Boys don’t cry ! (apakah hidup manusia linier?)

Pagi ini, seorang teman nun jauh disana mengirimkan sebuah link video melalui wa. Saya buka, saat sedang menyimaknya saya teringat diskusi di  whatsapp group psikopad 97, yang juga pernah membahas hal ini meskipun dengan konteks yang berbeda. Saat saya iseng membuka facebook di siang ini, saya baru tau ternyata video itu lumayan ngehits sepertinya, banyak yang share.

Ini linknya… http://sfglobe.com/?id=16715&src=share_fb_new_16715

This short video was made by Vinil Mathew for #VogueEmpower.  For his whole life, this little boy was constantly told that boys don’t cry.  Eventually, he does stop crying, but at what cost? The message at the end? “We have taught our boys not to cry. It’s time we teach them not to make girls cry. It starts with the boys.”

Dalam tulisan ini saya ingin menanggapi isi video tersebut, dan bagaimana sebaiknya kita memahaminya.

Menurut saya, video ini sebaiknya tidak dipahami sebagai kalimat matematis “jika …., maka….”. Jika anak laki-laki dilarang menangis, maka ia akan jadi pelaku kdrt. Jangan. jangan pahami seperti itu.

Mengapa? karena paham deterministik, bahwa kehidupan manusia itu “sudah ditentukan” oleh masa kecilnya, adalah paham yang diungkapkan oleh madzhab Psikoanalisa, lebih dari 100 tahun yang lalu. Paham-paham Psikologi selanjutnya, menepis pandangan deterministik tersebut.

Psikologi mengenai satu kata “ajaib” yang membuat kehidupan manusia tak akan pernah linier, “jika x maka y”. Yaitu: LEARNING. BELAJAR. Salah satu kemuliaan yang telah diberikan yang Kuasa pada manusia adalah, bahwa ia memiliki kemampuan untuk belajar. Ada banyaaaaaak faktor yang berperan dalam kehidupan seorang anak sehingga menjadi dewasa. Faktor dari dalam diri dia sendiri, kepribadian yang berbeda, orang-orang lain yang hadir dalam kehidupannya,  akan membuat anak yang berbeda, menghayati satu peristiwa dengan makna yang berbeda”

Itulah sebabnya mungkin kita sering mendengar ada orangtua berkata : “dulu orangtua saya suka mukul  sih, jadi saya juga gak bisa nahan untuk gak mukul anak saya”. Di sisi lain, kita juga mungkin mendengar ada juga orangtua yang berkata: “dulu orangtua saya suka mukul, itu sebabnya saya gak akan pernah mukul anak saya”. Peristiwanya sama, dipukul orangtua. Tapi dampaknya bisa berbeda. Kenapa? karena proses dalam diri individunya berbeda. Proses belajar yang terjadi berbeda.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita memaknakan video tersebut? menurut saya, kita bisa posisikan video tersebut dalam konteks emotional intelligence. Kesan pertama saya saat melihat video tersebut, ini adalah mengenai emotional intelligence. Bahwa kita perlu memberikan pengalaman pada anak laki-laki kita untuk merasakan dan mengekespresikan ragam emosi, termasuk menangis. Entah itu karena sedih, bahagia, takut, atau apapun. Apabila anak kita dihambat untuk tidak boleh merasakan emosi yang beragam, tidak boleh mengekspresikan emosi tertentu padahal ekspresi emosi itu tidak merusak diri sendiri maupun orang lain, maka ia jadi tidak bisa meregulasi emosinya dengan baik. Ia jadi tidak tau emosi ini apa namanya, kenapa saya merasakan ini, bagaimana seharusnya saya mengekspresikannya.

Saya tidak boleh nangis saat saya sedih. Berarti saya tidak boleh sedih. Saya gak punya pengalaman menghayati rasa sedih. Saat saya merasa sedih terkait istri saya, saya tidak tahu harus bagaimana. Jadilah saya melakukan reaksi yang paling primitif. Agresi. Itu kira-kira dinamika yang saya hayati dari rangkaian cerita di video tersebut.

Nah, bukankah itu berarti ajaran “laki-laki tidak boleh menangis itu menyebabkan laki-laki jadi pelaku kdrt?”. Tidak. Saya tetap yakin kehidupan manusia itu tidak linear. Akan lebih pas jika kita memandangnya dari sudut pandang “risk and protective factor”. Dalam psikologi, dan juga dalam kesehatan…juga dalam masyarakat sih….kita kenal ada istilah “faktor pelindung dan faktor resiko”. Ketidakmampuan si anak laki-laki untuk menghayati perasaannya, meregulasi perasaannya dan mengekspresikan perasaannya dengan cara yang tak menyakiti orang lain, adalah “faktor resiko”. Salah satu faktor resiko. Dari sekian banyak faktor resiko lainnya untuk menjadi seorang pelaku KDRT. Artinya, ada faktor-faktor lain yang berperan, baik itu memperkuat maupun memperlemah “potensi faktor resiko” tersebut.

Pertanyaan aplikatifnya: bagaimana jika kita menemukan ada anak laki-laki yang sudah mengalami ajaran “tak boleh menangis” tersebut?

Dalam setiap kultur, memang ada konstruksi sosial tentang maskulinitas dan feminimitas. Ada “kode-kode” tertentu yang disematkan pada jenis kelamin tertentu, yang menjadi standar kualitas gendernya. Dan perasaan sedih, itu sering diasosiasikan dengan lemah, tak berdaya. Dengan demikian, ekspresi sedih yaitu menangis pun, menjadi lekat sebagai simbol kelemahan dan ketidakberdayaan. Cengeng. Padahal kalau kita hayati lebih jauh, tentu tak demikian. Menangis tak berarti lemah. Menangis tak berarti lebay dan cengeng. Tapi, ya itulah….

Nah, kode-kode itulah yang menjadi standar bagi kita menilai bahwa laki-laki yang harusnya menjadi pemimpin, tegas, berdaya, tangguh itu…menjadi “memalukan” bila menangis. Yaah…jujur aja deh…kita juga akan ilfil kali kalau liat suami kita sering nangis 😉 atau anak laki-laki kita yang udah kuliah gitu, sering nangis ;).

cryYang jadi masalah sebenarnya bukan nangis atau engganya, tapi penghayatan emosinya. Dalam bahasa emosi, dikenal istilah “miskin emosi”. Menurut “penerawangan” saya, laki-laki di kultur kita, cenderung “miskin emosi”. Saat istri menangis dan ingin dipeluk tapi suami malah memberikan nasihat rasional, bukan..bukan dia “jahat”, tapi mungkin dia tidak tahu rasa apa yang ia hayati, dan apa ekspresi yang harus ia tunjukkan. Kenapa? karena ia tidak terpapar oleh pengalaman menghayati emosi itu.

Nah, saat itu terjadi, apa yang bisa kita lakukan? Ingat clue-nya: LEARNING. Percayalah… anak laki-laki, remaja laki-laki, laki-laki dewasa, punya kapasitas untuk belajar, Termasuk belajar emosi. Belajar menghayati emosi. Mengenal nama emosi, belajar mengekspresikan emosi sesuai cara yang diharapkan lingkungan. Paling kan situasi yang menuntut itu cuman di keluarga…karena kalau di tempat kerjaannya mah kan pastinya dunia maskulin. Nah, berarti peran kita…sebagai ibu atau istri, untuk menyediakan pembelajaran itu.

Biarkan anak laki-laki kita mengalami dan menghayati beragam macam rasa. Sedih, kecewa, bosan, marah, senang, penasaran, jijik. Beri tahu namanya. Perasaan itu oke. Yang penting, bagaimana kita mengelola dan mengeskpresikannya dengan baik.

“Dede lagi kesel, kesel itu boleh. Tapi mukul gak boleh”. Itu bisa kita katakan pada si 4 tahun.

“Kamu lagi marah. lebih baik kamu masuk kamar. Kalau di luar, kamu jadi kesal sama adik-adik kamu dan kamu jadi bentak-bentak adik kamu”. Itu, bisa kita katakan pada anak laki-laki remaja kita.

“Ayah lagi kecewa sama partner ayah. Jangan ambil keputusan apapun sekarang. Biarkan pikiran ayah jernih dulu”. Itu bisa kita katakan pada suami kita.

