Seribu satu ibu, siapa bintangnya?

personalised-learning-whySebagian teman-teman mungkin sudah pernah melihat gambar di samping ini.

Gambar di samping ini biasanya banyak muncul saat musin UN. Pesan yang ingin disampaikan melalui gambar ini adalah: bahwa setiap anak berbeda. Mereka punya potensi masing-masing, namun tak sama. Oleh karena itu, tidak benar kalau mereka diuji dengan cara yang seragam.

Sebagai pendidik, saya setuju dengan filosofi dasar itu. (1) setiap manusia punya potensi; (2)  potensi setiap manusia itu berbeda-beda. Yang ingin saya garisbawahi adalah kata “manusia”-nya. Manusia itu, adalah semua orang. Anak, remaja, dewasa; dengan peran masing-masing: sebagai siswa, sebagai istri/suami, sebagai ibu.

Sebagai lanjutan dari filosofi itu, maka dalam tataran aplikatif psikologi positif memberikan arahan:

(1) Identifikasi dan hayati kelebihan kita, maksimalkan. (2) Kenali dan akui kelemahan kita, belajar memperbaikinya namun kita kenali batasnya.

Orang yang telah berhasil melakukan dua hal diatas, akan tumbuh menjadi pribadi yang “lentur”, atau bahasa psikologi-nya “resilient”. Bahasa populernya tangguh, kuat.

Anak-anak yang  kenal dan menghayati kelebihannya di satu sisi namun mengakui kelemahannya di sisi lain, akan bisa menertawakan kelemahannya tanpa merasa harga dirinya terluka. Karena ia masih punya “harga” dalam hal yang lain. “Iya, gue emang bego banget kalau belajar matematika. Tapi kalau main basket, gue jagonya. Makanya kalau belajar matematika gue harus ekstra. Dan target gue nilai 80 aja udah cukup”.

Seorang suami yang  kenal dan menghayati kelebihannya di satu sisi namun mengakui kelemahannya di sisi lain, akan bisa menertawakan kelemahannya tanpa merasa harga dirinya terluka. Karena ia masih punya “harga” dalam hal yang lain. “Iya, Aa emang susah banget untuk bisa romantis. Tapi kalau Eneng dan keluarag besar Eneng butuh bantuan apapun, asal Eneng bilang, malaikat juga tahu, Aa yang akan jadi juaranya” (haha……. udah mulai romantis tuh si aa).

Seorang ibu yang  kenal dan menghayati kelebihannya di satu sisi namun mengakui kelemahannya di sisi lain, akan bisa menertawakan kelemahannya tanpa merasa harga dirinya terluka. Karena ia masih punya “harga” dalam hal yang lain. “Mendongeng buat anak sebelum tidur? duuuuh…saya mah angkat tangan. Tapi kalau cariin buku cerita yang seru, lalu bacain dengan cara yang seru, saya jagonya”.

Tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada ibu yang sempurna. Kita sudah tau itu. Masalahnya adalah di jaman medsos ini, informasi yang kita serap sebagian besar adalah informasi yang menggambarkan “kesempurnaan” seseorang.

Misal, kalau saya liat-liat di instagram, orang-orang yang posting foto disana teh meni gareuliiiiiiis banget. Yang bukan artis teh meni kayak artis semua. Haduuuh…stress sayah kalau suami sayah ketemu wanita di luar teh sekinclong itu semuah.  Tapi kalau dipikir pas lagi jernih, ya iya lah …mereka kan posting foto terbaik ya? hanya sedikit yang “berani” posting foto “jelek”nya. Maka, dunia di medsos adalah dunia maya. Bukan dunia nyata. Bukan realitas yang sesungguhnya.

Tidak ada anak yang sempurna. Kalau kita baca di medsos para ibu menampilkan prestasi anak-anaknya; sudah hafal sekian juz di usia semuda itu, memegang piala juara lomba main piano, terlihat foto sertifikat juara olimpiade, foto nilai NEM yang rata-ratanya diatas 9, atau kita membaca cuplikan pembicaraan ibu-anak dengan bahasa yang “dewasa”, atau membaca cerita betapa sholehnya anak usia belasan;  kalau kita lalu menganggap itu adalah realitas sesungguhnya semua anak di dunia,  dan betapa “gak punya apa-apa”nya anak kita, maka kita telah terjebak di dunia maya, dunia semu. Kita harus menjernihkan pikiran kita agar kembali ke realitas: tidak semua anak juara, tidak semua anak hebat. Anak-anak yang ditampilkan sebagai anak yang “hebat” itu, sebagai manusia pasti punya sisi “biasa” yang kebetulan tak ditampilkan oleh ibunya di medsos.

Tidak ada ibu yang sempurna. Kalau kita lihat di medsos ibu yang kreatif bikin bento untuk anaknya tiap hari dengan tema yang beragam, atau ibu yang sharing kurikulum dan worksheet homeschooling yang super keyyeen,  atau ibu-ibu yang bercerita betapa sabarnya ia menangapi kerewelan anak-anaknya, dan kita menganggap bahwa semua ibu di dunia ini seperti itu, lalu kita merasa kita tidak layak jadi ibu, maka… kita telah terbawa arus dunia maya. Kita harus kembali ke realitas. Ibu-ibu yang kreatif bikin bento, belum tentu telaten menemani anaknya bermain. Ibu-ibu yang keren bikin program homeschooling, belum tentu kreatif bikin makanan kesukaan anak-anak. Ibu-ibu yang sabar, belum tentu bisa tegas memberikan batasan.

Menjadikan orang lain sebagai panutan untuk menjalankan peran kita sebagai ibu dengan sebaik mungkin, adalah hal yang baik. Namun berusaha menjadi seperti “dia”, itu adalah salah. Karena kita bukan dia, anak kita tidak sama dengan anak dia. Kalau kita merasa panutan kita sempurna dan kita tak pantas serta tak layak jadi ibu karena tak seperti itu, kita telah melecehkan Allah. Allah yang maha sempurna tentu sudah mengukur; saat ia titipkan janin ke rahim kita, telah disertai potensi untuk menjalankan amanah ini dengan baik.

Potensi ini harus diasah, ya. Dengan cara memahami bahwa kita tidak sempurna. Allah sudah ciptakan kita dengan kelebihan kita. Maka, karena waktu kita hanya 24 jam sehari, kita boleh mencari informasi dari lingkungan. Melihat kreatifitas para ibu, membaca prestasi anak-anak lain, berbincang tentang isu-isu pengasuhan… Namun jangan terlena. Jangan sampai tidak ada waktu untuk berselancar menghayati kelebihan diri sendiri dan mengakui kelemahan diri. Berbincang dengan diri untuk mengevaluasi seefektif apa pendekatan kita sama anak kita.

Sekarang ini banyaaaak sekali grup-grup parenting, dengan segala macam bentuknya. Dengan beragam tipe narasumber. Ada yang bentuknya seperti guru-murid; ada yang bentuknya model-follower, ada yang bentuknya diskusi. Sebagai khtiar menjalankan peran sebagai ibu dengan baik, itu oke. Tapi ingat… mencari imu itu buahnya adalah amal. Segera setelah dapat suatu ilmu, amalkan. Monitoring. Evaluasi.

Kalau setelah dapat ilmu lalu kita jadi stress, jadi merasa tak pantas, jadi gak pede, anak kita kayaknya gak ada kelebihannya,  banyak kurangnya, anak kita bukan anak yang sholeh, nah…mungkin kita harus evaluasi kembali cara kita belajar.

