhamdulillahnya ke arah yang baik dan benar. Jadi saya bisa nyontek hehe.

Si sulung, tahun ini akan meninggalkan masa remaja awal dengan tema persoalan khas remaja putri. Dan si bujang, masuk ke masa remaja awal. Tanda-tandanya sudah terlihat dan menguat. Tanda-tanda yang berbeda dengan si sulung. Membuat saya cemas, namun jadi banyak belajar.

Secara umum, keluarga kami pun mengalami perubahan. Penelitian menyebutkan bahwa masa ini, adalah masa rentan kedua setelah 5 tahun pertama pernikahan. Secara sederhana, saya suka bilang : “di masa ini, emaknya biasanya lagi pusing 7 keliling menghadapi perilaku si remaja. Nah bapaknya, kalau gak kuat iman dan regulasi diriya lemah, bisa sibuk dengan “remaja” lain di luar rumah “😉.  Puber kedua juga biasanya dirasakan tak hanya oleh bapak-bapak, tapi juga ibu-ibu. Perselingkuhan, rentan terjadi di usia pernikahan seperti kami, 16-an. Demikian pula perceraian. Apalagi dengan dunia medsos yang membuat potensi “khalwat” dan “mendekati zina”, bisa terjadi meskipun kita mengisolasi diri dalam ruangan tertutup (asal ada hape, kuota dan charger hehe).

Dampak perubahan yang sedang dialami masing-masing anggota keluarga kami yang paling gampang terdeteksi adalah, tema obrolan. Akhir-akhir ini ada beberapa kejadian terkait si sulung yang menginjak usia 15 tahun, yang membuat tema “calon mantu”, menjadi tema obrolan paling intens di keluarga kami. Saya tak menduga sebenarnya issue ini mulai jadi berarti. Karena saya pikir, “saatnya” masih lama, 7-10 tahunan lagi. Dan memang apa yang terjadi, masih berupa “kembang-kembang” aja. Tapi itu cukup untuk membuat saya menyadari bahwa saya-keluarga kami, akan menghadapi hal ini.

calon mantuSeperti yang saya bilang di atas, setiap perubahan membuat kita galau, gelisah, khawatir. Karena kita belum tahu. Demikian juga yang saya alami. Isue tentang calon mantu ini “mengubek-ubek”perasaan saya mengenai 2 hal : melepaskan dan menerima.

 

Satu, melepaskan. Saya menjadi tersadar, bahwa akan ada waktu dimana kita harus “melepasakan anak kita” pada orang lain. Seluruh cinta yang kita punya buat anak-anak kita, seluruh perlindungan yang bisa kita berikan pada mereka, akan sampai pada satu titik, dimana kita menyerahkan yang tersayang, pada “orang lain”. Penghayatan mengenai melepaskan  ini memunculkan suatu refleksi dalam diri saya : betapa kita sering meremehkan perasaan orangtua. Saya jadi paham betul sekarang, mengapa istri yang mengalami KDRT, biasanya masih bisa memaafkan suaminya. Tapi orangtua dari si istri tersebut, biasanya akan sangat terluka. Saya jadi paham mengapa suami yang dikhianati, masih bisa menerima. Tapi orangtuanya, tak bisa memberikan toleransi. Ya, saya ngerti sekarang betapa berat effort yang harus dilakukan orangtua untuk bisa “melepas” anaknya, dan betapa akan terluka hatinya saat orang yang ia percaya, melukai anaknya. Dalam tataran aplikatif, jadi terhayati bahwa sebagai pasangan, kita harus memberikan keyakinan pada mertua kita bahwa kita “bisa dipercaya” untuk memberikan cinta yang sama besar pada anaknya.

Dua,  menerima. Akan ada masanya kami harus menerima “orang lain” menjadi bagian dari keluarga kami. “Gimana kita bisa percaya 100 persen sama orang lain itu ya?” Itu jadi pembicaraan seru saya dengan si abah. Muncullah beragam gagasan, mulai dari yang  konyol kayak : kita sewa detektif (haha….) sampai yang serius : kita jodohkan aja sama anaknya teman yang udah kita kenal banget. Muncul juga obrolan bahwa kita harus belajar legowo dari sekarang, untuk menerima hal-hal yang tak ideal sesuai dengan harapan kita, andai hal-hal itu bukanlah hal prinsip. Misal pengen punya mantu yang rame, eh dapetnya yang pendiam 😉 .

