Teringat beberapa waktu yang lalu. Siang itu, di ruang kerja saya, saya tak kuasa menahan tangis. Sesenggukan. Sebuah gambar dan tulisan yang dikirim seorang teman menjadi penyebabnya. Gambar dan tulisan yang sebenarnya sudah sering saya terima, dari beragam grup yang saya ikuti, juga dari beragam sosmed.
Gambar dan tulisan itu kurang lebih isinya mempertanyakan mengapa wanita berpendidikan tinggi menitipkan anaknya pada pembantu. Ditambah pula dengan perbandingan yang seolah-olah menunjukkan bahwa tipe wanita seperti ini, lebih menyayangi perhiasan mahal-yang tak akan ia titipkan pada pembantu; dibandingkan dengan anak-anaknya-yang ia titipkan pada pembantu. Di bawahnya ada keterangan, betapa mulianya wanita yang memilih tinggal di rumah, dan betapa tak mulianya wanita yang memilih beraktivitas di luar rumah.
Meme ini, sudah lamaaaa dan sering sekali beredar. Dengan berbagai versi dan tingkat “ketajaman” yang berbeda. Dalam satu grup yang lain, pernah seorang teman yang memilih untuk beraktivitas di luar rumah, “mendebat” hal ini. Sang pengirim gambar mengatakan, niatnya adalah untuk “mengingatkan” dan memotivasi wanita yang memilih untuk beraktivitas di dalam rumah.
Setiap kali meme itu saya terima, biasanya saya cuek. Lempeng. Atau menanggapi dengan humor. Atau bahkan, beberapa kali beberapa teman mencurhatkan ketidaknyamanannya terhadap meme ini, dengan serius saya “menghibur” mereka. Menyatakan bahwa betul, wanita itu memang prioritasnya di dalam rumah. Namun jika memenuhi syarat, tak apa keluar rumah. Syarat bahwa aktifitasnya baik, benar dan bermanfaat. Syarat bahwa keluarga tetap menjadi prioritas. Syarat bahwa suami meridhoi. Syarat berpakaian, bertingkah laku. Syarat bergaul. Meme-meme itu, adalah pengingat buat kita yang beraktivitas di luar rumah, untuk aware akan hal itu. Begitu biasanya saya berpendapat.
Namun siang itu, kiriman meme itu tanpa basa-basi langsung menghunjam ke bagian hati saya yang lain. Bagian hati yang mengaktifkan memori-memori mengenai wanita yang “begitu tega lebih menyayangi perhiasan emas permata-nya dibanding anak-anaknya”. Memori-memori mengenai wanita yang “menyia-nyiakan pendidikan tingginya”, dengan menitipkan anaknya pada pembantu yang berpendidikan rendah.
Ingatan saya menerawang pada seorang teman junior yang sangat cerdas, kreatif, produktif dan energik. Ia adalah salah satu andalan tim kami. Kalau dia sudah bekerja, jaminan mutu kualitasnya. Mengagumkan. Saya tahu ia bangun jam 3 pagi setiap harinya. Menyiapkan berbagai keperluan suami dan anaknya, membuat bento-bento superlucu untuk dibawa anaknya ke sekolah. Setelah semua siap, baru ia berangkat. Malam hari, diatas jam 9, saat kita becanda-becandi di grup kita, dia sedang akan mengepel lantai dan membereskan rumah. Begitu setiap hari. Kalau hari libur, ia akan membuat worksheet-worksheet super keren untuk anaknya, melakukan percobaan ini-itu yang menarik untuk anaknya. Dengan siapa anaknya selama ia berkarya di luar rumah? dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.
Ingatan saya juga menerawang pada seorang rekan sebaya saya. Kepemimpinannya oke. Dengan tanggung jawab dan integritas yang penuh, ia berhasil membawa unit kerja yang dipimpinnya melaju. Dan karena ia punya passion yang besar untuk mengembangkan masyarakat, lihatlah beberapa komunitas masyarakat yang berkembang dengan “sentuhannya”. Sigap dan cepat tanggap. Tapi jangan berharap bisa membicarakan pekerjaan dengannya di luar jam kerja. Apalagi hari libur. Ia tinggalkan semua file bahkan laptopnya di tempat kerja. “family time” … kami semua sudah paham prinsipnya. Dengan siapa anak-anaknya selama ia berkarya di luar rumah? dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.