Apakah mereka akan berubah? mungkin tidak 180 derajat. Apalagi kalau sudah dewasa. Kepribadiannya sudah terbentuk. Tapi kepribadian berbeda dengan perilaku. Gapapa suami kita tetap “lempeng” di kantor. Kalau romantis kan malah bahaya 😉 . Tapi di rumah, saat kita perlu, kita bisa minta suami kita berperilaku romatis. Biarin aja seumur hidup suami kita gak pernah meluk orang. Tapi kita bisa minta suami kita memeluk kita saat kita membutuhkannya.

Hiiii…jadi gak nyambung ya…haha… intinya mah….hidup manusia gak pernah linier. Teori belajar, menurut saya, adalah pengejawantahan dari apa yang dalam agama, kita sebut “rahmat Allah”. Dan, sampai detik kapanpun, kita tak boleh berputus asa dari rahmat Allah bukan? itu artinya, there’s always HOPE. Whatever your condition….

Mencermati perkembangan sekarang ini, dimana ada pihak-pihak yang saking semangatnya mengajak menghindari sesuatu yang buruk menyatakan bahwa “kalau ini maka pasti itu”, ssssttt….jangan sepenuhnya percaya. Selalu ada ruang dan waktu untuk “menyelamatkan” orang-orang yang memiliki faktor resiko akan sesuatu. Udah banyak buktinya. Cari ilmunya untuk bisa menghadirkan “faktor pelindung” yang lebih kuat dari faktor resikonya.

Hidup itu, tidak deterministik dan linier. Selalu ada HARAPAN.

sumber gambar : http://www.kartoen.be/wp/2006/07/12/boys-dont-cry/

Hai Soulmate ….

Hai Soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk telinga lebarmu
Yang selalu siap mendengarkan segala kisah dari relung asa dan rasa
Hingga tak ada cerita yang tersisa yang kau tak tau dari diriku

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk tawa nikmatmu mentertawakanku
Yang justru membuatku menikmati kebodohanku
Membuatku merasa bodoh itu indah haha….

Hal soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk pelukanmu yang selalu hangat
Yang membuat aku berani menghadapi segala ketakutanku
Yang membuatku tak pernah merasa sendirian

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Telah menjadi tangan guritaku
Saat aku menyadari bahwa tanganku hanya dua

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk teori cintamu yang super sederhana
Yang tak banyak kata namun tak pernah lupa mengamalkannya

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Telah memberiku ruang dan waktu
Untukku tetap bisa memeluk erat mimpi-mimpiku
Walau kau tak sepenuh hati setuju

Hai soulmate,
Terima kasih ya…
Untuk pelukan eratmu,
Yang telah mempercayaiku tanpa ragu
Bahwa aku tak akan pernah meninggalkanmu
Sebasar apapun mimpi yang ingin kukejar

I-heart-you-hanging-Happy-Valentines-Day-2015-WallpaperHai soulmate,
I love you …

 

 

sumber gambar : http://gotomarketguy.com/love/

 

We need you dad ….

Salah seorang mahasiswa bimbingan skripsi saya, Divo, melakukan penelitian mengenai peran ayah pada  remaja awal, usia 12-14 tahun. Penelitian ini didasari studi literatur yang menunjukkan bahwa penelitian mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, lebih banyak dilakukan pada anak usia dini sampai usia pra remaja. Di sisi lain, usia remaja awal merupakan usia yang “khas” dengan isu perpindahan “dunia” dari “dunia keluarga” menjadi “dunia teman”. Melalui penelitian ini, ingin diketahui 2 hal; (1) bagaimana persepsi remaja awal mengenai pentingnya peran ayah dalam kehidupannya? (2) bentuk perilaku ayah yang bagaimana yang dirasa bermakna bagi remaja awal?

Penelitian kualitatif menggunakan teknik wawancara mendalam (depth interview) dilakukan pada 102 remaja awal usia 12-14 tahun, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua bulan terakhir ini. Hasil wawancara dicatat secara verbatim, lalu dicoding melalui beberapa tahap analisis. Singkat kata singkat cerita, hasilnya menunjukkan bahwa remaja awal, merasakan bahwa mereka masih sangat membutuhkan keterlibatan ayah dalam kehidupan mereka, baik keterlibatan yang sifatnya kehangatan, support material maupun kontrol. Mengapa? secara umum jawaban-jawabannya mengelompok menjadi nada-nada kasih sayang (misal: seneng deket sama ayah), nada-nada kompetensi (misal: ayah tahu mana yang lebih baik), dan yang secara pribadi menarik buat saya adalah, jawaban-jawaban bahwa ayah yang terlibat dalam kehidupan mereka merupakan “standar keluarga yang baik”. Jujur saja, entah mengapa saya merasa…terharu gitu dengan jawaban anak-anak remaja yang ini.

Salah satu temuan  menarik untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kedua adalah, bentuk perilaku ayah yang dirasa bermakna adalah aktifitas bersama dalam kegiatan keseharian dan kumpul keluarga. Ini muncul dalam dimensi-dimensi yang terkait dengan kehangatan dan kasih sayang. Sedangkan dalam dimensi yang terkait dengan kontrol dan support material, tema sekolah mendominasi. Yang menarik,  mereka juga menyatakan bahwa saat ayah  memberikan support material tanpa diminta (misal membelikan sepatu yang sudah rusak, buku pengayaan yang mereka butuhkan), itu mereka rasakan sebagai perilaku yang bermakna. Kaitannya kayaknya dengan rasa “diperhatikan” ya…

Dalam tataran pemikiran, penelitian ini adalah satu dari sekian banyak penelitian mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, yang memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya. Ini hanya salah satu bukti empiris-akademis,  memperkuat saya untuk semakin  tegas menyuarakan ketidaksetujuan  pribadi terhadap pembagian tugas hitam-putih; ayah cari nafkah-ibu ngurus anak.

Dalam literatur-literatur mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, kesediaan ayah untuk dengan sengaja meluangkan waktu, tenaga dan pikiran bagi anak-anaknya, digambarkan memiliki 2 panah dampak positif. (1) pengaruh langsung pada anak; seperti dalam penelitian mahasiswa saya di atas, (2) pengaruh tidak langsung melalui ibu. Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak, akan membuat ibu merasa didukung. Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa bagi seorang ibu, seorang wanita, dukungan psikologis itu sudah cukup untuk menghasilkan energi tak terhingga -yang kadang tak masuk akal- untuk menghadapi seluruh kebutuhan anak-anaknya; fisik-kognitif-emosi-sosial-spiritual.

Sebenarnya, saya curiga sih….keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak ini punya satu panah lagi. Yang belum banyak diteliti. Yaitu…bagi ayah itu sendiri. Sering saya melihat, ayah-ayah yang begitu enjoy main dengan anak-anaknya. Di lapangan mesjid telkom setiap ahad jam 8-10.30, saat pengajian Percikan Iman,  saya banyak dan sering menyaksikan ayah-ayah yang begitu enjoy main bola, main gelembung sama anak-anaknya. Tertawa bersama, menikmati bersama permainan-permainan itu. Demikian pula di tempat-tempat umum lainnya. Saya berpikir, mungkin bagi para ayah yang bergelut dengan “dunia maskulin yang keras”, bermain tanpa melibatkan kognisi  itu, adalah refreshing banget. Bahkan ada seorang ayah yang bilang bahwa kalau dia ada kerjaan lebih dari dua hari di luar kota, dia jadi gak produktif. Stress. Makanya dia selalu nyempetin pulang buat liat dan ketemu anak-anaknya. Itu sih ayahnya anak-anak saya haha…(ssst….sebenernya kayaknya kangen sama ibunya juga sih, cuman gengsi mengakuinya … kkkk).

Kalau saat anak kecil, kebayang lah bagaimana bentuk dukungan dan keterlibatan ayah pada anak. Ngajak main. Bentuk dukungan pada ibu: bantuin pegang anak-anak saat ibu riweuh ngurus ini-itu yang lain. Dalam beberapa tulisan saya di folder “father involvement”, sudah banyak saya menuliskan hal tersebut.

Bagaimana kontribusi langsung ayah pada tumbuh kembang remaja awal? Penelitian Divo di atas sudah menjawabnya. Nah…dua minggu lalu dan minggu, saya punya pengalaman yang membuat saya menghayati bagaimana ibu juga sangat  membutuhkan ayah dalam menghadapi anak remaja.