Yang kita harus ambil itu adalah “prinsip”nya, bukan bentuknya. “Aduh, teteh itu mah kalau anaknya mau tidur dinyanyiin, pantes deket banget sama anak”. Bukan “nyanyi”nya yang harus kita ambil. Tapi prinsip bahwa ibu harus dekat dengan anak. Caranya? be your self, ibu ! bisa dengan jalan-jalan bareng, bisa masak bareng, nyalon bareng. Gimana taunya anak kita udah deket atau belum sama kita? kita yang evaluasi. Kita rasakan. Kita tanya anak kita. Kita akan tahu. Tapi kalau kita fokuskan energi kita untuk tanya tips dari orang lain, kepekaan kita jadi gak terasah.

“Aduh, ibu itu mah kreatif banget bikin stiker sebagai reward kalau anaknya disiplin”. Bukan kemampuan bikin stiker lutu nya yang harsu kita ambil, tapi konsistensi ngasih rewardnya. Caranya? be yourself ibu ! bisa pake “toples kebaikan”; beli toples lalu reward buat anaknya adalah dengan masukin kelereng… Gimana taunya cara kita efektif engga bikin anak disiplin?   kita yang evaluasi. Kita rasakan. Kita cermati kedisplinannya, meningkat atau engga. Kita akan tahu. Tapi kalau kita fokuskan energi kita untuk tanya tips dari orang lain, kecermatan pengamatan kita jadi gak terasah.

Jangan habiskan waktu untuk mengelola pertempuran emosi negatif dalam diri, apalagi bergumul untuk mencari jawaban: apakah saya ibu yang baik? apakah saya pantas? apakah saya layak?

Waktu kita sangat terbatas, sedangkan anak-anak, butuh emosi terbaik dari diri kita. Ibu yang mengenali dan menghayati kelebihannya serta mengakui kelemahannya, berusaha belajar namun tetap memaafkan ketidaksempurnaan diri, akan menjalankan perannya dengan harga diri yang tinggi namun tetap rendah hati. Dia tak akan patah dan menyerah. Dia akan menertawakan kegagalannya, lalu bangkit mencari cara lain.

Kalau ada 1001 satu ibu, ada 1001 kepribadian yang berbeda. 1001 potensi diri yang berbeda. 1001 gaya yang berbeda namun dengan prinsip kebaikan yang sama.  Tapi kalau 1001 ibu itu mencurahkan seluruh nerginya untuk mengamalkan, memonitor, mengevaluasi secara serius pengasuhannya, maka mereka semua adalah bintang. Dalam bahasa saya, mereka adalah bukan emak biasa. 

Memandang anak sebagai manusia

Dulu kulihat kau tersenyum
Mengulurkan tangan, hai siapa namamu
Awal kita bertemu
Bertatapan malu, penuh dengan bisu

Mengawali lembaran baru
Untuk mengukir
Sejarah yang takkan terhapus

Jangan berjalan di hadapanku
Mungkin aku tak dapat mengikutimu
Jangan berjalan di belakangku
Mungkin aku tak sadar kehilanganmu
Tapi berjalanlah bersamaku

Jadilah temanku …. selamanya

Beberapa hari lalu adalah hari anak nasional. Saya gak ngeuh, sampai sebuah stasiun TV lokal mewawancara saya mengenai anak dan gadget. Dalam rangka hari anak nasional, kata mereka. Gak tau jadi tayang gak wawancara itu hehe…

Banyak teman-teman saya yang mumpuni, membuat tulisan di hari h- hari anak nasional. Saya punya penghayatan tersendiri terkait dengan “anak”. Kalau dibaca di sejarahnya, “anak”, dulu gak “dianggap ada”. Lalu anak mulai  “dianggap ada”, namun dipandang sebagai miniatur orang dewasa. Orang dewasa dalam ukuran mini. Perkembangan selanjutnya, semakin menghargai anak sebagai “manusia” yang punya “dunia”nya. Punya cara berpikir dan  cara merasa yang berbeda dari orang dewasa. Berbeda, namun tak selalu immature. 

Saya mengamati, memandang anak sebagai seorang manusia yang punya potensi, kemampuan dan kebijaksanaannya sendiri itu, bagi orangtua, tidak selalu mudah. Termasuk saya. Penilaian bahwa mereka itu “inferior”, belum punya apa-apa, belum tau apa-apa, belum bisa apa-apa, membuat kita merasa bahwa sumber kekuatan anak 100% berasal dari sumberdaya kita sebagai orangtua.

Ya, memang ada masa-masa dimana hidup-mati anak tergantung pada kita. usia 0-2 tahun pastinya. Tapi selanjutnya…. 3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,….. saya melihat bahwa anak punya kemampuan dan kekuatan untuk menyelesaikan masalahnya, dengan cara mereka sendiri. Dan efektif. Misalnya, saya ingat si bujang kecil waktu kelas 2 suka lupa beresin buku sesuai jadwal. Sebagai solusinya, tiap hari dia bawa semua bukunya. Waktu itu, 4 tahun lalu, reaksi saya marah. Saya bilang dia males, bahaya bawa tas berat banget. Tapi selanjutnya, setelah jernih  berpikir, saya bisa melihat itu sebagai bentuk kemampuan menyelesaikan masalah dengan efektif. Masalah berat bawa buku? bener juga kata dia. Dia cuman bawa tas dari mobil ke kelas pas mau masuk dan dari kelas ke mobil pas pulang.

Bahasa teorinya adalah autonomy. Perasaan bahwa saya adalah makhluk yang “otonom dan berdaya”, itu merupakan bekal penting. Dari rasa itulah akan muncul perasan kompeten, percaya diri. Tapi…memberi kepercayaan pada anak, menghargai anak, itu memang susah. Tidak instan. Harus berproses.  Dan menurut pengalaman saya, proses yang bisa kita jalani adalah dengan membuka mata dan telinga lebar-lebar terhadap pengalaman anak. Mengamati bahwa mereka mampu, lalu kita akan percaya, anak merasa berharga dengan kepercayaan kita, membuat mereka semakin mampu, lalu kita makin percaya…teruuuus siklusnya gitu.

Saya ingat, dua tahun lalu, si sulung baru awal kelas 7. Sekolah si sulung memang menekankan teamwork. Maka, konsep angkatan pun dibentuk. Ada satu acara dimana mereka seangkatan, ber-72 orang, harus memilih ketua angkatannya. Tapi syaratnya adalah, tidak boleh pake cara voting. Harus musyawarah. Sejumlah kandidat terpilih akan dipisahkan dari mereka, lalu mereka harus bermusyawarah secra terbuka untuk mencapai kesepakatan siapa yang akan jadi ketua angkatan mereka.

