“Guessing” : menumbuhkan penghayatan pada anak

Mmmhhh … judulnya jelek banget …. gak menjual …. kerjaan mengolah nilai mahasiswa blom beres-beres, jadi gak bisa mikir berbunga-bunga neeeh….

Teman-teman yang punya anak…pernah gak mengalami anaknya “lelet” kalau ngapa-ngapain? Saya pernah (hehe…siapa yang nanya…siapa yang jawab….). Apa yang saya lakukan? saya kasih dia batasan saat  melakukan kegiatannya. Dikombinasi sama reward and punishment. Misalnya mandi. Saya kasih waktu lima belas menit. Kalau engga tercapai, jatah main ipad dikurang 15 menit.  Saya perlihatkan jam. “Sekarang jarum jamnya ke angka 1. Jarum panjang ke angka tiga harus udah beres ya”….begitu kata saya. Berhasil? Cukup berhasil. Karena, selama 15 menit itu, saya terus-terusan mengingatkan dia. “Mas, jarumnya udah ke angka 1…..”….”Mas, jarumnya udah ke angka 2…”

Berdasarkan pengalaman itu, demikianlah yang saya sarankan pada ibu-ibu yang memiliki masalah yang sama; anaknya lelet. “Karena anak belum punya sense of time, penghayatan terhadap waktu, maka kita harus bantu dia untuk memahami secara konkrit dengan menunjukkan angka-angka di jam” begitu kata saya. Saya pikir itu sudah cara yang paling “canggih”, meskipun saya tidak bisa menjawab pertanyaan seorang ibu : “cara itu tidak berhasil bu….saya sampai tempel jam di kamar mandi, biar dia ngeuh…tetep telat juga….”

Nah, pertanyaan ibu itu terjawab saat saya ikut workshop “solution focused therapy” sebulan lalu. Saat itu, Gertjan van Hinsberg sang trainer tengah mengajarkan kami mengenai “Scaling”. Scaling adalah salah satu teknik dalam SFT untuk membuat klien menghayati “derajat” persoalan yang ia rasakan, dan “derajat” mana yang ingin ia capai. Saya suka menggunakan teknik Scaling ini untuk membuat anak-anak saya menghayati perasaannya.

Misalnya kalau Umar marah, setelah diredakan saya tanya, marahnya sebesar apa…. dulu waktu masih kecil dia jawab pake ukuran binatang. Sebesar gajah. Sepuluh menit kemudian….sebesar badak. Terus…..nanti kalau mulai reda dia akan bilang “marahnya udah sebesar semut” .Agak gedean, karena dia suka banget IPA dan ruang angkasa-ruang angkasaan, analogi dia pake planet. Marah sebesar Jupiter katanya….terus….sampai nanti bilang marahnya sebesar atom kkkk….

Nah, waktu membahas soal Scaling ini, trainernya menjelaskan bahwa untuk diterapkan pada anak, anak harus punya “penghayatan” dulu. “sense of feeling”. Karena itu kan abstrak. Memang sih, ada alat bantu pake banda konkrit. Di bukunya saya baca bisa pake balon. Anak diminta meniup balon sesuai dengan besaran “perasaan negatifnya” dia.

Ia menjelaskan dengan sangat CLEAR mengenai “penghayatan” anak ini mengambil contoh sense of time. Dia memberi ilustrasi kasus “lelet” yang saya ungkap di atas. Kenapa walaupun kita kasih jam di depan anak, anak tetep gak bisa “memacu diri” sesuai dengan waktu di sana ? karena sense of time-nya belum berkembang. Kita, orang dewasa….kalau janjian terus dibilang “tunggu setengah jam”. Kita gak setiap saat melihat pergerakan jarum jam bukan ? kita sudah punya “sense of time”, kira-kira setengah jam itu segimana sih….3 jam itu segimana sih, 5 menit itu segimana sih…. Beda sama anak. walaupun diliatin jamnya secara konkrit, tapi dia belum bisa menghayati…..selama apa sih, bergeraknya jarum panjang dari satu angka ke angka lainnya itu…..

guessCara untuk menumbuhkan penghayatan anak terhadap sesuatu adalah …. dengan “guessing”. “Menebak”. Oooo…itu toh, kenapa kalau di kurikulum matematika dari luar negeri itu, selalu ada activity itu. Guessing. Menebak jumlah benda tanpa menghitungnya, menebak berat benda tanpa menimbangnya, menebak panjang benda tanpa mengukurnya….menebak lama waktu … Dengan cara itulah, “sense of” number, time, itu tumbuh. Demikian pula sense of feeling. Penghayatan tentang perasaannya.

Kenapa penghayatan perasaan ini penting, dalam pilar Emotional Quotion, mengenali emosi diri termasuk intensitasnya, adalah dasar pertama.

Jadi, mari kembangkan penghayatan anak terhadap perasaannya dengan sering membantu anak “mengenali” perasaannya,  sebagai dasar “mengolah” perasaannya nanti. Jangan biarkan perasaan kita-marah, benci, senang, kesal, bosan, dll- tidak kita “kenali”. Karena kalau tak kita kenali, akan sulit kita kendalikan.

Nb: permainan guessing ini bisa jadi ide bermain bersama anak. Gampang tapi seru….Perhatikan…lama-lama, “guessing” anak akan lebih akurat. Itu artinya, “penghayatannya” pun berkembang.

