Dia Ciptakan Seorang Kekasih: Tak Sekedar Puisi

Beberapa minggu terakhir ini, entah mengapa saya teringat sebuah puisi. Bukan puisi biasa. Puisi istimewa. Karena ia sangat istimewa, 15 tahun lalu, saya tuliskan puisi itu di undangan pernikahan kami. Saya juga engga tau kenapa tiba-tiba ingat puisi itu. Padahal ulang tahun pernikahan kami masih 5 bulan lagi.

Masalahnya adalah…. saya gak ingat puisi itu judulnya apa, kata-katanya gimana. Yang saya ingat persis adalah, puisi itu karya Kang Jalal, Jalaludin Rakhmat. Yups, Kang Jalal yang “syiah” itu. Apa itu berarti saya juga syiah? Mangga aja kalau mau menyimpulkan begitu. Tapi saya sendiri berprinsip bahwa fakta bahwa beliau syiah, tak berarti membuat saya harus melihat beliau sebagai orang yang 100% JELEK. Saya tetap mengakui bahwa beliau adalah seorang komunikator yang baik, yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan konsep-konsep rumit menjadi bahasan yang ringan dan mudah dicerna. Beberapa karya puisi beliau juga sangat dalam maknanya. Salah satunya adalah yang berusaha setengah mati saya ingat, yang saya tuliskan di surat undangan pernikahan kami 15 tahun lalu.

Saya tanya si abah: “bah, inget gak puisi Kang Jalal yang kita tulis di undangan pernikahan kita?”. Si abah menjawab dengan spontan: “inget” . Wah, surprise banget nih si abah yang selalu lupa dimana nyimpen kunci, dimana nyimpen kacamata, dimana nyimpen pulpen, sabuk, dll inget puisi ! dari 15 tahun lalu! “Apa sih bah judulnya?” tanya saya lagi. “Antara Krawang dan Bekasi kan?” Jawabnya pede. Dasarrrrr….

Maka, langkah terakhir adalah….membuka contekan haha. Saya buka laci tempat saya menyimpan puluhan diary sejak kelas 1 SMP dulu, tempat saya nyimpen file email-emailan kita saat taaruf dulu, tempat saya nyimpen hasil USG anak-anak waktu masih di perut…. dan di situ ada surat undangan pernikahan kami.

Tadaaa…inilah puisi itu ….

Dia Ciptakan Seorang Kekasih

Diciptakan Allah bumi dengan segala isinya
Samudera luas, bukit tinggi, hutan belantara
Diedarkan Allah mentari, rembulan dan gemintang
Diturunkan hujan, ditumbuhkannya pepohonan
Dan disiramkannya tetanaman
Semuanya untuk kebahagiaan manusia

Tetapi Allah Maha Tahu,
Memberikan lebih daripada itu
Diketahuinya getar dada kerinduan hati
Dia tahu, betapa kita sering memerlukan seseorang
Yang mendengar bukan saja kata yang diucapkan
Namun juga jeritan hati yang tak terungkapkan
Yang mau menerima perasaan

Allah tahu pada saat kita diharu-biru
Dihempas ombak, diguncang badai, dan dilanda duka
Kita memerlukan seseorang
Yang mampu meniupkan kedamaian,
Mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, memperkuat hati

Allah tahu, kadang kita berdiri sendirian
Lantaran keyakinan atau mengejar impian
Kita memerlukan seseorang
Yang bersedia berdiri di samping kita

………

15 tahun lalu, puisi ini saya maknai hanya sekedar sebagai rangkatan kata yang indah. Tapi saat ini, menjelang 15 tahun menjalani pernikahan, saya menghayati tak sekedar rangkaian kalimatnya, tapi juga maknanya.

Apa yang diungkapkan dalam puisi di atas adalah pengejawantahan dari makna bahwa suami/istri kita, adalah seseorang yang “melengkapkan separuh agama”. Pengejawantahan dari kata “sakinah”; menentramkan. Penggambaran dari keinginan “growing together with you”.

Di usia kita yang menjelang 40 tahun, (usia saya maksudnya haha…); ada sebagian teman kita diuji kesabarannya dengan belum dipertemukan dengan belahan jiwanya dalam ikatan pernikahan. Atau pernah dipertemukan, namun terpisah. Padahal kata seorang teman, memiliki seorang “kekasih” seperti tergambar dalam puisi di atas, adalah suatu fitrah, keinginan terdalam seseorang. Se”hebat” apapun dia sebagai individu. Teman saya tersebut, menyampaikan keprihatinannya akan banyaknya kasus perceraian saat ini. Tapi saya punya keprihatinan yang lain. Keprihatinan bahwa banyak pasangan, menjalani kehidupan pernikahan hanya secara “kasat mata”. Mereka tinggal bersama, ke kondangan pake baju seragam, foto di medsos berdua, tapi secara psikologis, secara batin, mereka terpisah jauh.

Dulu, saya berpikir bahwa waktu, akan menyelesaikan banyak hal. Lamanya waktu menikah, akan membuat kita semakin menyatu dengan pasangan kita. Tapi ternyata tidak. Ada banyak pernikahan yang usianya belasan, puluhan tahun, tapi masih merasa asing dengan pasangannya, hubungan masih didominasi rasa “takut”, atau rasa”tidak percaya”, atau bahkan rasa “gak tau harus gimana”. Padahal tinggal bersama, bicara, berhubungan badan, memiliki putra/putri selama belasan/puluhan tahun.

Lalu apa yang salah? lama waktunya-kah? bukan. Waktu, memang akan mengajarkan banyak hal. Pengalaman, memang menjadi guru yang terbaik. Namun cara kerjanya, bukan dengan otomatis. Allah menganugerahkannya sebagai konsekuensi jika kita sungguh-sungguh mau menghayati dan belajar, mau mencurahkan seluruh energi untuk saling menumbuhkan rasa percaya, peduli, menghargai, menerima, mencintai.

Ya, ada sebagian dari kita diuji dengan psangan yang memiliki gangguan psikologis. Pasangan yang tak punya empati, tak mau belajar, pasangan yang rapuh pribadinya sehingga ia tak bisa mendapatkan masukan, pasangan yang merasa perlu mempertahankan egonya dengan menunjukkan kuasanya. Tapi itu hanya berapa persen? Sebagian besar dari kita, hidup bersama pasangan yang bisa belajar.

Kata seorang teman saya yang penelitiannya di bidang perkawinan, saat ini banyak orang yang kehilangan kepercayaan pada institusi perkawinan. Sebagian dari mereka memutuskan untuk tidak menikah. Sebagiannya memutuskan menikah namun tak percaya bahwa pernikahan ini akan menjadi yang pertama dan terakhir seumur hidup.

