Rainbow Flag VS 17 Matahari

hope

Beberapa hari lalu, 26 Juni, Perkawinan sesama jenis resmi legal di Amerika. Meskipun hal itu terjadi di “sana”, tapi gelombangnya sampai di sini. Arus gelombang pemikiran dan perasaan terkait peristiwa tersebut, perlahan namun pasti terlihat di medsos. Isunya di Indonesia, sangat kental dikaitkan dengan agama. Pro, kontra, dan berbagai konsekuensi dari pro-kontra itu.

Saya, punya beragam teman. Dari yang ekstrim kanan sampai ekstrim kiri. Dari yang menganggap “Tuhan itu tak ada”, sampai dengan yang menganggap “Tuhan itu banyak”. Dari yang menganggap agama itu “yang penting berbuat baik gak perlu melakukan ritual ibadah ” sampai dengan yang menganggap “kalau gerakan sholatnya gak gini, masuk neraka ;)”. Dari yang menganggap “semua agama itu sama”, sampai dengan yang menganggap kalau “gak sepengajian artinya gak seagama ;)”.

Konsekuensi dari beragam teman tersebut, yaitu beragamnya sikap, pendapat dan keyakinan mengenai topik LGBT. Ada sejumlah teman yang langsung ganti Profile Picture  jadi “rainbow flag”. Pembuat facebook, memang mendukung gerakan LGBT ini sehingga facebook menyediakan fasilitas yang sangat mudah untuk menunjukkan dukungan tersebut. Sebagian, tak mengubah Profile Picture namun secara gamblang menunjukkan dukungan. Baik dengan pilihan kata bersyukur, berterima kasih, persamaan hak, kebebasan, dan pilihan kata lainnya. Sebagian, menganggap bahwa “itu bukan urusan sayah”. Mangga aja disana begitu, mangga aja kalau ada yang setuju, tapi saya dan keluarga saya, tak akan setuju. Sebagian yang lain mengutuk; tak hanya peristiwanya, namun mengutuk juga semua yang mendukung. Sebagian menyatakan akan langsung meng-unfriend teman-teman yang Profile Picturenya berubah jadi pelangi.

Di luar lingkaran teman-teman saya, perdebatan sudah sangat panas. Dalam beragam level. Mulai dari level perdebatan rasional -dengan isu HAM, dan pastinya isu agama. Ini pun berkembang luas. Saya baca ada seorang tokoh “agama” yang pro LGBT, mengatakan bahwa jika kondisi sekarang ini sama dengan kaum Nabi Luth, kok azab Allah gak turun sih? daaan..macam-macam pro dan kontra lainnya.

Saya sendiri bagaimana? Tak ada yang kebetulan pastinya. Dia yang Maha, pasti sudah mengatur segala sesuatu dengan sempurna. Hari Sabtu lalu, pas lagi rame isu ini, pas bacaan Qur’an saya sampai di surat Hud. Surat ini berisi kisah para Nabi. Nabi Ibrahim, Nabi Saleh, Nabi Syuaib dan Nabi Luth. Ayat 77-83 khusus mengenai Nabi Luth dan kaumnya. Langsunglah saya baca tafsirnya. Tafsir Ibu Katsir, Tafsir Al Azhar dan Tafsir Al Misbah. Dalam TAfsir Al Misbah Karya Prof Quraish Shihab, saya pribadi mendapat jawaban yang gamblang. Secara komprehensif beliau membahas kaitan makna, hikmah dikaitkan dengan kondisi kekinian termasuk HAM. Kesimpulannya satu. Hubungan seksual sesama jenis adalah perbuatan keji. Haram. Titik. Bagi yang ingin membaca, ada di halaman 300-309 Tafsir Al Misbah Volume 6, buku tahun 2012 yang diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati. Ssssttt…padahal Prof Quraish Shihab oleh sebagian orang dicitrakan sebagai ulama yang “liberal” loooh 😉

Jadi, CLEAR buat saya. Serasional apapun argumennya, se-update apapun hasil penelitiannya, buat saya LGBT, NO! Saya seorang akademisi,  saya seorang psikolog, tapi saya seorang muslimah. Dan ini area keyakinan. Tak ada pintu perdebatan. Titik. Operasionalisasinya? tidak akan ada apapun yang berubah dalam sikap dan perilaku saya pada teman-teman yang jelas pro LGBT. Gak ada hubungannya, karena tatarannya hablumminannas. Saya juga gak akan ikut-ikutan mengecam artis yang menyatakan dirinya pro LBGT. Buat apa? Gak ada gunanya.

Tapi sebagai seorang ibu, saya mau fokus saja menanamkan value agama saya pada anak-anak saya, dan sebagai profesional, saay akan berupaya pada lingkungan-lingkungan yang bisa saya akses. Saya menangkap ada dan semakin besar kekhawatiran pada orangtua terhadap anak-anaknya. Takut anak-anaknya terjerumus, baik dalam pikiran terlebih lagi pada perbuatan yang jelas-jelas “keji” menurut ajaran agama ini.

Untuk para orangtua dan guru-guru yang khawatir, dont worri….HARAPAN itu ada. Perubahan zaman, peruahan sosial hanya salah satu faktor yang POTENSIAL mempengaruhi anak-anak kita. Ada faktor lainnya yang bisa kita KONTROL. Penanaman nilai ! dengan berbagai cara ikhtiar kita, sampai titik darah penghabisan 😉

Berikut adalah poin-poin yang menurut saya bisa menjadi “bekal” kita untuk tak terjebak pada kecemasan, kekhawatiran dan pesimisme terkait gelombang rainbow flag.

(1) Harapan itu ada ! SANG MAHA yang  langsung yang mengatakannya !

Beberapa minggu lalu, saya membaca tafsir surat Al Fatihah. Tetep dari sumber 3 buku tafsir yang saya punya. Ayat 6, “Ihdinassirootol mustaqiim”. Bimbing/antarkanlah kami ke jalan yang lurus. Prof Quraish Shihab, dengan kedalaman pemahaman bahasanya mengupas secara mendalam mengenai makna Sirath dan hidayah. Prof Hamka, dengan keindahan bahasa melayunya menjelaskan mengenai analogi sirath….katanya sirath itu adalah jalan yang lurus. Di sepanjang jalan sirath itu, ada kayak tertutup gorden. Itu adalah analogi dari aturanNya. Lalu dari gorden itu melambai-lambai ajakan untuk menepi dan berbelok. Itu adalah hal-hal yang diharamkan.

Yang paling berkesan buat saya adalah dalam Tafsir Ibu Katsir disebutkan satu hadits Qudsi, bahwa AlFatihah itu terbagi menjadi dua. Setengah untuk-Ku dan setengah lainnya untuk Hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.

Dan “setengah lainnya untuk hamba-Ku” itu adalah, “ihdinassirootol mustaqiim”. Ya Allah, teruslah Engkau bimbing kami di jalan yang luru itu, dan jangan engkau simpangkan kami ke jalan yang lain”. Kita memohon hal itu, dan Allah mengatakan “Bagi hambaKu apa yang ia minta”.

Kita minta untuk tetap tegar berdiri di jalan yang lurus itu minimal 17 kali sehari !!!! dalam setiap rakaat shalat kita !!!dan Dia, yang Maha Segalanya, pengatur alam semesta ini, mengatakan “Bagi HambaKu apa yang ia minta !!!

Jadi, jangan pernah merasa khawatir !!!! Kita sudah memohon mminimal 17 kali dalam sehari pada sang MAHA! Tak ada lagi ruang bagi kita untuk ragu. Yakinlah ! bahwa Ia yang Maha,  sudah berjanji untuk membimbing kita dan anak-anak kita, agar tak terbelokkan oleh logika apapun dan realitas apapun yang bertentangan dengan aturanNya.

(2) Ubah cemas jadi takut.

Cemas anak-anak kita pro dan menjadi LGBT, akan menjerumuskan kita kepada kepanikan. Kepanikan akan berujung pada perilaku impulsif yang membabibuta. Ubah cemas kita jadi takut. Takut itu objeknya jelas. terarah. Misalnya, seorang teman saya takut anaknya terjerumus LGBT karena banyak issue pesantren potensial menjadikan demikian. Maka, dia pilih pesantren yang anak-anaknya satu kasur satu orang. Sederhana, tapi terarah. Seorang teman saya yang lain, mendapati anaknya beberapa kali menonton video hubungan sex sesama jenis, dia blok koneksi internetnya, mengajak diskusi anaknya, dan mengirimnya ke psikolog.

Mari kita pelajari kondisi apa yang bisa membuat anak kita pro secara pemikiran, setuju secara perasaan dan potensial melakukan perilaku LGBT. Kita pelajari meskipun hasil penelitiannya, sumber informasinya bukan dari orang Islam. Kita manfaatkan untuk melindungi anak-anak kita.

(3) Tak ada yang paling “membahayakan” selain merasa “sendirian”. Beberapa kali saya menangkap bada-nada pesismisme dengan perubahan zaman yang semakin permisif  dari para orangtua. Itu bisa kita tangkal dengan melihat realitas sebaliknya. Seringlah berkumpul bersama orang baik.

Coba lah berpaling dari dunia maya, jalan-jalan ke dunia nyata. Di waktu-waktu sholat, masih ada ratusan masjid yang berisi puluhan jamaah sholat, Yang setelahnya, orang-orang  begitu khusyuk membaca Al-Qur’an mereka. Ikut pengajian-pengajian….ajak anak-anak kita. Itikaf, ajak anak-anak kita. Meskipun anak-anak kita hanya berlarilari di mesjid, ada yang namanya “mirror neuron” dalam otak kita. Neuron-neuron ynag aktif ketika kita menlihat sesuatu, sama aktifnya ketika kita melakukan sesuatu tersebut. Itu yang menjadi dasar “observational learning” atau modelling. Beri sebanyak mungkin pengalaman menyaksikan kebaikan, kekhusyukan, kebersamaan, kasih sayang, pada anak-anak kita.