Tentang “Kolom Agama” di KTP

Beberapa hari ini ada thread diskusi menanggapi adanya gagasan untuk menghilangkan kolom “agama” di KTP. Karena gagasan ini dimunculkan oleh salah satu timses capres yang tengah berlaga, maka jadilah isu ini cukup “hot”. Tampaknya memang karena pilcapres kali ini head to head, maka isu apapun menjadi “tajam”. Tentu ada yang pro dan ada yang kontra. Sayangnya, di tengah-tengah kepadatan aktivitas mengolah nilai dan mengurus puntas-pentas anak-anak,  saya tidak punya waktu untuk membaca semua thread terkait diskusi ini. Hanya beberapa thread yang sempat saya baca. Dari situ saya coba memahami apa yang menjadi alasan pro dan kontranya.

Yang pro, mendukung pernyataan sang timses; bahwa cara ini bisa mengatasi diskriminasi yang terjadi. Jujur saja, saya baru tahu kalau ada fenomena ini. Diskriminasi agama berdasarkan informasi dari KTP. Katanya ada pegawai yang tidak diterima karena keterangan agama yang tercantum di KTPnya. Ada juga seseorang yang “tidak diterima” di lingkungan tertentu ketika yang berwenang di masyarakat tersebut membaca identitas agama ybs di KTPnya. Ada lagi yang menjelaskan sejarah KTP, bahwa dulu agama itu tidak ada. Kolom “agama” lalu dicantumkan untuk tujuan politik, dimana agama yang diakui hanya tertentu jumlahnya. Lebih luas lagi, pihak yang pro kemudian mempertanyakan “manfaat’ dari KTP. Itu sedikit yang saya tangkap.

Yang kontra ? mengusung gagasan menghargai keunikan dan “identitas” masing-masing individu. Bagaimana kita bisa menghargai seseorang sesuai identitasnya jika kita tidak mengetahui identitasnya secara utuh ? misalnya seorang bos, akan mengucapkan selamat hari raya sesuai agamanya…atau akan menguburkan sesuai agamanya…dan banyak implikasi teknis lainnya.

Mmmmhhh….tampaknya perbedaan gagasan ini, salah satunya dipengaruhi oleh pengalaman yang berbeda. Itu yang menjadikan “alam pemikirannya” berbeda. Yang mengalami, mengetahui  atau menyaksikan adanya praktek diskriminasi, kemungkinan besar menjadi pro. Yang pengalaman hidupnya penuh kedamaian,  penuh toleransi dan saling menghargai dengan orang2 yang “berbeda”, kemungkinan besar akan menjadi kontra.

Eh, sebenarnya ada satu kelompok lagi yang dengan kreatipnya “memelesetkan” isu ini dengan sentuhan humor. Ini yang saya kagum saya bangsa ini…apapun situasinya, bisa memberikan gagasan humor yang kreatiiiif banget 😉

Bagaimana dengan saya? saya pun akan menyampaikan pengetahuan dan pengalaman saya.

Kurang lebih 4 tahun lalu, saya pernah mengantar seorang kolega dari Belanda yang sedang mengajar di kampus saya ke IGD. Ia mengalami diare hebat. Di tempat pendaftaran rumah sakit tersebut, ia sangat kaget ketika  harus mengisi “agama”. Setelah bingung lama, trus akhirnya dia bilang tulis ******** aja. Keheranannya tampaknya berkelanjutan. Saat saya mengantar ia ke ruang IGD dan menunggu dokter memeriksa, ia kembali bertanya pada saya; kurang lebih begini terjemahannya “saya merasa heran banget. di Belanda, gak pernah saya ditanya agama. Agama itu hal yang personal. Gak perlu orang tahu apa agama saya. Apalagi pemerintah. Buat apa ?” tanyanya. Waktu itu, tanpa pikir panjang dan sok tahu saya jawab: “well..in Indonesia, religion is important” kkk…kalau dipikir2, jawaban saya jaka sembung pisan nya…. tapi cukup memuaskan kayaknya tuh…soalnya kolega saya ini ngangguk2 ….kkkk

Tapi justru pertanyaan itu muncul lagi di benak saya saat ini, di trigger oleh persoalan “kolom KTP” itu. Saya jadi inget percakapan dengan seorang senior sebulan lalu. Ia sedang mengambil S3. Topiknya tentang “religious self di Indonesia”. Saya tanya, kenapa itu topiknya. Lalu beliau pun dengan semangat menceritakan preliminary-preliminary study beliau yang kemudian bermuara pada topik ini. Sayangnya, saya tidak terlalu menguasai teori “self” yang jadi grand theory disertasi beliau.

Secara sederhana, apa yang saya tangkap dari penjelasan beliau adalah seperti ini: berdasarkan study-study yang ia lakukan mengenai “Self”  di Indonesia (self secara sederhana bisa diartikan sebagai “diri”, “Siapa saya”), ternyata tak pernah lepas dari agama. Agama apapun. Penelitian tentang PHBS (pola hidup bersih sehat), dalam konteks industri, dalam memaknakan well being (kesejahteraan), dll (beliau menyebutkan konteks-konteks lain tapi saya lupa 😉 semuanya selalu melibatkan nilai agama. Hal ini berbeda dengan di negara barat yang  self-nya tidak mengandung aspek agama. Itulah khas-nya “self”; penghayatan mengenai “siapa saya” di Indonesia. Dari hal itulah bisa disimpulkan bahwa agama, merupakan identitas diri yang melekat pada diri orang Indonesia.