Ada juga sebagian yang menyatakan ingin berjuang untuk “tumbuh menua bersama” pasangannya. Sebuah cita-cita mulia. Namun, cita-cita semata tak cukup. Ia harus diwujudkan dalam sebuah kesadaran. Kesadaran ini yang akan membuat kita selalu mengevaluasi. Apakah pasangan kita adalah seorang “kekasih” bagi kita? atau ia hanya sekedar seorang “suami” yang fotonya tertera di buku nikah kita? apakah istri yang telah belasan tahun bersama kita adalah seorang yang menentramkan kita? atau ia hanyalah seseorang yang mendampingi kita saat undangan?

Tumbuh tua bersama, kalau itu menjadi cita-cita kita, semoga Allah memudahkan jalannya. Namun, cita-cita semata tak cukup. Ia harus diwujudkan dalam sebuah perjuangan. Perjuangan ini yang akan membuat kita setelah mengevaluasi, mau “bergerak” untuk mengubah keadaan. Tak hanya diam dan berlindung dibalik kata “sabar”. Karena sabar sama sekali berbeda makna dengan diam tak berupaya.

Ada satu  indikator nyata proses pembelajaran kita dalam pernikahan. Komunikasi. Semakin kita “dekat” secara hati dengan seseorang, maka akan semakin yakin bagi kita untuk mencoba membicarakan apa yang kita pikir dan rasakan pada orang tersebut. Meskipun apa yang akan kita bicarakan adalah sesuatu yang tak nyaman bagi kita atau baginya, kalau hati kita dekat, kita akan punya kekuatan untuk tak menyerah, terus berusaha membicarakannya. Mengapa? kita tahu pembicaraan ini mungkin akan mengesalkan, mungkin akan menyedihkan, mungkin akan melukai, tapi kita saling percaya bahwa ia tak akan pergi. You know what? yang paling menyedihkan buat saya adalah saat bertemu pasangan-pasangan yang pernikahannya telah puluhan tahun, namun menyimpan bom waktu yang meledak di akhir kehidupan mereka.

oldMaka, kalau pernikahan kita sudah belasan atau puluhan tahun, semoga kita semakin dekat pada cita-cita “tumbuh menua bersama”. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Apa yang akan kita rasakan saat kita telah berhasil meraihnya?

Apakah saat itu, meskipun tubuh kita telah renta dan ringkih, namun kita tak merasa “sendiri” saat kita berpelukan? sedalam apa pembicaraan kita saat tangan-tangan keriput kita bergenggaman? Apa yang akan kita kenang saat ia meninggalkan kita terlebih dahulu? apakah hanya sebagai seorang suami/istri kita? ayah/ibu nya anak-anak? orang yang selama ini menafkahi keluarga? orang yang selama ini mengelola keluarga? atau, ia sebagai “kekasih” kita? yang kita rindukan untuk menyertai kita di dunia abadi nanti?

Memiliki belahan jiwa adalah sebuah fithrah, kebutuhan terdalam seorang manusia. Maka, bagi kita yang diberikan dengan karunia itu, cara terbaik  untuk mensyukurinya adalah dengan berjuang sekuat tenaga. Sebagai diri, mari kita berusaha menjadi indah, agar pasangan menjadi jatuh hati pada kebaikan kita. Sebagai pasangan, mari kita belajar bagaimana membuka lapis demi lapir barrier psikologis antara kita dan pasangan.

Berpuluh tahun bersamanya, kita harus semakin mengenalnya. Semakin mengenalnya, seharusnya kita semakin tau bagaimana teknik dan strategi bicara padanya. Untuk apa ? untuk mengungkapkan perasaan kita. Untuk memberikan umpan balik padanya. Agar kita semakin saling mendekat. Jangan sampai “keburukan kita”, “keburukan psangan kita”, adalah sama, sejak tahun pertama pernikahan sampai dengan belasan atau puluhan tahun kemudian.

Ikhtiar dan doa adalah dua sayap yang tak terpisahkan. Jangan malas berikhtiar, jangan ragu berdoa. Kebahagiaanperkawinan, adalah sesuatu yang layak kita perjuangkan sampai titik darah penghabisan !

Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yunin waj-’alna lil-muttaqîna imama. “Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74)

Sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/560909328569893742/

Saat kita merasa “iri”

Hai temans….pernahkah merasa “iri”?

Kita belum menikah, iri sama orang yang sudah menikah. Kita belum punya anak, iri sama yang udah punya anak. Kita beraktifitas di rumah, iri sama yang punya karier di luar rumah. Kita punya karier di luar rumah, iri sama yang punya waktu banyak di rumah. Kita sekolah di dalam negeri, iri sama yang sekolah di luar negeri. Kita gak bisa liburan, iri sama yang liburan. Kita liburan di dalam negeri, iri sama yang liburan di luar negeri. Kita  sudah berumur, iri sama yang lebih muda. Kita sakit, iri sama yang sehat.

Dari sudut pandang agama, iri adalah penyakit hati. Harus disembuhkan. Etapi, ada pengecualian. Ada iri yang boleh loooh… Dari Abdullah bin Mas‘ud RA, ia ber­kata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak boleh iri hati kecuali pada dua hal: (iri ter­hadap) orang yang dikaruniai Allah dengan harta kemudian membelanja­kannya dalam kebenaran dan (iri terha­dap) orang yang dikaruniai Allah dengan ilmu kemudian mengamalkannya dan mengajarkannya’.” (Muttafaq ‘Alaih).

Dari sudut pandang psikologi, iri merupakan salah satu “human nature” manusia. Suatu perasaan yang wajar. Bahkan, itu merupakan salah satu tanda bahwa kita “hidup” dan “waras”. Karena ada fungsi kognitif yang bekerja disana, yaitu membandingkan. Kalau kita hayati, iri itu adalah suatu perasaan yang muncul saat kita melihat ada orang lain yang berbeda kondisinya dengan kita, dan kita merasa kondisi itu lebih baik serta kita inginkan.

Nah, kondisi orang lain itu ada yang bisa kita capai (misalnya iri sama orang yang rajin jadi nilainya bisa bagus terus trus kapasitas kecerdasan kita sebenarnya bisa mencapai nilai itu), tapi ada juga yang tidak (misalnya saya iri sama Ira Koesno gitu haha). Walaupun saya melakukan perawatan rutin ke Senopati Skincare dengan dokter  M. Akbar Wedyadhana, ya gak akan jadi secantik Ira Koesno. Lha wong itu hoax kkk.

