My Marshmallow Boy : berbagi pengalaman melatih kemampuan “menunggu” pada anak 2-3 tahun

Ternyata, “penyakit” saya bikin tulisan PART ONE tapi gak bikin tulisan lanjutannya, masih belum sembuh kkkk. Baiklah…sebagai upaya menyembuhkan diri, tulisan ini adalah tulisan lanjutan dari https://fitriariyanti.wordpress.com/2015/01/03/marshmallow-test-part-one-catatan-tentang-self-control/.

Menurut penerawangan saya, “puzzle” parenting itu terdiri dari 3 bagian besar. Apa aja? itu nanti ada di buku saya yang akan terbit. Hahaha…. salah satunya adalah, pengalaman praktis. Karena mengasuh anak itu adalah “Seni”. Dia tak hanya pengetahuan, tapi juga keterampilan. Daaaan mengingat anak itu gak pernah ada yang sama bahkan meskipun ia kembar identik, maka referensi “teknis how to”, itu harus banyak kita miliki. Gimana caranya? yang paling jitu adalah berbagi pengalaman.

Ga ada pengalaman mengasuh yang gak berharga. Cara ngebujuk anak yang mogok makan, cara menanggapi anak yang keukeuh, cara mengajarkan toilet training, bahkan kesalahan pun bisa kita bagi, agar ibu lain tak mengalami hal yang sama.

Kalau saya buka lagi catatan-catatan tentang anak-anak saya, ternyata catatan terbanyak adalah waktu mereka berumur 2-3 tahun. Yups, punya 4 anak … perilaku anak di usia 2-3 tahun memang …”dahsyat”  lah… kalau pake bahasa positip mah “chalenging” 😉 . Setelah itu, usia 5-11 flaaaaat…gak terlalu dahsyat perilakunya…Nah, ntar terkaget-kaget lagi waktu anak kita pra-pubertas…..

Di rumah, si sulung yang lagi pubertas plus si bungsu yang lagi “chalenging” di umurnya menjelang 3, memang perilakunya bikin geleng-geleng kepala. Diantara 4 anak yang umurnya menjelang 12, 9, 6 dan 3 tahun, yang suka berantem adalah….yang umur 12 dan 3 tahun !!!gak percaya? ntar saya video in lah kkkkk

Jadi, salah dua  karakteristik yang menonjol dari anak umur 2-3 tahun ini adalah, selain “autonomi”nya yang bikin kita geleng-geleng kepala sambil gemes karena apa-apa keukeuh pengen sendiri, juga adalah belum mampunya ia menahan diri. Impulsif pisan lah. Kadang pengen ketawa… kalau mereka pengen sesuatu, pasti pengennya RIGHT NOW. Zaman Azka, inget banget jam 2 malem dia ngamuk pengen donat. Ampe abahnya bawa ke jalan di tengah malam gelap gulita untuk menunjukkan gak ada, gak mungkin dapet.  Anak umur segitu meneketehe. Umar, strugglingnya sama vcd ultraman. Hana temanya sama dengan kakaknya, makanan. Nah si bungsu, yang tumbuh di area gadget…tema “impulsif”nya adalah…gadget juga.

Dulu, saya pernah merasa aman sentosa dengan hape blackberry butut saya. Namun sejak si abah dengan surprise memberikan hadiah hape android, keamanan saya terganggu. Mana bisa khusyuk membalas sms, wa atau bbm….Begitu Azzam liat saya pegang hape, langsung dia rebut. Buat apa? main games dan yutub-an. Mengesalkan bukan? sekali. Itu baru satu sampel situasi. Situasi yang lain? kalau dia mau mainan yang dipegang kakaknya, langsung dia rebut. Hana tentu yang sering jadi “korban”. Mau makanan yang mau masuk mulut banget, gak peduli dia rebut.

Selama ini, saya menanggapinya dengan memberi aturan tegas. Kalau dia rebut mainan yang sedang dipegang kakaknya, saya ambil kembali. Dia ngamuk, saya biarkan. Saya jelaskan “Itu punya kakak. Dede gak boleh merebut. Dede harus bilang pinjem”.

self-regulation imageSampai akhirnya saya merasa, saya harus memikirkan suatu cara yang bisa membantunya “meregulasi” diri, menunda keinginan. Gimana caranya ya? di tulisan pertama saya sudah mengungkapkan pentingnya kemampuan dasar meregulasi dan mengontrol diri ini. Dan itu harus dilatih. Bahkan seorang profesor psikologi perkembangan di Belanda, puluhan tahun penelitiannya di bidang perkembangan psikopatologi anak dan remaja, menyimpulkan bahwa masalah emosi dan regulasi diri yang buruk adalah  inti dari seluruh “gangguan psikologis” anak dan remaja serta dewasanya kelak.