Saya menemukan fakta-fakta yang terkait dengan penemuan itu. Waktu kami meneliti masalah pernikahan dan perceraian, hampir seluruh responden kami yang berjumlah 250an, menjawab alasan dan harapan pernikahan dengan frame “agama”. Penelitian mengenai resiliensi (kemampuan untuk “bangkit kembali” setelah mengalami bencana/permasalahan berat), juga menyatakan ada faktor keyakinan agama yang berperan dalam diri manusia indonesia.

Jadi, boleh disimpulkan …. nilai2 agama, melekat dalam diri seorang manusia Indonesia. Memang sih, “pengejawantahannya tak selalu sesuai. Namun secara kognitif, “agama” memang tak dipungkiri menjadi bagian dari dirinya. Dengan alasan filosofis-empirik itulah, saya lebih setuju kolom agama tetap ada. Nanti kalau saya ketemu kolega yang mempertanyakan, saya akan jawab panjang lebar seperti yang saya tulis haha…dan mempertahankan kolom “agama” di KTP Indonesia menurut saya berarti mengakomodasi nilai indigenous dan kearifan lokal kita.

Jadi, bagaimana dengan isu diskriminasi ? apakah kita abaikan saja? seolah2 itu tak pernah terjadi dan tak usah kita pedulikan ? saya tak setuju. Kita harus akui bahwa itu ada, lha wong ada faktanya kok. Jadi, kalaupun ada yang perlu dihapus, buat saya yang perlu dihapus adalah perilaku mendiskriminasikan orang lain berdasarkan agama, dan berdasarkan apapun juga.

Sebagai penganut agama tertentu, perasaan bahwa agama saya satu2nya yang benar adalah wajar. Keyakinan itu yang menjadi alasan kita menganut agama tersebut bukan? Namun kebanggaan itu, cukuplah diuangkapkan saat kita berada diantara saudara2 seiman kita. Dalam pergaulan bersama orang yang berbeda agama? pengejawantahan kebanggaan kita pada agama yang kita anut harusnya berbentuk perilaku yang menggambarkan ajaran agama kita. Kalau semua penganut agama melakukan hal ini, tak akan ada situasi yang berujung pada diskriminasi. Karena nilai kebaikan dan kebenaran universal itu, merupakan “himpunan bagian” dari ajaran agama.

Gak perlu juga menyatakan toleransi agama dengan mengikuti peribadatan orang lain. Gak perlu yang muslim ikut ke gereja dan yang kristiani ikut pengajian. Menurut saya, bisa banget kok kita memegang keyakinan kita sendiri, dan tetap hidup harmonis dengan yang berbeda. Kalau kita masing-masing menjalankan agama dengan baik, diskriminasi itu harusnya tak perlu ada.

ktpTugas siapakah mengajarkan untuk berperilaku tak diskriminatif? tugas ibu pada anaknya. Tugas guru pada muridnya. Tugas bos pada bawahannya. Tugas pemuka agama pada pengikutnya. Tugas kita. Tugas saya. Tugas pemerintah. Tapi mungkin memang lebih mudah menghapus kolom agama dibandingkan menghapus sikap intoleransi ya….meskipun itu kayak kemoterapi. Yang hilang bukan hanya diskriminasinya, tapi juga banyak kebaikan-kebaikan lain, jadi turut hilang….

 

Renungan tahun ke-dua belas : Bisakah kita mengubah pasangan ?

112 tahun5 Juni lalu, pernikahan kami tepat berusia 12 tahun. 12×365 hari. Lumayan lama. Sejak dua tahun lalu, kami mendeklarasikan tanggal 15 Juni sebagai hari  ulang tahun keluarga pada anak-anak. Kami “memperingatinya” sebagai rasa syukur. Apalagi sejak beberapa tahun lalu, mulai ada beberapa teman yang  rumah tangganya kandas. Bukan oleh masalah besar. Tapi oleh masalah-masalah “biasa” yang juga kami alami. Artinya, “potensi” berpisah itu, juga kami miliki. Biasanya kami mensyukurinya dengan liburan  bersama. Ada sesi doa bersama untuk kebahagiaan keluarga kami.

Ada yang istimewa di hari “ulang tahun keluarga” tahun ini. Apakah itu? Yang pertama, si abah inget !!! haha…. saya agak kaget waktu 2 minggu sebelumnya si abah bbm bilang “ulang tahun keluarga kita liburan ke **** yuks” …. buat seseorang yang gak pernah inget hari ulangtahunnya sendiri, ini hal yang luar biasa….berarti saya berhasil membrain-wash nya haha…Yang kedua….selagi saya berencana untuk mengumpulkan foto momen bersama kami, si sulung Azka suatu hari datang dengan ide brilian. Dia akan bikin “short movie” perjalanan keluarga….maklum, baru 3 minggu lalu dia diajarin “movie maker” di les fotografinya…

Berdasarkan teori  “Kisaran Kerentanan Relasi Antar Pasangan Pada Usia Perkawinan” yang saya dapat dari  Prof Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, maka pernikahan kami ini (10-15/18) termasuk usia “lampu kuning”. Katanya di usia ini, baik istri maupun suami masuk ke masa “puber kedua”. Tapi istri biasanya fokus untuk menghadapi anak pertama yang umumnya sudah menginjak remaja. Bila tidak diwaspadai, suami bisa fokus pada remaja lain di luar perkawinan hehe …(wil gituh 😉. Tapi istri juga rentan dengan hadirnya pil, sehingga di usia pernikahan ini sering juga terjadi perceraian. Kalau ditinjau dari tahap perkembangan keluarga, maka menurut om Duvall (1977) kami sedang berada pada tahap perkembangan “family with school children”; yang salah satu tugas perkembangannya adalah “mempertahankan keintiman sebagai pasangan” disamping membantu anak-anak mencapai tugas perkembangannya.