Salah satu “isu” antara saya dan si sulung kelas 1 SMP adalah soal penampilan. Kami  selalu mengingatkan dia untuk memperhatikan pakaiannya. Kenapa? karena bentuk tubuhnya sekarang sedang “mekar-mekarnya” ibarat bunga mah. Jadilah kami polisi fashion. Kalau pake celana panjang, kaosnya yang panjang juga. Kerudung harus diurai, biar dadanya ketutup. Pilih kerudung yang gak tipis….. Namanya anak remaja ya….meskipun Azka anak yang “baik” dan sekolahnya juga cukup ketat soal pakaian, tetep we….ada eksplorasinya. Ngumpet2 pake jins yang ketat meskipun udah dibikinin celana  jeans yang agak longgar. Kerudung, harus selalu diingetin untuk dijulurkan ke dada.

Nah dua minggu lalu, saya liat dia kok gak pake daleman kerudung (selanjutnya akan disebut ciput kkkk). Ya jelaslah rambutnya keliatan melalui kerudungnya yang transparan. Waktu itu, kami pergi sekeluarga untuk makan. Ya jelaslah, saya tegur soal ia tidak memakai ciput. Tentu dengan nada kesal, karena saya inget banget, saya sering belikan dia ciput, bros dan segala perlengkapan kerudung. Sering banget malah. Bla…bla..bla…..Di luar dugaan, ternyata reaksinya tidak hanya cemberut, tapi dia menangis sesenggukan. Berlanjut sampai di tempat makan. Sesenggukan.

Si abah lalu bertanya kenapa…saya jelaskanlah kekesalan saya. “Caranya de, caranya…. dirimu bener, maksudnya baik….tapi caranya…”. Gitu kata si abah. “Ade udah pelan-pelan bah caranya….ade tadi tanya, kenapa kakak gak pake ciput..ibu kan udah sering beliin….bla..bla..bla..” saya berusaha menjelaskan bahwa saya mengingatkan Azka dengan cara yang “lemah lembut dan pelan-pelan”. Kkkkk…sebenarnya anak TK juga akan tahu bahwa jelas-jelas saya “mengomeli”, bukan “mengingatkan”. Tau gak…saat itu ya, saya tiba-tiba ingat ada istilah yang mengatakan “boy will be boy”. Ungkapan itu sering dikatakan sebagai kelakar bahwa buat seorang wanita, jumlah anaknya adalah plus , yaitu suaminya. Untuk menunjukkan bahwa suami sering berperilaku kekanak-kanankan. Nah, saat itu saya berpikir kayaknya situasi yang menggambarkan yang sedang saya alami adalah “girl will be girl” kkkk…saya bayangkan si abah  sedang menghadapi dua anak perempuannya yang sedang berantem haha…. Akhirnya, sudah bisa ditebak. Si abah mendekati si sulung, meredakan tangisnya. Saya amat mengandalkan si abah memang dalam kondisi sedang tidak waras seperti ini. Sering saya curhat sesuatu dengan diawali ….“Bah, tolong bilang ke Azka….bla..bla..bla..”. Dan saya percaya sekali  mas bisa menjadi “jembatan” penghubung saya dan Azka saat salah satu atau kami berdua sedang dikuasai emosi negatif.

Seminggu lalu, ada pengalaman lain. Kami mendaftarkan Azka ke sebuah tempat les bahasa inggris terpercaya. Kami sepakat bahwa sudah saatnya Azka mendapatkan stimulasi bahasa Inggris yang advance. Tapi sepanjang placement test dan proses registrasi, saya melihat Azak kurang semangat. Tapi saya  abaikan, bertekad untuk tetap mendaftarkannya. Si abah juga mendukung. Hari ahad lalu, sepulang menjemput Azka dari acara di sekolahnya, si abah bilang: “De, aku tadi ngobrol sama Azka, katanya dia gak mau les bahasa Inggris. Dia pengen weekend itu bener-bener istirahat. Dia bilang, dia merasa cukup dengan 3 sesi pelajaran bahasa Inggris tiap minggu di sekolahnya. Kan ada writing, listening, speaking. Pake native speaker lagi. Jadi menurutku ga usah aja”.

Setelah makan malam, waktu saya lagi beberes dapur dan Azka mencuci piring, saya tanya; “Gimana, Kaka teh jadi mau les Inggris engga? kok Ibu liat Kaka kurang semangat”. Karena lagi waras, saya berkata dengan lebut dan pelan. Dia menjawab pelan “gimana ibu aja”. Waktu saya bilang oke dia gak usah les karena pertimbangan yang disampaikan si abah pada saya, “Yess…“katanya….dan dia pun dengan riang cerita ini-itu tentang teman-temannya di sekolah.

Temans…tahukah….keterbukaan anak itu, amat mahal. Apalagi anak remaja. Beberapa kali  saya temui orangtu yang bingung …kenapa anaknya putus kuliah padahal dulu bilangnya mau, kenapa anaknya males ini-itu padahal gak nolak….Saya menghayati….seperti ketidakterbukaan Azka terhadap saya itu-lah prosesnya. Anak yang sudah besar, biasanya bisa menangkap harapan orangtua padanya. Saya menduga, Azka menangkap bahwa saya punya harapan besar padanya. Saya sering bilang bagaimana kesempatan yang bisa diraih teman-teman saya yang Bahasa Inggrsinya advance, saya juga suka bilang betapa beratnya saat saya harus menulis dalam bahasa Inggris, karena bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Meskipun saya “tidak memaksa”, namun perasaan “engga tega” “tidak ingin mengecewakan orangtua” itu lah yang tampaknya justru menjadi benteng psikologis yang membuat Azka tak mau terbuka pada saya. Dan di saat-saat seperti itulah, saya perlu si abah. Di saat-saat itulah seorang ibu butuh suaminya,  sebagai seorang ayah.

Dalam praktek, sudah lama saya meyakini bahwa ayah, bukanlah “figur pelengkap penderita” dalam persoalan tumbuh kembang anak. Terutama untuk kasus-kasus yang “berat”; seperti ketergantungan anak pada sesuatu, anak terancam DO, hamil atau menghamili; saya melihat ayah sangat potensial untuk maju ke garda depan mendampingi anak melalui hari-hari sulitnya. Konon katanya, ibu kan lebih emosional. Sedih, biasanya saat menghadapi masalah anak.  Nah, anak…biasanya sangat sulit menghadapi kesedihan ibu. Airmata ibu. Beban masalahnya dihayati bertambah oleh anak saat harus menghadapi air mata dan wajah sedih ibu.

Dalam kultur Indonesia, “membahagiakan orangtua” adalah sebuah nilai yang begitu berharga. Indikator  keberhasilan. Oleh karena itu, “mengecewakan orangtua” adalah hal yang akan dimaknai sebagai suatu kegagalan. Suatu hal yang buruk. Nah, saat itulah…seorang ayah yang lebih rasional, biasanya menjadi potensi yang bisa dimanfaatkan. Ibu, back off dulu….Ayah dulu yang maju. Nah, kalau ayah tak punya hubungan emosional sama anak, “lepas”lah anak atau remaja  itu dari keluarga. Kalau anak atau remaja udah “lepas” dari keluarga, lebih sulit mencari figur yang menjadi “significant other” bagi anak dan remaja.

Ibu, bukanlah manusia sempurna. Menurut saya, amanah menjadi “madrasah utama dan pertama bagi anak” tak harus membentengi ibu dari objektifitas bahwa dirinya tak sempurna. Bahwa ada keterbatasan yang dimiliki ibu. Ada karakteristik khas dari ibu. Mungkin kita sebagai ibu adalah seorang yang terlalu lebay, terlalu high achiever, atau terlalu pencemas,  …. terlalu “terikat” sama anak-anak kita, dan terlalu-terlalu lainnya. Sehingga di saat itulah, kita butuh sosok yang bisa menjadi penyeimbang. Ayah.

Jadi, kesimpulan dari paparan panjang kali ini adalah:

cowgirl-border-We Need You(1) Ayah, sangat bermakna bagi kehidupan anak. Anak membutuhkan ayah,  di tahap perkembangan apapun. Hanya berbeda bentuknya.