Saya muter otak terus….”menunggu” adalah satu keterampilan dasar regulasi dan mengontrol diri. Gimana caranya melatih anak umur 2 tahun 11 bulan untuk bisa menunggu? pastinya harus konkrit, dan bertahap.

Suatu saat, by accident saya bilang ke Azzam waktu dia mau merebut hape yang sedang saya pegang. “Dede, kalau Dede mau hape ini, hitung dulu satu sampai lima”. Lalu dia pun hitung “satu-dua-tiga-empat-lima”. Yeeee…dengan demontratif saya beri acungan jempol sambil bilang: “hebat, dede sekarang udah bisa nunggu….karena dede hebat, dede boleh pinjem hape ibu”….. begitu terus…tiap telpon abahnya, saya pun dmeonstratif bilang: “Bah, hari ini de Azzam hebat, mau nunggu bla..bla..bla..” . Dan kalau udah gitu, aduuuh…pengen cubit deh pipi gembilnya yang tersenyum bangga tersipu-sipu. Saya tambah juga berhitungnya jadi satu sampai sepuluh. Wow! it works ! Saya kenalkan juga dengan konsep “penting”. Dalam kondisi yang memang penting, saya buka bilang: “ini ibu lagi penting de, dede hitung dulu sampai sepuluh, ibu selesaikan dulu yang pentingnya”.  Nanti dia akan tanya -tanya: “ibu, udah belum pentingnya? udah belum pentingnya?”

Sebaliknya, saya ajarin juga bagaimana dia bisa meminjamkan hape kalau sudah ada di tangannya. Tentunya mulai dari dia gak mau ngasih, lalu bertahap saya bilang, “ibu hitung sampai sepuluh ya…ibu nunggu dede pinjemin hapenya” … atau saya bilang…” abis lagu ini ini ibu pinjem dulu ya”...Dan akhir-akhir ini, tanpa harus ada bantuan konkrit, dia mulai bisa memberi dengan sukarela kalau saya bilang “de, ibu pinjem dulu, penting banget”.

Sebagai seorang emak-emak yang suka main game (Sampai Hana pernah bilang: “ibu teh ibu yang aneh. ada gak sih bu, ibu-ibu lain yang suka main game?” kkkkk), saya juga latih kemampuan menunggu ini dengan media game. Sebenernya saya cuman suka main yang ringan dan lucu kayak Pou, Plants vs Zombie dan Subway Surf siih…Nah, kalau lagi main game ini, kita gantian. Saya kasih aturan…..“kalau dede kalah, bagian ibu ya”.…beberapa kali, dia bisa mulus gantian. Itu kan cuman sekitar satu menitan ya…. terus tambah anggotanya plus Kaka Hana, jadi giliran 3 orang…tambah mas Umar …giliran 4 orang….artinya dia udah bisa nunggu sekitar 2-3 menit. Good ! Saya agak kaget juga waktu dia ngajak main plants vs zombie, dan karena saya serius sehingga gak game over-game over, dia bisa nunggu 25 menit !!! tanpa merebut!!

Kalau kata Walter Mischel, PhD yang menggagas “Marshmallow Test”,  ada dua prinsip  yang harus kita ajarkan pada anak jika ingin menumbuhkan self control mereka: (1) anak-anak harus mengetahui “cara”nya mengontrol diri (2) anak-anak harus “termotivasi” untuk melakukan kontrol diri.

Baiklah ….poin pertama tampaknya saya sudah menemukan jalannya. Poin kedua….inilah gunanya kakak-kakaknya. Pernah suatu hari Sabtu, kami sekeluarga di rumah aja. Kakak-kakaknya bikin semacam olimpiade agustusan. Lomba makan kerupuk lah, lomba ngesot lah, lomba kelereng pake sendok lah…lomba masukin bola lah…Nah, karena kakaknya bertiga jadi ganjil, maka diajaklah si bungsu ini resmi jadi anggota tim. Azka dan Azzam vs Umar dan Hana. Ada unsul giliran di situ. Ada aturan sederhana. Estafet ceritanya. Ini pengalaman pertama dia diajak kakak-kakaknya secara resmi. Sebelumnya kakak-kakaknya gak mau ngajak karena kan dia sesukanya. Tapi kali ini, dia bisa ikut aturan, bisa nuggu giliran … dia seneeeeng banget …. Nah, saya bilang ke dia : “tuh, dede hebat sih, udah mau nunggu, udah mau giliran …jadi seru deh diajak main sama kaka-kakaknya”. Daaaan… senyum manis serta wajah bangga itu pun kembali hadir. Love You Azzam !!!!