Yang pasti, ketika kita merasa Iri, ada ketidakseimbangan dalam diri kita yang membuat kita merasakan emosi yang tidak positif. Resah, gelisah, gak nyaman lah. Kalau dibiarkan, bisa jadi mengambil energi kita terlalu banyak, sehingga energi untuk melakukan amal sholeh menjadi terambil. Itu tampak luarnya. Ada yang lebih gawat sebenarnya, yang terjadi pada psikis kita kalau kita biarkan rasa iri menjamur atau berkembang. Kurangnya rasa menghargai diri sendiri. Merasa bahwa diri ini tidak lebih berguna dibanding orang lain. Kalau istilah Pak ustadznya mah: tidak bersyukur. Waduuuh….gawat banget ituh…. Oleh karena itu, maka sesuai dengan ajaran agama, untuk iri selain pada orang kaya yang dermawan dan pada orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkannya, harus kita atasi sampai tuntas…tas…tas…

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi dua tips jitu mengelola rasa iri. Haha….kayak yang jualan training ajah ;).

Kalau divisualisasikan pake angka, rasa iri itu muncul ketika kita melihat orang lain memiliki nilai diatas nilai kita. Nah, biasanya, secara “instinktif”, yang dilakukan untuk meredakan rasa resah dan gelisah karena iri adalah, membuat orang lain turun nilainya jadi sama dengan kita, atau bahkan lebih rendah.

“Ah, ngapain nikah kalau suaminya gak sayang? mending gue, single and happy”. “Ah, kalau emak-emak gak beraktifitas di luar rumah, pasti kerjaannya ngegosip aja”. “Ngapain ke luar negeri liburan…gak cinta tanah air”. “Percuma sekolah di luar negeri juga…yang penting kan sholeh”. Meskipun ini adalah cara cepat untuk meredam rasa iri kita, namun sifatnya semu. Kenapa semu? karena itu subjektif. Kalau ketemu sama  orang yang sudah menikah dan suaminya  sayang, ketemu emak yang beraktifitas di rumah dan produktif berkarya, ketemu  yang sekolah di luar negeri dan sholeh, akan gubrak kita.  Jadi, cara ini gak efektif bahkan kalau diungkapkan di medsos, para pelakunya akan mendapat cap nyinyirers. Bikin kita (seolah) pede padahal rapuh. So, dont try at home.

Ada cara yang lebih produktif.  Nah, ini yang mau saya ceritain.

(1) Melihat “big picture objektif” dari kondisi kita maupun kondisi orang lain. Asumsi yang mendasarinya adalah, tak ada kondisi objektif yang 100% sempurna.

Kita belum punya anak: ya, kita jadi gak punya seseorang yang harus kita urus. Padahal mengurus anak itu sepertinya menyenangkan dan membuat kita merasa dibutuhkan. Tapi kita jadi punya waktu luang yang banyak. Kita bisa melakukan hal-hal produktif yang tidak bisa dilakukan oleh emak-emak yang punya anak.

Ya..ya..asik banget sekolah di luar negeri. Bisa keliling negara-negara keren, ngerasain salju, berpose di sana-sini. Tapi tau gak, kalau mereka juga mengalami episode menghadapi supervisor yang tidak ramah, menghadapi deadline-deadline yang ketat, mengalami homesick, “melarat” karena beasiswa tak kunjung datang, bahkan tak jarang gak minat makan berminggu-minggu karena kangen gurilem dan seblak…haha;) Sanggupkah kita menghadapinya? (dibaca gaya presenter SILET)

(2) Mencari role model yang sesuai dengan kondisi kita. Nah, ini nih favorit saya. Maklum saya mah orangnya konkrit praktis hehe…..Cari sosok orang yang kondisinya sesuai dengan kondisi kita, tapi dia tetap produktif, bahagia dan sejahtera. Kalau cari role model udah pada tau kan ya….cuman yang harus diperhatikan dan jadi keyword adalah: yang kondisinya sesuai sama kita. 

  • Kita belum menikah, iri sama orang yang sudah menikah. Cari role model orang yang belum menikah, tapi tampak hepi dan mensyukuri kondisinya.
  • Kita belum punya anak, iri sama yang udah punya anak. Cari role model yang tak menghabiskan waktunya dengan menyesali kondisi dan punya banyak kegiatan produktif.
  • Kita beraktifitas di rumah, iri sama yang punya karier di luar rumah. Cari sosok yang riweuh dengan segala macam printil-printil rumah tangga tapi tetap hepi dan ceria.
  • Kita punya karier di luar rumah, iri sama yang punya waktu banyak di rumah. Cari sosok emak bekerja yang pontang panting mengurus domestik dan publik dengan tegar dan optimis.
  • Kita sekolah di dalam negeri, iri sama yang sekolah di luar negeri. Cari sosok orang yang sekolah di dalam negeri tapi kualitas pemikiran dan kontribusinya gak kalah sama yang sekolah di luar negeri.
  • Kita gak bisa liburan, iri sama yang liburan.Cari contoh keluarga yang gak liburan, tapi bisa menikmati kualitas kebersamaan di rumah yang gak kalah asik sama yang liburan.
  • Kita  sudah berumur iri sama yang muda, cari sosok “orangtua” yang meskipun mobilitasnya terbatas, tak pernah kehilangan cara untuk berkarya.
  • Kita sakit iri sama yang sehat, cari sosok orang sakit yang tak mau menyerah dan tetap merasa bisa memaknai hidupnya dalam kondisi sakit.

Terkait dengan poin kedua ini, saya jadi ingat kata-kata seorang ustadz. Saya lupa namanya. Gak terkenal. Beliau ustadz favorit si abah, di Kalimantan sana punya kajian tafsir rutin. Setiap kami pergi, si abah selalu memutar rekaman kajian ustadz ini di tape mobil kami. Kemarin, waktu si abah mengantarkan saya ke Jatinangor, bahasan Pak Ustadz adalah mengenai kaum Bani Israil yang menolak Nabi Muhammad sebagai Nabi, meskipun di kitab mereka jelas diberitakan. Mereka beralasan tidak mau menerima karena Nabi Muhammad berasal dari kalangan manusia. Mereka mengatakan, akan menerima kalaulah Nabi Muhammad berasal dari kalangan non manusia, misalnya dari kalangan malaikat. Tentu saja ini hanya alasan mereka dan tak logis, kata Pak Ustadz. Kenapa tak logis? karena ajaran agama ini adalah penuntun untuk cara hidup. Kehidupan sehari-hari. Cara makan, minum, tidur, menikah, berkeluarga, dll. Aneh kalau yang memberi contohnya bukan dari manusia. Bagaimana ia bisa memberi contoh sesuatu yang tidak ia jalani ?