Ingatan saya juga menerawang pada teman-teman yang punya anak di bawah 2 tahun. Setiap waktu istirahat, di mana kami bisa saling bersenda gurau melepas lelah, mereka akan “menghilang”. Satu jam kemudian, mereka akan muncul kembali dengan 3 atau 4 botol ASIP di tangan, dengan wajah sumringah. Tak jarang pula ada yang muncul dengan mata berkaca-kaca, karena hanya berhasil memerah 1 botol. Mereka yang tengah bersedih, akan kami peluk erat …. lalu saat tangisnya mereda, kami pun mengerahkan apa yang kami bisa untuk membantunya. Kami menyiapkan foto si kecil-nya, meminta nya membayangkan si kecil, atau beberapa orang diantara kami yang punya bakat melucu, akan membuatnya tertawa terpingkal-pingkal, membuatnya rileks…..rileks pangkal asi menderas. Saat ada acara yang sampai sore, kami akan “mengusir” si busui untuk segera pulang menemui buah hatinya. Buah hati yang ia tinggalkan dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.
Lalu ingatan saya pun menerawang, mengingat seorang senior yang sejak lama menjadi idola saya. seorang ahli yang sulit dicari tandingannya. Setiap weekend, tanpa dibayar ia masuk ke desa-desa. Dengan bendera LSM tempat ia bergabung, entah berapa wanita korban perkosaan yang telah ia bantu untuk “bangkit kembali”. Entah berapa puluh korban sodomi yang telah ia bantu untuk bisa berkembang tanpa harus menjadi pelaku sodomi di masa depan. Entah berapa banyak wanita korban KDRT yang telah ia bantu tegar dan kuatkan, sehingga meskipun telah babak belur baik fisik maupun batin, para wanita ini bisa tetap tegar mengingatkan suaminya untuk tak berlaku dzalim. Entah dengan bertahan atau memulai hidup baru. Hei….teman-teman tahu bagaimana kondisi fisik dan psikologis para waniat korban perkosaan? pernahkan melihat kondisi fisik dan psikologis anak usia 6 tahun korban sodomi kakak sepupunya? pernahkah menyaksikan babak belur wajah dan hati wanita korban kdrt? Saya selalu berusaha menghindarinya, setelah beberapa kali terpaksa harus menyaksikannya. Saya belum sanggup. Tapi senior saya ini, mendatangi mereka di rumahnya, memeluknya…..membangkitkan harapannya. Saya pernah merasakan eratnya pelukan mereka. Eraaaat sekali. Dan tak mau mereka lepaskan. Saya kadang berpikir, senior saya ini, adalah malaikat yang turun ke bumi. Dan untuk melakukan profesi “malaikat”nya, ia pastinya meninggalkan anaknya. Dengan pembantu, yang tentu pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.
Terakhir, saya teringat seorang dokter muda wanita bertubuh ringkih. Dalam suatu kesempatan seleksi untuk mengikuti pendidikan spesialis, ia bercerita pada sata pengalamannya bertugas di pulau terluar sana. Terkadang kalimatnya terhenti, terbata-bata saat menceritakan bahwa ia adalah satu-satunya tenaga medis di kepulauan itu. Ketika untuk suatu penyakit yang parah, si pasien harus menunggu serhari-hari sampai ada kapal merapat, membawanya ke rumah sakit di seberang pulau. Saat ia bingung memutuskan apakah ia harus melakukan tindakan di luar prosedur atau harus pasrah pasiennya meregang nyawa di hadapannya, Saat ia berhasil membantu kehidupan anak satu-satunya dari pasangan suami istri yang sudah kehilangan asa, saat ia harus bermalam di rumah pasien….semua itu ia lakukan dengan meninggalkan anaknya bersama pembantu, yang pendidikannya lebih rendah dibanding dirinya.
Gambar dan tulisan yang dikirimkan oleh teman saya itu, tak membedakan wanita-wanita yang hadir di memory saya, dengan wanita-wanita yang keluar rumah tanpa mempedulikan beragam persyaratan yang harus dipenuni. Tidak. Tidak ada keterangan. Dalam gambar dan tulisan itu, semua wanita yang meniggalkan anaknya dengan pembantu, dinilai sama. Mereka adalah wanita yang lebih menghargai emas perhiasannya dibanding anaknya.