Dan saat baca buku Franklin, di halaman pertama saya bacakan “Franklin sudah bisa…” si nyaris tiga tahun ini pun langsung “nyerobot” : “De azzam udah bisa nunggu…..” . Baiklah, pelajaran selanjutnya adalah melatih kemampuan menunggu giliran bicara ya nak 😉

Tamat

Sumber gambar : http://www.maggiedent.com/content/helping-kids-develop-self-regulation

 

Pengajaran Agama : C6 + A5

Kurang lebih dua minggu yang lalu, saya membuat survey sederhana pada teman-teman saya, para ibu. Pertanyaan dalam survey itu adalah; “sebutkan 5 kualitas/keterampilan/kemampuan yang ingin dimiliki oleh anak kita melalui pengasuhan yang kita lakukan pada mereka, 1-5 sifatnya adalah ranking”. Ada yang menarik dari jawaban yang saya terima dan saya catat. Dua nomor pertama yang dituliskan oleh ibu-ibu yang menjawab pertanyaan tersebut, adalah dua hal yang terkait dengan nilai agama. Misalnya “religius, spiritual, tauhid yang kuat, berakhlak mulia,sholeh/sholehah”.

Tulisan ini berisi renungan saya terhadap pertanyaan itu. Tepatnya, renungan saya terhadap jawaban para ibu dari pertanyaan itu. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang teman saya, seharusnya tahap selanjutnya saya memberikan pertanyaan : “apa yang dimaksud dengan religius, spiritual, tauhid yang kuat, berakhlak mulia, sholeh/sholehah itu?” Tapi saya belum melakukannya. Saya baru melakukannya pada diri saya sendiri, saya ajukan pertanyaan tersebut pada diri saya, dan berusaha menjawabnya.

Saya “sok tahu” membayangkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana gambaran operasionalisasi dari anak yang religius, spiritual, tauhid yang kuat, berakhlak mulia, sholeh/sholehah” itu adalah …. segala kualitas yang baik. Tapi saya lebih tertarik pada pertanyaan selanjutnya: “bagaimana cara kita mengasuh anak kita, hingga tujuan tersebut tercapai?”

Ini adalah BIG QUESTION saya selama ini. Bagaimana mengajarkan AGAMA pada anak-anak kita. Menurut saya, kita harus punya blueprint ini. Ada banyak teori dan saran, baik itu yang sifatnya abstrak maupun teknis. Tapi rasanya buat saya belum memuaskan. Entah terlalu abstrak misalnya “mengajarkan anak mengenal Tuhannya”, ataupun menimbulkan pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya : jumlah jam pelajaran agama di sekolah harus ditambah. Memasukkan ke lingkungan yang kondusif terutama pesantren. Atau orangtua harus jadi tauladan. Atau membuat anak menjadi penghafal AlQur’an. Oke….apa itu cukup????

Sedangkan pelajaran AGAMA ini adalah pelajaran yang ….orang-orang pendidikan atau orang training pasti tahu, betapa kompleksnya tujuan pembelajaran agama ini. Apakah bisa kita mencapai tujuan pembelajaran agama ini hanya dengan memberikan contoh atau memberikan jumlah jam pelajaran agama yang banyak? atau dengan memasukkan anak ke pesantren yang super oke?

Kalau kita tak bisa menghayati betapa kompleksnya tujuan pembelajaran AGAMA ini, bagaimana kita bisa mendesain bagaimana cara mengajarkannya? Saya mencoba menjawab wara-wiri di pikiran saya tersebut dengan pendekatan tujuan pembelajaran. Teman-teman yang bergelut di dunia pendidikan pasti tahu bahwa ada sebuah taxonomi yang sangat populer digunakan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan cara mencapainya, yaitu Taxonomi yang disusun oleh Benjamin Bloom dan rekan-rekannya. Dikenal dengan “Taxonomi Bloom”.

Taxonomi Bloom menguraikan klasifikasi tujuan pendidikan. Ada 3 domain yang beliau jelaskan: Domain Pikir (Cognitive), Domain Rasa (Affective), dan Domain gerak (Psikomotor). Dari masing-masing domain, diuraikan secara bertahap tujuan pembelajaran. Misalnya untuk domain kognitif, terdiri dari 6 tujuan : (1) pengetahuan, (2) pemahaman, (3) pengaplikasian, (4) analisa, (5) sintesa dan (6) evaluasi (sebenarnya teori yang sekarang sudah ada revisi, namun gapapa lah kita pakai versi sebelumnya). Biasanya, tujuan pembelajaran dalam tataran kognitif disimbolkan dengan C….Misalnya kalau tujuan pembelajarannya sampai bisa mengaplikasikan, maka dituliskan C3.