Ikut pengajian dan komunitaskebaikan yang diikuti oleh orang-orang yang heterogen, itu membuat optimisme kita melambung. Membuat kita merasa masih banyaaaaak orang yang menginginkan kebaikan dan berusaha menjaga kebaikan. Bukan hanya “golongan” kita saja.

……..

Tiga poin diatas, semoga tak membuat kita gentar, untuk tetap berdiri dan mengatakan, saya muslim/muslimah. Ini value saya. Value-mu, terserah. Jangan hamburkan energi untuk berdebat, mengecam, bahkan membully orang lain yang value nya berbeda dengan kita. Kecuali kita punya “impact” yang potensial merubah orang lain. Kalau hanya “bikin berisik” aja,  mending kita satukan energi untuk dengan sepenuh ketulusan dan keinginan, menggetarkan ar-rasyNya dengan permohonan kita, untuk keteguhan kita dan orang-orang yang sama-sama menginginkan selamat sampai hari abadi nanti.

Rabb…selalu….tunjukkan dan bimbing kami di jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan-jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.

Semangat !!!!!

sumber gambar : https://princessofthelight.wordpress.com/2014/01/02/life-lesson-1-cling-to-hope-even-in-darkness/

Yang mengakar yang terlupakan : catatan tentang fondasi belajar anak

Kata pengantar : akhir-akhir ini saya kurang kreatip mencari pilihan kata untuk judul. Jadi judulnyah rada lebay kkk (emang pernah kreatip? haha….)

Beberapa waktu yang lalu, saya membantu sebuah institusi pendidikan pra sekolah, yang ingin mengetahui apakah  aspek-aspek perkembangan anak-anak didiknya sesuai dengan usianya. Sekitar 50 anak usia 3 sampai 5 tahun. Saya menggunakan alat “sederhana”, yaitu  Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak dari Yayasan Puspa Suryakanti, yang posternya bisa didonlot dengan mengetikkan kata “suryakanti” “deteksi dini tumbuh kembang anak” lalu klik image,  pada mbak Gugel. Kalau mau bukunya yang lengkap dengan stimulasinya, bisa pesan langsung kesana. Alamat dan nomor telponnya mudah di dapat, dari mbah Gugel juga.

Hasilnya, aspek yang paling banyak berada di bawah usia anak-anak tersebut adalah ….. jeng jeng jeng…..gerakan kasar, atau motorik kasar. Pause dulu. Sebelum lanjut, bagi ibu-ibu yang punya anak balita…coba cek dulu perkembangan motorik kasar anaknya :

  • usia 4 bulan : mampu menumpu dengan kedua lengan dan berusaha mengangkat kepala
  • usia 8 bulan : mampu duduk sendiri dan kemudian mengambil posisi ongkong-ongkong dan bertahan sebentar
  • usia 12 bulan : mampu berjalan sendiri dan berjalan sambil berpegangan
  • usia 18 bulan : mampu berlari tanpa jatuh
  • usia 24 bulan : mampu melompat dengan dua kaki sekaligus
  • usia 36 bulan : mampu turun tangga dengan kaki bergantian tanpa berpegangan
  • usia 48 bulan : mampu melompat dengan satu kaki (engklek) di tempat
  • usia 60 bulan : mampu melompat dengan satu kaki (engklek) ke arah depan.

Nah, bagaimana ibu-ibu? kalau anak kita mampu melakukan gerakan kasar sesuai dengan usianya, alhamdulillah. Bila belum, berarti kita harus extra menstimulasinya.

Mengapa harus ekstra? apa pentingnya? mari kita perhatikan gambar yang saya copy dari link http://dorsetadultaspergerssupport.org.uk/bmth-20mar12-review ini:

march2012-diagramGambar ini menunjukkan bagaimana proses belajar terjadi pada manusia, pada anak-anak kita. Gerakan kasar, berada di level kedua, yaitu sensory motor development. Jauuuuh sebelum kita mengajarkan anak kita a-b-c dan 1-2-3, kita harus tanam dulu akar yang kuat dan kokoh. calistung mah buahnya. Akarnya dulu yang harus kita tanam. Apakah itu? kekuatan, pengendalian, kesimbangan  dan koordinasi tubuh.

Coba saja kita ajarkan anak yang belum bisa duduk diam membaca. Atau kita coba ajarin anak yang gak bisa duduk tegak, yang nyenderin kepalanya di atas meja, menulis. Kemungkinan  kita akan kesal, dan anak pun tak mudah berhasil.

Memang yang “tricky”nya adalah, sering kali kita menganggap kemampuan gerak kasar: berlari, melompat, berguling, dll dll itu, “otomatis”. Dan sesuatu yang “otomatis” biasanya menjadi tak begitu kita hargai. Saya juga dulu berpikir begitu. Sampai saya bertemu dengan anak-anak yang mengalami hambatan dalam kemampuan gerakan kasarnya.

Setiap kali menyaksikan bahwa –tak semua anak umur 2 tahun bisa jalan “ajeg”; tak semua anak umur 3 tahun bisa lari kelak-kelok lalu berhenti tanpa jatuh; tak semua anak umur 4 tahun “berani” spontan lompat sana lompat sini gak mau diem, tak semua anak umur 5 tahun bisa lentur berkoprol ria, ber-engklek ria ke sana kemari- saya kemudian sadar bahwa saat kita pusing melihat anak balita kita yang “gak mau diem”, di saat yang sama kita harus bersyukur. Kalau istilah seorang terapis, saat ia menjelaskan perkembangan anak…… bergerak itu, harusnya anak gak pake mikir. Harus spontan. Karena ia diproses di “otak bawah”. Nah, kalau mau lompat aja mikir, mau manjat bingung….maka …ia belum punya “akar yang kuat” untuk nanti ia “dituntut” mikir beneran.

Perkembangan motorik kasar ini, bagi anak-anak yang tidak mengalami masalah secara biologis, banyak dipengaruhi oleh pengalaman. Ketika seorang anak  melompati sebuah parit kecil dengan lompatan yang besar lalu ia melompat terlalu jauh, selanjutnya ia akan melompat dengan lompatan yang lebih kecil. Ia akan belajar banyak hal….perencanaan (motor planning), keakuratan tenaga yang perlu ia keluarkan, strategi tubuh apa yang harus ia lakukan saat akan terjengkang misalnya… yang semua pembelajaran itu, harus DIALAMI oleh anak.

Kalau saya amati, sebenarnya sudah banyak sekali, dalam beragam konteks, yang memaparkan bahwa semakin hari, anak-anak kita semakin sedikit punya kesempatan untuk MENGALAMI gerakan tubuh. Beberapa tahun lalu, waktu saya nemenin anak-anak nonton film Garuda di Dadaku, digambarkan anak-anak main bola di kuburan. Karena gak ada lapangan. Dan itu memang real. Setiap kali dalam perjalanan aktifitas saya, saya melihat …. sekarang ini banyak TK atau PAUD yang bangunannya berupa rumah, langsung berbatasan dengan jalan raya. Tak ada halaman. Terasnya hanya cukup untuk satu perosotan. Tak ada tempat untuk berlarian, kejar-kejaran, main bola. Sebenarnya saya sedih banget loh….

Dalam berbagai kesempatan ngobrol dengan orangtua, anak-anak prasekolah sekarang banyak yang tidak bisa main sepeda roda dua. Bukan…bukan karena orangtuanya tak punya uang buat beliin sepeda. Tapi mau sepedahan dimana? Saya menghayati betul “keluhan” dan masalah yang dirasakan oleh para orangtua tersebut. Saya pun mengalaminya. Hana, baru bisa sepeda roda dua umur 5,5 tahun. Padahal kakak-kakaknya umur 4 tahun. Sepeda ada. Tapi mainnya dimana? pagi dan sore, jalanan komplek kami ramai oleh mobil yang keluar dan masuk. Masalah lainnya adalah, gak ada yang nemenin main, dengan susahnya cari ART sekarang. Mau ibu bekerja mau ibu rumahtangga, kalau tanpa ART problemnya sama, keterbatasan waktu.

Orangtua kalangan atas, yang rumahnya ratusan meter -tiga lantai di kompleks yang  luas-luas, yang bisa menggaji satu anak satu suster, problemnya beda lagi. Keamanan. Takut anaknya ada yang menculik. Saya juga memahami dan menghayati hal ini. Lha wong kemarin, Umar main sepedahan keluar komplek aja, saya udah panik…minta sopir cariin. Pas dateng, dia sih cuek aja bilang “mas Umar cuman liat komplek baru di depan kok” katanya. Di jaman kejahatan begitu sudah sangat merebak seperti ini, kita memang jadi sangat khawatir akan keselamatan anak kita.

Nah, jujur saja saya benar-benar memeras otak untuk mencari solusi bagi masalah ini. Bukan apa-apa, karena saya tak bisa hanya “melempar masalah”; mengatakan pada orangtua bahwa mereka perlu menstimulasi motorik kasar anak-anaknya. Menjelaskan urgensinya, dampak jangka panjangnya. Saat orangtua mengeluhkan masalah-masalah di atas dan kembali bertanya harusnya gimana, saya minimal harus bisa memfasilitasi diskusi mengenai alternatif-alternatif yang bisa dilakukan. Dan alternatif-alternatif itu, memang HARUS dilakukan. Stimulasi motorik kasar pada anak prasekolah, HARUS dilakukan.