Ilmu, pertolongan, pelajaran dari Allah Sang Maha Kuasa tak hanya datang dari mimpi atau dari kata-kata Ulama. Ia juga hadir dalam setiap fenomena yang kita lihat. Baik fenomena alam maupun fenomena sosial.

iriKalau dari alam kita bisa mendapatkan pelajaran dan hikmah dari matahari yang terbit-ternggelam, keteraturan tata surya, mekanisme fisika…maka dari fenomena sosial, kita bisa melihat ada tak terhingga orang  di sekitar kita  dengan beragam kondisinya, dengan beragam cara menjalani kehidupannya.

Melalui cermin itu, kita bisa belajar menghargai dan mencintai diri kita. Karena menghargai dan mencintai diri, berarti menghargai dan mencintai pencipta kita, Allah yang Maha Sempurna.

Sumber gambar:https://id.pinterest.com/explore/self-acceptance/

Al Kahfi di Pulau Bule ; Sebuah Catatan Perjalanan

Sudah seminggu lebih kami ber-piknik ria. “Tour de Java” adalah cita-cita si abah. Karena kami adalah pecinta jalur selatan tiap kali mudik, maka kali ini kami ingin mencoba jalur utara.  Keluar dari Cipali, kami  menyusuri kota-kota di pantai utara. Beli telur asin di Brebes, “iseng” mampir beli batik di Pekalongan, menginap di Semarang dan menyengajakan bertemu teman-teman kami di Semarang.

Ada percakapan lucu dengan si bujang kecil di Pekalongan. Jadi waktu itu, saya cuman bilang ke si abah: “mampir dulu bentaaaar aja. Masa lewat Pekalongan gak liat-liat batik”. Akhirnya kami berhenti di salah satu toko, daaaaan…. “sebentar” itu ternyata jadi satu jam haha…. soalnya batiknya keren-keren dan murah-murah! tadinya cuman mau beliin mamah dan emak, eh….jadi beliin adik-adik, ipar, ponakan, tetangga…haha… Itu juga kalau gak disusul si bujang kecil, bakal tambah lama tuh. Waktu saya tanya abah nunggu dimana, si bujang kecil bilang: abah nunggu di mobil, tidur kkkk. Padahal sebelum tenggelam dalam proses memilih-memilah batik yang lutu-lutu, si abah rasanya mendampingi saya tadi. Trus saya bilang ke si bujang kecil: “Mas, nanti kalau Mas Umar jadi suami, Mas Umar harus kayak abah. Ibu-ibu tuh kalau udah belanja, suka gak inget waktu. Nah, abah tuh kalau masih wajar, mau nungguin. Biasanya abah tidur. Jadi ibu gak keganggu, abah juga gak kesel.  Kecuali kalau ibu sudah keterlaluan, abah suka ingetin ibu dengan tegas. Ibu juga suka takut kalau diingetin abah. Jadi abah ngingetinnya efektif efisien”. Jawaban di bujang kecil: “iya, tapi mas Umar gak mau punya istri kayak ibu. Nanti kalau mas Umar taaruf, akan mas Umar tanya perempuan yang taaruf sama mas Umar: kalau belanja lama gak? kalau lama, Mas Umar akan cari yang lain yang gak suka belanja lama “ hahaha……

Tengah hari, kami melanjutkan perjalanan dari Semarang ke Kediri, tujuan utama kami. Anak-anak sudah sakaw untuk ketemu yangti-nya dan abahnya anak-anak udah sakaw untuk ketemu ……soto Kediri dan sambel tumpang kkkk. Beberapa hari di Kediri, kami melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Kami akan terbang ke Lombok dan piknik beberapa hari di sana.

Sebenarnya ide piknik ke Lombok ini adalah ide spontan si abah. Waktu ia melihat saya berhari-hari menghadapi laptop dikelilingi puluhan buku dan jurnal untuk persiapan ujian kualifikasi, dia bilang; “kayaknya dirimu abis ujian butuh liburan deh” . Gimana bisa keidean ke Lombok? Karena bisa lanjut dari Kediri hehe. Memang meskipun gak pernah janjian, tapi ternyata saya dan si abah punya keinginan yang sama: Lebih ingin menjelajahi Indonesia daripada menjelajahi dunia. Lebih ingin keliling Indonesia daripada keliling dunia.

Lalu beberapa hari kemudian si abah  booking tempat, pesen tiket….ngajak ngobrol saya sih, tapi saya gak konsen kkk…. itulah sebabnya si abah melakukan kesalahan fatal. Beli tiket pesawat sehari lebih awal dibanding booking tempat haha….Memang ia agak ADD sih (attention deficit disorder) kkk . Biasanya saya akan bertugas ngecek. Tapi karena saya gak konsen, maka kesalahan itu terjadi. Sebuah blessing in disguise. Gara-gara kesalahan itu, kami jadi gak langsung ke Gili Trawangan, tapi menghabiskan satu hari dulu di Senggigi.

Ini adalah pertamakalinya si bungsu naik pesawat. Dan sebagai seorang explorer sejati, dia mencoba segala hal yang baru buatnya. Buka tutup jendela pesawat, pake-lepas belt berpuluh-puluh kali, jalan-jalan, beberapa kali nyobain ke kamar mandi sendiri,  pengen coba pelampung setelah tanteu pramugari jelaskan kalau di bawah kursi ada pelampung, dan maksa mau masuk ke ruangan pilot: “de Azzam pengen ketemu sama om pilot”. Hadeeeuh….dengan kehebohan itu, perjalanan satu jam Surabaya-Lombok jadi tak terasa buat saya.

Dari bandara, kami memesan mobil untuk mengantar ke villa tempat kami menginap di Senggigi. Dalam perjalanan, kami diantar ke Sukarare. Di sana, kami didandani dengan baju khas suku Sasak, berfoto di rumah adatnya, dijelaskan filosofi menenun, lalu diajak berkeliling melihat hasil tenunan karya warga desa tersebut. Disini saya sangat bersyukur tak jadi perempuan desa itu. Karena kalau saya jadi perempuan desa itu, saya gak bakal nikah-nikah sodara-sodara…karena di sini, aturannya adalah ….. seorang perempuan gak boleh nikah kalau dia belum bisa menenun;)

Sepanjang perjalanan, kami ngobrol sama pak Sopir. Pengetahuan IPS saya banyak bertambah dengan penjelasan pak Sopir tentang sejarah yang membentuk sosio-demografi masyarakat Lombok saat ini. Suku Sasak adalah suku asli di Lombok. Dan mereka beragam Islam. Pak Sopir pun dengan sabar meladeni pertanyaan saya dan pertanyaan anak-anak. Misalnya ia menjawab pertanyaan saya kenapa Bali itu didominasi Hindu dan Lombok didominasi Islam. Ia juga menjawab pertanyaan si gadis kecil: “Kenapa Bali lebih terkenal daripada Lombok Om, padahal menurut teteh sih  Lombok udaranya lebih enak dibanding Bali”.