Nah…kalau saya hayati, maka tujuan pembelajaran agama pada anak kita, bukan agar anak kita tahu. Bukan hanya paham. Tapi juga harus mengaplikasikan. Menganalisa. Mensintesa. Bahkan ia harus mengevaluasi situasi menggunakan prinsip ajaran agamanya dengan benar. Dulu, saya gak kebayang loh,  menganalisa, mensitesa mengevaluasi ini dalam konteks pelajaran agama. Tapi sekarang, kebayang banget. Mana yang lebih baik, berprestasi dan banyak membantu sesama tapi bertato atau berjilbab tapi korupsi? Ini, menurut saya adalah sebuah pertanyaan “cerdas” yang jawabannya nanti, akan bisa menunjukkan sejauh mana kemampuan seseorang bisa menganalisa, mensintesa dan mengevaluasi situasi berdasarkan ajaran AGAMA nya, yang harus jadi WAY OF LIFE buat dia. Soal ini akan saya simpan untuk skrining calon mantu nanti haha……

blooms_taxonomy_staircaseItu dari segi kognitif. Nah, sekarang….kalau tujuan pembelajaran agama itu begitu “tinggi” dan kompleksnya (C6) , gimana metoda mengajarkannya? Secara ringkas bisa dilihat di gambar di samping ini.

Inti yang ingin saya sampaikan adalah, ajaran agama tak bisa hanya diajarkan melalui satu arah. Guru agama menjelaskan. Ustadz menerangkan. Orangtua menasehati. Itu hanya akan sampai pada level pengetahuan. Atau pemahaman. Dan itu tak cukup. Tak cukup anak kita tahu, pahan, bisa mengaplikasikan….dunia yang akan ia hadapi akan semakin rumit. Ajaran agama yang kita bekalkan pada mereka harus membuat mereka bisa mengevaluasi situasi. Berapa banyak kita dengar berita anak-anak “sholeh” yang tiba-tiba berubah 180% mengikuti ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran agama yang diberikan padanya? itu terjadi karena begitu ia disodorkan analogi, situasi dan komparasi, dia mudah dibelokkan. Saya ingat tausyiah seorang ulama. “agama itu hanya bisa dipahami dengan diskusi. dua arah”. Kita mau “meminta bantuan” SDIT, guru ngaji, pesantren…untuk menanamkan ajaran agama yang kuat, monggo….tapi jangan lupa cek, proses belajar yang dilakukan, akan mengantarkan anak kita sampai pada pemahaman agama tahap mana.

Jadi, mari kita kenalkan anak-anak kita dengan kewajiban berjilbab, konsep halal-haram, baik-buruk….tapi pastikan bahwa ajaran itu tak hanya sekedar pengetahuan atau pemahaman. Jangan langsung merasa anak kita tak soleh ketika ia bilang … “ngapain sih ma kita harus pake jilbab? yang penting kan berbuat baik” ; “emang kenapa sih, gak boleh pacaran? kan bisa memotivasi?”; “kenapa kita harus sodaqoh sama orang miskin, enak aja dia gak kerja terus kita kasih gitu aja”, “kok islam kejam banget, yang zina harus dilemparin batu, sampai meninggal lagi”. dll dll pertanyaan lain. Itu adalah gerbang pembuka bagi kita untuk mengajaknya mengevaluasi ajaran agama ini, hingga sampai pada kesimpulan betapa sempurnanya ajaran agama ini.

Metode pengajaran ini hanya bisa dilakukan pada orang dewasa? gak lah…memang anak-anak gak bisa melakukan analisa? hei … memisahkan mainan dan memasukkan ke tempatnya sesuai dengan jenisnya itu kemampuan analisa looh… kita tetap bisa mengajaknya diskusi mengenai masalah yang bisa mengasah kemampuan evaluasinya, tentu kasusnya yang konkrit, yang sehari-hari dia liat.

Ribet? yah….no gain without pain atuh laaaah….. dan…emang akan “memaksa” kita untuk belajar….

affective bloomsNah, itu baru Kognisi. Ada satu lagi yang ingin saya ulas. Bahwa ajaran agama itu, kalau emang mau jadi WAY OF LIFE, tak hanya terkait dengan pikiran saja. Ia harus DIHAYATI. Nah, dalam istilah tujuan pembelajaran, itu namanya doamin AFFECTIVE. Tujuan pembelajaran agama dalam domain ini, adalah sampai A5. Nilai agama itu jadi KARAKTER buat dia.

Kalau tak kita sentuh domain afektif ini…ya…anak kita tahu baca qur’an itu berpahala….tapi apakah dengan itu ia otomatis akan terdorong untuk melakukannya? Ini adalah jawaban mengapa kita lihat banyak orang yang pengetahuan agamanya yahud, namun amalnya minim.