Saya masih ingat paparan seorang psikolog-terapis dalam satu seminar yang saya ikuti: Secara statistik, anak-anak yang memang butuh terapi itu, hanya 20%. 80%nya tak butuh terapi. 80% punya modal dasar yang bisa berkembang optimal.  Namun sayangnya, yang 80% itu, tak semuanya perkembangannya berjalan “mulus”; karena faktor PENGALAMAN itu tadi… Sayaaaang banget kalau anak kita sebenarnya bisa berkembang optimal, tapi karena kurang stimulasi, harus ikut terapi. Terapi itu mahal loh … mungkin bisa dihitung jari sekarang yang harganya kurang dari 100 ribu per jam. Kali berapa pertemuan seminggu. Belum lagi kita harus meluangkan waktu, juga psikologis membujuk anak….

Nah, sekarang jadi gimana caranya biar anak-anak kita, terstimulasi motorik kasarnya dengan optimal, hingga dia punya “akar yang kuat” untuk perkembangannya? yang terpikir oleh saya adalah beberapa poin di bawah ini:

(1) Kita harus “berkorban”. Balik lagi ke prinsip dasar kehidupan ini: No gain without pain. Anak akan memberi tanda, kapan dia butuh stimulasi motorik kasar. Biasanya mulai dari usia 1 tahun, saat ia bisa melakukan hal-hal fisik-motorik sendiri. Daaan…memuncak di usia 3-4 tahun, seperti yang sedang saya alami dengan si bungsu Azzam.

Apa yang harus kita lakukan? berikan lingkungan rumah yang memungkinkan  anak untuk melakukan beragam kegiatan motorik kasar DENGAN AMAN. Anak umur 1 tahun seneng banget naik turun tangga. Bisa berjam-jam dia naik-turun-naik-turun-naik-turun tangga. Saya lebih setuju membiarkannya sambil menjaga agar anak tidak jatuh, dibanding melarangnya. Coba saja amati…anak umur 1 tahun pun, dia sudah punya “strategi” loh, untuk naik-turun tangga. Strategi yang berbeda dibandingkan strategi si anak umur 2,3,4 tahun. Kalau rumah kita agak luas, beri space untuk beraktivitas motorik kasar. Lantai bawah rumah saya, meskipun saya ingin banget mengisinya dengan furnitur ini-itu, akhirnya saya menyerah. Membiarkannya menjadi “lapangan” buat main sepeda, main badminton, main bola…. 😉

Sediakan pula waktu untuk “main fisik” dengan si kecil. Nah, ini agak berat nih buat ibu-ibu….karena mungkin “fitrah”nya ibu-ibu mah mainnya yang lembut-lembut. Saya juga sangat kewalahan dan sering “enggan” saat si bungsu 3,3 tahun yang lagi puncak-puncaknya banget ngajak main motorik kasar; main bola, main “lawan-lawanan”, main “perang bantal”, kuda-kudaan, sepedahan…. Nah, disinilah para Bapak berfungsi. Saya sangat mengandalkan si abah ……Atau kalau karena satu dan lain hal harus kita yang nemenin anak-anak, ya …. mari kita lakukan. Kalau kita enggan ke luar rumah, balik lagi…bikin medianya di dalam rumah. IMG-20150622-WA0011Tadi sore, saya bikin sonlah-sonlahan di balkon. Gara-gara udah mati gaya sama si bungsu. Si 3 tahun ini, ampe setengah jam bolak-balik-bolak-balik engklek, sampe teler …udah teler gitu, kirain udahan…eh, ngajak lagi…

(2) Kalau dalam wekdays minim banget waktu yang bisa kita alokasikan untuk main motorik kasar, manfaatkan dua hari weekend ! Nah, ini kojo saya nih…weekend ! ajaklah anak-anak main ke tempat-tempat yang membuat mereka bisa lari, lompat, manjat, meniti….sekarang udah banyak tempat hiburan yang berupa wahana outbond. Beragam taman di Bandung buat orang Bandung, kayaknya bisa juga tuh. Atau kalau di mall, ajak anak-anak kita ke tempat bermain yang luas. Kayak Gym and Jump gituh. Banyak kok. Minggu lalu, saya ajak Azzam ke Jatos, “mall” yang ada di Jatinangor, mainan favorit mereka adalah …. trampolin….dua jam memainkan beragam wahana disana, masih ngambek pas diajak pulang. Beberapa keluarga saya amati punya habit olahraga di weekend, bersama anak-anaknya. That’s cool ! keyyen ! lari bareng, berenang bareng….

(3) Bagi yang memiliki kemampuan, bisa memfasilitasi kegiatan motorik kasar buat anak-anak dalam lingkup yang lebih luas. Beberapa waktu lalu, seorang senior saya menyatakan keprihatiannaya  karena katanya anak-anak sekarang pada gak bisa koprol ! padahal koprol itu konon kemampuan motorik kasar yang penting. Kata teman saya yang pernah tinggal lama di luar negeri, salah satu kekurangan di Indonesia adalah bahwa di sekolah-sekolah, minim sekali pelajaran “senam”. Nah, kalau ada teman yang bisa memfasilitasi anak-anak kita penerus masa depan bangsa untuk terstimulasi motorik kasarnya lewat aktifitas-aktifitas yang stimulatif, ah…insya allah sangaaaaat bermanfaat.

Nah, baru itu sih yang kepikiran…bagi yang punya saran lain, monggo….

Sebagai muslim, apalagi pas saat romadhon gini, saya selalu ingat kisah bahwa Rasul itu, dalam tarawihnya membaca dalam satu rakaat surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisa, kemudian Ali Imran. Beliau membacanya dengan lambat dan panjang. Kalau tubuh Rasulullah tidak seimbang, mana mungkin beliau punya daya tahan sekuat itu? se-tumaninah itu? “softwarenya” keimanan. “hardwarenya” … tubuh yang terolah dengan baik. Sekarang, kita lihat  anak-anak kita, yang usia 5 tahun masih susah banget buat engklek, cuman bisa duduk diam semenit dua menit. Kalau dibiarkan… apakah bisa se-tumaninah beliau saat sholat?

Jadi biar tambah semangat, kalau kita bercita-cita ingin anak kita sholeh, jadi ahli ibadah yang khusyuk dan tumaninah, cerdas dan bisa menyerap banyak ilmu karena konsentrasi yang kuat, mampu memahami hal-hal abstrak dengan mudah, menstimulasi motorik kasar insya allah menjadi bagian dari perjuangan mewujudkan cita-cita itu. Aamiin…

 

 

“Dunia Baru” Si Emak Remaja

2 hari lalu, Azka si sulung genap berusia 12 tahun. Seperti biasa, kami mengadakan “perayaan kecil”. Membangunkannya saat sahur, menyiapkan kue tart kecil dan kado istimewa, lalu berdoa bersama. Tahun ini kami menghadiahinya laptop. Sebenarnya gak kaci sih, soalnya laptop ini hadiah yang kami janjikan juga kalau dia lulus test SMPIT 3 bulan lalu. Tapi dia juga gak protes, jadi two ini one ajah haha…

Kata Duvall & Miller (1985), saat ini keluarga kami sudah “berubah status”, dari family with school children menjadi family with teenager. Sekilas info, Duvall & Miller adalah seorang ahli yang meneliti mengenai keluarga. Beliau membedah perkembangan keluarga melalui 8 tahap perkembangan, mulai sejak pasangan menikah sampai dengan wafat. Ke-8 tahap itu adalah : (1) Marriage Couple, (2) Childbearing family, (3) Family with preschool children, (4) Family with school children, (5) Family with teenager, (6) Family launching young adult, (7) Middle Age, (8) Aging. Tahap perkembangan keluarga tersebut didasarkan pada usia anak pertama. Pentahapan tersebut adalah hasil riset beliau, yang merupakan dinamika dari perubahan psikologis masing-masing individu di dalam keluarga tersebut. Kata teman saya yang mengajar mata kuliah Perkembangan Kehidupan Keluarga, sampai sekarang belum ditemukan ahli yang mengeluarkan teori se-komprehensif Duvall mengenai kehidupan keluarga.

Saya sendiri, merasakan bahwa hasil Penelitian Duvall ini, bener loh. Sebagai seorang ibu bagian dari sebuah keluarga, sejak Azka baligh, terasa sekali memasuki “dunia baru” yang relatif berbeda dengan sebelumnya. Yang paling jelas adalah, perubahan fisik dan psikologis Azka, yang mewarnai perubahan dinamika di keluarga kami.

Misalnya, kalau dulu dia yang suka kesel nunggu adiknya, Umar setiap mau berangkat sekolah, sejak semester terakhir ini sebaliknya. Kenapa? karena si kakak, mandinya lamaaaaaa, dandannya lamaaaaa……Lalu super sensitifnya, adik-adiknya udah tau kalau wajah kakaknya lagi jutek, harus jaga jangan sampai melewati batas radius satu meter haha…. Dan “kebluk”nya itu loh….tiduuuuur terus. Konflik-konflik sama adiknya, meningkat tajam. Misalnya karena kelenjar keringat yang lagi aktif, badan si remaja ini mudah bau, meskipun udah dikasih deodoran. Hana yang suka “polos”, kalau dekat kakaknya pasti bilang “kaka teh udah mandi belum sih?” sampai dia punya julukan “si Nyonya Bau” buat kakaknya. Ampuuuun deh.

Terpaksalah saya bikin konferensi pers buat adik-adiknya, kalau kakak sekarang udah remaja. Remaja itu artinya, mau berubah dari anak-anak jadi dewasa. Ciri-cirinya ….bla..bla..bla…saya memanggil kembali memory saat menyusun materi kesehatan reproduksi remaja…15 tahun lalu. Kematangan  seksual, primer… sekunder…. bla..bla.. Dengan diselingin beragam interupsi dari si 9 tahun dan 6 tahun itu, mengerti-lah sekarang mereka apa yang terjadi pada kakaknya.