Di perjalanan, kami melihat banyak masjid. Begitu saya tanyakan, pak Sopir dengan nada bangga menceritakan bahwa Lombok memang terkenal sebagai “pulau seribu masjid”. Oh iya…saya pernah denger. Pak Sopir pun sangat bangga bercerita bahwa Gubernurnya, adalah seorang  “Tuan Guru”. Sebuah sebutan bagi ulama di Lombok. “Gubernur paling muda bu, penghafal Qur’an. Doktor lulusan Al Azhar” ucapnya bangga sambil menunjukkan bangunan islamic center yang keyyeen. Ya, ya….saya juga pernah membaca berita tentang Tuan Guru Bajang ini. Super duper keren ya….sayang berita menyejukkan tentang gubernur keren ini tenggelam oleh berita kontroversi mengenai gubernur yang lain…

Villa Kila, tempat kami menginap di Senggigi, super duper cozy. Tempatnya dikelilingi pantai. Disini aktifitas anak-anak hanya ada satu: berenang. Berenang di kolam renang, lalu ke laut, lalu ke kolam renang lagi, lalu ke laut lagi. Pantai yang indah dengan udara sejuk….it’s my dream. Eh eh tau gak….saya suka bayangin…apa yang paling saya pengen… dan jawabannya adalah…baca buku di pinggir pantai yang sejuk. And my dream comes true! bisa berjam-jam baca buku, memandang pantai yang indah, sambil menyaksikan anak-anak yang tahan berjam-jam berenang, lalu membuat istana pasir, lalu berenang lagi….

Citarasa tanah seribu masjid, kami rasakan di sini. Di tiap kamar disediakan sajadah, ada Qur’an juga. Memang ada bibel juga. Anak-anak yang baru pertama kali mengenal bibel, pada rebutan pengen baca; sambil heboh berdebat mengenai boleh tidaknya seorang muslim baca bibel.

Hanya satu hari kami di Senggigi. Namanya juga kesalahan haha…. Hari selanjutnya kami menuju ke Gili Trawangan yang terkenal itu. Ada dua pilihan menuju ke sana. Pake speed boat atau slow boat. Bedanya, selain di kata “speed” dan “slow” adalah: harga, waktu dan jumlah orang. Kalau pake speedboat, harganya lebih mahal, waktuya lebih cepat dan bisa eksklusif sekeluarga. Slow boat sebaliknya. Dan kami memilih slow boat, Anak-anak pengen lebih lama di perahunya. “Biar bisa menikmati bu” kata si sulung. “Biar kayak Moana bu” kata si gadis kecil. Baiklah. Daaaan…. 45 menit berperahu, membuat saya menyadari bahwa keseruan petualangan Moana, adalah kartun belaka haha…. aslinya sih….ayunan gelombang yang cukup besar itu bikin stress, terutama buat sayah. Si abah dan anak-anak sangat menikmati menertawakan emaknya yang udah pengen nangis haha…

Menginjakkan kaki di Gili Trawangan, kami langsung berkesimpulan: kami lebih suka di Senggigi daripada di sini. Terasa banget bedanya. Di sini, kami adalah minoritas. Sejauh mata memandang adalah para bule. Tentu dengan pakaian yang tidak syar’i hehe….Baik yang berjalan kaki, naik delman maupun sepeda. Delman dan sepeda adalah transportasi yang digunakan di Gili ini. Saat menuju villa yang sudah kami booking, kami banyak melewati bar yang penuh hiruk pikuk, atau dengan musik dag-dug-dag-dug yang “terlalu bising” buat kami. Daftar menu yang terpampang di bar, sebagian besar gak familiar buat saya. Bir dan wine, tampaknya jumlahnya lebih banyak variannya dibandingkan soft drink.

Alhamdulillaaaah…. villa yang dibooking si abah, adalah tipe villa buat “keluarga”. Tempatnya tenaaang…. jauh dari hiruk pikuk. Hanya dua keluarga termasuk kami yang non bule. Tapi yang bule pun, kebanyakan adalah keluarga dengan ayah-ibu yang telah berumur. “Satu frekuensi” lah dengan kami hehe… Seneng deh pas sarapan, liat keluarga-keluarga ini bercengkrama. Asik mengobrol satu sama lain….pagi tadi, si ayah dari keluarga Indonesia bercerita sesuatu tampaknya pengalamannya, yang membuat dua anak remajanya tertawa terbahak-bahak…. Sesekali terdengar nasihat si ayah untuk anak-anaknya tersebut.

Punya privat pool, membuat anak-anak juga hanya punya dua aktifitas: berenang di kolam dan ke pantai. Berenang lagi, ke pantai lagi. Nah… disini, citarasa tanah seribu masjid sudah tak terasa. Tandanya satu. Di kamar, tak ada penunjuk arah kiblat sehingga kami harus ngecek sendiri. Tapi yang amazing adalah, di tiap waktu sholat, kami mendengar suara adzan !

Siang tadi, kami snorkling dan mengunjugi dua gili lainnya: gili Meno dan Gili Air. Kami = tiga anak itu; si sulung, si bujang kecil dan si gadis kecil. Saya, dari awal memutuskan tidak. Saya takut air hehe… jadi saya pilih menilmati pemandangan dari kaca di dasar perahu kami sajah. Si bungsu, awalnya sangat semangat pake perlengkapan snorkling. Berjam-jam berenang hari-hari kemarin, membuatnya bisa “menyelam” dan “lompat” ke air. Udah jelas kalau berenang pake pelampung tangan, dia udah berani meskipun dalem. Turun beberapa menit, ternyata  dia nangis. “Dede seneng berenang di air yang gak asin, ini airnya asin. Dede gak suka. Dede takut”. Gitu katanya. Di Gilir Air, kami turun dan makan siang disana. Kalau kesini lagi, kayaknya kami akan menginap di Gili Air. Meskipun kurang komersil, tapi kayaknya lebih pas buat kami. Gak terlalu “heboh”. Sore tadi, kami bersepeda menuju tempat sunset. Lumayan keringetan juga sepedaan sekitar 45 menit-an…..

kuranMalam ini, selain suara adzan, setelah maghrib sampai isya, lantunan ayat suci terdengar dari masjid. Mengingatkan saya bahwa walaupun sedang “bersenang-senang”, namun ini malam Jumat. Malam istimewa buat muslim/ah. Malam penuh berkah. Suara lantunan ayat suci itu, mengingatkan bahwa Al Kahfi harus tetap dibaca. Teringat salah satu meme yang saya pernah saya baca: “meskipun liburan, catatan amal jalan terus”.