Dalam gambar dan tulisan itu juga tak ada keterangan mengenai kualitas pembantunya. Apakah pembantunya dapat dipercaya atau tidak. Apakah pembantunya responsif atau tidak. Apakah pembantunya telaten atau tidak. Yang dinyatakan disana adalah satu dimensi dari pembantu. Berpendidikan rendah. Dan sia-sialah sekolah tinggi para ibu itu, karena tingginya pendidikan mereka tak pernah dinikmati oleh anak-anaknya. Sekolah tinggi mereka sia-sia, tak bermanfaat. Itu poinnya. Sepertinya.
……..
Setelah sedikit reda sesenggukan saya, saya merasa harus membagi perasaan ini. Perasaan ini…apa namanya ya? tersentuh?terharu? jelas bukan. Marah? engga sih….saya mengerti maksud baik teman saya maupun pembuat meme ini. Kecewa? Sedih? itu lebih mendekati. Saya kirimkan gambar dan tulisan itu pada soulmate saya, mas. Mas, segera mengirimkan balasan dengan menghibur dan mengingatkan kembali hasil konsultasi kami dengan ustadz kepercayaan kami mengenai keputusan saya beraktivitas di luar rumah.
Saya kirimkan pula gambar itu pada seorang sahabat nun jauh disana, dengan sedikit keterangan perasaan saya. Sahabat saya kaget, kenapa hal yang biasanya bisa saya tanggapi dengan “enteng”, berhasil membuat saya sesenggukan. “Kayaknya aku lelah”. Itu yang saya katakan. Ya, akhirnya saya menemukan nama perasaan yang tepat. “Lelah”.
Air mata ini, adalah akumulasi dari kelelahan saya menghadapi perilaku-perilaku yang diwakili oleh gambar dan tulisan itu. Saya lelah dengan dunia yang kini melihat semua fenomena hanya dari dua warna. Hitam dan putih. Hanya ada dua.Kalau tidak hitam, ya putih.
Capres ini 100% buruk- capres itu 100% baik. Apapun yang dilakukan oleh teman yang ini salah – apapun yang dilakukan oleh teman yang itu benar. Negara ABC itu sepenuhnya keren – negara XYZ itu sepenuhnya butut. Sistem pendidikan EFGH sempurna – sistem pendidikan LMNO tak ada baiknya sama sekali. Apapun yang dikatakan pemimpin ini dilatarbelakangi oleh niat buruk – apapun yang dikatakan pemimpin itu selalu berlatarbelakang kebaikan. Orang-orang yang menshare berita ini, membela agamanya – orang-orang yang menshare berita itu, melawan ajaran agamanya. Kalau ikut kajian ustadz ini, berarti mencintai Rasululah – yang gak ikut kajian ustadz ini, tak mencintai Rasulullah. Wanita yang memilih ini mulia – wanita yang memilih itu tidak mulia.
Kelelahan itu, membuat air mata saya tak berhenti mengalir. Bahkan sampai sorenya saya pulang, sepanjang penjalanan jatinangor-bandung, saya terus mengusap air mata saya dengan ujung kerudung. Sesampainya di rumah, saya menyiapkan makan malam dalam diam. Mata saya masih sembab.
Ya, saya memang sedih. Amat sedih. Pandangan hitam putih ini, membuat saya sangat gelisah. Saya ingat beberapa malam yang lalu, tengah malam saya masih belum tertidur. Saya bangunkan mas yang terlelap di samping saya. Saya bertanya: “bah, ustadz ABC, DEF, GHI itu, kompeten kan? ilmunya mumpuni kan?” Bener kan, mereka ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir? mereka bukan lulusan abal-abal kan?” …. Ketiga ustadz tersebut adalah ustadz tempat kami belajar. Setiap kali kami bertanya sesuatu pada mereka, atau mereka menjawab pertanyaan, mereka selalu menyampaikan “big picture” dari persoalan yang ditanyakan. Ada beberapa pendapat. Sejarah berkembangnya pendapat-pendapat tersebut. Elemen-elemen yang menjadi pertimbangan setiap pendapat. Lalu mereka akan sampaikan analisa “pribadi” mereka terhadap beragam pendapat tersebut, yang berujung pada pilihan mereka “pribadi” terhadap beberapa pendapat tersebut. Tapi dengan uraian elemen-elemen dari setiap pilihan, kami menjadi paham, prinsip apa yang harus kami pegang dalam memutuskan suatu persoalan.
