# 03 Bukan Patah Hati Biasa

 

 

 

 

 

Setengah jam kemudian, Rara dan Amelie sudah berada di bis menuju centrum. Berbeda dengan di Amsterdam, di Maastricht tidak ada tram. Transportasi umum adalah bis dan kereta. Amelie memarkir mobilnya di tempat parkir Maastricht University, lalu mereka membeli karcis bus seharga 2 euro di stasiun bis dekat sana. Setelah menunggu sekitar 15 menit, bis pun datang. Rara dan Amelie memilih tempat duduk di tengah, yang posisinya cukup tinggi. Sangat strategies untuk menikmati kiri-kanan yang tampak cantik. Amelie janjian dengan Martin jam 13, jadi masih ada waktu sekitar 1,5 jam untuk mereka berjalan-jalan di sekitar centrum.

Saat itu autumn menuju winter. Walaupun cuaca terang, tapi dinginnya tetap menusuk. Turun dari bis, Rara melingkarkan syal abunya lebih ketat pada lehernya. Sungai Maas terpampang indah di depannya.  Mereka berjalan sepanjang sungai, lalu menuju Maastrich city hall.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jalan-jalan di sekitar centrum tampak semakin cantik dengan dekorasi menjelang natal yang satu bulan lagi akan dirayakan. Di depan city hall, banyak pedagang buah dan bunga. Rara membeli buah kesemek kesukaannya, yang disini disebut “kaki fruit”. Harganya 3,5 euro per 10 buah. Sedangkan Amelie, membeli nanas kesukaan om Mark (Om Mark jatuh cinta pada nanas sejak pertama kali mencicipinya di Bandung). Rara juga membeli seikat bunga berwarna orange, ia titipkan pada Amelie untuk diberikan pada Tante Martha. Sebenarnya jarak dari city hall ke Boekhandel Dominicanen sangat dekat, sekitar 3 menit saja berjalan. Tapi mereka melewatinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mereka berjalan melewati Basilica of Saint Servatius yang terkenal dengan bangunan merahnya. Bangunan super tua itu semakin terlihat megah namun anggun. Tanpa harus bersepakat, Amelie dan Rara tau tempat yang dituju kemudian, yaitu Helpoort. Pada jamannya, Helpoort  merupakan pintu gerbang masuk ke kota Maastricht dan merupakan salah satu pintu gerbang kota tertua di Belanda. Helpoort adalah pemandangan favorit Rara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selama berjalan, dua sahabat itu riang bercerita tentang segala macam hal.  Mereka menemukan satu kursi dengan pemandangan helpoort yang cantik di depan mereka. Amelie mebuaka bekalnya : dua roti lapis dan dua apel. “Mau ke Bonnefanten gak?”, Amelie menggoda Rara. Amelie tahu Rara agak “trauma” dengan koleksi yang ia lihat di Bonnefanten Museum. Tiga tahun lalu, waktu Amelie pertama kali mengajak Rara ke rumahnya, sebagai nyonya rumah yang baik ia mengajak Rara ke tempat-tempat yang populer untuk para turis. Salah satunya adalah Museum Bonnefanten. Selama tour, Rara menggamit erat tangan Amelie, dan mengajaknya cepat keluar dari Museum. Malamnya, Rara tidak bisa tidur. “koleksi yang kuliat tadi membuat aku depresi”. Amelie masih ingat kata-kata Rara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.15. “Hei, cari hot chocolate  yuk. Nanti kamu telat ketemu Martin”, Rara mengingatkan. Mereka memilih sebuah cafe yang sepi, dengan kursi yang terbuat dari rotan. Amelie memesan kopi, Rara memesan hot chocolate. “Gak percaya kamu tinggal dua minggu lagi disini”, Amelie berkata. Kalimat pendek dari sahabatnya itu sudah cukup membuat Rara berkaca-kaca. “Sorry, I am so sorry, Aku gak bermaksud bikin kamu sedih”, Amelie kaget dan refleks berpindah tempat ke samping Rara, menggenggam tangan sahabatnya.  “Gapapa, bukan salah kamu”, kata Rara berusaha mengendalikan emosinya. “It just… aku ingin menutup hari-hariku di negeri ini dengan kenangan manis. Aku ingin meninggalkan tanah ini dengan senyuman, Amelie”. Amelie memeluk sahabatnya. “Dan sekarang rasanya aku tak bisa. Itulah sebabnya aku merasa dia sangat jahat, Amelie. Dia tidak peduli sama sekali apa yang akan aku rasakan setelah aku mendengar apa yang ia katakan. Dia jahat, Amelie”. Kali ini Rara tak lagi berusaha menahan perasaannya. Ia terguguk dalam pelukan erat sahabatnya. Amelie tidak tahu persis apa yang terjadi, meskipun ia bisa menebaknya samar-samar. Yang ia tahu dengan pasti adalah, saat sahabatnya sudah mengeluarkan isi hatinya, artinya kejadian yang ia alami adalah sesuatu yang “besar”dan “dalam”, yang tak bisa ia simpan sendiri. Rara adalah orang yang paling bisa menyimpan perasaannya dalam-dalam. Hanya orang-orang yang sangat dekat dengannya, yang akan tau apa yang ia rasakan sesungguhnya, itu pun kalau Rara sudah siap mengungkapkannya.