TEENAGERSaya baru menghayati betul  sekarang, apa yang dikatakan si literatur-literatur mengenai remaja itu. Perubahan fisik, hormonal yang begitu melonjak di masa remaja, itu perubahan besar bagi si remaja itu sendiri, yang berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Yang kalau kita gak ngerti, bukan hanya adik-adiknya saja, tapi emaknya pun, bisa  berantem tiap hari sama si gadis.

Pendekatan, cara ngingetin, maupun konten obrolan pun sekarang berubah. bener-bener perlu ilmu baru memang. Konten obrolan yang lagi ngehits sama Azka sekarang adalah, tentang “berat badan”. Minimal satu hari satu kali, dia bilang gini sama saya : “Bu, kok Kaka gendut banget ya, sebel banget ih”… atau ..“Ibu waktu seumur Kaka beratnya berapa kilo?” …atau … “Kok ibu waktu belum nikah kurus banget sih..”.

Di umurnya sekarang ini, saya juga mulai merasa perlu menyampaikan sex education tahap 2. Kalau tahap 1 kan untuk mengenalkan bagian tubuh mana yang boleh terlihat-tak boleh terlihat, yang boleh disentuh-tak boleh disentuh; siapa yang boleh melihat siapa yang boleh menyentuh. Pada Azka, saya mulai jelaskan juga soal pacaran. Bahwa value agama yang kami yakini, tidak memperbolehkan pacaran. Kenapa. Saya tambahkan juga info hasil penelitian teman saya tentang KDP, kekerasan dalam pacaran, terutama kekerasan psikologis yang rentan dialami anak-anak remaja putri. Suka-sukaan itu wajar, boleh. Tapi mengekespresikannya yang harus tau cara dan batasannya.

Yups, sejak kelas 5, tema perbincangan Azka via wa maupun via line dengan temna-temannya, tak lain dan tak bukan adalah….suka-sukaan. Si ini suka sama si itu, Si anu kesengsem sama si ono…sejak setahun lalu saya sudah benar-benar menghargai privacy Azka, gak pernah cek hapenya. Tapi saya minta dia gak mengunci hapenya, dengan janji saya tak akan membuka hapenya. Saya cukup seneng dia terbuka sama adiknya, Umar. Mereka berdua saling terbuka siapa yang mereka suka, dan mereka saling jaga rahasia. Meskipun kayaknya siapa yang disukain Umar berubah-ubah tiap minggu haha…Dan kalau lagi berantem, mereka suka “ancam-ancaman” buka rahasia, tapi saya suka ngingetin kalau kepercayaan masing-masing harus dijaga.

Tentang pacaran, saya dan mas agak strict. Menurut diskusi dengan teman-teman yang udah punya anak remaja, katanya memang tantangan mengasuh anak remaja adalah menanamkan value keluarga. Dan kalau udah terlanggar, susah banget menegakkannya kembali. Apalagi anak-anak jaman sekarang….. bahasanya udah dahsyat, gombal-gombal…..suatu hari pernah Hana bawa selembar kertas…dia yang lagi belajar baca, tanya  tulisan ini isinya apa. Rupanya, itu kertas yang tercecer dari meja belajar Azka. Isinya gini : “Azka, tolong pergi jauh… aduh, saya mulai deg-degan…apa Azka berantem sama temennya…tapi pas baca lanjutannya, saya pengen ketawa banget …. ” biarkan rasa ini hilang seiring waktu” hahaha….

Lalu saya jelaskan juga kalau sekarang ini Kaka udah bisa hamil. jadi pergaulan harus dijaga betul.  Yang terakhir ini, kembali jadi bahan ledekan Hana buat kakaknya. “haha…kakak udah bisa hamil…haha..” katanya …buat dia, hal ini lucu banget kayaknya …mungkin dia bayangin kakaknya tiba-tiba perutnya membesar gituh kkk….

Gambaran di atas, adalah sedikit perubahan yang “visible” dengan perubahan status menjadi ibu dari remaja. Setiap hal, mulai dari masalah hape sampai pilihan sanlat, kalau gak luwes, pokoknya bisa bikin “meledak”. Baik emaknya maupun si remajanya kkkk…NAh ada satu lagi perubahan yang “invisible”.

Beberapa wkatu yang lalu, ada satu kejadian yang membuat saya “menasehati” Umar begini: “mas, nanti kalau kamu cari istri, harus hati-hati loh…gak bisa liat dari luarnya aja. Misalnya terlihat baik, berjilbab, sopan, gak bisa. Harus tau bener nilai-nilai yang dia pegang, apa yang menurut dia baik dan buruk, apa yang menurut dia boleh dan tidak boleh, itu harus kita tau betul. Banyak penampilan yang menipu sekarang mas” …kkkk…gak tau anak umur 9 tahun itu ngerti gak..ini mah emang  emaknya setengah curhat ….. yang pasti, si Kakak langsung nyamber: “dan yang terpenting bu, perempuannya itu, mau gak sama si Umar…haha…”

Tapi bener loh…. saya sekarang mulai kepikiran soal jodoh anak-anak, terutama tentnya Azka haha… Pernah ngobrol sama seorang senior yang ketiga putera-puterinya sudah berkeluarga, dia setuju dengan “nasehat” yang saya sampaikan pada Umar. “Itu sebabnya, ketiga anak saya itu saya arahkan untuk berkenalan dengan anak dari sahabat-sahabat dan teman-teman, yang saya tahu betul, value keluarganya seperti apa Fit” katanya….

Bener ya….mungkin ini alasannya para orangtua dulu suka mengadakan perjodohan … Sekarang, sebagai orangtua, jujur aja…saya mulai bisa menghayati…kayaknya perjodohan dengan seseorang yang menurut kita “baik” itu rasanya lebih aman kkk….Tapi kan ….kalau tanpa cinta…kehidupan pernikahan anak kita bisa hampa….ya..ya…baiklah…tapi usaha boleh kan? “makanya kita harus terus jaga silaturahim sama teman-teman kita yang kita tahu value-nya sama dengan kita” kata si abah….dan suatu hari, saya dan si abah  pernah iseng mengingat-ingat anaknya siapa-anaknya siapa yang “potensial” untuk jadi calon mantu haha….. engga…engga sampai dicatet kok…kalau 10 tahun lagi, mungkin mulai dicatet kkk 😉

Working Mom; Biar tak bertekuk lutut pada target ramadhan ,,,,,

never give upBeberapa jam lagi, semoga umur kita sampai….kita akan memasuki bulan Ramadhan. Bulan suci, penuh berkah, penuh kebaikan, bulan yang dirindukan oleh seluruh umat muslim.

Di bulan ini, Allah memberikan jamuanNya yang sangat istimewa. Pahala dilipatgandakan,  kesempatan untuk meleburkan dosa-dosa kita, terbuka luas. Serta tak lupa ada satu jamuan super istimewa dariNya : malam Lailatul Qadr.

Setelah selama dua bulan kita berdoa “Allahumma baariklana fi rojaba wa sya’ban wa balligna romadhon”…Ya Allah, berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikanlah kami ke bulan Romadhon”, adalah sangat amat bodoh jika kita tak mempedulikan jamuan yang super istimewa dari Dia Yang Maha. Operasionalisasinya, hari-hari terakhir ini banyak yang mengingatkan dan menyemangati untuk membuat target ibadah bulan Ramadhan.

Yups, saya one hundred percent agree kalau kita HARUS bikin target amalan dan ibadah di bulan Ramadhan ini. Kita juga harus ajak pasangan dan anak-anak kita untuk bikin target. Saya juga setuju kalau targetnya harus SMART- Spesific, Measurable, Attainable, Result Oriented, Time Limit. Saya haqqul yaqin, kalau kita bikin target abstrak semisal “mendekatkan diri pada Allah” tanpa menurunkannya menjadi langkah konkrit gimana-nya, perilaku kita akan sulit untuk tergerakkan mewujudkannya. Tapi jika “mendekatkan diri pada Allah” itu kita operasionalisasikan menjadi : “Baca Qur’an dan tafsirnya, 1 juz per hari. Shalat Tarawih tanpa bolong, Sholat tahajjud dan dhuha minimal 2 rakaat setiap hari, Shodaqoh minimal 5 juta”. Nah, itu lebih  powerfull untuk mengarahkan perilaku kita. Konkrit apa yang harus kita kerjakan.

Tapi, bikin target yang SMART juga ada jebakannya loh….terutama buat para ibu-ibu, dan terutama lagi yang berkomitmen pada satu organisasi/instansi tempat ia bekerja.

Saya mau curhat dulu ah…Tau gak…tiap Romadhon, mimpi saya adalah ….saya off dari semua kegiatan, tiap hari siang malam itikaf di mesjid, baca Qur’an dan tafsirnya. Hiks…tapi itu kan hanya mimpi ya? Aktifitas kita kadang gak sinkron sama keinginan. Kayak sekarang nih…asyiikkkk…kuliah udah libur. Tapi …tapi…kenapa agenda minggu depan yang tadinya kosong melompong sekarang udah penuh terisi jadwal aktifitas ya? ujian mahasiswa, bimbingan mahasiswa, rapat ini, pertemuan itu, klien ….. Saya juga kadang berkhayal … coba kalau gak kerja…kabita sama ibu-ibu komplek yang tiap tahun punya jadwal tadarus 3 jam per hari …. tapi masih punya anak kecil…gak bisa juga khusyuk ngaji selama itu. Ah, kalau gak move on dari khayalan ini, gak akan mungkin bisa ramadhan dengan khusyuk.