Ah, senang sekali saya berkunjung ke pulau ini. Beragam orang, datang dari jauh, “hanya” untuk menikmati ke-maha-an ciptaan Allah: matahari, pantai-pantai indah, keindahan bawah laut, debur ombak, kura-kura, ikan warna-warni, lukisan alam…

Seribu mesjid itu…semoga tetap terjaga. Semoga keberkahannya tetap menjaga kebaikan dalam hati orang-orang di pulau ini, juga di negeri ini.

Air Mata Ibu di Hari Ibu; catatan tentang “self” ibu

Catatan: butuh satu tahun untuk menyelesaikan tulisan ini. Dimulai tgl 22 Desember 2016, Selesai tgl 2 Januari 2017 😉

22 Desember (2016) adalah Hari Ibu.

Bagi kami sejumlah Ibu yang memutuskan untuk kembali ke bangku sekolah, Hari ini adalah Hari kedua ujian kualifikasi. Apakah ujian kualifikasi itu? Secara filosofis, ujian kualifikasi ditujukan untuk menguji apakah kami qualified (memenuhi syarat) untuk menempuh tuntutan akademik di jenjang Doktoral. Dan karena program Doktor di tempat kami menuntut ilmu menganut falsafah PhD atau doktor philosophy, maka kami tidak hanya diharapkan mampu melakukan penelitian yang excellent, namun juga ditempa unntuk memiliki pola pikir seperti para filsuf yang selalu mempertanyakan secara kritis akar dari segala sesuatu, mulai dari “realitas” yang akan kami teliti. Bagaimana kami memandang “manusia”, juga akan berdampak pada hakikat metodologi yang kami gunakan.  Jika kami “lulus” ujian ini, maka kami berhak menyandang gelar “kandidat doktor”.

Satu semester berlalu, memang sangat terasa tempaan yang kami terima. Untuk bisa memetakan dimana “posisi kami” dalam penelitian di topik serupa dalam jagad raya ilmu pengetahuan, maka kami harus “melahap” puluhan jurnal, mengkritisi, analisa-sintesa… Tapi jujur saja, yang kami rasa paling berat adalah saat kami dituntut untuk berpikir “radikal”, “fundamental”, “mengakar” terhadap segala sesuatu. Padahal, karena sebagian besar kami adalah dosen, dalam ujian atau membimbing mahasiswa, rasanya kami sudah mengajak mahasiswa untuk berpikir sangat mengakar. Misalnya saat mahasiswa meneliti relasi antara ibu dan anak. Kami akan mengajak mahasiswa untuk bisa memahami betul; “apa sih hakikatnya relasi itu? apa sih pentingnya relasi anak dan ibu? kenapa ibu harus menjalin relasi dengan anak? mengapa bentuk relasinya harus memenuhi persyaratan tertentu? ” Nah ternyata, kemampuan kami berpikir “mendasar” itu tak ada apa-apanya di jenjang ini.

Kami ditempa untuk berpikir jauuuuuuuh lebih mendasar lagi. Apa sih ilmu itu? buat apa ada ilmu? Psikologi itu ilmu atau bukan? Manusia itu apa sih? Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya? human nature manusia? emang kenapa sih manusia harus menjalin relasi? gak bisa gitu dia hidup sendiri? bener gak bisa? apa yang bikin gak bisa? Pfuih….meskipun dosen filsafat kami super duper keyyen dalam menyajikan berbagai fakta dan fenomena menarik dan kekinian untuk menggiring kami agar bisa berpikir filosofis, tetep aja kami tertatih-tatih untuk bisa merunut variabel-variabel keren dan kompleks kami ke pemikiran dasarnya, ke filosofinya, ke hakikatnya.

Tapi, buah dari tempaan itu sudah terasa. “Efek samping” dari 2 proses itu amat terasa.

(1) Saya jadi merasa bahwa kemampuan berpikir kami terbataaaaas banget. Saya sampe berhari-haribahkan berminggu-minggu memikirkan gimana ya cara mensintesa semua hasil bacaan saya, menuangkannya menjadi kalimat yang runtut satu sama lain. Udah pake segala cara; mind map, pake sticky notes, pake kertas super besar…. tapi masih sering kebingungan gimana caranya merangkum semua fakta dan data itu.

(2) Saya jadi merasa; ilmu yang kami ketahui itu sedikiiiiiiiiiiit banget. Gagasan “besar” dan “keren” yang kami pikirkan selama ini, ternyata sudah digagas orang lain belasan tahun lalu, misalnya. Kalaupun kami berkonstribusi terhadap imlmu pengetahuan, maka kontribuisnya bagai setitik debu di antara gunungan ilmu di topik penelitian ini.

(3) Saya jadi semakin terpesona sama kesungguhan para ilmuwan dalam mencari “kebenaran”. Upaya yang mereka lakukan, kerumitan metodologinya, mereka adalah para “mujahid” di bidang mereka masing-masing.

Tapi saya tahu, “efek samping” yang kami rasakan, sesungguhnya adalah bagian dari proses pendidikan di jenjang ini. Saya ingat kalimat salah seorang dosen saya, yang menurut saya sangat “mempesona”. “Ini adalah jenjang pendidikan akademik terakhir bagi kalian. Di jenjang ini, kalian akan belajar tentang kehidupan. Maka, sejatinya, seorang doktor adalah seorang yang secara keilmuan ia adalah ahli di bidangnya, namun secara kepribadian ia adalah seorang yang rendah hati dan bijak”. Ah, semoga saya bisa menyelesaikan jenjang pendidikan ini dengan juga memiliki kualitas-kualitas itu.

Dengan gambaran di atas, maka 3 hari ujian kualifikasi tgl 21,22 dan 23, bukanlah ujian “biasa” buat kami (gambarannya ternyata panjang ya… sambil curcol soalnya haha…..). Hari pertama, jam 09.00-16.00 kami harus menjawab 3 pertanyaan filsafat mengenai topik penelitian masing-masing. Waktu maghrib saya sampai rumah dengan wajah kuyu, si gadis kecil bertanya pada saya: ” ibu, emang ujiannya berapa soal sih?”. “Tiga”. jawab saya. “Hah? tiga soal? trus ibu ngerjain dari pagi sampai sore? Teteh kemaren pas UAS 30 soal, waktunya satu jam  teteh bisa. Kayaknay ibu kurang rajin belajar deh”… haha…lumayan jadi refreshing  kata-kata anak-anak teh.