Sebenarnya, ajaran agama juga harus sampai pada domain psikomotorik. Terutama untuk yang sifatnya fiqih. Tapi jujur saja, saya kurang menguasai pemahaman terhadap domain ini.

imagineMmmmhhh…alhamdulillah….draft tulisan ini, yang 2 minggu nangkring di dashboard blog saya, akhirnya beres juga. Meskipun  kalau saya baca lagi, belum sepenuhnya mewakili apa yang ingin saya “teriakkan”.

Saya setuju dengan kalimat di samping ini. Kita tak akan bisa mencapai sesuatu yang tak bisa kita bayangkan. Melalui tulisan ini, saya ingin mencoba memberikan bayangan, gambaran konkrit. Seberapa besar sih PR pendidikan agama buat anak-anak kita.Yang namanya “BELAJAR AGAMA” itu prosesnya harus bagaimana.

Kalau kita bisa bayangkan…kalau kita bisa hayati … maka semoga akan menggugah kesadaran kita akan konsekuensi apa yang harus kita jalani untuk mencapainya.  Ya, ada faktor hidayah Allah. Tapi upaya kita sampai titik darah penghabisan, semoga menjadi jalan turunnya dan kekalnya hidayah untuk kita dan anak-anak kita. Sehingga cita-cita yang kita tuliskan, tak hanya sekedar tulisan. Nama indah yang kita sematkan pada anak-anak kita, tak hanya sekadar nama.Tapi mewujud menjadi nyata, jaminan keselamatan kita di dunia abadi nanti. Aamiin…

 

Satu lagi jawaban : mengapa ayah harus terlibat dalam pengasuhan anak ?

Beragam teori dan penelitian baik di dalam maupun di luar negeri, tak terkira jumlahnya,  yang hasilnya menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, dampaknya positif bagi anak dan bagi hubungan pernikahan. Bagi anak, keterlibatan ayah membuat mereka lebih unggul dalam seluruh aspek perkembangannya, pendidikan maupun kesehatan mentalnya dibandingkan dengan anak yang ayahnya tak terlibat.

fathers-day-clip-art-2Pengamatan saya pribadi, saya melihat bahwa ayah yang terlibat, bukan hanya memberi manfaat untuk anak dan istrinya. Saya melihat bahwa saat ayah terlibat dalam pengasuhan anak, maka tak hanya anak yang menikmati, tapi juga ayahnya. Apalagi dalam kegiatan bermain. Di pengajian Percikan Iman setiap hari ahad, dimana kami bisa mendengarkan kajian di hamparan terpal di bawah pohon-pohon rindang di lapangan, kami bisa melihat ada puluhan ayah yang begitu asyik bermain dengan anaknya. Bermain bola, meniup gelembung, bermain bulutangkis, kejar-kejaran….. Bahkan seringkali saya melihat ayahnya yang lebih “hepi” dibanding anaknya.

Saya sendiri, sepengamatan saya yang terbatas, melihat bahwa keterlibatan ayah akhir-akhir ini cukup meningkat. Dua mahasiswa saya dan saya sendiri melakukan penelitian mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan pada responden kami, ayah terlibat aktif dalam pengasuhan anak. Di usia prasekolah dan usia sekolah. Kami belum melakukan penelitian pada usia anak selanjutnya.

Setiap pagi kalau saya mengantar anak-anak sekolah, terlihat cukup banyak Bapak yang mengantar. Menjemput anak ikut ekskul, mendaftarkan anak sekolah, frekuensi bapak semakin meningkat dari waktu-waktu sebelumnya. Dan juga, jumlah ayah yang datang ke acara parenting, konsul parenting atau konsultasi masalah anak, kini semakin banyak juga dibandingkan waktu sebelumnya. Kadang, jujur saja saya suka “under estimate” ayah saat menanyakan tahap perkembangan anak. Usia berapa bisa bicara jelas, usia berapa bisa berjalan, dll. Amazingnya, kini para ayah yang datang ke ruang konsultasi bisa menjawab loh, lengkap dengan kisah “berkesan” terkait perkembangan anak tersebut.

Tadinya, dari pengamatan saya yang terbatas itu saya berpikir bahwa kita mesti bersyukur. Dengan keterlibatan ayah yang semakin intens, maka diasumsikan perkembangan anak-anak kita pun akan lebih optimal. Yups, memang di desa, partisipasi ayah dalam pengasuhan masih minim dibandingkan dengan di kota dan pada ayah yang berpendidikan tinggi. Pembagian “ayah bekerja, ibu ngurus anak” masih sangat kental menjadi prinsip yang dipegang teguh.