Penghayatan kami sendiri…kami sedang merasa “nyaman-nyamannya” di usia pernikahan kami sekarang ini. Ya…berantem-berantem sih masih….tapi “basic trust” antar kami, rasanya telah terbentuk dengan kuat. Frekuensi pun sering nyambung. Empati dan “perspective taking” kerasa banget tumbuh dan berkembang. Pertengkaran-pertengkaran hanya berada di ranah “permukaan”; misalnya milih furniture…hehe…

Gak ada lagi “tragedi sukiyaki” seperti yang saya tulis di note facebook beberapa tahun yang lalu. Sekarang, bahkan  kami sudah bisa “bertelepati”. Di tempat yang berbeda, saya dan mas melakukan hal yang kami harapkan. Yang paling sederhana….pernah saya ke pasar tanpa mas. Di perjalanan pulang, mas nelpon minta dibeliin kue cucur kesukaannya. Tentu saya bilang “terlambat nelponnya”. Nyampe rumah….tadaaaaa….kue cucur saya hidangkan. Itu yang pertama kali saya beli di pasar tadi…haha…. Mas juga begitu. Pulang kerja, bawa sesuatu yang saya pengen banget, padahal saya gak bilang…

Sebulan lalu, si abah bilang gini: “enak ya de, kita sudah saling memahami” …. itu gara-garanya, saya minta tolong mas pesan sesuatu ke temennya. Tapi sebagai orang yang antisipatif dan tau kalau mas pelupa, saya juga langsung menghubungi temen mas tersebut untuk pesen. Dua minggu kemudian, saya “tagih” ke mas, mana pesenan ke temen mas? mas bilang lupa banget…maaf…begitu dia liat di meja…tadaaaa barangnya udah ada…… itu yang dia bilang “kita sudah saling memahami kekurangan masing-masing”. Demikian pun mas. Sudah sangat memahami kebiasaan-kebiasaan buruk saya, dan sudah tau harus bersikap gimana  yang membuat saya pas insyaf, jadi malu sendiri hehe…

Nah, artinya….selama 12 tahun ini kami sudah saling “bergerak”. Entah itu didorong oleh cinta atau komitmen. Gak penting lah…yang penting, kita mau “bergerak” memahami pasangan. Tapi bukan itu yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Saya ingin mencoba menjawab pertanyaan seorang teman : “bisakah kita merubah pasangan?”.

Merubah pasangan. Merubah kepribadiannya, kebiasaan buruknya. Bisakah? mmmhhhh….karena ini dalam konteks sebagai seorang yang telah mengarungi perjalanan pernikahan selama 12 tahun, maka saya akan jawab dengan referensi pengalaman. Tapi sebelum itu, saya ingin mengajukan sekaligus menjawab satu pertanyaan.

Haruskah kita mengubah pasangan? itu pertanyaan saya. Jawaban saya? Harus. (Kau yang bertanya….engkau yang menjawab…#dinyanyiin pake lagu dangdut#). Kenapa harus? karena itu bagian dari kewajiban sesama muslim. Amar ma’ruf nahi munkar. Kalau suami kita merokok kita diem aja….suami kita suka mengejek orang kita diem aja….suami kita berlebihan main games kita diem aja…tentu itu tidak benar. Apalagi kalau nanti kita semakin “senior”… mungkin status sosial ekonomi  suami kita udah semakin tinggi….. jadi bos di kantor, disegani masyarakat…akan semakin sedikit orang yang bisa “mengingatkan”. Siapa lagi yang bisa “mengingatkan”nya selain kita, pasangannya? Jadi kita harus “mencanangkan” dalam hati, bahwa kita adalah orang yang selalu akan “menjaga pasangan kita” untuk selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan.

Nah, sekarang baru ke pertanyaan temen saya itu. Bisakah kita merubah pasangan ? jawaban saya : BISA. Sejauh mana kita bisa merubah pasangan ? Naaah…ini yang rada “tricky”.

Mengubah kepribadian? berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya, kepribadian bukan hal yang mudah untuk diubah. Itulah sebabnya, para konselor pernikahan suka meminta calon pasangan suami istri untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan perilaku bermasalah pasangannya. Itu sebabnya juga, ketulusan untuk “mengubah pasangan” yang menggebu sebelum pernikahan, pada umumnya berakhir dengan keputusasaan. Kata rekan saya yang banyak bergerak di dunia KDRT, pada umumnya istri sudah mengetahui kecenderungan suami yang suka menganiaya fisik. Sebagian bahkan sudah mengalami KDP (kekerasan dalam pacaran).