“What exactly did he tell you, Rara?” akhirnya Amelie tidak tahan. Melihat sahabatnya begitu terluka, ia jadi ragu pada tebakannya. “He… he.. he told me… “ Rara melepas pelukan sahabatnya, mengambil tisue, menghapus air matanya, berusaha menenangkan diri, menyeruput hot chocolatenya. Dua sahabat itu saling menatap. “He told me, he want to spend the rest of his life with me”, tangis Rara pecah lagi di ujung kalimat. Dua sahabat itu berpelukan lagi. Rara menangis lebih hebat dari sebelumnya. Kali ini Amelie mengerti. Ia peluk sahabatnya seerat yang ia bisa. Sahabatnya memang mengalami patah hati yang amat parah. Bukan, bukan seperti patah hati yang biasanya orang lain rasakan. Semua laki-laki di dunia boleh mengatakan kalimat “I want to spend the rest of my life with you” untuk merayu, atau untuk mengungkapkan cintanya. Tapi ketika kalimat itu diucapkan oleh laki-laki Belanda, itu bukan main-main. Apalagi jika kalimat itu diucapkan oleh Jeroen, laki-laki super serius itu. Kalimat itu adalah gabungan cinta yang dalam dan komitmen yang kuat. Dan bagian rumitnya adalah, Amelie tahu betapa dalam pula cinta Rara pada laki-laki itu. Namun, semesta tak berpihak pada mereka, dan rasanya tak akan pernah berpihak. Kini air matanya Amelie pun ikut menetes.

 

#02 Amelie

“Hai…kalian curang tidak membangunkan aku!” teriakan Amelie memecah keheningan yang terjadi antara Rara dan Om Mark. Amelie bersandar pada bingkai pintu, dengan rambut keriting merah kecoklatannya yang acak-acakan. Rara dan Om Mark saling memandang dan tersenyum. Mereka sepakat untuk tak pernah membangunkan Amelie. Kalau melihat Amelie tertidur, rasanya tak ada seorang pun yang tega membangunkannya. Ia tidur seperti bayi. Wajah bulatnya, kulit putih kemerahan dengan sedikit bintik, membuat siapapun lebih memilih untuk menatapnya dan tertulari perasaan damai, dibandingkan membangunkannya.

Dengan wajah cemberut, Amelie memandang mereka : “Kalian tidak mulai membicarakan itu tanpa aku kan“. Wajahnya dibuat seolah-olah “menginterogasi” kami. “Itu apa?” Wajah Om Mark tak kalah “menggoda”. “Insiden Vondelpark!” katanya. Hahaha… Amelie memang paling jago bikin jargon-jargon lucu. “Insiden Vondelpark” pasti ia maksudkan peristiwa yang membuat Rara patah hati itu. “What do you think?” Om Mark memberi tanda pada Rara seolah-olah mereka punya rahasia. Amelie menatap wajah Rara : “Melihat masih mendungnya wajah kamu, kamu pasti belum siap menceritakannya. Iya kaaan?” tanyanya. Rara hanya tersenyum.

“Makan yuk! I am starving” kata Amelie mengalihkan pembicaraan. “Kita berdua yang masak ya Pa, Papa santai saja baca koran”, kata Amelie menyodorkan koran hari itu pada Om Mark. “Oke, nanti papa yang cuci piring” kata Om Mark. Ini salah satu yang Rara kagumi dari bapak-bapak di Belanda. Di awal, dia tak terbiasa melihat om Mark atau Prof. Hans memasak atau mencuci piring. Sampai om Mark bilang “Rara, real man do the dishes”. Sebagai negara yang berada di garis terdepan persamaan gender, di Belanda sangat biasa para laki-laki  mencuci, memasak, menyetrika, membereskan rumah, menggendong bayi atau mendorong stroller.

02 amelie_breakfastRara dan Amelie menyiapkan sarapan. Kentang rebus, ayam panggang dan tumis bayam yang ditaburi “pijnboom pitten“. Sambil makan, Amelie bertanya: “Rara, what will you do today? kamu masih perlu sendirian?” . “Aku belum punya rencana apapun”, jawab Rara. “Aku ada janji dengan Martin di Boekhandel Dominicanen buat cari kado buat Mama Martha. Trus kayaknya menginap di rumah Martin. Besok ultah Mama Martha. Kamu mau ikut gak?” Mama Martha yang dimaksud Amelie adalah mamanya Martin, calon mertua Amelie. Tante Martha dan Tante Imke adalah sahabat baik. Percaya atau tidak, pertunangan Amelie dan Martin adalah hasil perjodohan Tante Martha dan Tante Imke. Rara masih ingat bagaimana dua tahun lalu Amelie berusaha menumbuhkan cinta pada pemuda canggung super jangkung yang berprofesi sebagai pengacara itu. Syukurlah cinta itu perlahan tumbuh, sehingga tepat seminggu sebelum tante Imke wafat tahun lalu, pertunangan mereka dilaksanakan, tanpa paksaan dan penuh cinta.