Tetap punya target pribadi saat ramadhan, berusaha khusyuk di tengah-tengah hiruk pikuk aktifitas sehari-hari, adalah pilihan realistisnya. Baiklah…set target … tapi …tapi … 10 hari pertama, udah gak semangat ….jauh ketinggalan dari target awal… kenapa? hiks…ternyata karena gak realistis…. maklum lah ibu-ibu…pulang kerja, nyiapin buat buka. Malem mau tarawih, si kecil rewel dan gak mau kompromi dengan rutinitas menjelang tidur. Sahur udah bangun beberapa jam lebih awal, harus bagi waktu antara sholat, ngaji, pengen nonton kajian tafsir di tv, nyiapin sahur, mengkondisikan anak-anak yang baru belajar puasa biar gak keluar rasa kesal …. Abis sahur…mau ngaji nikmat lagi…harus nemenin anak-anak biar gak tidur lagi kalau sekolah….

Kadang-kadang, realitas itu membuat kita bertekuk lutut dan “menyerah” pada target yang kita buat. Padahal itu bahaya banggets ! Gak punya target = gak akan melakukan apa-apa. Akhirnya, jamuan istimewaNya di bulan ini pun …. lewat begitu saja. Padahal belum tentu kita dipertemukan lagi dengan ramadhan tahun depan.

Nah, berdasarkan hal itu, dalam tulisan ini saya ingin berbagi “trik” biar kita, para ibu-ibu bekerja yang cuman punya waktu terbatas buat beribadah, tak bertekuk lutut dan menyerah pasrah pada target ramadhan.

(1) Meniatkan seluruh aktifitas kita sebagai ibadah. Kang Syamril, senior saya di Salman, membuat buku berjudul Kerja itu Ibadah. Dalam pengantarnya, beliau menyampaikan kalau kita hanya meniatkan ibadah itu sholat, mengaji, dan yang sifatnya “ritual”, betapa minimnya waktu ibadah kita, dari 24 jam waktu yang kita punya. Maka dari itu, dengan sepenuh kesadaran kita harus meniatkan bahwa aktifitas kerja yang kita lakukan- entah itu mengajar, rapat, memeriksa pasien, ketemu klien, dan segala macemnya, adalah ibadah. Artinya, kita harus aware betul bahwa aktifitas kita memenuhi 3 syarat ibadah: bermanfaat, baik dan benar.

(2) Beberapa bulan yang lalu, dalam Majelis Percikan Iman, Ustadz Aam membahas tema “agar selalu bersemangat dalam beribadah”. Salah satu poin yang beliau sampaikan adalah “mulai dari yang ringan”. Karena kan, di Surat Al Mulk ayat 2 pun Allah menyampaikan bahwa Allah menguji kita, siapa diantara kita yang LEBIH BAIK amalnya. Bukan yang LEBIH BANYAK amalnya. Lalu ada hadits yang menyatakan bahwa “Amalan yang lebih dicintai Allah adalah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun sedikit”. HR Bukhari dan Muslim. Kalau kita konsisten melakukan satu amalan, lalu suatu saat karena uzur (misal sakit atau ada halangan mendadak) kita tidak bisa melakukannya, maka malaikat tetap akan mencatat bahwa kita melakukannya. Meskipun amalannya “kecil”. Misal shalat dhuha 2 rokaat, atau wudhu sebelum tidur, atau apapun.

Kalau saya hayati, “menurunkan standar” ini seperti gampang, tapi sebenarnya berat loh…karena itu tadi, karena kita sangat semangat …. Beraaaat untuk kemudian kita secara realistis menurunkan sesuai dengan “kemampuan” kita. Misalnya, kita semangat buat ngaji ODOJ. One day one juz. Itu artinya, setiap habis shalat kita harus baca dua lembar Qur’an. Masa sih, dua lembar aja gak bisa…itu semangat kita. Tapi kenyataannya…mungkin kita harus realistis bahwa ba’da dhuhur, ashar dan maghrib, target baca Qur’an  2 lembar gak tercapai karena keriweuhan kita sebagai emak-emak. Lalu berarti utangnya numpuk….numpuk terus, nah itu yang bikin patah hati dan “menyerah kalah”. Realistis aja. Kalau gak bisa ODOJ, sekarang ada grup OWOJ. One week one juz. Ah, dikit banget sih..males banget …daripada gak punya target sama sekali hayo ???? Baca tafsir…pengennya sih khatamin tafsir al-misbah nya Pak Quraish Shihab misalnya ….tapi itu beurat banget loh ! harus dicerna kata-kata dan kalimatnya satu persatu, karena uraian beliau filosofis sekali. Ya udah, targetnya diturunin. Jadi targetnya khatamin tafsir sampai juz 10 misalnya, nanti lanjut setelah bulan Ramadhan. Atau tetap mau 30 juz, tapi Tafsir yang lebih ringkas, misalnya Tafsir Ibnu Katsir yang hanya 10 jilid. Atau Tafsir ringkas Al Lubab, yang hanya 4 jilid ringkasannya tafsir Al Misbah. Di covernya juga ditulis : “tafsir untuk orang sibuk” 😉 Prinsip ini berlaku untuk sholat, dll.

3. Nyari waktu khusyuk untuk ngaji dan baca? gak akan mungkin dapet ibu-ibu mah. Catatan : ibu-ibu yang masih punya anak kecil ya. Maka, manfaatkan waktu luang di kantor, di perjalanan, buat ngaji, baca, dzikir. Kalau malu disebut “sok alim” baca qur’an di kantor, sekarang kan android gampang banget nginstal al Qur’an. Ama artinya, tafsirnya malah. Jenuh baca? pasang aja earphone. Dengerin murrotal. Gak bisa konsentrasi, istighfar dalam hati. Dijamin gak akan ada yang tau kalau kita “sholehah” hehe….

4. “Kompensasikan” kekurangan kita pada amalan yang berbasis waktu, dengan amalan yang tak “membutuhkan” waktu. Kalau kuantitas sholat, ngaji, baca kita kurang dibanding ibu-ibu lain yang kuantitas waktu luangnya lebih banyak, mari kita cari amal lain yang strategis, yang tak membutuhkan kuantitas waktu. Shodaqoh misalnya. Kita genjot. Kan katanya PNS mau ada gaji ke-13 ? nah, bisa tuh kita shodaqohin … atau kita sisihkan sekian persen THR …. trus waktu pengajian pembekalan ramadhan 2 minggu lalu, ustadz Wahab menyampaikan ada satu amalan “strategis” yang kita suka lupa, dan potensial dilakukan oleh ibu-ibu. Yaitu…memberi makan orang yang berbuka puasa. Pahalanya sama dengan orang yang berpuasa tersebut loh….. Kalau kita gak sempet masak, kita bisa beliin atau kasih mentahnya ke satpam, office boy di kantor kita, para dhuafa, dhuafa difabel….banyaaak banget yang membutuhkan.

Tulisan ini tentunya tak bermaksud untuk melemahkan semangat ibu-ibu bekerja yang “siap tempur” untuk mencapai target amalan ibadah yang “tinggi”. Amalan yang banyak dan baik, TOP BANGET. Tapi dibanding gak punya amalan sama sekali, amalan sedikit tapi konsisten is a better choice.

Dan penghayatan saya, keistimewaan dan keberlimpahan rahmatNya di bulan Ramadhan adalah “reinforcement”, fasilitas pembelajaran dariNya untuk membentuk sikap mental kita. Yang namanya proses belajar, cirinya adalah menetap. Jadi, sikap mental kita yang dibangun saat ramadhan, agar perilaku kita setelah ramadhan berubah. Dalam bahasa agama, Ramadhan adalah fasilitas pembelajaran dariNya biar kita jadi orang bertaqwa. Menjadi rang yang lebih baik. Mulai dari hal kecil, yang kita mampu lakukan, namun kita pelihara terus meskipun ramadhan nanti telah berlalu.

Marhaban ya Ramadhan……Semangat !!!!!

Tiga Belas Tahun : Antara Romantisme dan Realitas

Hari ini, adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-13. Sejak sebulan lalu, saya sudah menyiapkan dua tulisan istimewa. Di dalam kepala tentunya, karena belum punya waktu luang untuk mengetiknya. Bahkan saya sudah menyimpan referensi dua tulisan itu di meja dekat kamar tidur saya. Satu paket referensi 3 buku tafsir dan satu lembar tulisan Prof. Sawitri mengenai gambaran dinamika pernikahan.

Rencananya, semalam saya akan bangun dini hari dan menulis dua tulisan itu. Namun apa daya….aktifitas full sabtu minggu, membuat saya terlelap dan bangun subuh pagi tadi. Kehectican pagi tadi bertambah dengan informasi dari teh Rini, pengasuh anak-anak yang izin hari ini karena akan ambil raport anaknya. Artinya, saya harus bawa Hana dan Azzam ke Jatinangor untuk mengawas ujian. Baca wa group, ada kabar RI 1 dan para mentri akan melantik para wisudawan IPDN yang artinya….harus berangkat lebih pagi biar nyampe kampus tepat waktu meskipun terhadang di IPDN. Si abah pun, tadi pagi hectic dengan proposal yang harus diselesaikannya. Pengen candle light dinner? sore ini saya udah janjian bawa Azka, Umar dan Hana ke dokter gigi. Biasanya akan sampe jam 7an.

Beberapa hari lalu, saya senyum-senyum baca status seorang teman saya, yang menggambarkan bagaimana romantisme sepasang kekasih yang menjadi suami istri dan menjadi bapak-ibu, telah berubah menjadi realistis membahas hal-hal “remeh temeh” soal anak.

Yups, tahun ini, keluarga kami masuk “fase baru”. Tampaknya si sulung Azka, telah “resmi” menjadi remaja. Dengan segala karakteristiknya, yang mewarnai pula keluarga kami. Maka, kami pun resmi menjadi “family with teenager” dalam tahap perkembangan keluarga. Tahap perkembangan baru, tentu saja tantangan baru dan butuh ilmu baru.