(2) Ayah, sangat bermakna bagi ibu. Istri membutuhkan suamianya dalam konteks mengasuh anak, di tahap perkembangan apapun anaknya. Hanya berbeda bentuknya.

Abstraksi dari dua point di atas adalah,

we need you…. dad, abi, ayah, abah, papa, papi, bapak….

your daughter, your son, your wife  really need you….

sumber gambar : http://www.timbertrailparents.org/cms/NewsDetail.aspx?id=1190

Keluarga : Prioritas atau Excuse ?

Suatu waktu, saya mencuri dengar pembicaraan tiga orang wanita yang sedang serius bicara dekat saya. Mereka adalah tiga wanita paruh baya. Dari pembicaraan mereka, tampaknya mereka tengah membicarakan anak dan menantu perempuan mereka. Dari kurang lebih setengah jam mencuri dengar, saya mulai bisa menyimpulkan bahwa pokok pembicaraan mereka adalah, menyayangkan anak dan menantu perempuan mereka yang terancam drop out dari kuliahnya.

Salah seorang ibu itu menyampaikan kalimat yang katanya ia katakan dengan tegas pada anak perempuannya, yang telah memiliki putra. “Kalau teteh berhenti mengerjakan tesis karena teteh memprioritaskan si dede, Bunda setuju. Gak mubadzir waktu dua tahun yang sudah teteh jalani. Gak mubadzir uang dari si aa untuk membiayai teteh kuliah. Tapi Bunda minta kamu merenung. Benar, teteh tidak akan melanjutkan pengerjaan tesis karena teteh memprioritaskan si dede, atau si dede teteh jadikan alasan kurang fight-nya teteh ngerjain tesis. Kalau teteh berhenti mengerjakan tesis karena si dede selalu rewel, selalu demanding, Bunda oke. Bunda setuju dengan keputusan teteh. Tapi kalau si dede anak yang anteng, punya jadwal tidur yang teratur; apa yang teteh lakukan waktu si dede tidur? Kalau teteh tidak punya orang yang bisa dipercaya untuk dititipin si dede saat harus bimbingan, oke Bunda setuju. Tapi teteh punya Bunda, yang siap nemenin si dede selama teteh dua jam bimbingan.  Si aa  juga siap membantu, mendukung. Sekali lagi Bunda minta teteh merenung. Anak ini, Keluarga ini, teteh jadikan prioritas, atau excuse.”.

Kedua ibu itu mengangguk tanda setuju. Seorang ibu menimpali. “Ya, saya juga ajak ngobrol menantu saya. Kalau nanti anak ini sudah besar dan kamu bilang dulu mama DO sekolah karena ngurus kamu; bagaimana perasaan dia? Kamu pikir dia akan bangga? yakin?”

Setelah berpisah dengan tiga ibu itu, dua rangkaian kalimat itu masih terngiang-ngiang di telinga saya. Ini “vocabulary” baru bagi saya. Dan saya butuh waktu untuk mencernanya. Selama ini, saya selalu berpikir bahwa seorang wanita meninggalkan “prestasi di luar rumah” dengan alasan keluarga, adalah suatu pilihan yang “romantis”, mulia dan agung. Saya, jujur saja tidak siap mendengar perspektif lain seperti yang saya dengar tadi.

Tapi semakin saya pikirkan, saya merasa bahwa apa yang dikatakan ibu-ibu itu, ada benarnya. Bahkan seratus persen benar. Ada perbedaan mendasar antara menjadikan keluarga sebagai prioritas dengan menjadikan keluarga sebagai alasan. Sejak saat itu, saya berusaha mengamati lingkungan dan mengamati diri sendiri, berusaha lebih menghayati dua konsep ini.

Setelah memakai kacamata itu, yups…barulah saya bisa melihat dengan terang benderang. Bahwa memang berbeda perilaku dan hasil perilaku orang-orang yang menjadikan keluarga sebagai prioritas, dengan orang-orang yang menjadi keluarga sebagai alasan.

Seorang kenalan saya, mengabaikan LoA dari sebuah universitas ternama, dengan alasan tidak mungkin meninggalkan anaknya yang ABK untuk pergi ke luar negeri. Akhirnya ia melanjutkan S3 di dalam negeri, dan hasilnya….excellent. Cum laude.  Seorang teman yang lain, saat memperlihatkan folder penelitian di laptopnya, ada kosong 3×2 tahun dimana ia tak meneliti. Saya perhatikan tahunnya…Owh, itu selalu 2 tahun pertama kelahiran 3 anaknya. Di tahun-tahun yang lain, ia produktif sekali. Seorang ibu senior di lingkungan saya, aktivis sebelum menikah, vakum full menjadi IRT selama anak-anaknya kecil, dan sekarang….setelah anak-anaknya “lepas landas” -istilah beliau; beliau lanjutkan keaktifannya. Ia sangat peduli pada lingkungannya, mau “bersusah payah” lebur membangun masyarakat. Seorang nun jauh disana, mengatakan kalau hasil kerjanya di kantor selalu dikomplen karena sedang ada masalah dengan suami. Saat ia tak punya masalah dengan suami, bagaimana hasil kerjanya? dikomplen juga. Seorang nun jauh di sana juga, mengatakan tak sempat memasak makanan sehat karena anak-anaknya rewel. Bagaimana saat anak-anaknya tidak rewel? ia gunakan untuk medsos-an; tetep juga gak masak makanan sehat.

Dari beragam contoh itu, saya berusaha menemukan keywords yang memembedakan antara menjadikan keluarga sebagai prioritas dengan menjadikan keluarga sebagai alasan. Dan saya menemukan dua hal. Produktifitas dan Kualitas. Itu yang menjadi pembedanya. Jangan anggap produktifitas dan kualitas ini hanya dalam dunia kerja ya….itu pandangan yang terlalu picik.

Dulu, saya sempat  sependapat dengan pandangan para feminis yang menentang pernikahan; dengan alasan mereka “pernikahan membuat wanita menjadi low achiever”. Tapi setelah mengamati teman-teman saya, saya menolak tegas pendapat itu. Tidak. Pernikahan, berkeluarga, tidak membuat wanita menjadi low achiever. Wanita yang high achiever, ia akan tetap menjadi high achiever; menjadi apapun dia, di mana pun dia berada, siapapun yang ia hadapi. IRT yang punya manajemen diri yang baik, jelas akan berbeda dengan IRT yang tak punya manajemen diri yang baik. Prinsip ini berlaku juga bagi ibu bekerja. Ibu bekerja yang kerjaannya asal, setinggi apapun posisinya, tetap aja akan selalu membuat orang lain menghindar menjadi timnya.

Ini bukan basa-basi. Saya meyakininya. Saat memasak bersama Azka, saya selalu sambil mengatakan hal ini. Memasak, semua ibu pasti bisa. Tapi memasak dengan waktu yang efisien? apa dulu yang harus dikerjakan, memanage dua kompor, memilih alat masak biar cucian gak terlalu banyak, menentukan jumlah bumbu dan urutan mengulek bumbu biar gak bolak-balik…itu butuh strategic planning …haha….eh, tapi ini serius loh…istilah temen-temen mah apa…Ibu IRT profesional. Yups! that’s right ! Dengan waktu yang efisien, berarti dia akan punya space waktu lebih buat quality time sama anak-anaknya. Buat belajar. Buat menyiapkan diri menyambut suami.

Jadi, buat kita yang punya anak perempuan, didik biar mereka jadi tangguh. Punya manajemen diri yang baik. High achiever. Pengelolaan emosi yang baik juga. Bentuk “pertempuran” yang akan ia hadapi nanti apa, itu hanya media. Tapi kalau ia sudah punya bekal, entah dia menjalani profesi formal tertentu atau tidak, ia pasti jadi seorang yang produktif.

Jadi, kini setiap hari saya berusaha menimbang diri.

6738_595616927129658_344174525_n-485x500Tidak berprestasi karena mempriotaskan keluarga, that’s oke. Tidak berprestasi dan menjadikan keluarga sebagai alasan, that’s not oke.

Sulit mengembangkan diri karena memprioritaskan keluarga, that’s oke. Tidak mengembangkan diri dan menjadikan keluarga sebagai alasan, that’s not oke.