“Papa ada janji di kampus jam 10” kata Om Mark. Meskipun Om Mark sudah pensiun, namun ia masih mengisi kuliah seminggu sekali dan masih punya jadwal meeting dengan kolega-koleganya. “Bagaimana kalau kamu berangkat dengan Amelie. Kamu bisa jalan-jalan di sekitar centrum, nanti jam 4 kita ketemu di De Tribune. Ada buku yang harus om ambil disana”. De Tribune adalah toko buku favorit om Mark dan tante Imke. Om Mark sering sekali memesan buku-buku baru di toko buku itu. Rara sudah beberapa kali diajak kesana. Pemiliknya adalah sahabat Om Mark, Om Rene. Ia menjaga sendiri toko buku itu, dan mulai mengkader cucunya. Om Rene bukan sembarang “pemilik toko buku”. Ia pecinta buku. Ambillah satu buku sembarang di toko itu, tanyakan isinya apa. Om Rene akan menceritakannya dengan mata berbinar, lalu ia juga akan menceritakan mengenai pengarangnya, dan buku-buku lain yang ditulis oleh pengarang tersebut. Rara dan Amelie pernah menemani Om Mark kesana, dan mereka harus menunggu obrolan mereka berdua satu jam lebih! Sungai Maas dan bangunan-bangunan cantik di sekitarnya adalah favorit Rara. Rencana yang ditawarkan om Mark sangat sempurna.

Jam 10 kurang 20 menit, tepat saat om Mark menyelesaikan piring terakhir yang ia cuci. Om Mark lalu pamit, Amelie juga pamit untuk mandi. Tinggal Rara sendirian di meja makan. Di meja makan ini, percakapan selalu terasa hangat. Kalau Rara diminta memilih momen-momen terbaik dalam hidupnya, maka berbincang di meja makan ini akan masuk di momen itu. Terutama saat sosok Om Mark ada dalam lingkaran perbincangan itu. Mungkin karena Rara tak pernah mengenal sosok yang namanya ayah. Di negeri inilah ia pertama kali mengenal  dua sosok ayah. Prof Hans dan Om Mark, di usianya yang ke-25 tahun.

02 amelie_meja makan

Ah, Yang Maha Kuasa memang penuh rahasia. Rara teringat momen pertemuan pertama dengan Amelie. Setelah acara semi formal perkenalan dan sesi formal pertemuan antara Prof Hans, Christian sebagai daily supervisor dan Barbara dan Amelie sebagai tim, Amelie langsung mendatanginya. “You have to meet my papa, he will loves you”, ia langsung berkata demikian dengan gesturenya yang saat itu terasa mengintimidasi bagi Rara. “He is Indonesia big fan. He loves nasi goreng. soto betawi, rendang, nasi rames and sop buntut. He visit Indonesia every year! He fall in love with Bali, Lombok, Jogja, Bunaken, Raja Ampat, Bandung and Ciwidey. He said Indonesia is a perfect place for my honeymoon someday”. Rara ingin tertawa mendengar Amelie mengucapkan nama makanan dan tempat-tempat di Indonesia dengan pronunciation Dutch-nya.

Di negeri individualis ini, menjadi kolega di kampus belum tentu otomatis menjadi teman. Tapi itu tak terjadi antara Amelie dan Rara. Sejak hari itu, sampai 4 tahun kemudian saat ini, mereka menjadi sahabat. Om Mark yang seolah menjadi lem bagi meraka. Dua gadis yang lahir dan tumbuh besar dengan jarak 11 ribuan kilometer, bertemu setelah 25 tahun, dengan tampilan fisik dan kepribadian yang berbeda, tapi langsung merasa “dekat” mulai saat pertama kali bertemu. Hari itu, mereka pulang dari kampus bersama.

Waktu menunjukkan pukul 10.30 saat langkah Amelie terdengar menuruni tangga. Ia sudah tampil cantik dengan kemeja kotak-kotak kecil berwarna gelap dan celana jeans. Rambutnya digulung ke atas. Penampilan Amelie memang cenderung casual. Ia menghampiri Rara yang masih duduk di kursi makan. “He apps me” katanya dengan suara rendah. “Dia tanya apakah kamu baik-baik saja. Aku jawab yes”. Rara mengangguk meng-iya-kan. “But, are you ?” tanya Amelie. wajahnya menatap Rara serius. “I feel much better now” jawab Rara. Ia masih belum siap menceritakana apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan dia di Vondelpark tempo hari.