Tapi hari-hari ini, di dunia sana, sudut pandang hitam putih ini pula-lah yang mewarnai cara para guru mengajarkan agama. Pokoknya harus gini. Kalau gak gini, ya gak bener. Aturannya gitu, kalau gak gitu gak dapet apa-apa. Tak ada elemen-elemen yang bisa kita pelajari. Tak ada kerangka pikir yang dibekalkan. Tak ada prinsip yang bisa kita jadikan pegangan. Mas, yang tak perlu saya ceritakan semua sudah mengetahui kegelisahan saya, dengan mata masih tertutup bilang : “Udah, kalau mau tau kebenaran, tanya lah sama pemilik kebenaran itu sendiri, Allah. Tanya langsung….”
Ya, saya memang lelah menghadapi pandangan hitam-putih. Lebih lelah lagi dengan sikap yang selalu memandang dunia ini pertandingan. Harus “face to face”. Segala sesuatu harus dipertentangkan.Teknisnya, muncullah mom war. Muncullah manhaj ini vs manhaj itu. Golongan ini vs golongan itu.
Padahal, menurut saya, kehidupan ini lebih baik jika dihayati sebagai suatu perlombaan. Apa beda pertandingan dengan perlombaan? Perlombaan tak harus selalu dipertentangkan. Hidup ini adalah perlombaan marathon. Masing-masing menuju finish yang sama, keridhoanNya. Tapi punya track-nya sendiri-sendiri. Istilah dalam Al-Qur’an adalah berlomba-lomba. Berlomba-lomba melakukan kebaikan. Bukan bertanding. Masing-masing menghadapi track perlombaannya sendiri-sendiri, sajadah panjangnya sendiri-sendiri. Dengan ujian dan kemudahannya sendiri-sendiri, dengan potensi dan kelemahannya sendiri-sendiri.
Dalam suatu pertandingan, ada menang-kalah. Dalam perlombaan, kita semua bisa menang. Sirath. Jalan yang lebar. Kita semua bisa memang, dalam track sajadah panjang kita masing-masing.
Pertandingan, menjebak kita untuk mencari lawan. Bahkan jika kita sama-sama berada dalam lingkaran kebaikan. Pertandingan, menjebak kita untuk selalu merasakan kemenangan. Lebih benar. Lebih baik. Lebih mulia. Bahkan hasrat untuk membuktikan bahwa kita “lebih”, itu terkadang menjadi jebakan lain untuk tak mempedulikan perasaan orang lain. Panah disebar ke segala penjuru, tanpa ada target yang akan dibidik dengan jelas. Akibatnya, efsk samping dari panah itu, terkadang jauh lebih banyak daripada target inti. Niat baik tanpa kesungguhan menahan diri dan menganalisa, terkadang lebih menumbuhkan antipasti dibanding simpati.
Saya tak pernah tertarik mom war-mom war-an. Secara filosofis, itu sudah salah. Saya tak pernah mengajarkan anak-anak saya hitam-putih. Saya akan ajarkan elemen-elemennya. Dunia boleh berubah sebesar apapun ia mau berubah. Tapi kalau kita berpegang teguh pada elemen-elemen kebaikan dan kebenaran, siapapun-apapun- tak akan mampu menjebak anak-anak kita dengan menyamar menjadi putih.
Dengan mengajarkan elemen-elemen kebaikan dan kebenaran, anak-anak kita tak akan terjebak paradox yang menyesatkan. Paradox seperti apa? Kelompok orang-orang yang dengan kencang berteriak ” jangan berteriak!”. kelompok orang-orang yang mengatakan “jangan ribut” dengan cara yang sangat berisik. Kelompok orang-orang yang bekata ; “Aku Umar! aku keras !” tanpa tahu Umar pernah berdoa mohon hatinya dilembutkan…
Akhirnya malam itu, saya mengevaluasi bahwa selama ini, energi saya banyak tersita untuk memikirkan semua hal yang membuat saya merasa lelah luar biasa. Maka, malam itu saya putuskan untuk meng-un instal semua aplikasi di smartphone saya, yang bisa membuat hati, pikiran dan perasaan saya ter-occupied oleh jebakan pertandingan itu. Saya ingin berbalik arah. Saya ingin keluah dari hingar bingar yang terjadang menjebak kita ke arah yang berbeda dengan hal-hal yang seharusnya kita kerjakan.