Tidak berkontribusi pada masyarakat karena memprioritaskan keluarga, that’s oke. Tidak berkontribusi pada masyarakat dan menjadikan keluarga sebagai alasan, that’s not oke.

Tidak memberikan layanan prima pada suami karena memprioritaskan menangani anak yang rewel dengan baik, that’s oke. Tidak memberikan layanan prima pada suami dan menjadikan anak rewel sebagai alasan, that’s not oke.

Mmmmmhhh….jujur saja, meskipun sudah berlangsung lama “berlatih” untuk menakar dua hal ini dalam diri saya, namun saya merasa belum “ahli” juga. Perlu waktu bagi saya untuk menutup mata, berefleksi menghayati dengan jujur dan tulus; priority or an excuse….

Tapi jujur saja, secara pribadi saya bersyukur sekali Allah menskenariokan kejadian sore itu, kejadian saat saya mencuri dengan pembicaraan tiga ibu itu, mengenal dua konsep yang berbeda itu.  Dan karena tak ada yang kebetulan bagiNya, saya merasa ilmu ini adalah dariNya. Dan saya bersyukur sekali mengenal ilmu ini.

sumber gambar : http://iampoopsie.com/if-its-important-to-you/

Anak, bukan miniatur orang dewasa ; bagaimana aplikasinya?

Mungkin kita pernah mendengar kata-kata ini. Anak bukan miniatur orang dewasa. Ia bukan orang orang dewasa berukuran mini. Apa maksudnya? Ayo….yang pernah mendengar rangkaian kalimat “anak bukan miniatur orang dewasa”, pause sejenak. Kita hayati apa makna rangkaian kalimat tersebut.

Udah dapet? pertanyaan selanjutnya sekarang adalah, bagaimana aplikasi dari konsep “anak bukan miniatur orang dewasa” dalam pengasuhan?

Saya punya satu cerita. Cerita lucu dan sederhana yang barangkali pernah juga dialami oleh teman-teman. Tapi dibalik cerita lucu dan sederhana tersebut, kita bisa hayati dan lalu kita AMALKAN penghayatan bahwa “anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini” itu.

Begini ceritanya…..

Setelah seminggu lalu melewati UTS, hari Jumatnya Umar si kelas 4 dan Hana si kelas 1 menunjukkan segepok berkas-berkas UTSnya. UTS kali ini istimewa. Karena untuk pertamakalinya Umar dan Hana pake kurtilas alias Kurikulum 2013. Kekhasan yang paling terasa adalah, tidak ada soal yang berupa pilihan ganda. Semuanya essay. Anak-anak dilatih untuk mengeluarkan gagasannya, merangkai kalimat. Dan saya suka banget konsep ini.

Maka, rutinitas membaca hasil Ujian anak-anak menjadi lebih mengasyikkan. Anak-anak  berkumpul “ngariung” di sekitar saya dan abahnya, yang membacakan soal-demi soal lalu membaca jawaban yang mereka tulis. Diiringi tanggapan, pujian, umpan balik, atau tertawa bersama saat jawaban yang ditulis “ngaco”. Favorit Umar adalah saat membaca jawaban Bahasa Sunda.

Yups, pagi itu kami tertawa-tawa membaca ke”ngaco”an Umar menjawab pertanyaan bahasa Sunda. Misalnya pada pertanyaan “Keur panas poe kieu mah ngeunah nginum…..” Umar mengisi titik-titik dengan kata “rujak”. Lalu untuk pertanyaan “Isuk-isuk teh manehna sok sarapan ….” Umar menjawab “peuyeum”. Tawa kami makin heboh saat membaca soal “vocabulary”, dimana ia harus menjelaskan makna kata-kata dalam soal. Umar menjawabnya pake bahasa campur yang lucu banget haha… Misalnya untuk soal “Jilbab”, dia menjawab “pakean nu nutup aurat perempuan”. “Tajil : makanan abis shaum”. Shodaqoh: ngabere uang ka orang miskin”. Yang paling lucu adalah pada soal membuat kalimat. Ngaduruk: Eza ngaduruk ikan di imahnya. Ngitung : Doni lagi ngitung uang buat meuli mainan. Hahaha…..dan ibu guru membetulkan jawaban-jawaban itu. Memang dalam pertemuan dengan orangtua beberapa waktu lalu, pihak sekolah bilang bahwa untuk bahasa Sunda, tuntutan mereka realistis saja. Mengingat kenyataan, bahwa hampir seluruh anak tak terpapar bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari mereka. Termasuk anak-anak sayah hehe…

Beralih ke dokumen UTS Hana. Terus terang saya gak berharap banyak ke Hana. Tuntutan saya berbeda dibanding pada dua kakaknya. Ia adalah “anak percobaan”. Saya menjadikannya “percobaan” untuk membuat saya yakin, apakah benar kalau seorang anak matang kemampuan dasar belajarnya, meskipun ia tak terpapar latihan akademik nantinya akan mudah “mengejar?”. Yups, kombinasi dari kepribadiannya yang sangat menikmati bermain dengan keriweuhan saya membuatnya tidak terlalu mendapatkan stimulasi akademik. Lulus TK, dua kakaknya sudah lancar membaca, menulis dan membaca Qur’an. Dia? lulus TK belum hafal semua huruf, belum bisa menulis, dan masih Iqro 1 halaman 5. Itu yang bikin abahnya deg2an saat seleksi masuk SD lalu. Saya deg2an juga sih, tapi gak pol khawatir karena tau bahwa sekolah yang akan dimasukinya, memiliki pemahaman yang sama dengan saya. Kesiapan, bukan keterampilan calistung anak yang dijadikan penialaian.

Saya yakin Hana punya dasar yang kuat. Justru minat besar dia untuk bereksplorasi, membuat saya yakin seluruh milestone dasar belajar ia kuasai. Bahwa ia tak suka materi akademik, ya…karena  tak saya stimulasi dengan intensif.  Itu pula yang saya sampaikan pada gurunya pada saat saya menemui beliau. Bahwa Hana belum bisa membaca dan menulis. Ibu Guru bilang, memang Hana tertinggal dibanding teman-temannya dalam hal itu. Syukurlah saya lihat bahwa kurikulum 2013 ini sangat “ramah anak”. Materi-materi pertama adalah mengenai pola dan logika. Dengan gambar, tanpa harus menulis huruf dan angka.

Maka, jadilah di ulangan harian-ulangan harian Hana (salah satu operasionalisasi kurtilas, adalah ulangan tiap minggu untuk mengecek pemahaman per tema), berkasnya selalu berisi bintang, nilai A plus catatan guru. Bagaimana tidak? kalau dia menulis, semua hurufnya kebalik. Tulisannya besar-besar, naik turun dan kadang dari arah kiri ke kanan, kadang dari kanan ke kiri …haha…. Tapi dengan senyum mengembang di wajah saya, ia tetap ceria mengjalani hari-harinya. Saya tersenyum karena yakin…begitu ia belajar, ia akan melesat. Fondasinya sudah kuat.

Dan, sampai tengah semseter ini, abahnya yang rajin mendiktekan kata-kata lucu, mengajaknya “membuat karangan”, tulisannya sudah terbentuk, bisa dibaca. Semua nilai UTSnya tak ada yang diremedial. Sebagian besar seratus. Gigi oheng-nya senantiasa terlihat saat saya dan abahnya membaca soal demi soal dan jawaban yang ia tuliskan. Sampailah pada soal terakhir. Soal no. 30. Tentang tata tertib di perpustakaan.

PertanyaannDSC_0405ya : “mengapa di perpustakaan tidak boleh berteriak?”

Jawaban Hana : “agar buku di perpustakaan tidak jatuh”.

Bentar…bentar …saya mengerutkan kening. Tidak mengerti. “Ibu gak ngerti teh…kenapa kalau berteriak bukunya jadi jatuh?”

Dengan wajah riang khasnya, dia menjawab ….“ih…ibu…pernah gak liat di film…kalau kita teriak keras, kan buuuur,,,,nanti dindingnya runtuh, rak-rak lemari buku juga akan bergerak,,,jadi kan bukunya pada jatuh!”.

Ahahahaha….mana kepikiran ama kita orang dewasa jawaban seperi itu ….. khas imajinasi anak kecil. Tapi…apakah itu jawaban yang salah? Lihatlah tanda centang yang menunjukkan bu guru membetulkan jawaban itu. Salam takzim untuk bu Guru.