Si sulung cerita bahwa di akhir, ada dua kandidat kuat, dan sulit sekali mencapai kata mufakat. Sampai berjam-jam. Yang jadi issu adalah, satu bukan alumni  SD yayasan tsb, yang satu lagi alumni SD yayasan tsb. Yang mendukung non alumni mengatakan bahwa meskipun mereka baru kenal beberapa bulan, tapi leadership anak ini bagus banget. Yang mendukung si alumni mengatakan bahwa mereka sudah kenal baik si kandidat ini 6 tahun. Dan mayoritas warga angkatan mereka adalah alumni SD yayasan tsb, jadi lebih tepat. Teruuuus beradu argument. Si sulung menceritakan dengan detil argumen-argumen dalam musyawarah itu.  Saya mendengarkan sambil…..jujur saja, terkaget-kaget. Anak-anak umur 12 tahun itu, buah pikirannya amazing banget. Gagasan-gasan dan pertimbangannya, komprehensif banget. Kalah lah para pendukung fanatik capres  ini capres itu yang berpikirnya gak jernih mah.

anakCerita si sulung itu adalah salah satu titik yang membuat saya menjadi percaya bahwa anak khususnya usia SMP, harus kita perlakukan secara “setara”. Kita hargai pendapatnya, kita dengarkan. Kenapa? karena mereka sudah punya kemampuan untuk kita hargai.

Coba baca bait-bait yang saya tuliskan di awal. Indah bukan? Dalem banget. TErutama bagian reff-nya. Itu adalah lagu angkatan si sulung. Kalau denger nadanya, instrumen yang mengiringinya; gitar, biola…. bakalan berkaca-kaca deh. Keren banget ! dan itu karya anak-anak umur 14 tahun !

Maka, terutama pada si remaja, kalau kita bepikir “ibu yang paling tau, kamu gak tau apa-apa!” “harus nurut sama orangtua, kamu belum ngerti apa-apa”….. ah, engga banget deh. Jangan-jangan kita sedang mengabaikan fitrah yang Allah berikan pada anak-anak kita.

Menghargai kebijaksanaan anak, adalah akar gunung es yang permukaannya akan tampak dalam bentuk: mendengarkan, menghargai, memberikan ruang untuk  pilihan anak. Sungguh, itu tak mudah. Maka, kiat harus memupuk keyakinan bahwa anak layak kita percaya dengan cara: mengamati dengan rendah hati bagaimana anak-anak kita menyelesaikan masalah-masalahnya dan berkarya.

Captain America vs Hulk : Obrolan Cinta dengan Kaka

Beberapa minggu lalu, kayaknya sebagai bagian dari promosi buat film Spiderman Homecoming yang tayang di bioskop, TV kabel yang kami langgan memutar film-film Marvel. Saya gak pernah tertarik untuk nonton film action kayak gitu. Lebih seneng drama tentunya. Tapi nemenin si sulung dan si bujang, jadilah saya nonton Captain America: Civil War. Seru juga ternyata. Dan Karena itu adalah sekuel terakhir dari film-film Marvel, maka sepanjang nonton saya terus nanya-nanya terus tentang tokoh2 disana. Si sulung dan si bujang menjawab: “Ibu…kalau ibu mau ngerti, ibu harus nonton Captain America: First Avenger, Captain America: Winter soldier, Thor, Thor The Dark World, Avenger, Avenger Age of Ultron, The Hulk, Incredible Hulk, Iron Man 1,2 dan 3″. Ya ampuun …. banyak amat. Mereka taunya dari mana ya? Harus bareng nih kalau nonton film-film kayak gitu. Daaaaan….seminggu itu, pas anak-anak belum masuk sekolah, sebagian film yang disebutkan si sulung dan si bujang, tayang juga. Jadilah tau sejarah Thor punya hammer, siapa itu Bucky dan Loki, Vision itu siapa, dll dll. Khatam lah pokoknya chapter Avengers kkk.

avengerWaktu itu, 4 hari si bujang kecil dan si gadis kecil ikutan kegiatan liburan. Si bungsu bobo siang. Jadilah saya dan si sulung nonton Avenger berdua. Sambil rebutan gurilem cemilan kami. Setelah nonton, saya tanya si sulung: “Kaka, dari Avengers Kaka paling seneng sama siapa?” Sepersekian detik, dia langsung jawab: “Kapten Amerika!”. “Kenapa?” tanya saya. Nah, bagian mendengarkan jawaban dari pertanyaan kenapa yang saya ajukan ke anak-anak, selalu seru dan selalu saya nikmati. Saya selalu excited mendengarkan pikiran dan perasaan anak-anak umur 5,8,11, dan 14 tahun itu. Teknik proyeksi kalau dari sudut pandang psikologi mah.

“Ya jelas lah ibu…..ganteng. Terus baik banget. Ibu inget kan waktu latihan trus dilemparin granat tea? yang  waktu dia masih ceking? trus dia teh malah meluk granat itu buat ngelindungin temen-temennya? so sweet banget …” Begitu jawab si sulung. Haha…memang sih..kalau film ini dimaksudkan untuk membentuk citra yang baik pada “prajurit Amerika”, film ini berhasil banget. Banget.

Lalu si sulung bertanya pada saya: “Kalau ibu suka sama siapa?” Saya jawab: “Dr. Bruce Banner”. “Haaaaah…beneran Bu, Ibu suka sama Hulk?” matanya membelalak tak percaya. “Bukan Hulk Kaka, Dr. Bruce Banner. Memang dia berubah jadi Hulk, tapi kan dia sendiri bilang Hulk itu the other guy. Beda sama dia”

“Ih, aneh ibu mah. Dia kan paling gak ganteng ibu”…… “Iya, tapi dia teh menurut ibu paling menonjol inner beautynya. Humble banget. Itu yang gak terlalu dimiliki yang lain. Padahal dia kan pinter banget. Dia tau banget kelemahan dia, dan dia berjuang mengendalikan. Kan dia mengabdikan dirinya di India”. Saya menjelaskan. “Tapi wajar sih Kaka pilih Kapten Amerika. Ibu juga kalau seumur Kaka pasti pilih Kapten Amerika”. Kata saya lagi. “Haha…iya Kaka juga ngerti kenapa Ibu suka sama Bruce Banner. Ibu kan udah tua haha….” nikmat banget ketawa si sulung.

“Yah, tapi itulah Ka…..rasa cinta itu berevolusi. Kalau seumur Kaka, meskipun ada unsur pertimbangan “baik atau engga”nya, tapi tampilan fiisk pasti yang utama. Pasti Kaka juga suka sama cowok pertimbangan utama karena menarik secara fisik. Bikin degdegan. Begitu juga Kaka disukain cowok karena fisik Kaka. Kalau kata teori, itu namanya romantic love. Gak salah sih. Kalau kayak Kapten Amerika ganteng dan baik, alhamdulillah. Tapi pada kenyataannya nanti, seringkali kita harus memilih. Antara ‘suka’ karena perasaan atau “suka” karena rasional, karena kualitas dirinya.”

“Nah, kualitas diri itu, baru ajeg kalau udah dewasa. Makanya, gapapa kalau Kaka suka dan disukai sama temen seumur Kaka. Tapi kalau memutuskan untuk memberikan seluruh diri kita sama orang itu saat ini, kayak misalnya berhubungan sex, itu salah banget. Simpan dulu aja rasa suka itu dalam hati. Karena belum keliatan kualitas sesungguhnya dari orang itu.” 

“Nah..kalau udah seumur ibu dan abah, fisik tuh udah gak penting lagi. Seganteng-ganteng orang, kalau udah tua ya gak ganteng lagi. Jadi gendut lah, botak lah, apalagi kalau udah kena penyakit. Suka sama fisik itu, kalau dijadikan satu-satunya pertimbangan, akan bentar banget bertahannya. Kalau udah seumur ibu dan abah, yang membuat jatuh cinta adalah kebaikan hati. Jadi kebaikan hati itu yang harus jadi pertimbangan utama. Kayak Dr. Bruce Banner haha….. Bayangkan kita akan hidup bersama dengan orang itu, menderita banget kita kalau dia ganteng tapi nyebelin”

“Tapi kalau ada yang kayak Kapten Amerika ganteng terus dan baik, oke kan bu?”//Iya sih, tapi kayaknya model gitu cuman ada dua orang Ka, satu udah meninggal satu lagi belum lahir” 

Hahaaa…kami pun tertawa nikmat bersama.