Di usia pernikahan ke-13 ini, hal-hal ideal dan romantis sudah tak sempat lagi kami usahakan. Lha wong tadi pagi saya nyari-nyari selembar kertas referensi buat tulisan yang udah saya siapin di meja kamar saya, udah ilang…saya curiga…kalau gak dipake “gambar rambutan” oleh Azzam, paling dipake bikin perahu sama Umar ;(

Seminggu lalu saya berkesempatan “mengobrol” dengan seorang “rekan” yang usia pernikahannya sudah 35 tahun ! Saya tanya, apa sih yang membuat ia dan pasangannya “bertahan”. Saya pernah melihat mereka berdua begitu….”romantis” gituh. Bukan…bukan romantis yang lebay seperti menuliskan perbincangan mesra di status atau gelendotan di tempat umum. Perilaku dua kakek nenek itu itu biasa saja, tapi aura kasih sayang, aura “i love you” itu begitu kuat terasa. Padahal mereka sering LDR-an, dengan aktivitas masing-maisng.

Cerita beliau mengenai perjalanan 35 tahun pernikahannya, suka dukanya, pasang surutnya, cinta-bencinya, idealisme dan realitasnya, membuat saya semakin yakin….mempertahankan pernikahan yang membawa kebaikan dan kebahagiaan itu, tak mudah. Ada banyak episode yang harus dilalui. Ada banyak proses perubahan yang harus dilakukan. Dan ada satu benang merah kekuatan yang akan membuat kita dan pasangan bertahan menghadapi tiap episode itu.Itulah yang harus saya aware-i dan harus saya pertahankan, bahkan perkuat.

Episode 13 tahun pernikahan kami, adalah episode realitas. Setiap hari kami disibukkan dengan beragam macam tetek bengek urusan anak-anak. Mulai dari hal filosofis sampai hal teknis remeh temeh. Pergi berdua? it’s not our style.

C360_2015-06-15-14-59-46-310~2Dalam hiruk pikuk reaalita sehari-hari dari tahun ke-13 ini, ada satu hal yang selalu bikin saya senyum. Bahwa semakin hari, kami semakin sering melakukan hal yang sama, di hari yang sama, tanpa janjian. Membelikan kebutuhan dan kesukaan masing-masing, paling sering membelikan kebutuhan dan kesukaan anak-anak. Misalnya, membelikan cemilan kesukaan anak-anak yang sama, sampai dengan beliin vitamin yang sama. Meskipun anak-anak suka “protes” …. “kenapa sih, ibu dan abah  suka beliin hal yang sama?” bahkan Azka yang lagi “nyinyir” suka bilang : “emang ibu dan abah gak koordinasi ya?” haha…namun dalam hati saya tersenyum. Semoga ini tanda bahwa dalam hiruk pikuk realitas pernikahan kita, hati kita semakin menyatu” haha……aamiin….

Dear Para Ayah, Jangan Under-estimate dirimu …..

Tulisan ini sebenarnya untuk para ayah, meskipun saya pesimis ada ayah yang baca tulisan ini hehe… Yowis lah, gak apa-apa dibaca para ibu juga. Nanti isi tulisan ini tolong bisikin ke suami masing-masing ya…..hehe…

Penelitian terhadap peran ayah pada tumbuh kembang anak dimulai sejak jaman Perang Dunia ke II dulu. Ketika para ahli mempertanyakan apa dampak ketiadaan ayah karena pergi ke medan peran, bagi anak. Dari penelitian-penelitian tersebut, muncullah terminologi “paternal deprivation”. Paternal deprivation is a term that can be used to include various inadequacies in a child’s experience with his father” . Pendekatan penelitian yang menekankan “dampak negatif” pada anak yang diakibatkan oleh ketiadaan ayah disebut  pendekatan deficit model.

Jadi, kalau sekarang ada yang membahas pentingnya peran ayah pada tumbuh kembang anak dengan mengungkapkan kalau ayah tidak ada atau tidak terlibat pada pengasuhan anak maka anaknya akan ini-itu (yang negatif), akan tidak berkembang ininya itunya ….. maka berarti masih memakai pendekatan yang sangat jadul, yang sudah tidak dipakai lagi di dunia akademis. Secara filosofis, deficit model adalah pendekatan yang “pesimistis”, yang sebaiknya memang tidak kita gunakan lagi.

Pendekatan yang sekarang digunakan untuk meneliti mengenai peran ayah pada tumbuh kembang anak adalah pendekatan dengan sudut pandang yang positif. Bagaimana dampak positif keberadaan ayah atau keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak, pada tumbuh kembang anak.

Pause dulu sampai sini. Saat saya membaca paparan tersebut di buku Conceptualizing and Measuring Father Involvement, yang merupakan kumpulan tulisan para peneliti di bidang ini (2004), saya pun Pause. Apa bedanya dua pendekatan diatas? kayaknya sama aja. Bentar…bentar …ini mah harus dihayati.

Menurut penghayatan saya, ini bedanya :

Pendekatan terdahulu, deficit model yang berfokus pada dampak negatif yang akan dialami anak jika ayah tidak terlibat pengasuhan anak; secara implisit mengatakan bahwa, anak yang ayahnya tidak terlibat dalam pengasuhannya akan kehilangan dan akan kurang sesuatu dalam tumbuh kembangnya. Output dalam diri anak, negatif.

Pendekatan selanjutnya, yang berfokus pada dampak positif yang akan dialami anak jika ayah terlibat pengasuhan anak; secara implisit mengatakan bahwa anak yang ayahnya tidak terlibat, akan baik-baik saja, tidak kurang suatu apapun. Tapi jika ayahnya terlibat, itu akan menambah kualitas pada aspek-aspek tertentu pada diri anak. Output pada diri anak, positif.

Mari kita lanjutkan ….

Maka, sebenarnya kajian tentang peran ayah dalam tumbuh kembang anak  bukanlah masalah tugasku-tugasmu dalam hubungan suami istri. Bukan masalah “gantian” pegang anak-anak. Bukan. Sama sekali bukan. Da ibu-ibu mah, saya yakin…. bisa, sanggup ngurus anak 24 jam 7 hari dalam seminggu sendirian.

Tapi masalahnya adalah, ada kualitas-kualitas tertentu dalam diri para ayah, baik dengan fitrah dia sebagai laki-laki maupun sebagai seorang individu dengan kelebihan-kelebihannya, yang kalau itu “ditransfer” pada anak melalui interaksi dengan anak, akan menambah kualitas diri seorang anak, akan menambah “jaring pengaman psikologis” jika suatu saat nanti anak mengalami hal-hal yang buruk. Ah, sayang banget kalau kesempatan itu ada, dan ayah tak memanfaatkannya. Sayang banget kalau anak merasa ayahnya ada atau engga ada, sama aja. Menurut saya sih, agak kurang mensyukuri nikmat Allah gitu….

Betul, bahwa ayah gak bisa lembut, gak bisa sabar kayak ibu. Tapi apakah itu berarti ayah tidak punya apa-apa buat diajarkan ke anak? jangan under-estimate diri sendiri dong para ayah….. Itu …kehebatan presentasi sana sini, keberanian ambil resiko, kemampuan membuat keputusan, mengelola banyak orang dan banyak projek, teguh hati dan tak mudah menyerah saat menghadapi persaingan, kreativitas yang spontan…..itu kualitas-kualitas yang tak dibutuhkan anak-anak kita gitu?

Maka, kalau kita sepakat bahwa ayah juga punya kualitas-kualitas yang akan menambah kualitas anak-anak kita, pembicaraan selanjutnya adalah, bagaimana cara ayah terlibat dalam pengasuhan anak.

Sayangnya, penelitian mengenai peran ayah dalam tumbuh kembang anak banyak dilakukan di negara Barat. Sedikit banyak, hal ini berdampak pada gambaran prototype ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak, versi sana. Digambarkan ayah yang hangat, interaktif, bicara tentang konten-konten perasaan, nyanyi bareng, curhat…..gambaran-gambaran yang mungkin kurang pas dengan budaya kita, dimana laki-laki masih dilihat sebagai gambaran kualitas maskulin. Padahal, bentuk keterlibatan ayah tak harus seperti yang digambarkan di barat itu loh…. Ngajak ke mesjid anak-anaknya…sepanjang perjalanan pergi dan pulang ke masjid ngobrol….anak cape digendong… itu bukan interaksi yang dua arah dan berkualitas gitu? Main bola bareng anak laki-laki, tebak-tebakan lucu sama anak perempuan, ah banyak kok…..be your self, with your own style aja ayah….

Tahun lalu, dalam satu forum saya bertemu dengan para ayah, dan dari situ kita berdiskusi. Ayah-ayah muda jaman sekarang, rata-rata sudah ngeuh loh, bahwa ia bisa memberikan sesuatu pada anak-anaknya. Tapi masalahnya adalah ….waktunya !!!! kapan waktunya????? mana banyak commuter father lagi sekarang, ayah sabtu minggu gituh…kayak ayahnya anak-anak sayah….

Nah, menurut penerawanganfather saya sih…..dua hari wiken, sabtu-minggu, itu cukup loh, buat keterlibatan ayah dalam tumbuh kembang anak. Dengan catatan…nah, ini catatannya…..ayah “mengerem” diri dari aktifitas “untuk diri sendiri”. Ya, kalau sekali-kali ada yang penting dan urgent sih gapapa. Tapi kalau setiap sabtu atau setiap hari minggu, atau sabtu minggu si ayah punya jadwal full untuk dirinya sendiri…entah itu pengembangan diri atau hobi atau apapun, ….ya jadi memang gak ada waktu sih buat sama anak.