Tgl 22, hari kedua, adalah hari terberat buat kami. Kami harus bisa menjawab 8 pertanyaan. 4 pertanyaan mengenai penguasaan teori dan 4 pertanyaan mengenai penguasaan metodologi terkait dengan penelitian yang akan kami lakukan. Kasat matanya sih 8 soal. Tapi “the facto”, dalam satu butir soal bisa terkandung 2, 3, 4, 5 dst butir soal.

Teknis ujian adalah, kami dibagi dalam ruangan-ruangan. Open book tentu saja. Kami pun bebas membawa dan atau mencari beragam sumber dari internet. Saya sendiri membawa sekoper penuh print out jurnal haha…. Rajin? bukan. Jadul. Karena saya lebih seneng stabilo-in dan corat-coret di hardfile ketimbang di softfile seperti teman-teman saya yang lain yang ratusan jurnalnya tersimpan di tablet atau laptop.

Saya satu ruangan dengan 2 teman. Salah satunya, adalah seorang ibu yang baru saja 2,5 bulan lalu melahirkan. Setelah dibagikan soal, lalu kami pun “menyisir” mana soal yang “gampang”, mana yang susah bahkan blank jawabannya. Masing-masing mendapatkan soal yang berbeda dari promotor masing-masing, sesuai dengan naskah makalah yang kami masukkan seminggu sebelumnya.  Tapi kami bisa berdiskusi memberi masukan dan gagasan. Dan kami bertiga sepakat, soal yang diterima oleh teman kami, si busui (ibu menyusui) itu memang susah. Terlebih lagi, selama melahirkan kemarin ia agak tertinggal bimbingan. Setelah diskusi sebentar, kami pun segera memfokuskan diri pada laptop kami. Pengalaman hari pertama, jam 9-12 tuh berlalu dengan sangat cepat.

Jam 09.30, telpon saya berbunyi. Saya angkat, terdengar isak tangis di ujung telpon. Si gadis kecil. “tadi teteh denger ibu bilang ke abah ibu akan pulang malem…teteh gak mau ibu pulang malem….” kataya diantara isaknya. “belum pasti ibu pulang malem teteh…memang hari ini ibu ujiannya soalnya banyak, mungkin ibu belum selesai sore. Tapi ibu akan usahakan maksimal jam 5 selesai” jawab saya sambil menatap nanar soal-soal yang jawabannya, akan puluhan lembar. Saya sendiri tidak yakin apakah akan selesai sore atau harus extend sampai malem. bla..bla..bla..bla… 15 menit telponan, si gadis kecil sudah berhenti nangisnya. Tutup telpon, kerjain lagi.

15 menit kemudian, masuk video call. Kali ini si bungsu, yang 4 hari lalu baru operasi hernia dan sunat, dan masih belum pulih sepenuhnya. “Ibu, dede mau pipis. Tapi masih takut. Mau sama ibu pipisnya….” Bla..bla..bla… 10 menit. Berhasil membuatnya mengangguk untuk pipis sama kakaknya, si sulung. Tak lupa diakhiri pesan: “kalau mau telpon lagi, jam 12 ya… biar ibu cepet selesai kerjainnya, jadi cepet pulang…”

15 menit kemudian, jadwal teman saya si busui memerah ASI. Setelah kami bantu persiapannya (mengunci ruangan, menyiapkan kursi), teman saya pun mulai memerah. “Hiks…liat…ASInya dikit banget…..” katanya sambil berkaca-kaca. Kami berdua menenangkan lalu menyemangatinya. Ia terus berusaha memeras, dengan genangan di air matanya. “Kayaknya aku stress deh. jadi dikit banget ASInya” katanya. Setelah ASInya tak keluar lagi, ia kembali meneruskan pekerjaannya. Saya salut banget sama teman saya ini. Dia sedih, tapi tak lebay. Air mata masih menggenang, tapi ia kembali tekun mengerjakan. “Aku gak boleh kepecah konsesntrasi. Biar cepet selesai, cepet pulang ketemu si dede” katanya. 30 menit kemudian, ia menerima telpon. Dari nada suaranya, tampaknya dari anaknya. Anak pertamanya seusia si bungsu, TK A. Lalu ia menerima telpon tsb di luar ruangan. Masuk ke ruangan, air mata yang tadi menggenang mengalir …. lalu ia cerita. Hari ini, adalah pembagian raport anaknya. Dan ia gak bisa ambilkan juga. Katanya anaknya bilang teman-temannya diambilkan raport sama ibunya. Itu yang membuat air matanya mengalir. “Sedih banget aku. ASI gak keluar, anakku sedih, aku disini susah banget ngerjain…ngapain sih aku teh….” gitu kurang lebih yang ia katakan di sela isaknya. Kami berdua memeluknya. Lima menit, ia menghapus air matanya. Lalu kami kembali mengerjakan. Posisi duduknya, meskipun agak jauh, namun berhadapan dengan saya. Saya bisa melihat bahwa ia tekun mengerjakan, tapi kadang air mata menggenang, kadang mengalir, tapi tak membuatnya mengalihkan perhatian dari laptopnya. Tanpa sadar, air mata saya juga ikut menggenang. Saya pernah merasakan perasaan itu. Saya sekuat tenaga menahan agar air mata saya tak samapi mengalir.

Hari itu hari ibu. Pagi tadi sampai siang itu, beragam lagu, doa, kata-kata indah tentang kasih sayang ibu, terus mengalir di medsos. Dan di ruangan itu, saya menyaksikan betul adegan nyata yang menggambarkan kasih sayang seorang ibu. Perjuangan seorang ibu. Ibu-ibu macam teman yang ada di hadapan saya itu, yang “tega” meninggalkan anaknya yang masih bayi, bagi sebagian orang dianggap sebagai ibu yang “kurang mulia”. Sampai saya pulang, saya masih teringat kata-kata terakhir yang ia ucapkan…. “…..ngapain sih aku teh?”

Pertanyaan itu, merupakan pertanyaan yang amat fundamental. Saat hati nurani bertanya seperti itu, saya pribadi dan juga saya menyampaikan pada teman-teman yang bercerita pada saya, memilih untuk “menjawab pertanyaan itu dengan jujur”. Kalau kita mau jujur, pertanyaan itu sesungguhnya adalah awal dari pertanyaan yang sangat panjang. Dan ujung jawaban dari pertanyaan panjang itu, akan memantapkan diri kita, keputusan apapun yang kita pilih nantinya.