Jadi, apa dong yang bisa diubah? Ada hukum dasar dalam psikologi: B=f (P,E). Behaviour atau perilaku adalah fungsi dari environment dan personality. Kita sulit untuk mengubah personality pasangan kita, yang udah terbentuk saat kita bertemu dengannya. TApi kita BISA mengubah behaviour pasangan kita. Artinya, perilaku dalam konteks tertentu.

JAdi, kita tak akan pernah bisa mengubah suami kita yang pendiam jadi supel. Tapi kita bisa membantu agar  PERILAKU suami kita berubah,  tak mengurung diri di kamar saat berkunjung ke rumah orangtua kita. Kita akan sulit mengubah kecenderungan agresi suami kita, tapi kita bisa mengubah perilaku suami kita untuk tak memaki-maki orang yang nyalip saat ia menyetir, di depan anak-anak. Biar berimbang…suami akan sulit mengubah sikap impulsif istrinya untuk belanja. Tapi suami bisa mengubah perilaku belanja istrinya, saat ia lagi bokek.

Dan perubahan PERILAKU itu, sudah cukup untuk membuat kehidupan berumahtangga menjadi nyaman. Apapun dasar pernikahan kita- entah itu cinta, komitmen, atau intimacy kalau pake teori Triangular Love-nya Sternberg; itu akan cukup membuat kita merubah PERILAKU yang diharapkan oleh pasangan. HAnya satu syaratnya. KEDEWASAAN. Itulah sebabnya pernikahan itu, adalah tugas perkembangan di usia dewasa.

Jadi, kalau mau flashback…memilih calon pasangan itu….ganteng/cantik boleh; soleh/solehah harus; kaya gak apa-apa, pinter gak salah…namun yang WAJIB harus di-cek adalah, apakah ia cukup dewasa untuk mau MENDENGARKAN dan FLEKSIBEL untuk MAU MENGUBAH  PERILAKUNYA DALAM SITUASI TERTENTU, situasi yang bermakna bagi pasangannya.

Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yunin waj-’alna lil-muttaqîna imama.
  “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74).

My teacher, My mother …

Hari Selasa kemarin, saya mengambil raport Hana. Resmi-lah Hana menjadi anak TK B 😉 Hari Jumat besok, saya akan mengambil raport Azka dan Umar.  Saya selalu excited dengan momen pengambilan raport ini. Kenapa? karena, tidak seperti ibu-ibu lain yang cukup sering ke sekolah dan berinteraksi dengan guru-guru anaknya, sebagai ibu bekerja saya amat jarang ke sekolah anak-anak untuk ketemu ibu guru.

Untuk guru Hana, kemarin agak sering kontak. Karena Hana sempat “mogok” dengan seribu satu alasan untuk main angklung. Dan karena main angklungnya setiap hari Kamis, maka ia mendeklarasikan pada saya…“Teteh Hana gak mau sekolah setiap hari Kamis”. Nanti di tulisan lain saya akan ceritakan gimana strategi kami; Saya dan ibu gurunya sehingga Hana kembali mau masuk dan latihan angklung setiap hari Kamis;).

Saya selalu kagum dan berterima kasih pada ibu-ibu guru itu. Terutama ibu-ibu yang mengajar anak usia dini; yang kalau kata teorinya sih dari usia PG sampai kelas 3 SD. Ada satu kompetensi penting yang harus dimiliki oleh guru-guru anak usia dini ini; yaitu…”responsif” dan “unconditional love”. Memang idealnya 2 kompetensi ini harus dimiliki oleh guru di semua jenjang, namun terlebih di guru anak usia dini.

Kenapa? karena yang dibutuhkan oleh anak usia PG, TK, kelas 1-3 di sekolah, bukanlah seorang “guru”. Tapi seorang “ibu”. Gak percaya? coba intip kegiatan anak di usia ini. Yang paling gamblang adalah kegiatan anak PG dan TK. KAlau kita intip, kesibukan bu guru bukanlah untuk hal-hal yang sifatnya “akademis”. Tapi mengurus hal-hal yang sifatnya “nurture”. Nganter anak-anak pipis dan ee, ngelap ingus anak-anak yang flu, cebokin, bantu nyiapin dan mengarahkan saat makan, melerai yang rebutan mainan, menemani yang tantrum, mengajak yang pasif, membujuk yang mogok….

Dulu, saya pikir kalau guru SD mah udah concern-nya ke akademik….ternyata engga. Saya bener-bener kaget waktu pembagian raport Umar kelas 1 semester 1, bu gurunya dalam sesi konsultasi “melaporkan” gini : “Alhamdulillah bu, sekarang Umar nangisnya udah jarang…” WHAT ???? Umar suka nangis di kelas ????? Lalu saya pun bertanya lebih lanjut…dan kemudian tahulah saya bahwa….di awal-awal masuk kelas 1, Umar sering banget nangis di kelas. Pensil ilang nangis, lagi nulis kecoret temen nangis, mau lomba tahfidz dia gak pake peci nangis, merasa gak bisa ngerjain, nangis…..hadeeuhhh…. Trus gurunya bilang gini: “kalau lagi nangis gitu, saya mah peluk aja dia…da Umar mah sebenarnya pinter, cuman kalau lagi emosional, yang dia butuhkan ditenangin aja”. Itu persis yang akan saya lakukan !!! Daaan….dari obrolan itu tahulah saya bahwa kasus Umar yang sering nangis itu, itu mah kasus ringan….di hari-hari pertama sekolah, ada yang tantrum, muntah, pipis sampai pup di celana. Daaan…dengan sabar serta responsif ibu guru menemani dengan baik. Kalau ibu guru tak responsif, kejadian – kejadia nitu bisa berdampak pada anak-anak. Misalnya anak yang ngompol bisa jadi ejekan teman-temannya, dll.