Kurang lebih dua tahun menjadi ibu dari seorang remaja, saya mengalami betapa sulitnya membuka dan menjalin komunikasi yang menyenangkan dengan mereka. Padahal nilai-nilai kehidupan justru kritis harus masuk di masa ini, sejalan dengan “studi kasus nyata” yang mereka hadapi sehari-hari. Dalam beberapa tulisan sebelumnya saya menuliskan pengalaman sulitnya “membuka pintu” masuk obrolan dengan remaja. Kalau sama adik-adiknya, gampang. Tinggal bilang: “sini, ibu peluk”. Dan sambil memeluk mereka, gampaaaaang banget ngajak ngobrol apapun. Dari yang remeh temeh gak penting, sampai dengan suara dari lubuk hati terdalam.

Nah kalau sama si remaja? meluk? kalau gak dalam konteks pamit, aneh banget. Ujug-ujug ngajak ngobrol? udah saya coba. Awkward banget. Obrolan dengan para orangtua remaja, membuat saya menyimpulkan bahwa hal yang paling sulit mengasuh remaja adalah, membuka obrolan untuk masuk ke konten “serius”

Maka, obrolan ringan seperti yang terjadi di atas, sangat saya nikmati. Saya merasa sudah menemukan satu lagi pintu masuk, menambah koleksi “pintu masuk” lainnya. Dan seperti yang dituliskan di beragam buku, remaja usia SMP itu, masih membutuhkan orangtuanya. Mereka senang ngobrol, haha hihi, curhat sama teman sebayanya. Tapi mereka juga masih enjoy ngobrol, haha hihi dan curhat sama orangtua serta sudara-saudaranya.

Saya sangat suka dengan perumpamaan mengasuh remaja itu seperti bermain layangan. Kadang benangnya kita ulur sampai tak terlihat, kadang kita tarik dan kita pegang. Tapi yang jelas, benangnya jangan sampai putus. Nah, mempertahankan agar benang itu tak putus, saya rasakan bukan hal yang mudah. Karena kalau sudah putus, sulit. sangat sulit menyambungkannya lagi. Maka, sekali lagi, obtrolan ringan dan lucu seperti ini, sangat saya nikmati dan saya syukuri.

 

WARAS

Pagi ini, saat saya melepasnya untuk berangkat sekolah, si bungsu yang lagi bangga-bangganya karena jadi “anak TK B” itu bertanya:

“Ibu, ibu pergi gak hari ini?”. Saya jawab : “engga, ibu mau ngerjain di rumah aja”. Hari ini saya dikepung deadline pengerjaan disertasi. Ada tiga PR yang harus selesai hari ini. Biasanya, jawaban “engga” dari saya terhadap pertanyaanya membuatnya bersorak kegirangan. Lalu dia akan memeluk saya dengan bahagia. Tapi hari ini berbeda. Segera setelah saya menjawab, wajahnya merengut dan lalu ia berkata: “kenapa sih ibu ada di rumah terus? De Azzam kan udah lama engga ke rumah teh Rini. De Azzam kangen ke rumah teh Rini”. Memang sejak setahun belakangan ini, sejak saya berstatus tugas belajar, mayoritas waktu saya habiskan di rumah, di meja kerja saya.

Kalau si bungsu adalah sulung, sepertinya saya sudah akan shock, lalu “down”. Seperti beberapa tahun lalu saat si sulung lebih memilih bermain dengan pengasuhnya ketimbang dengan saya, perasaan “marah, kesal, merasa ditolak, lalu merasa tidak kompeten” itu hadir. Tapi hari ini, setelah punya 4 anak dan menjalani 15 tahun sebagai ibu, saya bisa menjawab reaksi si sulung dengan senyum manis dan kata-kata: “Walaupun ibu ada di rumah, engga apa-apa kok De Azzam main ke rumah teh Rini kalau memang de Azzam kangen”. Jawaban saya, membuatnya melompat kegirangan, dan saya pun mendapat pelukan erat dan kecupan hangat.

Setelah si bungsu pergi beberapa menit lalu, percikan-percikan memori muncul. Meskipun sedang minim bersosmed, tapi sesekali saya buka, tampaknya akhir-kahir sedang rame tema mengenai menjaga kewarasan seorang ibu. Sudah banyak yang mengulas hal-itu dari berbagai sisi. Dan percikan memori saya, terkait dengan itu.

Siapakah teh Rini yang rumahnya dikangenin si bungsu? Teh Rini adalah istri sopir saya. Rumahnya di depan komplek, dekat. 5 tahun lalu, saat teh Ema, pengasuh anak-anak yang sudah 10 tahun bersama kami menikah, saya kemudian tidak menemukan “jodoh” pengasuh lagi. Akhirnya, pada masa itu, si bungsu yang berusia 6 bulan dan baru disapih ASI eksklusif serta si gadis kecil yang berusia 3,5 tahun, saya boyong ke Jatinangor tiap pagi. Di sana, saya titipkan di penitipan anak untuk civitas academica UNPAD. Jujur saja, itu masa “terkelam” dalam pengasuhan anak-anak saya. Saya bahkan sama sekali  tidak punya foto selama beberapa bulan anak-anak saya di sana.

Bukan, bukan karena layanan di sana tidak bagus. Ini lebih ke penghayatan. Hati nurani saya mengatakan bahwa bayi berusia 6 bulan plus anak usia 3 tahun, harusnya berada di rumah. Setiap kali meninggalkan mereka disana, hati saya remuk rasanya. Tangis saya, lebih kencang dibanding tangis anak-anak saya yang tak mau ditinggalkan. Bedanya, tangisan saya saya simpan dalam hati.

Saat itu, saya memang minta bantuan teh Rini untuk beberes rumah. Suatu hari, teh Rini dan Pak Ayi bilang ke sana:“Bu, saya kasian liat anak-anak dibawa ke Jatinangor. Gimana kalau sama saya aja? tapi saya gak bisa seharian di rumah ibu. Gimana kalau saya bawa ke rumah?”. Saat itu, putera kedua teh Rini memang seusia si gadis kecil, 3 ,5 tahun, gak mungkin ditinggalkan. Jujur saja, saat itu saya keberatan. Saya pernah mendengar seorang teman saya, anaknya kena TBC karena ternyata rumah pengasuh yang ia titipi udaranya lembab dan tidak higienis. Untuk mengatasi kecemasan itu, saya mengecek rumah teh Rini. Bersih. Karakter teh Rini, tak diragukan lagi sangat responsif dan telaten. Meskipun tak berpendidikan tinggi, Pola asuh yang ia terapkan pada anak-anaknya sangat baik. Hangat, ada aturan yang jelas, memberi ruang juga bagi anak. Bahkan teh Rini ini terkenal kalau ada anak-anak di sekitarnya yang gak mau makan, kasih ke Teh Rini, anak itu akan mau.