Tapi kan ayah butuh refreshing….setelah 5 hari full kerja…ya, itu mah balik lagi ke pilihan masing-masing sih…tapi dengan pertimbangan di atas, dan dengan pengalaman bertemu anak-anak dengan beragam tipe orangtua dan beragam tipe ayah, saya yakin bahwa anak-anak memang butuh ayahnya, dan ayahnya memang punya kualitas yang bisa menguatkan anak. Dengan latar belakang itulah, kalau saya sendiri mengajak si ayah-nya anak-anak  “berkomitmen bersama” untuk “mengerem” sementara kebutuhan pengembangan dirinya di wiken. Sementara aja kok…pengalaman si sulung yang udah remaja….mulai kelas 5 aja…anak-anak tuh udah gak perlu interaksi intensif lagi kok…jadi sabar dulu nunggu anak-anak “gak butuh” orangtuanya. Insya allah, meskipun secara kasat mata mungkin banyak kesempatan yang hilang yang tak diambil saat wiken, keberkahan keluarga mah tak akan tergantikan oleh apapun…

Setahun belakangan ini saya banyak bertemu dengan orangtua yang usia nya cukup lanjut, usia dimana anak-anaknya sudah remaja…sudah  dewasa. Dan saya sering tidak tahan saat menyaksikan orangtua, terutama ayah, menangis karena menyesal dan sedih, begitu ingin mengulang waktu …. menebus saat-saat ia semangat bekerja dan “melupakan” anak-anaknya, yang kini melupakan dirinya.

Dari pengalaman itu, saya jadi menghayati bahwa  pencapaian diri, seharusnya merupakan pencapaian keluarga. Seorang ayah yang hebat, yang dikagumi banyak orang, dijempolin puluhan-ratusan orang di medsos karena prestasinya, diteladani karena kerja kerasnya,  ternyata merasa menjadi tak berarti apa-apa ketika anak-anaknya, tak merasakan ayahnya hebat. Tak kagum sama sekali pada ayahnya, masa bodoh dengan prestasi ayahnya, tak peduli pada kerja keras ayahnya, karena si anak sama sekali tak “terpapar” kualitas-kualitas itu.

Buat ayah-ayah yang anaknya masih kecil, hayu…..jangan sampai menyesal nanti….Waktu tak dapat diulang lagi…

 

 

 

 

 

Peran Ayah pada anak : Penting atau gak penting siiiih? (mengenal risk & protective factors)

ayahMumpung belum ngantuk, malam ini saya teringat utang pada seorang teman. Utang tulisan. Begini ceritanya…

Beberapa minggu yang lalu, saat di perjalanan menuju Jatinangor, seorang teman menelpon saya. Tanpa basa-basi, ia langsung bertanya; “Fit, sebenernya ayah teh gimana sih? Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata pertanyaan tersebut didasari oleh kegalauannya terhadap topik “peran ayah pada anak”, yang sedang “hot” dibahas di dua wa grup yang ia ikuti. Masalahnya adalah, dua wa grupnya ini katanya membahas tema ini dari sudut pandang yang berbeda 180 derajat.

Di grup wa-nya yang kesatu, didiskusikan bagaimana peran ayah buat anak itu PENTING BANGET. Baik pengalaman pribadi, share tulisan maupun cuplikan penelitian entah dari mana diajukan masing-masing anggota grup wa ini untuk mendukung argument betapa vital peran ayah. Anak yang ayahnya tak terlibat dalam pengasuhan mereka, katanya akan tumbuh jadi anak yang terlambat dewasa, kalau laki-laki bisa jadi gay, perempuan tidak akan bisa menjalin hubungan yang kuat dengan lawan jenis, dll dll…pokoknya…serem-serem deh. Pokoknya kalau ayah tak terlibat dalam pengasuhan anak, kayaknya anaknya akan hancur gituh (eh, ini beneran kata-kata temen saya loh …kkkkk). Oleh karena itulah menurut para anggota di grup wa ini, maka ibu-ibu harus “memaksa” para suaminya untuk aktif terlibat dalam pengasuhan anaknya.

Nah, di grup wa-nya yang kedua, pembahasan tentang ayah ini justru sebaliknya. Di grup ini, sebagian besar anggotanya kontra terhadap pendapat pentingnya peran ayah. Ada yang mengkaitkannya dengan sejarah Nabi. Nabi Isa gak punya ayah, baik-baik saja. Rasulullah Muhammad saw, ayahnya sudah wafat saat ia lahir, menjadi manusia sempurna. Ada yang menceritakan pengalaman pribadi ditinggal ayahnya wafat sejak kecil, tapi tumbuh baik-baik saja. Kata teman saya, grup ini memandang isu pelibatan ayah dalam pengasuhan anak adalah upaya-upaya kelompok tertentu untuk membuat para ibu menghindar dari kodratnya, membuat ibu-ibu malas menjalankan kewajiban pengasuhan, tidak empati pada suami yang sudah amat lelah mencari nafkah.

Abis bla..bla..la…teman saya menumpahkan seluruh kegalauannya, tibalah saat saya memberikan tanggapan. Tanggapan pertama saya adalah “ledekan” buat dia; “too much wa-group will kill you” kata saya haha… Tapi beneran loh… dalam wa-grup, biasanya kita cenderung berbagi pengalaman dan perasaan subjektif. Formatnya tidak mendukung untuk membahas sesuatu secara sistematis. Gimana mau sistematis, lha wong pembagian perannya aja gak ada. Kalau dibikin aturan…siapa yang jadi narasumber….kapan waktunya boleh bertanya, antri satu demi satu….buat saya pribadi sih malahan aneh dan “gak enakeun”. Jadi buat saya pribadi, wa grup memang lebih cucok dipake buat ajang silaturahim haha-hehe selingan aktivitas. Kalau mau berargumen atau mempersuasi sesuatu, agak sulit karena di wa group kita kehilangan informasi mengenai “kondisi awal” masing-masing lawan bicara kita, yang akan sangat mempengaruhi konten dan cara kita menyampaikan satu informasi.

Kembali pada kisah teman saya….akhirnya, saya pun membalas uraiannya yang panjang lebar dengan jawaban yang panjang lebar juga. Saya jelaskan mengenai “sejarah” munculnya isu dan penelitian peran ayah dalam perkembangan anak, apa saja sudut pandang dan pendekatannya, serta bagaimana sebaiknya kita memposisikannya. Tak terasa saat itu, saya sudah samapi di Jatinangor. Sebelum menutup telopon, teman saya bilang: “kayaknya yang tadi elu jelaskan perlu ditulis deh….siapa tahu ada beberapa orang lain yang lagi galau kayak aku tentang hal ini” katanya. Saya pun meng-iyakan…dan itulah sejarah utang saya haha…

Saya akan membagi tulisan ini menjadi beberapa bagian. Pada bagian ini, saya akan mengulas peran ayah dalam perkembangan anak dari perspektif risk & protective factor.

Dalam tumbuh kembang anak, para ahli mengenai istilah risk factor dan protective factor. Secara sederhananya begini: Kita, gak akan pernah tau tantangan apa yang akan dihadapi oleh anak-anak kita. Kalau pake bahasa agama, kita gak akan pernah tau ujian apa yang Dia berikan pada anak-anak kita. Mungkin guru yang merendahkannya, teman sekolah yang membully, suami yang melakukan kdrt, kematian orang terdekat, sampai yang tak terduga seperti bencana alam atau peperangan.

Dalam diri dan lingkungan anak-anak kita, ada yang namanya RISK FACTOR , ialah aspek dalam diri atau lingkungan anak yang bisa meningkatkan kemungkinan kondisi negatif pada diri anak. Saat menghadapi kondisi yang tidak diharapkan, faktor ini akan memperburuk situasi anak. Yang termasuk dalam risk factor, bisa dari kesehatan dan lingkungan psikologis. Dari kesehatan misalnya berat lahir rendah, kualitas pengasuhan yang buruk, kecerdasan yang rendah, dll dll. Intinya, ini adalah faktor “kerentanan”.

Di sisi lain, kita pun bisa “menyediakan” PROTECTIVE FACTOR, ialah aspek yang bisa mengurangi dampak buruk dari peristiwa yang tidak menguntungkan bagi anak. Nah, salah satu protective factors adalah, “a strong relationship with a father figure”. Protective factors lainnya apa? pola asuh ibu yang hangat, kecerdasan yang tinggi, kompetensi sosial dan penerimaan teman, serta keterlibatan dalam kegiatan keagamaan.

Risk dan protective factors lainnya apa lagi?  googling aja…. banyak … sesuai dengan konteksnya.

Nah, jumlah dan kualitas si RISK FACTOR dan si PROTECTIVE FACTOR pada anak inilah, yang akan menentukan daya tahan dan daya bangkit si anak saat menghadapi “ujian” kehidupannya, terutama jika ia ditakdirkan mengalami kondisi yang tidak baik. Sederhananya, kita sebagai orangtua harus berupaya sekuat tenaga untuk meminimalisir risk factor dan memaksimalkan protective factor. Karena kita gak pernah tau….ujian apa yang akan dihadapi anak kita.

Nah, upaya untuk mengajak ayah terlibat dalam pengasuhan anak, hendaklah diposisikan dalam kerangka pikir risk & protective factor ini. Artinya, jika kita bisa mengkondisikan suami untuk terlibat dalam pengasuhan anak kita, alhamdulillah ….. berarti kita telah memberikan tambahan satu “senjata perlindungan” buat anak kita. Sebaliknya, jika kita kebetulan diuji dengan suami yang keukeuh berpendapat “tugas suami adalah mencari nafkah, mengasuh anak adalah sepenuhnya tugas istri”, kebetulan suami kita galak, bikin anak-anak kita ketar-ketir kalau ada dalam radius satu meter dekatnya, suami kita sibuk sendiri dengan pengembangan diri atau hobinya, atau suami kita ditakdirkan mendahului kita wafat, atau kita bercerai dengan suami…. ya dont worry be happy.… masih banyak protective factor yang bisa kita upayakan berikan pada anak, di luar hubungan yang kuat antara anak kita sama ayahnya.