Ia, adalah guru yang memahami bahwa anak, bukan miniatur orang dewasa. Logika yang disampaikan Hana dan beberapa temannya, tak salah dalam dunia mereka. Dan saya, sangat takzim pada pengajar-pemgajar seperti ini. Ia tak memaksa anak-anak yang lugu, polos, penuh imajinasi dan semangat itu untuk berpikir “dewasa”. Ia, begitu menghargai ada dunia lain , ada cara pikir lain dalam kepala-kepala mungil dan wajah-wajah polos itu. Ia, begitu menghargai pengalaman yang dimiliki anak-anak itu. Dan ia menghargai keberanian anak-anak ini mengungkapkan pengalamannya.

Hana pun menceritakan jawaban beberapa temannya yang lain. Jawaban-jawaban lugu anak kecil. Andaikan bu guru menyalahkan jawaban-jawaban ini, mungkin anak-anak ini akan “layu sebelum berkembang”, saat apa yang mereka miliki tak dihargai, dan mereka  dipaksa untuk menghafal sesuatu yang tak bisa ia pahami.

Ya…banyak sekali puisi, kata-kata mutiara, tulisan, pesan-pesan para trainer parenting tentang menghargai anak. Tapi, sejatinya kita tak akan bisa menghargai anak kalau kita tak paham bahwa anak, bukalah orang dewasa yang bertubuh kecil.

Kita, akan selalu tak bisa menahan diri untuk melekatkan predikat “orang dewasa” pada anak, jika kita tak menghayati bahwa anak, bukanlah orang dewasa-mini. Kita akan mengatakan anak kita “pemalas”, “pemalu”, “pemarah”….

Kita, juga mungkin akan menakar ke”pintar”an anak-anak kita, dengan standar orang dewasa. Saat kita tak bisa menghayati bahwa anak bukan orang dewasa-mini, maka kita akan pelit memberikan jempol dengan tulus (catat: memberikan jempol DENGAN TULUS, bukan jempol basa-basi). Kita akan menyampaikan penghargaan yang tulus dari lubuk hati saat kita betul-betul paham bahwa untuk anak 3 tahun, berbagi itu sangat sulit.Bahwa untuk anak 4 tahun, berhenti main tablet pada waktu yang telah disepakati itu, bukan hal yang mudah.

Dan percayalah, anak tau mana pujian dan acungan jempol yang tulus dan yang tidak.

Satu kebaikan akan mengundang kebaikan yang lain. Penghayatan kita bahwa anak bukan dewasa-mini, juga akan membuat kita mampu menghargai orang-orang yang mampu menghayati hal itu. Kita akan tulus berterima kasih pada guru-guru anak kita, bahkan untuk “hal sederhana” yang mereka lakukan. Kita akan berterima kasih, karena mereka telah bersusah payah membuat skenario teater dan memberi peran si Playgroup untuk menari dengan gerakan super sederhana, repetitif dan dalam rentang waktu yang pendek. Sehingga si anak-anak tiga tahun itu, bisa tampil dengan “memuaskan”, sesuai dengan dunia mereka. Kita akan berterima kasih, si 4 tahun itu lebih banyak belajar dengan tubuhnya di lapangan dibandingkan diberikan worksheet-worksheet tak berwarna.

Bagaimana caranya menghayati bahwa anak itu bukan orang dewasa dalam wujud kecil? banyak mengamati, banyak berbincang, banyak mendengarkan mereka. Pasti kita akan banyak belajar dari mereka. Gampang kan? Tapi sssst….sini saya bisikin sesuatu….untuk bisa begitu, kita perlu rendah hati…….

Pulang…….

Teringat beberapa waktu yang lalu. Siang itu, di ruang kerja saya, saya tak kuasa menahan tangis. Sesenggukan. Sebuah gambar dan tulisan yang dikirim seorang teman menjadi penyebabnya. Gambar dan tulisan yang sebenarnya sudah sering saya terima, dari beragam grup yang saya ikuti, juga dari beragam sosmed.

Gambar dan tulisan itu kurang lebih isinya mempertanyakan mengapa wanita berpendidikan tinggi menitipkan anaknya pada pembantu. Ditambah pula dengan perbandingan yang seolah-olah menunjukkan bahwa tipe wanita seperti ini, lebih menyayangi perhiasan mahal-yang tak akan ia titipkan pada pembantu; dibandingkan dengan anak-anaknya-yang ia titipkan pada pembantu. Di bawahnya ada keterangan, betapa mulianya wanita yang memilih tinggal di rumah, dan betapa tak mulianya wanita yang memilih beraktivitas di luar rumah.

Meme ini, sudah lamaaaa dan sering sekali beredar. Dengan berbagai versi dan tingkat “ketajaman” yang berbeda. Dalam satu grup yang lain, pernah seorang teman yang memilih untuk beraktivitas di luar rumah, “mendebat” hal ini. Sang pengirim gambar mengatakan, niatnya adalah untuk “mengingatkan” dan memotivasi wanita yang memilih untuk beraktivitas di dalam rumah.

Setiap kali meme itu saya terima, biasanya saya cuek. Lempeng. Atau menanggapi dengan humor. Atau bahkan, beberapa kali beberapa teman mencurhatkan ketidaknyamanannya terhadap meme ini,  dengan serius saya “menghibur” mereka. Menyatakan bahwa betul, wanita itu memang prioritasnya di dalam rumah. Namun jika memenuhi syarat, tak apa keluar rumah. Syarat bahwa aktifitasnya baik, benar dan bermanfaat. Syarat bahwa keluarga tetap menjadi prioritas. Syarat bahwa suami meridhoi. Syarat berpakaian, bertingkah laku. Syarat bergaul. Meme-meme itu, adalah pengingat buat kita yang beraktivitas di luar rumah, untuk aware akan hal itu. Begitu biasanya saya berpendapat.

Namun siang itu, kiriman meme itu tanpa basa-basi langsung menghunjam ke bagian hati saya yang lain. Bagian hati yang mengaktifkan memori-memori mengenai wanita yang “begitu tega lebih menyayangi perhiasan emas permata-nya dibanding anak-anaknya”. Memori-memori mengenai wanita yang “menyia-nyiakan pendidikan tingginya”, dengan  menitipkan anaknya pada pembantu yang berpendidikan rendah.

Ingatan saya menerawang pada seorang teman junior yang sangat cerdas, kreatif, produktif dan energik. Ia adalah salah satu andalan tim kami. Kalau dia sudah bekerja, jaminan mutu kualitasnya. Mengagumkan. Saya tahu ia bangun jam 3 pagi setiap harinya. Menyiapkan berbagai keperluan suami dan anaknya, membuat bento-bento superlucu untuk dibawa anaknya ke sekolah. Setelah semua siap, baru ia berangkat. Malam hari, diatas jam 9, saat kita becanda-becandi di grup kita, dia sedang akan mengepel lantai dan membereskan rumah. Begitu setiap hari. Kalau hari libur, ia akan membuat worksheet-worksheet super keren untuk anaknya, melakukan percobaan ini-itu yang menarik untuk anaknya. Dengan siapa anaknya selama ia berkarya di luar rumah? dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.

Ingatan saya juga menerawang pada seorang rekan sebaya saya. Kepemimpinannya oke. Dengan tanggung jawab dan integritas yang penuh, ia berhasil membawa unit kerja yang dipimpinnya melaju. Dan karena ia punya passion yang besar untuk mengembangkan masyarakat, lihatlah beberapa komunitas masyarakat yang berkembang dengan “sentuhannya”. Sigap dan cepat tanggap. Tapi jangan berharap bisa membicarakan pekerjaan dengannya di luar jam kerja. Apalagi hari libur. Ia tinggalkan semua file bahkan laptopnya di tempat kerja. “family time” … kami semua sudah paham prinsipnya. Dengan siapa anak-anaknya selama ia berkarya di luar rumah? dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.