Soal unconditional love.…saya banyak belajar dari guru-gurunya Azka, Umar dan Hana di TK mereka. Di TK ini, semua anak, baik yang “hebat” maupun yang “unik”, semua “disayangi”. Operasionalisasinya buat saya, terlihat saat pentas seni. Gak ada ceritanya yang tampil hanya yang “wanter”. Yang hiperaktif? malah dikasih peran utama sebagai pendekar silat. Namanya anak aktif, loncat sana-sini, gerak sana-sini, jadinya keliatan jawara banget. Yang ID? (Intellectual Disability)..tetep dikasih peran nari manuk dadali, karena kemampuan imitasinya bagus. SI anak gak hafal gerakannya. Tapi ia tetep terlihat okeh karena ia meniru gerakan temen-temennya. YAng “pemalu”? tetep eksis jadi pohon…..

teacherSaya jadi ingat….pernah baca satu jurnal yang isinya menyatakan bahwa guru prasekolah, dengan sikap responsif-nya, bisa membentuk attachment (kelekatan emosi) dan bisa memblokade efek negatif “insecure attachment” anak sama orangtuanya. Jadi, kalau ada anak yang kelekatan emosi sama ortunya “insecure”- maka anak potensial menunjukkan perilaki “negatif” di sekolah. Tantrum, agresi, dll. Tapi, perilaku ini tidak akan muncul jika ibu gurunya responsif, karena anak jadi membangun “secure attachment” sama gurunya.

Dalam beragam kesempatan berinteraksi dengan guru terutama guru prasekolah, saya selalu menyampaikan hal ini. Ya, terkadang guru “pesimis’ dengan mengatakan “kalau sama kita kan hanya 5 jam sehari bu, kan sisanya sama orangtua..”. Melalui tulisan ini saya ingin mengatakan, Ya, bersama ibu/bapak memang hanya 5 jam. Tapi bisa jadi, interaksi 5 jam itu bisa “menyelamatkan” anak dari keburukan-keburukan yang potensial terjadi saat anak mendapatkan pengasuhan yang buruk di keluarga.

Terutama buat guru-guru prasekolah dan guru anak usia dini…let’s be a mother buat anak-anak didiknya…kalau menurut saya, insya allah setiap anak kita berdoa “rabbighfirlii…wali-wali dayya warhamhumaa kamaa robbayani soghiiiro….” ibu-ibu guru yang jadi “ibu” di sekolah , juga akan “kecipratan” doa ini….

Salam takzim untuk guru-guru di seluruh dunia…

It is PROBLEM. It is not MY PROBLEM (catatan tentang externalizing problem)

Saya merasa masih punya utang untuk menulis oleh-oleh lengkap dari Workshop 4 hari yang saya ikuti 2 minggu lalu, tentang Solution Focused Therapy. Cuman apa daya, si Miss P selalu merongrong saya dan belum bisa  saya kendalikan. Dia menahan saya untuk tidak menulis sebelum saya selesai baca buku Solution Focused Therapy, biar tulisannya lengkap dan komprehensif. Dan saat ini, kekuatan dia lebih kuat dari kekuatan saya.

Catatan: Solution Focused Therapy selanjutnya akan saya singkat menjadi SFT 😉

Btw, Si Miss P ini siapa siiih? perkenalkan….Miss P adalah Miss Perfectionist. Dia kadang menjadi masalah buat saya, tapi kadang membantu saya. Saya tidak menyatakan bahwa “saya adalah seorang perfectionis”…. tapi saya kadang mengalami masalah dengan dorongan yang ingin perfect, dimana dorongan itu lebih kuat sehingga akhirnya saya tak melakukan apa-apa.

Paragraf diatas adalah salah satu oleh-oleh dari Workshop SFT yang saya ikuti. Namanya “Externalizing Problems”.

Begini ….. seringkali, kita tak lepas dari masalah karena kita merasa masalah itu lekat dengan kita. Atau bahkan lebih parah lagi, bahwa kita adalah masalah. Mungkin itu bukan salah kita sepenuhnya siiih…mungkin waktu kita kecil…lalu remaja… orang-orang di sekitar kita yang “melekatkan identitas masalah”‘ itu pada diri kita. Saya mah remaja bermasalah. Saya tuh orangnya lemah. Saya pemalu. Saya orangnya gak pedean. Saya perfectionist.  Saya orangnya kasar. Saya itu ini. Saya mah itu. Dalam pandangan SFT, ini namanya “internalizing problem”. Saat kita merasa masalah itu lekat dalam diri kita, atau masalah itu adalah diri kita. Ini yang kemudian membuat kita menjadi merasa TIDAK MUNGKIN lepas dari masalah yang tengah kita hadapi.

worry monsterTentunya hal ini menyalahi prinsip-prinsip dalam SFT. Karena salah satu prinsip penting dala SFT adalah, bahwa masalah itu, tidak terjadi selamanya. Ada saat kita mengalami masalah, ada saat kita tidak mengalami masalah. Oleh karena itulah, kita harus menghayati bahwa masalah itu, berada di luar diri kita. Kecemasan, Perfeksionsis, Kemalasan, Gak Pede, itu PROBLEM. Tapi bukan MY PROBLEM.