Akan ada banyak skenario dari rangkaian pertanyaan-jawaban itu:

“Ngapain sih aku teh?”/”Bantu suami mencari nafkah”/”Kenapa harus bantu dia cari nafkah?”/”Karena kapasitas suami kurang memadai, jadi kesempatan yang ia dapat minimal, penghasilan pun minim. Tidak cukup. Suami jadi merasa tidak memenuhi kewajibannya. Saya, punya kapasitas lebih besar dari suami. Pekerjaan saya halal, tidak melalaikan kewajiban domestik, dan membuat kebutuhan kami tercukupi. Harga diri suami jadi terjaga”.

“Ngapain sih aku teh?”/”Saya punya keahlian membantu orang lain dengan profesi ini”/”Emang gak ada orang lain gitu?”/”Ada sih, tapi emang kenapa kalau saya memilih tetap beraktifitas? suami mengizinkan, kualitas buat keluarga ada, kalau gak beraktifitas sesuai profesi saya, saya merasa gak berkembang, saya malah bete sama suami dan anak”

“Ngapain sih aku teh?”/”Mencari uang”/”Kan itu kewajiban suami?”/”Iya, tapi keluarga saya sangat miskin. Saya anak pertama. Kalau saya gak bantu keluarga, adik-adik saya gak akan bisa sekolah. Penghasilan suami cukup, untuk keluarga saja. Tidak cukup untuk membiayai orangtua dan adik-adik saya. Suami saya mengizinkan, pekerjaan ini halal”

“Ngapain sih aku teh?”/”Kerja”/”Kenapa harus kerja”/”Iya yah, kenapa….padahal aku teh orangnya cape-an. Dengan kerja ini, aku jadi gampang stress. Kalau aku jadi stress, marah-marah ke anak-anak. Emang nambah penghasilan sih. Tapi penghasilan suami juga sebenernya cukup. Ngapain ya? kalau aku brenti kerja, situasi akan lebih baik gak? kayaknya lebih baik deh”.

……..dan tak terhingga skenario lainnya.

Buat saya, keputusan akhir seorang wanita untuk beraktifitas di dalam atau di luar rumah, bukan masalah yang esensial; dengan catatan aktifitasnya (baik di dalam maupun di luar) memenuhi syarat-syarat kebaikan dan kebenaran. Yang esensial adalah alasan yang mendasarinya. Pertimbangan dan strategi yang akan memberikan kita resultan kebaikan yang lebih besar. Apapun bentuk aktifitas yang dipilih, saya mengamati, kesadaran akan manfaat bentuk pilihan itu buat ybs, plus penghayatan akan konsekuensi dari pilihan itu, yang membuat seorang ibu bisa tegar berdiri, percaya diri namun rendah hati dengan pilihannya.

Episode sedih akan ada, tapi tak lebay. Persis seperti teman saya yang saya ceritakan di atas. Gak bisa ambil raport karena ada kegiatan yang gak bisa digeser? Apa yang esensial dari pembagian raport? Perhatian orangtua terhadap perkembangan anak. Oke,  janjian di lain waktu dengan gurunya untuk ngobrol perkembangan anak.

Tapi kan…. itu pemikiran kita. Gimana kalau anak merasa ia tidak diperhatikan, merasa ia tidak lebih penting dari kegiatan ibunya? Nah, disini berlaku hukum “exception”. Kita harus bersikap dengan tulus, sehingga anak menghayati bahwa ibunya gak bisa ambil raport, maknanya adalah ibuku gak bisa ambil raport karena ada kegiatan lain yang gak bisa digeser, bukan ibuku gak peduli sama aku. Gimana caranya? ketika ada momen-momen anak dimana kita gak ada kegiatan, ya kita hadir. Ketika kita luang, ya kita perhatikan dia. Ketika kita memang gak ada yang urgen, ya kita prioritaskan dia.

Tapi akan susah buat anak untuk menghayati exception kalau pas kerjaan penuh maupun lagi santai, kita cuek sama anak. Pas dikejar deadline kita marah-marah minta anak gak ganggu kita ngerjain, pas gak dikejar deadline kita minta anak gak ganggu kita medsos-an.

Saya pernah membantu keluarga-keluarga TKW. Ibu-ibu yang “super tega” meninggalkan anaknya bertahun-tahun. Ada sebagian anak yang “marah” lalu melakukan kenakalan bahkan kejahatan. Tapi ada sebagian yang “baik”, “hormat”, bahkan sangat sayang pada ibunya. Apa pembedanya? exception. Dan komunikasi. Bahwa pilihan ini, dengan tulus, adalah pilihan yang membawa resultan kebaikan yang lebih banyak dan lebih baik untuk keluarga kita.

33c1a94682502b1c77bab148ee4cf655Seorang wanita, ketika ia menjadi ibu, memang ia tidak lagi menjadi dirinya yang “original”. Bahasa ilmiahnya, “self”nya berubah. Seorang wanita, kalau ia menjadi seorang ibu, harus memikirkan, menghayati ulang keinginannya, cita-citanya, idealismenya, harapannya, impiannya.

Ada beragam jalan yang ditempuh. Ada yang tetap ingin mencapainya, ada yang menunda waktunya, ada yang memodifikasinya, ada yang menggantinya, ada yang melupakannya.

Penelitian tentang “self” terbaru menemukan, bahwa penghayatan tentang siapa diri kita, adalah hal yang kompleks. Kita adalah perempuan, anak, adik, kakak, istri, ibu, karyawan, muslimah, orang sunda, orang indonesia, direktur, penulis, artis, dokter, penjahit, mentri, dll dll…………. Nah…katanya kapasitas kita tidak memadai untuk mengaktifkan seluruh mode SELF kita dalam satu situasi. Maka, dalam situasi tertentu, kita hanya bisa mengaktifkan sebagian dari “self” kita dan akan mempengaruhi perilaku kita. Saat seorang wanita berhadapan dengan anak-anaknya, dan ia bisa berkomitmen mengaktifkan mode self “IBU” sebagai mode yang dominan, bukan mode self yang lain, maka dialah seorang ibu 

Apapun pilihannya, pilihan yang didasari oleh perenungan yang mendalam dan pemikiran yang matang, adalah pilihan yang akan membuat seorang ibu tegar berdiri dengan rendah hati. Pilihan yang didasari oleh keikhlasan dan penghayatan bahwa ini sajadah panjang yang ia pilih. Apapun pilihannya, ia akan melalui episode sulit dan  sedih, tapi ia tak akan cengeng.