Ingatan saya juga menerawang pada teman-teman yang punya anak di bawah 2 tahun. Setiap waktu istirahat, di mana kami bisa saling bersenda gurau melepas lelah, mereka akan “menghilang”. Satu jam kemudian, mereka akan muncul kembali dengan 3 atau 4 botol ASIP di tangan, dengan wajah sumringah. Tak jarang pula ada yang muncul dengan mata berkaca-kaca, karena hanya berhasil memerah 1 botol. Mereka yang tengah bersedih, akan kami peluk erat ….  lalu saat tangisnya mereda, kami pun mengerahkan apa yang kami bisa untuk membantunya. Kami menyiapkan foto si kecil-nya, meminta nya membayangkan si kecil, atau beberapa orang diantara kami yang punya bakat melucu, akan membuatnya tertawa terpingkal-pingkal, membuatnya rileks…..rileks pangkal asi menderas. Saat ada acara yang sampai sore, kami akan “mengusir” si busui untuk segera pulang menemui buah hatinya. Buah hati yang ia tinggalkan dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.

Lalu ingatan saya pun menerawang, mengingat seorang senior yang sejak lama menjadi idola saya. seorang ahli yang sulit dicari tandingannya. Setiap weekend, tanpa dibayar ia masuk ke desa-desa. Dengan bendera LSM tempat ia bergabung, entah berapa wanita korban perkosaan yang telah ia bantu untuk “bangkit kembali”. Entah berapa puluh korban sodomi yang telah ia bantu untuk bisa berkembang tanpa harus menjadi pelaku sodomi di masa depan. Entah berapa banyak wanita korban KDRT yang telah ia bantu tegar dan kuatkan, sehingga meskipun telah babak belur baik fisik maupun batin, para wanita ini bisa tetap tegar mengingatkan suaminya untuk tak berlaku dzalim. Entah dengan bertahan atau memulai hidup baru. Hei….teman-teman tahu bagaimana kondisi fisik dan psikologis para waniat korban perkosaan? pernahkan melihat kondisi fisik dan psikologis anak usia 6 tahun korban sodomi kakak sepupunya? pernahkah menyaksikan babak belur wajah dan hati wanita korban kdrt? Saya selalu berusaha menghindarinya, setelah beberapa kali terpaksa harus menyaksikannya. Saya belum sanggup. Tapi senior saya ini, mendatangi mereka di rumahnya, memeluknya…..membangkitkan harapannya. Saya pernah merasakan eratnya pelukan mereka. Eraaaat sekali. Dan tak mau mereka lepaskan. Saya kadang berpikir, senior saya ini, adalah malaikat yang turun ke bumi. Dan untuk melakukan profesi “malaikat”nya, ia pastinya meninggalkan anaknya. Dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.

Terakhir, saya teringat seorang dokter muda wanita bertubuh ringkih. Dalam suatu kesempatan seleksi untuk mengikuti pendidikan spesialis, ia bercerita pada sata pengalamannya bertugas di pulau terluar sana. Terkadang kalimatnya terhenti, terbata-bata saat menceritakan bahwa ia adalah satu-satunya tenaga medis di kepulauan itu. Ketika untuk suatu penyakit yang parah, si pasien harus menunggu serhari-hari sampai ada kapal merapat, membawanya ke rumah sakit di seberang pulau. Saat ia bingung memutuskan apakah ia harus melakukan tindakan di luar prosedur atau harus pasrah pasiennya meregang nyawa di hadapannya, Saat ia berhasil membantu kehidupan anak satu-satunya dari pasangan suami istri yang sudah kehilangan asa, saat ia harus bermalam di rumah pasien….semua itu ia lakukan dengan meninggalkan anaknya bersama pembantu, yang pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.

Gambar dan tulisan yang dikirimkan oleh teman saya itu, tak membedakan wanita-wanita yang hadir di memory saya, dengan wanita-wanita yang keluar rumah tanpa mempedulikan beragam persyaratan yang harus dipenuni. Tidak. Tidak ada keterangan. Dalam gambar dan tulisan itu, semua wanita yang meniggalkan anaknya dengan pembantu, dinilai sama. Mereka adalah wanita yang lebih menghargai emas perhiasannya dibanding anaknya.

Dalam gambar dan tulisan itu juga tak ada keterangan mengenai  kualitas pembantunya. Apakah pembantunya dapat dipercaya atau tidak. Apakah pembantunya responsif atau tidak. Apakah pembantunya telaten atau tidak. Yang dinyatakan disana adalah satu dimensi dari pembantu.  Berpendidikan rendah. Dan sia-sialah sekolah tinggi para ibu itu, karena tingginya pendidikan mereka tak pernah dinikmati oleh anak-anaknya. Sekolah tinggi mereka sia-sia, tak bermanfaat. Itu poinnya. Sepertinya.

……..

Setelah sedikit reda sesenggukan saya, saya merasa harus membagi perasaan ini. Perasaan ini…apa namanya ya? tersentuh?terharu?  jelas bukan. Marah? engga sih….saya mengerti maksud baik teman saya maupun pembuat meme ini.  Kecewa? Sedih? itu lebih mendekati. Saya kirimkan gambar dan tulisan itu pada soulmate saya, mas. Mas, segera mengirimkan balasan dengan menghibur dan mengingatkan kembali hasil konsultasi kami dengan ustadz kepercayaan kami mengenai keputusan saya beraktivitas di luar rumah.

Saya kirimkan pula gambar itu pada seorang sahabat nun jauh disana, dengan sedikit keterangan perasaan saya. Sahabat saya kaget, kenapa hal yang biasanya bisa saya tanggapi dengan “enteng”, berhasil membuat saya sesenggukan. “Kayaknya aku lelah”. Itu yang saya katakan. Ya, akhirnya saya menemukan nama perasaan yang tepat. “Lelah”.

Air mata ini, adalah akumulasi dari kelelahan saya menghadapi perilaku-perilaku yang diwakili oleh gambar dan tulisan itu. Saya lelah dengan dunia yang kini melihat semua fenomena hanya dari dua warna. Hitam dan putih. Hanya ada dua.Kalau tidak hitam, ya putih.

Capres ini 100% buruk- capres itu 100% baik. Apapun yang dilakukan oleh teman yang ini salah – apapun yang dilakukan oleh teman yang itu benar. Negara ABC itu sepenuhnya keren – negara XYZ itu sepenuhnya butut. Sistem pendidikan EFGH sempurna – sistem pendidikan LMNO tak ada baiknya sama sekali. Apapun yang dikatakan pemimpin ini dilatarbelakangi oleh niat buruk – apapun yang dikatakan pemimpin itu  selalu berlatarbelakang kebaikan. Orang-orang yang menshare berita ini, membela agamanya – orang-orang yang menshare berita itu, melawan ajaran agamanya. Kalau ikut kajian ustadz ini, berarti mencintai Rasululah – yang gak ikut kajian ustadz ini, tak mencintai Rasulullah. Wanita yang memilih ini mulia – wanita yang memilih itu tidak mulia.

Kelelahan itu, membuat air mata saya tak berhenti mengalir. Bahkan sampai sorenya saya pulang, sepanjang penjalanan jatinangor-bandung, saya terus mengusap air mata saya dengan ujung kerudung. Sesampainya di rumah, saya menyiapkan makan malam dalam diam. Mata saya masih sembab.

Ya, saya memang sedih. Amat sedih. Pandangan hitam putih ini, membuat saya sangat gelisah. Saya ingat beberapa malam yang lalu, tengah malam saya masih belum tertidur. Saya bangunkan mas yang terlelap di samping saya. Saya bertanya: “bah, ustadz ABC, DEF, GHI itu, kompeten kan? ilmunya mumpuni kan?” Bener kan, mereka ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir? mereka bukan lulusan abal-abal kan?” …. Ketiga ustadz tersebut adalah ustadz tempat kami belajar. Setiap kali kami bertanya sesuatu pada mereka, atau mereka menjawab pertanyaan, mereka selalu menyampaikan “big picture” dari persoalan yang ditanyakan. Ada beberapa pendapat. Sejarah berkembangnya pendapat-pendapat tersebut. Elemen-elemen yang menjadi pertimbangan setiap pendapat. Lalu mereka akan sampaikan analisa “pribadi” mereka terhadap beragam pendapat tersebut, yang berujung pada pilihan mereka “pribadi” terhadap beberapa pendapat tersebut. Tapi dengan uraian elemen-elemen dari setiap pilihan, kami menjadi paham, prinsip apa yang harus kami pegang dalam memutuskan suatu persoalan.