Saya ingin sendirian, saya butuh teman yang bisa membantu saya menghayati segala ssuatunya dengan tulus. Dan Allah meridhoi, mempertemukan saya dengan teman terbaik. Sebuah buku berjudul “pulang”, karya penulis favorit saya.
400 halaman isinya, kalau kita liat dari jauh, tak mengandung kebaikan apapun. Ia hanya berisi cerita petualangan liar seorang bujang, si babi hutan. Ya, memang diselingin oleh sentuhan-sentuhan emosi yang menusuk, yang membuat kita tak mampu menahai deraian air mata saat kisah sampai pada cerita mamak dan bapak. Tapi bukan itu intinya. Di halaman-halaman terakhir, barulah terkuak nilai-nilai kebaikan yang begitu mendalam, yang tampaknya ingin disampaikan oleh sang penulis, yang membuat kita terpaksa mengingat kembali dan merasa malu, bahwa perjalanan panjang bacaan di awal, tak mampu kita hayati nilai kebaikannya.
“Setialah pada prinsip, bukan pada orang atau kelompok. Di masa-masa sulit, hanya kesetiaan pada prinsiplah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya.
“…..Hanya samurai sejati yang tiba pada titik itu. Di titik ketika seolah kau bisa keluar dari tubuhmu sendiri, berdiri, menatap refleksi dirimu seperti sedang menatap cermin. Kau seperti bisa menyentuhnya, tersenyum takzim, menyaksikan betapa jernihnya kehidupam. Saat itu terjadi, kita telah pulang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiaraan.”

Yes ! satu poin yang saya suka dari buku ini, salah satu pesannya ialah…it’s oke to be affraid. Bahwa perasaan-perasaan itu, diakui. Diindahkan. Dihayati. Dipeluk. Bahwa dalam beragama, perasaan tak hanya melulu disalahkan sebagai tunggangan syetan. Buat apa Allah menciptakan perasaan kalau ia harus kita abaikan dan harus kita tindas bukan?
Kebaikan apapun yang akan kita sebarkan, tanpa perasaan dan kepedulian, tak akan terasa ketulusannya, apalagi kebaikannya. Kebaikan apapun yang diajarkan pada kita, tanpa penghayatan….akan mudah sekali diubah menjadi dogma-dogman yang tak bermakna apa-apa buat kita
Ya, saya memutuskan untuk pulang. Meski sempat ragu apakah dengan menutup mata terhadap semua yang sedang terjadi di luar sana akan membuat saya kehilangan kesempatan menonton atau terlibat pertandingan-pertandingan seru dan “besar”… Tidak, akhirnya saya berbulat hati.
Saya memutuskan untuk pulang. Saya ingin menghabiskan waktu menyelami hati dan perasaan saya. Saya tak tertarik lagi pada semua pertandingan. Saya tak tertarik memperbincangkan ataupun menengahi pertandingan apapun. Entah itu pertandingan kemuliaan para ibu, juga mendebatkan sistem ini itu.
Saya tak mau ikut nimbrung mengenai apakah adzan itu mengganggu atau tidak. Saya akan lebih menghabiskan energi saya untuk menghayati bahwa adzan itu, panggilan Tuhan itu, tidak pernah didesain untuk mengganggu. Panggilan itu, tidak pernah mengenal kata terlambat. Panggilan itu selalu bekerja secara misterius. Kalimat indah ini, ada di buku “Pulang”.
Ya, saya bertekad akan lebih menyibukkan diri dengan terus mempelajari prinsip kebaikan dan kebenaran, terus menempa untuk setia terhadap prinsip kebaikan dan kebenaran itu, saya akan berusaha untuk menekuri sajadah panjang perlombaan, sambil kalau bisa, mengajak yang lain untuk menang bersama. Sambil tentu saja, sesuai saran mas….bertanya langsung pada sang Maha, agar ditunjukkan yang manakah kebaikan dan kebenaran itu…..
sumber gambar : https://roisablog.wordpress.com/2013/01/19/senja-terserak-di-merak-disayembarakan-dalam-lomba-menulis-cerpen-tingkat-nasional-dengan-tema-banten-banten-muda-community/
Recent Comments