Oke, secara objektif tidak ada masalah. Pilihan menitipkan si bungsu dan si gadis kecil sepulang sekolah Play Group di rumah teh Rini adalah pilihan yang jauh lebih baik. Saya mulai menjalani. Satu hari, dua hari, satu minggu, ternyata saya menghadapi “rintangan’ lain. Psikologis. Judgement orang lain. Bukan satu dua kali saya mendapat reaksi “negatif”, baik verbal ataupun non verbal ketika orang bertanya dan saya menjawab bahwa anak saya, selama saya di kampus, dititipkan di rumah pengasuh, saya lalu akan menjemputnya sepulang dari kampus. Dan seperti yang diungkapkan beberapa ibu muda yang merasa “dibully” mengenai caranya menjaga kewarasan, I do feel it. Saya sangat bisa merasakannya.

Secara rasional saya bisa berargument bahwa pilihan saya jauh lebih baik dibandingkan pilihan orang-orang yang berkomentar negatif. Tapi penilaian “ibu macam apa kau ini!” itu, terasa menusuk.  Beberapa tahun saya hidup dengan perasaan itu. Berkali-kali saya curhat dan tanya ke Mas, dan selalu keluar jawaban rasional: “Apa masalahnya? dirimu kan malah jadi bisa ngasih quality time pas pulang. Dibanding dulu sedih terus. Anak-anak juga perkembangannya bagus.”

Ya, memang benar sih. Karena ketelatenan teh Rini, kondisi kesehatan si bungsu bagus. Gendut, karena makannya bagus. Mandiri. Ia adalah satu-satunya anak saya yang gak pernah ngompol di kala tidur malam. Anak dua tahun itu, setiap mau tidur disiplin pipis dulu “kata teh Ini halus pipis dulu” . Tapi dalam penghayatan saya, masalah melebar terkait dengan judgement pilihan bekerja vs di rumah. Waktu saya curhat ke Mas, jawaban Mas: “Aku udah bilang beribu-ribu kali. aku ridho. Dirimu beraktivitas di luar rumah, itu pilihan kita. Secara pribadi dulu aku lebih seneng dirimu di rumah. Tapi aku tau, dirimu bisa gila kalau di rumah aja. Dan dirimu punya potensi untuk berkembang di luar. Selama dirimu bisa atur waktu, gak ada masalah apapun. Bantu orang lain, kita niatkan mencari berkah buat keluarga kita”. 

Baru mungkin 2 tahun lalu rasa “dijudgement negatif” itu hilang. Komentar orang lain, tetep sama. Sindiran-sindiran di meme, tak berubah. Tapi saya bisa “lempeng’. Saya bisa menjelaskan argumen-argumen saya secara rasional. Terkadang, saat saya sangat lelah, sepulang dari kampus saya engga langsung mampir jemput anak-anak. Saya pulang dulu, mandi dulu, relaksasi dulu, lalu jemput anak-anak ke rumah teh Rini. anak-anak senengnya jalan dari rumah teh Rini sampai rumah. Sambil saling bercerita tentang apa yang kita alami masing-masing.

Reaksi “dunia” tetap sama. Tapi ada yang berubah, dalam diri saya.  Saya tidak peduli apa yang dunia katakan mengenai pilihan saya. Saya yang merasakan dampaknya. Dalam perjalanan 15 tahun menjadi ibu, saya pernah merasakan episode hidup dengan perasaan bersalah, episode merasa jadi monster buat anak-anak saya saat saya berkutat dengan masalah pribadi saya. Episode berteriak keras pada anak-anak yang tak bersalah kala kondisi sedang stress karena kelelahan.

Pengalaman saya, plus pertemuan saya dengan beragam ibu yang merasa sulit menemukan fithrah keibuan mereka pada anak-anaknya, membuat saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya, judgment negatif itu sebenarnya berasal dari diri kita, bukan dari dunia. Diri kita lah yang menjudge bahwa pilihan dan apa yang kita lakukan itu salah. Bagian-bagian dari diri kita lah yang belum saling berdamai. Karena jika bagian dalam diri kita sudah berdamai, seluruh penilaian dari luar diri kita akan menjadi tak bermakna buat kita.

Maka, Dari pengalam ini, saya ingin mengatakan pada para ibu-ibu muda: Kewarasan seorang ibu itu, adalah yang utama dan yang pertama.

Energi kita, fokuskan untuk berbincang dengan suami. Membuatnya memahami kondisi kita, mendengarkan nada keridhoan atau ketidakridhoan darinya, berdiskusi menemukan solusi terbaik. Jangan habiskan energi untuk mendengarkan evaluasi dari orang lain. Satu-satunya yang perlu kita pedulikan adalah evaluasi terhadap kualitas pengasuhan yang kita berikan pada anak-anak. Jangan habiskan energi untuk membandingkan  standar kebahagiaan keluarga dengan orang lain. Satu-satunya yang harus  dipedulikan adalah kebahagiaan anak dan suami kita.

sanity-insanity-road-signDan yang jauh lebih penting adalah, jangan habiskan energi untuk berbincang dengan orang lain. Porsi berbincang dengan diri sendiri harus lebih besar. Berdamai dengan komentar orang lain memang perlu, tapi berdamai dengan gugatan dari bagian diri kita yang lain, adalah yang paling penting. Damaikan diri dan maafkan diri kalau tak sempurna, maka kita tak perlu lagi beradu argumen dengan dunia.

 

(Jangan) memuji tanpa peduli ; catatan tentang ilmu memuji

Beberapa tahun lalu, saya janjian untuk ngobrol bareng sobat saya. Karena saya beres lebih awal, maka saya menjemput ke kantornya. Saat saya menunggu di lobi kantornya, terdengan suara : tak…tok..tak..tok… Suara hak sepatu yang mau tidak mau membuat mata saya teralih ke asal suara. Suara itu berasal dari suara hak sepatu seorang wanita. Seorang wanita yang memakai baju berwarna terang ngejreng, dengan aksesoris berupa kalung dan gelang yang menarik perhatian baik dari segi bentuk, ukuran dan motif. Wajah perempuan itu, full make up. Menor lah. Secara keseluruhan, terlihat wanita itu seperti akan ke pesta gitu. Masalahnya adalah, ini di sebuah kantor. Kantor yang aktivitasnya lebih sifatnya ke “edukatif”. Keberadaan wanita itu di sana, seperti sebuah….disharmoni. Gak match. Kalau wajah saya difoto saat itu, 100% sudah pasti gak KOBE alias gak “kontrol beungeut” hehe. Saking “khusyuk”nya perhatian saya tersedot pada si wanita, saya tak sadar teman saya sudah berada di samping saya.