Apakah prinsip tersebut salah? menurut hasil penelitian sih salah. Saya pribadi berpendapat bahwa prinsip  itu perlu diubah. Tapi sayangnya, kadang ada yang berpendapat kalau ibu-ibu seperti saya berpendapat bahwa ayah harus terlibat dalam pengasuhan anak, artinya ia mau “enak-enakan”. Seolah-olah, kalau pembagian tugas mencari nafkah vs mengurus anak itu 1:1, maka dengan permintaan ayah harus terlibat dalam pengasuhan anak, itu membuat perbadingannya menjadi 1,5:0,5. Apalagi kalau si ibu bekerja, dianggapnya mau bertukar peran : “ibu bekerja, ayah ngasuh anak”. Mentang-mentang bisa menghasilkan duit sendiri. Gak mau melakukan tugasnya…Lalu mulailah tuduhan feminis, mengingkari fitrah, sampai konspirasi wahyudi bisa diungkapkan. Ya, sah-sah aja sih suudzhonitas seperti itu…. yang penting suami saya mah sepakat dan komitmen serta menikmati terlibat penuh dalam pengasuhan anak kami. Monggo, pilihan kembali ke keluarga masing-masing.

Beberapa bulan terakhir ini, saya pribadi menemukan satu alasan lagi, yang memperkuat keyakinan saya bahwa ayah, memang harus terlibat dalam pengasuhan anak. Satu sudut pandang yang berbeda. Beberapa bulan lalu, seorang teman saya, ibu dari 3 anak wafat. Anak-nya masih usia SD dan balita. Salah satu anaknya, “lengket” banget sama ibunya sebelum ibunya wafat. Sang ayah, saya kagum banget kepada beliau, beberapa bulan ini berusaha “mengambil alih” peran ibunya. Salah satunya adalah, beliau masuk grup orangtua murid yang isinya, semua ibu-ibu. Tanpa segan si ayah bertanya mengenai berbagai hal terkait aktivitas sekolah anaknya.

Yups, si ayah mungkin di masa yang akan datang akan menikah lagi. Tapi coba kita bayangkan….kalau si ayah ini tipe ayah yang “gue kerja, lu urus anak”. Selama masa tak ada ibu itu, gimana kondisi psikologis anak? Dan kalaupun sudah ada ibu yang baru, bagaimana proses membangun kelekatan antara si anak dan si ibu baru, harus ada yang memediasi bukan?Ayah yang sudah biasa terlibat dalam pengasuhan anaknya, tak akan gagap melakukan rutinitas yang buat anak, amat penting menjaga kenyamanan psikologisnya. Mereka tak akan canggung menggangtikan ibu mereka membacakan cerita, menyuapi, menemani mengerjakan PR…Suami teman saya yang wafat ini, kalaupun nanti menikah lagi, tampaknya akan bisa mendampingi anak-anaknya melewati masa adaptasi dengan smooth, dibanding ayah yang setelah menikah lagi lalu menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak-anak pada ibu baru-nya.

Baiklah, demikian curhat saya malam ini …;)

sumber gambar : http://november2013calendar.org/fathers-day-clip-art-and-nice-pictures.html

Pencitraan : Siapa yang melakukannya?

Wasat_Theatre_Masks_clip_art_hightBeberapa tahun terakhir ini, kata pencitraan begitu akrab di telinga kita. Dalam konteks politik. Karena saya tak paham tentang politik, bukan itu yang akan saya ungkap.

Dalam tataran individual, sebenarnya….setiap dari kita melakukan pencitraan. Meskipun tujuannya bukan dalam konteks politik. Entahlah tujuannya untuk apa. Tapi kalau kita amati, setiap orang, dengan caranya masing-masing, dengan intensitas yang berbeda, pada dasarnya melakukan pencitraan. Termasuk diri kita sendiri. Upaya pencitraan itu seperti “insting” dalam diri kita.

“Citra” yang coba diwujudkan sesuai dengan “value” pribadi masing-masing. Tergantung apa yang dianggap paling “bernilai” bagi dirinya. Bagi yang menganggap yang bernilai itu adalah  kekayaan, maka ia berusaha mencitrakan dirinya kaya. Bagi yang memandang bahwa yang berharga itu  adalah kepintaran, citra itu yang berusaha diwujudkannya. Bagi yang menganggap cantik itu berharga, citra itu yang berusaha ditampilkannya. Terus demikian untuk beragam “nilai” lainnya: kesholehan, kerendahan hati, kebahagiaan keluarga, kebijaksanaan….

Intensitasnya…beragam. Ada yang antara langit dan bumi apa yang ia citrakan dengan diri yang sesungguhnya. Mencitrakan diri sebagai orang yang lembut, penyayang, padahal sesungguhnya ringan tangan dan mudah memaki. Tapi ada juga yang kerja keras mencitrakan sesuatu yang memang melekat pada dirinya. Misalnya ada orang yang pinter banget, sudah mencapai tangga tertinggi dalam penghargaan akademis, tapi tetap mengerahkan upaya untuk mencitrakan dirinya cerdas dan intelek.