Dengan kerangka pikir ini, harusnya tak ada saling menyalahkan sih…Semoga tulisan ini cukup memberikan bekal kerangka pikir yang membuat kita memandang persoalan ayah ini menjadi lebih proporsional.

 

 

Working Mom : Berharga-kah anak kita?

harga Beberapa waktu yang lalu, beredar meme seperti di samping ini. Di jaman media sosial dan wa grup sekarang ini, dimana informasi beredar dalam hitungan detik, maka biasanya meme-meme seperti ini pun beredar dengan cepat. Jangan heran bila kita bisa menerima satu share-an yang sama, dari beragam grup yang kita ikuti, dalam hari yang sama, jam yang sama atau bahkan menit yang sama.

Terkait dengan meme di samping, ada dua hal yang ingin saya ungkapkan.

Yang pertama, sebenarnya jika saya mengetahui siapa penggagas pertama kali tulisan ini, saya ingin memberi masukan pada beliau untuk memberikan “konteks” pada tulisan ini. Tapi saya tidak tahu bagaimana menemukannya, mungkin terjemahan dari versi Inggris, karena saya menemukan versi Inggrisnya. Memang tidak jelas karena tanpa pencantuman sumber. Meskipun tidak eksplisit situasi apa yang digambarkan dalam tulisan tersebut, namun biasanya meme ini disebar untuk membahas mengenai ibu bekerja. Meskipun sebenarnya, bisa jadi “menitipkan anak pada pembantu” terjadi karena situasi lain. Ibunya sekolah, misalnya. Atau sakit. Tanpa konteks dan sering dibahas dalam kaitannya dengan ibu bekerja, maka tulisan ini potensial melukai perasaan ibu-ibu yang tidak punya pilihan lain selain menitipkan anak-anaknya pada pembantu. Ibu-ibu yang single parent, misalnya….yang Allah uji dengan perceraian atau kematian suaminya. Yang harus berjuang mencari nafkah untuk diri dan anak-anaknya. Atau ibu-ibu yang suaminya penghasilannya terbatas dibandingkan kebutuhannya, sehingga terpaksa harus ikut mencari nafkah. Teman saya seorang ibu single parent yang ditinggal wafat suaminya dan terpaksa harus menitipkan tiga anaknya setiap hari pada pembantu, bertanya kepada saya bagaimana ia harus menanggapi tulisan ini, yang tersebar di wa grup yang ia ikuti dan diaminkan oleh hampir seluruh anggota wa grupnya. Sebelum menjawab pertanyaannya, kami berpelukan dulu, saya memeluknya yang menangis sedih karena terluka oleh tulisan itu.

Yang kedua, saya mencoba memahami isu sentral yang ingin diusung oleh tulisan ini. Bahwa anak itu berharga. Jauh lebih berharga dibandingkan uang dan perhiasan. Kalau uang dan perhiasan saja tidak berani kita titipakan pada orang yang tidak kita percaya, apalagi anak. Tampaknya tulisan ini bermaksud mengingatkan para orangtua bahwa jika kita akan menitipkan anak, titipkanlah pada orang yang benar-benar kita percaya. Itu interpretasi a. I agree. One hundred percent.

Interpretasi b adalah, tersirat bahwa tulisan ini ingin menyampaikan pesan bahwa ibu-ibu yang menitipkan anak-(anak)nya pada pembantu, berarti  si ibu menganggap anaknya tak berharga. Dan anaknya merasa ia tak cukup berharga sehingga “dititipkan pada pembantu”. Dua interpretasi itu yang saya tangkap dipersepsi oleh kelompok-kelompok yang aktif menyebarkan tulisan ini.

Poin 2b inilah yang akan saya ulas dalam tulisan ini. Buat saya sebagai ibu bekerja, poin 2b ini memang potensial terjadi. Bahwa anak kita merasa dia tak cukup berharga sehingga ibunya lebih memilih pekerjaan yang “lebih berharga” dibandingkan dirinya, memang mungkin terjadi. Potensial terjadi, dan sangat bisa terjadi pada kita. Padahal, mungkin berharga atau tidak berharganya anak dibanding pekerjaan, bukanlah issue utama pilihan ibu bekerja. Tidak sesederhana itu. Ada beragam isu lain. Maka, saya ingin memfokuskan pikiran saya untuk memikirkan, bagaimana caranya agar para ibu bekerja seperti saya, setelah “menggugat niat” bekerja dan menemukan jawaban bahwa pekerjaannya halal, tidak potensial menimbulkan fitnah dan diridhoi suami, bisa mengkondisikan agar anak-anaknya tidak merasa bahwa mereka “kurang berharga” dibanding pekerjaan ibunya.

Yang terpikir oleh saya, pendekatannya bisa dua cara. Pertama,  pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak memahami bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga. Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak meyakini bahwa pemahamannya bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya adalah benar.

(1) Pendekatan kognitif. Tujuannya membuat anak MEMAHAMI bahwa pilihan ibunya bekerja bukan soal bahwa ia kurang berharga.Cara ini bisa dilakukan dengan “memperluas cakrawala pemikiran” anak. Bahwa isu menitipkan anak atau bukan, itu bukan soal berharga atau tidak berharga. Memahamkan pada anak bahwa ia berharga, adalah perlu. Tapi memberikan pemahaman bahwa ada banyak nilai berharga lain di luar diri anak, menurut saya tak kalah penting.

Saya kenal seorang anak, yang selalu dititipkan pada pembantu selama ibunya pergi. Apakah ia merasa tidak berharga? tidak. Karena ibunya selalu menceritakan apa yang dilakukannya ketika ia pergi. Ibunya terapis. Ibunya selalu menceritakan, kondisi anak-anak yang ia bantu, betapa bahagianya ia saat mendapatkan kliennya mendapat kemajuan, sampai anaknya hafal nama-nama klien ibunya dan malah bertanya, bagaimana perkembangan si ini… si itu udah bisa bicara apa saja, si ini sudah bisa duduk diam berapa lama…. dan anak ini, bangga sekali pada pekerjaan ibunya. Ia merasa berharga, dan ia merasa profesi ibunya membantu anak-anak berkebutuhan khusus juga berharga.

Saya pribadi mulai mencontek cara ini. Setiap hari sepulang beraktivitas, saat menjelang tidur dan ngelonin si 6 tahun dan si 3 tahun, saya ceritakan tentang tingkah polah mahasiswa-mahasiswa saya di kampus, apa yang saya ajarkan dan bagaimana caranya, tentang klien-kilen yang saya temui pas hari praktek….minimal mereka tahu apa yang dikerjakan ibunya, nilai apa yang dikejar ibunya, dan semoga ia memahami bahwa ibunya menitipkannya pada teteh, bukalah karena mereka tidak berharga. Yang saya rasakan, dengan menceritakan aktivitas keseharian kita di luar rumah, kit ajuga jadi mengevaluasi, seberapa berharag sebenarnya aktivitas kita tersebut.

Meskipun sederhana, cara ini tampaknya cukup bermakna, mengingat saya menemukan beberapa remaja yang tidak tahu apa pekerjaan ayahnya, apa pekerjaan ibunya. Anak-anak seperti ini yang mungkin kemudian mengembangkan persepsi bahwa ia “ditinggalkan” oleh ibunya, bahwa ia tak cukup berharga.

(2) Kedua, pendekatan perilaku. Tujuannya membuat anak MEYAKINI  bahwa ia tidak kurang berharga di mata ibunya. Langkah pertama harus digenapkan dengan langkah kedua. Pembuktian. Harus ada bukti bahwa ibunya memang merasa si anak berharga. Caranya? menurut saya melalui exception. Situasi pengecualian. Boleh lah, ibunya tiap hari menitipkannya pada pembantu. Tapi ada situasi-situasi spesial, dimana ibunya akan mencancel apapun untuknya. Pembagian raport, pentas seni, saat anak sakit, perlombaan yang diikuti anak. Itu adalah momen-momen yang buat anak, biasanya berharga.

Seorang teman saya yang meneliti self esteem pada anak usia sekolah menemukan bahwa “harga diri” anak salah satunya ditentukan oleh kehadiran orangtua terutama ibu pada acara-acara sekolah. Exception ini juga bisa menjadi indikator bagi kita untuk menghayati, benarkah memang anak kita berharga buat kita? kalau setiap kali momen istimewa anak kita, kita tak bisa hadir karena tersandera pekerjaan ..maka mungkin saatnya mengevaluasi perasaan kita pada anak, mengevaluasi kembali apa yang menjadi prioritas hidup kita.

Untuk poin kedua ini, saya mendapat banyak role model dari senior saya, para ibu-ibu high achiever yang akan mengorbankan kesempatan sebesar apapun saat berbenturan dengan momen istimewa anaknya. Mereka memberi contoh bagaimana memprioritaskan keluarga dibanding prestasi, bukan menjadikan keluarga sebagai alasan untuk tidak berprestasi.

Well…semoga saya bisa menyampaikan dengan tepat “pesan” yang ingin saya sampaikan. Mengoptimalkan peran ibu, apapun pilihan aktivitasnya. Itu misi saya. Saya yakin dan percaya, setiap ibu-apapun pilihannya dan dimanapun ia beraktivitas, masing-masing memiliki potongan puzzle kebaikan bagi keluarga dan lingkungannya. Daripada saling meniadakan potongan puzzle itu, maka sebaiknya kita mulai merapatkan barisan. Bukan saling membandingkan siapa yang lebih baik, siapa yang lebih hebat, siapa yang lebih “berkorban”. Melainkan saling mengingatkan, saling menolong dan saling melengkapi, dengan puzzle kebaikan yang bisa kita lakukan  masing-masing.

Semangat !!!