Gue tau apa yang ada di pikiran lo” katanya. “Too much kan?” katanya. Lalu tanpa saya minta, ia bercerita panjang lebar tentang si wanita, yang ternyata salah satu staff di kantor ini.  “Meskipun gue bukan orang psikologi, tapi gue dan beberapa teman bisa menilai lah, dia tuh butuh perhatian besar dari lingkungan. Awalnya dulu dia gak gitu. Biasa aja. Trus mulai pake baju warna ngejreng yang menarik perhatian. Orang-orang pada komentar : kereeen. Meskipun yang berkomentar itu ada yang beneran, ada yang cuman “basa-basi”. Selanjutnta, karean udah biasa dia pake baju gitu, udah gak ada yang komentar lagi. Lalu dia mulai pake aksesoris. Asalnya kalung kecil. Dipuji keren, trus gak ada yang muji lagi, dia tambah lagi, sampai sekarang kalungnya jadi segede-gede gaban gitu. Lalu dia mulai pake make up. Orang-orang komentar: cantiiik… Saampai sekarang, kita suka sebel banget dia yang nyari komentar: keren gak? cantik gak? Dan lu liat sendiri dia jadinya gimana. Dan gue jadi sebel sama temen-temen gue yang masih aja ngeladenin dia. Muji-muji yang bikin dia gak nyadar kalau sebenernya dia udah berlebihan. Trus di belakang ngomongin kalau dia berlebihan. Gue pengen ngingetin kalau dia udah jadi bahan ejekan orang di belakang.  Tapi gimana ya, gue gak terlalu deket ama dia. Gak ada yang deket sebenernya. Jadi sekarang kita sepakat gak muji-muji dia lagi. Apa sih istilah psikologinya? gak ngasih reinforcement ya? atau reward? Bukan. Bukan kita jahat. Tapi menurut gue, kita tahu dia haus  perhatian, craving for pujian, lalu kita ngasih pujian yang dia pengen  tanpa peduli apa akibatnya buat dia, itu yang justru jahat banget. Kayak kita menjerumuskan dia”. 

Panjang lebar penjelasan (plus curcol) teman saya, mengingatkan saya pada Buku Tafsir Al Misbah Karya  Pak Quraish Shihab saat beliau memaparkan tafsir ayat ke  2 surat Al Fatihah. Alhamdulillahi Robbil Alamiin. Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam.

Pada paparannya, Pak Quraish membedakan antara memuji dan bersyukur. Pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik walau ia tidak memberi sesuatu kepada si pemuji. Sedangkan syukur adalah mengakui dengan tulus dan penuh hormat pemberian yang dianugerahkan oleh siapa yang disyukuri itu.

Pak Quraish juga memaparkan ada 3 unsur dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga dia wajar mendapatkan pujian: (1) Indah (baik); (2) Dilakukan secara sadar; (3) Tidak terpaksa/dipaksa. Di poin ini, saya jadi memahami kebingungan saya beberapa tahun lalu. Saat itu, ada seorang wanita Indonesia yang berpose bugil untuk sebuah majalah laki-laki dewasa. Tentu kontroversial, menuai cacian dan pujian. Pihak yang memuji mengatakan bahwa ia layak diapresiasi karena “keberaniannya mengambil resiko mendapatkan cacian” (mengingat saat itu baru kasus pertama yang terekspose). Bener juga ya. Disitu saya jadi bingung. Tapi kalau wanita itu dipuji karena “keberaniannya mengambil resiko”, para perampok dan pembunuh juga harus dipuji atuh. Kurang berani apa coba mereka? Nah. Setelah membaca paparan ini, saya jadi mengerti. Bahwa syarat pertama memuji itu adalah jika perilaku yang akan kita puji memenuhi syarat ke-baik-an. Dan ini sejalan dengan teori Psikologi yang memposisikan pujian sebagai penguat perilaku. Tentu sebagai orang beragama, kita ingin perilaku yang dikuatkan adalah perilaku yang baik.

Paparan lain mengenai puji memuji ynag disampaikan oleh Pak Quraish adalah, Allah mengajarkan manusia memujiNya dengan kata yang amat sederhana. Padahal Dia adalah Sang Maha. Pujian yang berlebihan sangat efektif menumbuhkan keangkuhan, ujub dan kesombongan. Manusia mana yang gak seneng dipuji? Fitrahnya manusia itu senang akan pujian. Maka, kalau kita memuji seseorang, seseorang itu akan cenderung mengulangi dan meningkatkan perilaku yang dipuji tersebut.

Yang terakhir, Pak Quraish menyampaikan bahwa dalam ayat kedua Surat Al Fatihah ini, pujian dikemukakan dalam bentuk persona ketiga, seakan-akan yang dipuji tidak berada di hadapan yang memuji. Ini adalah pelajaran agar pujian tidak disampaikan  langsung dihadapan yang dipuji.

……

Setiap kali saya membaca tafsir Al Qur’an, saya sellau tersadar bahwa agama ini sungguh-sungguh sempurna, dan Al-Qur’an sungguh-sungguh petunjuk hidup. Dikaitkan dengan Psikologi sebagai ilmu “dunia”, kalau kita memahami setiap hal yang ada dalam Al-Qur’an, maka gak akan ada lagi duni vs akhirat. Orang yang nantinya masuk syurga, akan sangat mempesona juga ia bagi orang lain di dunia. Setiap hal secara detil diungkap dan diarahkan oleh AL Qur’an.

Di zaman ini, mudah sekali bagi kita untuk memuji dan dipuji. Di era medsos, ada tombol like, tombol “love”. Kalau kita buka instagram, akan banyaaaaak komentar2 bernada pujian. Cantiiiiiiiiiiiiiiiik!!!! kereeeeeen !!!! so sweeeeeeet !!!! . Mudah sekali buat kita melontarkan pujian. Mudah juga buat kita menuai pujian. Tapi ternyata, memuji itu ada ilmunya juga. Saya menyebutnya, memuji dengan peduli. Tak semua hal harus kita puji, Dan kalaupun harus kita puji, ternyata ada caranya biar pujian kita, tidak menjerumuskan teman-teman kita.

Sejak tgl 7 kemarin, timeline saya bertabur pujian pada sepasang mempelai yang bikin “baper dunia akhirat”. Pujian setinggi langit. Saya ingat, meskipun saya tak mengenal si pemuda “impian” itu, namun saya pernah berdoa khusus untuknya. Berdoa agar ia dikaruniai kekuatan dan tetap berdiri tegak dalam keikhlasan di tengah lautan pujian terhadap “kesempurnaannya”. Itu sungguh tak mudah. Dalam skala yang jauuuuuh lebih kecil, setiap kali mendapatkan banyak pujian, terasa betul bahwa itu bisa mneghanyutkan, bahkan potensial membuat kita teralihkan dari esensi yang ingin kita tuju dari perilaku kita. Itu dampak yang tak kasat mata.

Kalau kita perhatikan, pada orang-orang tertentu, kita tahu bahwa pujian kita berdampak buruk, secara kasat mata. Ambil contoh temannya teman saya tadi. Atau saya ingat, teman saya pernah cerita kliennya senang sekali mencoba bunuh diri karena ketika ia memposting tetesan darah dan tangannya yang teriris saat ia berniat memotong nadinya, pujian yang ia terima. Saya selalu berpikir. Kalau kita tetap memuji walaupun tahu itu bisa “menjerumuskannya”; bukankah kita telah menanam saham keburukan yang harus kita tanggung juga? misalnya teman kita pasangan yang belum menikah. Lalu posting foto mesra. Kita jempolin atau kita puji “so sweeeet”. Nah, setiap kali di pasangan itu semakin mesra karena ter-reinforce perilakunya oleh pujian kita, bukankah kita dapat dosanya? Atau setiap kali orang yang kita puji “sholeh banget” itu merasa ujub, bukankah kita berkontribusi dan dapat juga dosanya?

I Care Maka, sekali lagi, ternyata semua hal ada ilmunya. Pantaslah wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah adalah “Iqro”; membaca; menelaah; mencari ilmu. Ini  saatnya kita mengevaluasi lagi apakah mudahnya kita memuji orang lain diiringi oleh rasa peduli pada dampak pujian kita terhadapnya. Apakah akan membuat ia terjaga  kebaikannya, keselamatannya; atau kita tidak peduli.