Tingkat keberhasilannya…. karena kini ada beragam cara dan metode pencitraan, maka seringkali upaya pencitraan yang dilakukan seseorang itu berhasil. Ia mendapatkan penilaian dari orang lain persis, atau bahkan melebihi apa yang ia harapkan. Kalau tujuan pencitraannya mendapatkan kata HEBAT! mudah sekali sekarang orang mendapatkan pujian HEBAT BANGET!

Lalu, setelah tujuan pencitraannya tercapai, SO WHAT??? Setelah puja puji kita dapatkan, setelah tepuk tangan dan decak kekaguman orang lain akrab bagi kita, lalu apa?

Saya ingat percakapan saya 15 tahunan silam di sebuah kamar kost di Jatinangor, dengan seorang sahabat saya. Waktu itu kami sedang membicarakan visi, misi, impian dan cita-cita kami. Waktu itu kami membayangkan…15 tahun dari saat itu, kami ingin seperti apa. Waktu itu saya memulai menceritakan impian saya dengan mengatakan: “15 tahun dari sekarang, aku mau orang melihat aku sebagai seorang  …. bla..bla..bla…” . Sahabat saya memulai impiannya dengan mengatakan : ” 15 tahun dari sekarang, gue mau jadi seorang … bla…bla..ba…”. Karena perbedaan awal kalimat itu, lalu kami pun “berdebat”. Saya berargumen bahwa redaksi dua awal kalimat itu sama. Sahabat saya bilang, beda. “Kalau kita bilang aku mau orang melihat aku sebagai ABC, itu gak berarti bahwa kita ABC Fit…” begitu argumen sahabat saya. “Nah, sekarang, lo mau orang ngeliat lo ABC, atau lo mau ABC”.

Belasan tahun kemudian, saya harus mengakui argumen sahabat saya itu benar. Orang melihat kita pintar, belum tentu kita pintar. Orang melihat kita sholeh, beda dengan kita sholeh. Orang menilai kita bahagia, tak sama dengan kita bahagia. Apa yang orang lihat dari kita, bisa jadi beda dengan diri kita yang sesungguhnya. Mengapa? karena itu tadi. Karena sudah menjadi “insting” bagi kita untuk melakukan pencitraan. Entah itu caranya vulgar atau halus, entah itu disadari sepenuhnya atau sudah direm sekuatnya.

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu seseorang. Bagi saya, ia sudah begitu “sempurna”. Semua orang yang mengenalnya, mengenal kebaikannya. Saat itu, ia berada di akhir masa hidupnya. Ia berkata pada saya, bahwa ia resah. Saya bilang, kenapa resah….bukankah semua yang mengenalnya, mengenal ia dengan penilaian yang baik. Ia berkata: “Ya, di mata orang saya baik. tak diragukan lagi. Tapi apakah saya memang benar sebaik yang dikatakan orang-orang? saya khawatir Allah tak melihat saya seperti orang lain menilai saya selama ini”. Begitu kurang lebih pembicaraan kami. Saya tak bisa menjawab pertanyannya. Hanya Allah dan hati nuraninya yang bisa menjawabnya.

Ya, kalau kita punya kesempatan untuk merenung di akhir sisa waktu kehidupan kita, kita akan bisa merasakan apakah hati kita hampa dan menganga di tengah puja-puji orang lain, karena kita tahu bahwa citra kita tidaklah seperti yang disangak orang lain, atau hati kita lapang dan penuh. Oleh penghayatan diri. Dengan atau tanpa decak kagum orang lain.

Ya, kalau kini kita masih punya segudang energi, jangan habiskan untuk menunjukkan pada dunia siapa kita. Arahkanlah untuk menumbuhkan keteguhan dalam hati kita.

Bukan dunia yang harus kau yakinkan kawan, tapi nuranimu yang perlu kau teguhkan ….

Jangan pedulikan puja-puji dan tepuk tangan dari orang lain. Apakah itu artinya lebih baik kita tak berbuat apa-apa? tak menjadi apa-apa? bukan. Produktiflah. Berkarya-lah. Menjadi kaya-lah. Tangguh-lah. Hebat-lah. Tapi dengan rendah hati. Puja-puji yang tepuk tangan yang kita dapatkan, jadikanlah figuran. Jangan jadikan pemeran utama yang kita masukkan dalam hati.

Hanya penilaian Allah lah yang perlu kita pedulikan. Bukan yang lain.