Waktu dijelasin tentang hal itu, saya ngangguk-ngangguk tapi belum menghayati. Maka, saat workshop itu kami diminta ber-role playing-ria. Bertiga. Salah seorang menjadi klien, dan dua menjadi psikoterapis. Begitu bergiliran. Kami dibekali dengan pertanyaan-pertanyaan:

  • If you should think up a name for the problem (with an article or pronoun). How should you call it? –> kami yang berperan sebagai klien pun memberi nama “masalah” yang kami rasakan. Namanya sesuka hati. Bisa dikasih nama si ontohod, ada yang ngasih nama “Merry” karena masalahnya itu adalah rasa marah, dll dll. Lalu kami berimprovisasi dengan meng-konkritkan si masalah itu pada sebuah topi yang kami dudukkan di depan kami (sssssttt….sebenarnya teknik ini buat anak-anak…anak-anak bisa diminta buat gambar representasi dari masalah).
  • How did you learn to know X? kami mengingat-ingat, dan kemudian mengungkapkan dalam situasi apa kami mengenali kehadiran si “ontohod” itu.
  • How much influence does X have on you now ? kami mengingat-ingat dan mengungkapkan, apa akibat dari kemunculan si “ontohod itu.
  • Is that what you want? 
  • Why not? kami mengingat-ingat dan mengungkapkan kenapa kami tidak menginginkan kehadiran si ontohod
  • Have there been moments where you was smarter/stronger/ faster then X? kami mengingat-ingat dan mengungkapkan saat-saat kami bisa “mengalahkan” atau “mengendalikan” masalah itu.
  • Have there been moments where X did help you? Naah…ini yang menarik…pertanyaan ini, membuat saya INSIGHT bahwa ternyata, sesuatu yang selama ini saya rasakan sebagai MASALAH, ternyata…. pada saat-saat tertentu, itu justru BERMANFAAT buat saya.

Karena penasaran dengan tujuan pertanyaan terakhir ini, maka saya tanyalah pada si Trainernya…apa sih tujuan dari pertanyaan ini? trus dia jawab …. kurang lebih terjemahannya adalah : “gak…ini gak ada tujuan apa-apa…pertanyaan-pertanyaan ini hanya dimaksudkan agar kita menghayati bahwa masalah itu ada di luar diri kita, dan kita punya hubungan tertentu dengan dia. Kadang dia begitu kuat mengendalikan kita, kadang dia begitu mudah kita abaikan, kadang dia sangat mengganggu, kadang membantu…dan ujung-ujungnya adalah…penghayatan bahwa kalau hubungan saya dan masalah bervariasi, maka kita punya POTENSI untuk MENGALAHKAN/MENGENDALIKAN DIA, dan masalah itu TAK SELALU BERDAMPAK BURUK BUAT SAYA”.

Keyeeeeeennnnn….. buat saya sih, ini konsep yang keyen… Penghayatan ini bisa menumbuhkan rasa BERDAYA…Satu modal awal yang sangat penting dibutuhkan seseorang saat ingin mengatasi masalahnya.

Yups…yups…aplikasi sederhananya adalah… jangan suka “menginternalisasi masalah” … baik pada diri kita atau pada diri orang lain. Apalagi kalau kita sebagai ayah, sebagai ibu atau guru, jangan pernah. Jangan gunakan KATA SIFAT pada anak.

Kamu  pemalu. Kamu  pemalas. Kamu pemarah. Bukan. Salah. Katakan: Kamu malu. Kamu malas. Kamu marah.

Kamu pemalu. Artinya malu itu melekat dalam diri kamu. Di setiap saat kamu merasa malu. Tidak bisa kamu lepaskan. Begitu juga dengan pemalas dan pemarah. Jangan salahkan jika sudah dewasa, si anak akan mengatakan alasan “saya kan pemalu. saya kan pemalas. saya kan pemarah”. Inilah saya. Jatidiri saya.

No….no…no….

Kamu malu. Tapi hanya dalam situasi ini. Kamu tidak selalu malu. Kadang kamu berani. Kamu pernah berani.

Kamu malas. Tapi hanya dalam hal ini. Tidak selamanya kamu malas. Artinya, malas itu bisa kamu kalahkan. Bisa kamu kendalikan.

Kamu marah. Tapi hanya sama dia. Kamu bukan pemarah, yang marah setiap saat pada setiap orang. Ada saat kamu tidak marah. Artinya, kemarahan itu bukan milikmu. Bukan kamu.

Saya jadi ingat  tulisan https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/04/06/jangan-puji-anak-kita-hebat/. One of my favourite. Saya suka konsepnya. Seperti juga untuk “masalah”, menurut saya….. demikian juga dengan “kebaikan”. Kebaikan itu, tak akan selamanya melekat dalam diri kita. Itu yang harus kita waspadai. Bahwa kita bisa jadi “mantan orang baik”.