Kalau kita peduli, kita akan memikirkan cara dan konten pujian kita. Kan katanya, lawannya cinta bukan benci, melainkan tidak peduli.

 

Sumber : Tafsir Al Misbah. Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an;. Volume 1;  M. Quraish Shihab; Lentera Hati; 2000; hal. 26-29.

Sumber Gambar : http://bcchewteachingblog.blogspot.co.id/2012/02/individual-assignment-of-blhc4062-due.html

 

 

 

Collateral Damage Sekolah Favorit : waspadalah ! waspadalah !

Satu bulan terakhir  ini adalah bulan yang “panas” buat para ortu yang anaknya akan masuk SMP, SMA dan atau Perguruan Tinggi. Ketegangan menunggu pengumuman NEM, disusul dengan ketegangan menunggu pengumuman sekolah. Saya sendiri baru akan memasuki zona “ketegangan” itu tahun depan, saat si sulung keluar SMP. Tahun depan, si sulung akan masuk SMA, si bujang kecil masuk SMP, si bungsu masuk SD. Si bujang kecil yang akan masuk SMP gak akan terlalu bikin tegang. Karena kami sudah memutuskan ia akan masuk SMP swasta, yang sistem maupun persaingannya tak akan se”panas” masuk sekolah negeri, terutama negeri “favorit”. Jadi, tahun depan adalah pengalaman pertama memasukkan anak ke SMA negeri melalui sistem PPDB yang setiap tahun selalu meninggalkan cerita.

Tema-tema status dan tema-tema obrolan di wag-wag, banyak memaparkan “ketegangan” para ortu. Apakah anak-anaknya pun ikutan tegang? wallahu alam. Saya gak punya akses ke mereka. Ada sebagian ortu yang mengatakan anaknya mah lempeng-lempeng aja hehe… Tapi who knows…. wallahu alam saya gak tahu.

Karena “panas”nya topik ini, saya juga jadi terpapar beberapa informasi, misalnya informasi nem-nem yang sudah mendaftar ke sekolah-sekolah favorit, peserta yang mendaftar ke sekolah favorit vs kuota yang tersedia. Membaca angkanya, saya sempat bergidik. Gile…zaman saya dulu, yang rata-rata 9 itu udah istimewa banget. Tapi kini, nem 27 buat anak SD atau 36 buat anak SMP, itu kayak “ga ada apa-apanya”.

Kenapa ya? apakah anak-anak sekarang demikian pinter-pinternya? atau, soal UN-nya gak punya “daya diskriminasi” yang baik sehingga tidak bisa “membedakan” kemampuan anak yang satu dengan yang lainnya? Atau …. seperti kasak-kusuk selama ini, ada upaya meng-up grade nilai di tiap sekolah? wallahu alam.

Tapi nilai-nilai yang tinggi ini berdampak pada satu hal : persaingan yang ketat untuk masuk “sekolah favorit”. Nah, ini yang ingin saya ulas. Sekolah favorit itu yang kayak gimana? Di semua kota, sudah ada label SMA favorit:  SMA ini SMA itu. SMP favorit: SMP ini SMP itu. Kefavorit-an sekolah-sekolah tersebut membuat banyak orangtua (dan anak?) menetapkan sekolah-sekolah itu menjadi tujuan. Di beberapa bimbel, ada program khusus intensif untuk menembus SMP itu dan SMA ini. Harganya, tentu lebih mahal dibandingkan program biasa.

Dugaan-dugaan mengenai “kecurangan” serta “tidak transparansnya” sistem di beberapa sekolah favorit sering muncul dalam obrolan, membuat kecewa orangtua yang “jujur”. Tapi tetep aja pengen anak-anak kita  masuk kesitu. Padahal iklim sekolahnya berarti kurang positif. Atau ada aspek penting lain yang kita perjuangkan?

Yang harus kita renungi sebenarnya adalah…mengapa sekolah-sekolah tersebut disebut favorit? karena bagus? oke, bagus dalam hal apanya? Beberapa hari yang lalu saya mendengar kabar di sebuah kota sebuah provinsi, sistem PPDB nya membuat anak-anak yang ber-NEM tinggi “takut” untuk mendaftar di sebuah sekolah favorit. Akibatnya, sekolah favorit itu kekurangan kuota dan akhirnya “terpaksa” menerima anak-anak dengan NEM “berapapun”. Salah seorang orangtua yang anaknya bernilai tinggi dan diterima di sekolah favorit tersebut, merasa resah. Ia mengatakan: kalau input anak-anaknya seperti itu, gimana kualitasnya? padahal ia memilih sekolah itu karena “kualitasnya”. Hal ini membuat saya menjadi berpikir: jadi ke”hebat”an, ke”bagus”an, ke”favorit”an sekolah itu pada aspek apa-nya? guru-nya kah? fasilitas-nya kah? input anak-anak yang masuk-nya kah? persaingan-nya kah? atau ….. “kebanggaan atas nama besar”nya?

Nah, yang terakhir itu, “kebanggaan atas nama besarnya”, psikologis sekali. Saya mendengar bahwa melalui sistem PPDBnya, Pemerintah kota tengah mengupayakan “penghapusan” favoritisme sekolah. Idenya ingin seperti di luar negeri: setiap sekolah unggul karena menyerap putera-puteri terbaik di daerah sekitar sekolah tersebut. Saya mendengar bahwa aspek-aspek yang terkait dengan sekolah, misalnya guru: dirolling. Fasilitas disamakan. Namun sepertinya itu tak banyak berdampak. Mungkin akarnya karena favoritisme itu terkait dengan aspek psikologis. Dan endorsement terhadap aspek psikologsi ini, sangat kuat. Apalagi di jaman medsos dimana semua informasi terpapar gamblang.

Maka, bisa jadi semua upaya penghapusan favoritisme sekolah itu menjadi hanya basa-basi. Misalnya saja, salah satu pejabat yang mengkampanyekan gagasan “Sekolah dimana saja sama saja”; namun pas putera/puteri-nya masuk di salah satu sekolah favorit, mengupload kebanggaan tak terkira. Lewat gambar, lewat kata-kata.

“Identitas kelompok” memang menjadi salah satu fenomena yang khas di negara-negara collectivism. Kalau suami saya alumni SMA itu, saya keren. Kalau ikutan reuni sekolah ini, berarti saya orang hebat. Kalau ikut kegiatan ini, berarti saya orang shaleh. Kalau nulis tema ini, berarti saya orang intelek.

Apakah salah? engga sih.  Cuman dalam konteks sebagai orangtua yang harus mengajarkan nilai -niai kehidupan pada anak-anak kita, jangan sampai sikap kita salah ditangkap oleh anak.

Saya sangat bisa memahami alasan logis orangtua berusaha agar anaknya masuk ke sekolah favorit. SMP favorit akan mengntarkan anak ke SMA favorit. SMA favorit akan mengantarkan anak ke PT favorit. PT favorit akan mengantarkan anak ke pekerjaan favorit. Lalu apa?

Saya banyak mengenal orang-orang dengan “jalur favorit” itu. Lalu apa? mereka jadi bahagia. sukses. bermanfaat untuk orang banyak. Alhamdulillah. Pertanyaannya adalah: apakah jalur “favorit” itu merupakan satu-satunya cara dan satu-satunya jaminan bagi anak-anak kita untuk bahagia, sukses, bermanfaat untuk orang banyak? oh ada satu lagi ! kebanggaan. Kebanggan buat siapa? buat anak? buat orangtua?