Tapi hari-hari ini, di dunia sana, sudut pandang hitam putih ini pula-lah yang mewarnai cara para guru mengajarkan agama. Pokoknya harus gini. Kalau gak gini, ya gak bener. Aturannya gitu, kalau gak gitu gak dapet apa-apa. Tak ada elemen-elemen yang bisa kita pelajari. Tak ada kerangka pikir yang dibekalkan. Tak ada prinsip yang bisa kita jadikan pegangan. Mas, yang tak perlu saya ceritakan semua sudah mengetahui kegelisahan saya, dengan mata masih tertutup bilang : “Udah, kalau mau tau kebenaran, tanya lah sama pemilik kebenaran itu sendiri, Allah. Tanya langsung….”

Ya, saya memang lelah menghadapi pandangan hitam-putih. Lebih lelah lagi dengan sikap yang selalu memandang dunia ini pertandingan. Harus “face to face”. Segala sesuatu harus dipertentangkan.Teknisnya, muncullah mom war. Muncullah manhaj ini vs manhaj itu. Golongan ini vs golongan itu.

Padahal, menurut saya, kehidupan ini lebih baik jika dihayati sebagai suatu perlombaan. Apa beda pertandingan dengan perlombaan? Perlombaan tak harus selalu dipertentangkan. Hidup ini adalah perlombaan marathon. Masing-masing menuju finish yang sama, keridhoanNya. Tapi punya track-nya sendiri-sendiri. Istilah dalam Al-Qur’an adalah berlomba-lomba. Berlomba-lomba melakukan kebaikan. Bukan bertanding. Masing-masing menghadapi track perlombaannya sendiri-sendiri, sajadah panjangnya sendiri-sendiri. Dengan ujian dan kemudahannya sendiri-sendiri, dengan potensi dan kelemahannya sendiri-sendiri.

Dalam suatu pertandingan, ada menang-kalah. Dalam perlombaan, kita semua bisa menang. Sirath. Jalan yang lebar. Kita semua bisa memang, dalam track sajadah panjang kita masing-masing.

Pertandingan, menjebak kita untuk mencari lawan. Bahkan jika kita sama-sama berada dalam lingkaran kebaikan. Pertandingan, menjebak kita untuk selalu merasakan kemenangan. Lebih benar. Lebih baik. Lebih mulia. Bahkan hasrat untuk membuktikan bahwa kita “lebih”, itu terkadang menjadi jebakan lain untuk tak mempedulikan perasaan orang lain. Panah disebar ke segala penjuru, tanpa ada target yang akan dibidik dengan jelas. Akibatnya, efsk samping dari panah itu, terkadang jauh lebih banyak daripada target inti. Niat baik tanpa kesungguhan menahan diri dan menganalisa, terkadang lebih menumbuhkan antipasti dibanding simpati.

Saya tak pernah tertarik mom war-mom war-an. Secara filosofis, itu sudah salah. Saya tak pernah mengajarkan anak-anak saya  hitam-putih. Saya akan ajarkan elemen-elemennya. Dunia boleh berubah sebesar apapun ia mau berubah. Tapi kalau kita berpegang teguh pada elemen-elemen kebaikan dan kebenaran, siapapun-apapun- tak akan mampu menjebak anak-anak kita dengan menyamar menjadi putih.

Dengan mengajarkan elemen-elemen kebaikan dan kebenaran, anak-anak kita tak akan terjebak paradox yang menyesatkan. Paradox seperti apa? Kelompok orang-orang yang dengan kencang berteriak ” jangan berteriak!”. kelompok orang-orang yang mengatakan “jangan ribut” dengan cara yang sangat berisik. Kelompok orang-orang yang bekata ; “Aku Umar! aku keras !” tanpa tahu Umar pernah berdoa mohon hatinya dilembutkan…

Akhirnya malam itu, saya mengevaluasi bahwa selama ini, energi saya banyak tersita untuk memikirkan semua hal yang membuat saya merasa lelah luar biasa. Maka, malam itu saya putuskan untuk meng-un instal semua aplikasi di smartphone saya, yang bisa membuat hati, pikiran dan perasaan saya ter-occupied oleh jebakan pertandingan itu. Saya ingin berbalik arah. Saya ingin keluah dari hingar bingar yang terjadang menjebak kita ke arah yang berbeda dengan hal-hal yang seharusnya kita kerjakan.

Saya ingin sendirian, saya butuh teman yang bisa membantu saya menghayati segala ssuatunya dengan tulus. Dan Allah meridhoi, mempertemukan saya dengan teman terbaik. Sebuah buku berjudul “pulang”, karya penulis favorit saya.

400 halaman isinya, kalau kita liat dari jauh, tak mengandung kebaikan apapun. Ia hanya berisi cerita petualangan liar seorang bujang, si babi hutan. Ya, memang diselingin oleh sentuhan-sentuhan emosi yang menusuk, yang membuat kita tak mampu menahai deraian air mata saat kisah sampai pada cerita mamak dan bapak. Tapi bukan itu intinya. Di halaman-halaman terakhir, barulah terkuak nilai-nilai kebaikan yang begitu mendalam, yang tampaknya ingin disampaikan oleh sang penulis, yang membuat kita terpaksa mengingat kembali dan merasa malu, bahwa perjalanan panjang bacaan di awal, tak mampu kita hayati nilai kebaikannya.

“Setialah pada prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya kesetiaan pada prinsiplah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya.

“…..Hanya samurai sejati yang tiba pada titik itu. Di titik ketika seolah kau bisa keluar dari tubuhmu sendiri, berdiri, menatap refleksi dirimu seperti sedang menatap cermin. Kau seperti bisa menyentuhnya, tersenyum takzim, menyaksikan betapa jernihnya kehidupam. Saat itu terjadi, kita telah pulang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiaraan.”

pulang

Yes ! satu poin yang saya suka dari buku ini, salah satu pesannya ialah…it’s oke to be affraid. Bahwa perasaan-perasaan itu, diakui. Diindahkan. Dihayati. Dipeluk. Bahwa dalam beragama, perasaan tak hanya melulu disalahkan sebagai tunggangan syetan. Buat apa Allah menciptakan perasaan kalau ia harus kita abaikan dan harus kita tindas bukan?

Kebaikan apapun yang akan kita sebarkan, tanpa perasaan dan kepedulian, tak akan terasa ketulusannya, apalagi kebaikannya. Kebaikan apapun yang diajarkan pada kita, tanpa penghayatan….akan mudah sekali diubah menjadi dogma-dogman  yang tak bermakna apa-apa buat kita

Ya, saya memutuskan untuk pulang. Meski sempat ragu apakah dengan menutup mata terhadap semua yang sedang terjadi di luar sana akan membuat saya kehilangan kesempatan menonton atau terlibat pertandingan-pertandingan seru dan “besar”… Tidak, akhirnya saya berbulat hati.

Saya memutuskan untuk pulang. Saya ingin menghabiskan waktu menyelami hati dan perasaan saya.  Saya tak tertarik lagi pada semua pertandingan. Saya tak tertarik memperbincangkan ataupun menengahi pertandingan apapun. Entah itu pertandingan kemuliaan para ibu, juga mendebatkan sistem ini itu.

Saya tak mau ikut nimbrung mengenai apakah adzan itu mengganggu atau tidak. Saya akan lebih menghabiskan energi saya untuk menghayati bahwa adzan itu, panggilan Tuhan itu, tidak pernah didesain untuk mengganggu. Panggilan itu, tidak pernah mengenal kata terlambat. Panggilan itu selalu bekerja secara misterius. Kalimat indah ini, ada di buku “Pulang”.

Ya, saya bertekad akan lebih menyibukkan diri dengan terus mempelajari prinsip kebaikan dan kebenaran, terus menempa untuk setia terhadap prinsip kebaikan dan kebenaran itu, saya akan berusaha untuk menekuri sajadah panjang perlombaan, sambil kalau bisa, mengajak yang lain untuk menang bersama. Sambil tentu saja, sesuai saran mas….bertanya langsung pada sang Maha, agar ditunjukkan yang manakah kebaikan dan kebenaran itu…..

sumber gambar : https://roisablog.wordpress.com/2013/01/19/senja-terserak-di-merak-disayembarakan-dalam-lomba-menulis-cerpen-tingkat-nasional-dengan-tema-banten-banten-muda-community/