Meski kata si sulung “ibu lebay banget sih, masih lama juga” … tapi saya sangat bersyukur dengan kejadian yang membuat saya “aware” bahwa kurang dari 10 tahun lagi, saya akan menghadapi situasi ini. Untuk seorang pencemas sseperti saya, tak ada yang lebih baik dibandingkan mempersiapkan diri. Dan dalam profesi saya, saya tahu betul, ada banyak potensi masalah rumah tangga kala seorang ibu tak siap melepas anaknya, ataupun menerima calon mantunya.

Kegalauan lain yang saya rasakan  juga adalah, bagaimana bersikap kepada si sulung terkait issue ini. Sudah fitrah-nya bahwa ia menyukai dan disukai oleh lawan jenisnya. Saya mengamati, ada beberapa  pilihan orangtua terkait isu ini, di usia anak usia 15an . (1) membolehkan “pacaran” (2) melarang keras “pacaran” (3) menikahkan dengan alasan “daripada zina”.

Setelah galau memilih pilihan pertama, kedua, atau ketiga; saya pun memutuskan untuk memilih yang keempat haha… yaitu … menjadikan situasi ini “pembelajaran” memilih calon suami buat si sulung kkkk….

Saya merasa untuk diri saya sendiri;  mendengarkan cerita si sulung, perasaannya, pengalamannya… lalu kemudian mengajukan beberapa pertanyaan, mengobrol, membuat saya banyak tahu mengenai apa yang ada di kepala dan hati si sulung terkait issue ini . Siapa yang dia suka, siapa yang dia gak suka, kenapa suka, kenapa gak suka. Bahasa teknik parentingnya, proses ini namanya adalah PACING. Sederhananya “menyamakan langkah”

Dari situ, jadi tau apa yang udah bener, apa yang belum bener. Bisa juga membantu merefleksikan diri padanya untuk mengenal dirinya, sehingga dia jadi tau pasangan hidup seperti apa yang bisa melengkapi dirinya. Yang sholeh? Iya…pasti. Tapi kan yang sholeh teh ada yang romantis ada yang lempeng. Ada yang smart, ada yang biasa aja. Ada yang seneng baca buku, ada yang seneng ngobrol.  Mulai mengidentifikasi mana kriteria prinsip, penting dan kriteria yang “pengen tapi bisa diabaikan”.

Ini adalah pintu masuk yang paling pas untuk mengajarkan salah satu materi sekolah pranikah : menentukan kriteria pasangan hidup haha…. Seru deh membahas apa yang penting di usianya saat ini, apa yang penting di usianya nanti pada saatnya. Apa yang dia rasa gak penting saat ini, padahal itu penting banget “pada saatnya nanti”. Jadi we buka-buka lagi ppt materi sekolah pranikah yang pernah saya bikin buat salah satu sekolah pranikah beberapa tahun lalu, judulnya “evolusi kriteria pasangan hidup” haha…. Proses ini, bahasa parentingnya adalah LEADING. Mengarahkan.

PACING dan LEADING ini jadi resep jitu menanamkan nilai-nilai pada anak. Karena nilai hanya bisa diterima melalui dialog. Kalau divisualisasikan, kayak kita udah melangkah jauh di depan, anak tertinggal, PACING adalah “mundur, lalu menyamakan posisi dengan anak”. Kemudian kita gandeng anak berjalan selangkah demi selangkah menuju titik yang kita mau anak ada di sana, itulah LEADING.

Terakhir, kegelisahan dan kekhawatiran mengenai issue ini menjadi bensin buat saya untuk: berdoa. Berdoa sepenuh hati, agar Allah mempertemukan anak-anak saya dengan jodoh terbaiiiiik…. Yang bersatunya mereka, bisa mengeluarkan kebaikan masing-masing dan menebar kebaikan untuk semesta.  Berdoa sepenuh rasa, agar anak-anak saya dilindungi dari jodoh yang akan membawa keburukan dan melukai. Aamin…ya robbal aalamiin