Membuat anak menetapkan target mencapai nilai tertentu untuk masuk sekolah favorit tertentu, is oke. Menjelaskan pada anak bahwa dengan masuk sekolah SMP favorit, ia akan mudah masuk SMA favorit, sehingga nanti akan mudah masuk PT favorit dan dapat kerja favorit, is oke. Namun menanamkan bahwa itu satu-satu cara (baik dengan bahasa lugas maupun eksplisit, baik secara verbal maupun non verbal) bagi anak untuk SUKSES dan BAHAGIA, itu tidak oke. Apalagi menanamkan keyakinan bahwa  masuk di sekolah-sekolah favorit itu adalah SATU-SATUNya cara baginya untuk MEMBAHAGIAKAN orangtuanya, itu salah besar. Itu akan menghancurkan anak-anak kita.

Dramatis? ya. Tapi pada kenyataannya, itu banyak terjadi. Saya pernah bertemu seorang anak usia belasan yang merasa hidupnya sudah gagal. “Hanya” karena ia tak bisa masuk sekolah favorit yang ditargetkan.

suksesiKenapa ia merasa SELURUH HIDUPNYA telah  gagal? karena sepanjang hidupnya telah tertanam dalam pikirannya, bahwa standar kesuksesan baginya adalah HANYA jika ia masuk SMP itu, masuk SMA itu, masuk JURUSAN itu, di PERGURUAN TINGGI  itu. Ia menganggap kegagalannya masuk SMP itu, adalah seperti keruntuhan domino. Skema ini yang telah tertanam, ia tak mengenal skema lain. Ia tak mengenal ada skema yang menunjukkan bahwa ada seribu satu jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan akhir yang ia inginkan. Ia tak pernah mengenal skema bahwa ia bisa mengevaluasi, lalu memodifikasi bahkan mengubah tujuannya.

Kenapa ia merasa SELURUH HIDUPNYA telah gagal? karena sepanjang hidupnya telah tertanam dalam perasaannya, bahwa satu-satunya cara untuk membuat orangtuanya bangga dan bahagia adalah HANYA jika ia masuk SMP itu, masuk SMA itu, masuk JURUSAN itu, di PERGURUAN TINGGI itu. Ia menganggap kegagalannya masuk SMP itu, adalah seperti keruntuhan domino. Skema ini yang telah tertanam, ia tak mengenal skema lain. Ia tak mengenal ada skema yang menunjukkan bahwa ada seribu satu jalan yang bisa ditempuh untuk membuat orangtuanya bangga dan bahagia. Ia tak pernah mengenal skema bahwa orangtuanya bisa menerima bentuk prestasi yang lain selain prestasi masuk “jalur favorit”.

Sedih sekali kalau anak-anak kita menggantungkan harga diri, kepercayaan diri, cinta orangtua bahkan seluruh kehidupannya pada “sekolah favorit”. Seorang teman saya, seorang psikolog sekolah, bercerita bahwa kalau anak-anak sekarang ditanya cita-citanya apa, banyak yang jawabannya bukan profesi. Tapi “diterima di SMP ini”; “diterima di SMA itu”. Semoga haltersebut tidak menunjukkan ada perubahan posisi sekolah favorit dari SALAH SATU CARA menjadi SATU-SATUNYA TUJUAN

Maka, kalau kita jujur bahwa masuk sekolah favorit diposisikan sebagai “media” untuk memotivasi anak, kita hanya perlu bercermin saat anak kita diterima atau tidak diterima di sekolah favorit tersebut. Sikap kita, perilaku kita,  akan mengatakan segalanya.

Saya selalu ingat obrolan dengan seorang remaja belasan tentang hal ini. Begini kurang lebih kata-katanyanya;

“Sebenernya saya dan teman-teman banyak yang pede sih dengan kemampuan kita. Tapi yang bikin stress adalah, diri kita dinilai dan ditentukan oleh sebuah nilai, yang seolah-olah menggambarkan diri kita secara keseluruhan.”

“Sering orangtua hanya melihat satu hal aja, misalnya biar gampang masuk sekolah seterusnya. Tapi kan yang ngejalanin hari demi hari-nya kita. Yang ngerasain nyaman atau engga-nya kita. Meskipun kita bisa, kita mampu, kita gampang, kan kita juga pengen nyaman”

Maka, sekali lagi, sebagai orangtua kita perlu “menggugat niat” kita memotivasi anak kita untuk masuk skeolah favorit.

  • Sebagai SALAH SATU  cara untuk memotivasi sikap mental sungguh-sungguh?
  • Sebagai media bagi kita sebagai  “intellectual climber” (hehe…. ini adalah padanan dari “social climber”; dimana misalnya kita dulu gak bisa mencapai yang favorit-favorit itu, trus kita “maksa” anak biar kitanya jadi “keangkat” ke komunitas itu;)
  • Sebagai “piala” kebanggaan? anak gue masuk SMP ini, SMA itu loooh
  • Sebagai romantisme ? (Asiiik…nanti kita bisa reuni bareng). Keluarga besar kita alumni sekolah itu semua !

Kebanggaan sebagai alumni sekolah favorit, memang tak terkira. Membuncahnya perasaan ketika menyebutkan nama sekolah kita, menunjukkan logo sekolah, mengenang kisah dan gambar yang menunjukkan identitas sekolah kita, menikmati reaksi orang lain yang mengagumi kita saat kita tahu alumni sekolah mana. Nikmati saja selama itu tak berbenturan dengan kesejahteraan psikologis anak-anak kita. Tapi kalau efek sampingnya bikin anak kita “terancam”, maka perlu kita gugat ulang niat kita.

Kalau kita sedang tegang, sempatkah kita menatap wajah anak kita? apakah ia tegang juga? Kalau kita sedang sibuk dengan kecemasan kita, sempatkah kita menelisik perasaan anak kita? Kalau kita sedang sibuk mencari informasi, apakah kita sempat mengobrol dengan anak kita?

Hei….dia yang akan menjalaninya…bukan kita …Kita tidak sedang mencari sepatu yang pas buat kita. Sepatu itu akan dipakai oleh anak kita.

Kalau kita terlalu fokus dengan perasaan kita, pemikiran kita, keingian kita, lalu siapa yang akan peduli pada perasaannya, pemikirannya, keinginannya? Kalau kita terlalu fokus pada kata diterima atau ditolak, berhasil atau gagal, siapa yang akan memeluknya, menenangkannya? mengatakan bahwa hidupnya akan baik-baik saja, bahwa you are not alone? . Bahwa ini cuman masalah sekolah, bukan seluruh kehidupannya?

Perasaan dan kehidupan panjang anak kita, janganlah jadi collateral damage dari kebanggan kita terhadap sekolah favorit. Konon, untuk bisa survive di masa depan yang akan sangat cepat perubahannya, salah satu kompetensi yang diperlukan adalah fleksibilitas. Fleksibilitas ini akar dari kreatifitas, adaptasi, dan sejumlah kemampuan penting lainnya di masa depan. Maka, menanamkan sikap dan pola pikir bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai dengan masuk SMP ini SMA itu, adalah seperti memberikan senjata makan tuan buat anak- anak kita.