Apakah konsep ini Islami? menurut saya Islami banget. Kenapa? tergambar jelas dalam kisah salah satu idola saya, Umar Bin Khathab. Siapa Umar? tergantung kapan kita melihatnya. Kalau kita melihatnya saat ia belum masuk Islam, maka kita akan bilang ia adalah BURUK. Tapi, dalam Islam, BURUK itu tak melekat dalam diri orang. PERILAKU Umar yang BURUK, Bukan UMAR YANG BURUK. Buktinya? Setelah ia masuk Islam dan apa yang ia lakukan adalah hal yang BAIK, terus….terus…terus….BAIK sampai akhir hayat, ia pun sampai dijamin masuk syurga.

Jadi, saya pribadi ingin menginternalisasikan pada diri anak-anak saya : Mari lakukan hal yang baik. Baik itu, tidak otomatis melekat karena identitas dan apa yang kita pakai. Baik itu adalah apa yang kita lakukan. Kadang kita melakukan hal yang buruk? ya, karena kita bukan malaikat, tapi itu bukan berarti keburukan itu menjadi milik kita. Kita bisa mengalahkannya….

 

 

Si Emon

Beberapa minggu yang lalu, waktu saya naik angkot saya mendengar  obrolan beberapa ibu. Namanya juga ibu-ibu…ngobrol ngalor ngidul. Topiknya….topik favorit, yaitu ngobrolin anak-anak. Dari obrolan itu, salah satu informasi yang saya dapat adalah, ada beberapa ibu yang berterima kasih pada si Emon. Si Emon yang dimaksud disini adalah si Emon pelaku sodomi di Sukabumi itu loooh…

Kenapa berterima kasih? Karena katanya, gara-gara memperkenalkan si Emon sebagai “penculik” anak, maka anaknya kini menurut. Gak suka main lama-lama lagi di luar rumah. Dan … beberapa ibu dengan cerdasnya memanfaatkan hal ini dengan mengatakan “nanti ada si Emon loh” untuk membuat anak patuh pada beragam situasi lainnya. Gak mau makan? nanti ada si Emon loh….Gak mau mandi? nanti diculik si Emon loh… Gak mau disuruh ambilin ini-itu? cepet, nanti si Emon keburu datang looh..

Sayangnya, saya bukan bagian dari obrolan itu. Kalau saya menjadi bagian, maka saya akan bilang….”sebaiknya hal itu tidak dilakukan”.

Kenapa? Kalau saya menutup mata saya dan membayangkan saya sebagai anak-anak itu, maka …..si Emon akan menjadi momok buat hidup saya. Ia menjadi sosok yang ingin saya hindari dan saya takuti. Karena ia akan menculik saya, apapun perbuatan yang tidak disetujui ibu saya. Tapi….bentar….sebenarnya si Emon itu kayak gimana sih? gimana saya tahu yang datang si Emon atau bukan? Trus, rasanya diculik itu gimana sih? Kalau ada yang ketuk pintu….itu si Emon bukan ya? kalau ada yang lewat di depan rumah, itu si Emon bukan? Bagaimana membedakan antara si Emon yang membahayakan dengan bukan si Emon?

Yups, kalau mau jujur….si Emon menjadi “senjata” yang digunakan untuk mengarahkan perilaku anak, sesuai kemauan ibu. Kepentingannya? one hundred percent buat kepentingan ibu. Karena kalau buat kepentingan anak, maka si ibu akan menjelaskan siapakah Emon itu, bagaimana rupanya, bagaimana membedakan si Emon dengan bukan Si Emon, apa yang bisa dilakukan si Emon pada anak, bagaimana cara menghindarinya, apa yang harus dilakukan bila ternyata emang itu bener si Emon…. dan semua itu, dilakukan dengan diskusi dua arah. Membuka ruang jika anak bertanya: “masa sih, si Emon itu berbahaya?” …. dll pertanyaan lainnya dengan fakta dan bahasa yang sesuai dengan pemahaman si anak.

Hhhhmmm….Sayangnya, metoda si Emon ini tak hanya dilakukan orang dewasa pada anak-anak aja. Tapi juga sering dilakukan orang dewasa  terhadap orang dewasa lainnya. Tentu wujud si Emonnya adalah sesuatu yang abstrak. Entah itu situasi, kondisi, dan konsep abstrak lainnya. Si orang dewasanya, biasanya figur otoritas, yang mengarahkan si “sub ordinatnya” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tindakan atau pilihan.

Apakah si figur otoritas ini salah? tidak…kalau yang ia lakukan adalah untuk kepentingan si sub ordinat. Dia akan menjelaskan dan berdiskuasi mengenai “situasi”, “kondisi”, atau “konsep” yang “membahayakan” tersebut. Ia akan memberi ruang bagi si sub ordinat untuk menyanggah saat ia menunjukkan fakta yang berbeda…lalu menganalisa perbedaan itu….

emonTapi kalau caranya adalah dengan menutup ruang bertanya …. maka…..jangan-jangan, seperti anak-anak itu….orang-orang dewasa itu sebenarnya menjadi tidak tahu….makhluk apa sih sebenarnya yang mereka takut dan khawatirkan itu …. dan yang paling membahayakan adalah, ia tidak akan bisa membedakan mana situasi yang membahayakan, mana yang tidak. Ia tak bisa menganalisa, kapan ia harus menyerang, dan siapa yang harus diserang. Ia menjadi tak tahu mana lawan mana kawan. Sehingga sikap yang diambil adalah, asumsikan bahwa semua orang adalah lawan. Seperti juga semua anak yang kemudian berpikir, akan lebih aman kalau semua orang saya anggap sebagai Emon.

Wallahu alam.