Sumber gambar: http://blogs.psychcentral.com/life-goals/2014/08/the-comedic-mask-of-depression/

Mengapa memberi perhatian pada orangtua itu amalan istimewa? (catatan tentang life span development)

Dalam ajaran agama kita, memperhatikan, menyayangi dan merawat orangtua adalah amalan yang istimewa. Sebagai orang yang mempelajari ilmu perkembangan manusia, saya memiliki penghayatan tersendiri terhadap hal tersebut.

Berawal dari pertanyaan seorang teman tentang “puber kedua”, beberapa bulan lalu saya membaca lagi buku “Life Span Development”. Menemukan buku Karya Santrock Edisi ke-11 tahun 2006, membuat saya menyadari …sudah sangat lama saya tak membaca buku Life Span Development. Mungkin karena bidang profesi saya lebih ke anak dan kadang remaja, maka saya terus terang menjadi “lupa” bahwa perkembangan manusia itu, secara psikologis tak berhenti ketika ia berusia dewasa. Manusia, secara psikologis terus “bergerak dan berubah” sampai akhir hayatnya.

Setelah melewati masa remaja yang “heboh” itu, kita masuk ke tahap perkembangan selanjutnya yaitu masa dewasa. Masa dewasa ini terbagi menjadi 3 fase, dengan dinamika-nya masing-masing. Dewasa awal (early adulthood) kurang lebih di usia  20-40 ; Dewasa tengah/madya (middle adulthood) kurang lebih di usia 40-60  ; dan dewasa akhir (late adulthood) kurang lebih di usia 60 tahun ke atas. Secara sederhana, pembagian ini berdasarkan pada perubahan pada aspek-aspek perkembangan manusia. Fisik, kognisi, emosi dan tuntutan sosial yang dihadapi pada batas-batas usia tersebut berbeda secara signifikan. Interaksi antara perubahan dalam diri dengan perubahan yang terjadi di luar diri inilah yang menjadikan “dunia” yang dijalani oleh manusia sepanjang rentang perjalanan hidupnya, selalu dinamis.

Seringkali tanpa sadar saya berpikir bahwa setelah kita menjadi dewasa. Tak ada lagi “gejolak” psikologis yang akan kita hadapi seperti saat anak dan remaja.Kehidupan yang dijalani menjadi datar dan mapan. Ternyata saya salah. Baik secara teoretis maupun secara empiris, sepanjang manusia masih bernyawa, dinamika dan gejolak psikologis itu tetap akan dirasakannya. Misalnya saja, ada istilah “midlife crisis”. Itu adalah saat transisi ketika kita akan masuk ke tahap perkembangan dewasa tengah/madya. Secara psikologis, itu adalah masa dimana kita “resmi” menjadi “tua”. Apa tandanya? yang paling jelas adalah kondisi fisik yang mulai antiklimaks. Saat itu, katanya secara psikologis kita “menolak” untuk menjadi “tua”. Itulah sebabnya pada sebagian orang ada dorongan untuk menunjukkan “Saya masih muda kok”. Salah satunya, adalah dengan fenomena “puber kedua” tadi. Bahwa saya masih “menawan” loh, saya masih “powerfull” untuk memikat yang masih muda.

Di tahap perkembangan dewasa tengah ini, ada perubahan besar yang terjadi. Salah satunya adalah anak-anak yang menjadi sentral kehidupan, biasanya mulai meninggalkan rumah. Baik untuk sekolah, bekerja atau menikah. Bagi sebagian orang, situasi “kembali berdua” membuat kepuasan pernikahan dan kualitas hidup meningkat. Tapi menurut pengamatan kasar saya, di Indonesia tak semuanya begitu. Teori di Barat yang mengemukakan bahwa anak adalah faktor yang menurunkan kepuasan pernikahan, tak berlaku sepenuhnya di Indoensia. Justru anak sering menjadi faktor pengikat dan peningkat kepuasan pernikahan. Juga sebagai faktor peningkat kebermaknaan hidup.Tak jarang saya mendengar ungkapan kegalauan orangtua saat melepas anaknya. Ternyata, melepas anak yang selama ini menjadi sentral kehidupannya, bagi sebagian orangtua bukanlah hal yang ringan. Di tahap perkembangan ini pula, sebagian ynag bekerja mulai bersiap untuk pensiun, atau mungkin sebagian instansi sudah mem-pensiunkan di usia sebelum 60. Ternyata, bagi sebagian orang pengalaman pensiun itu adalah perubahan yang …. tidak mudah.

Saya ingat, suatu saat setelah saya mengisi sesi parenting di sebuah sekolah, beberapa ibu usia 50-60 tahunan menghampiri saya. “Neng, bisa gak suatu hari mengisi di pengajian ibu…kayaknya ibu-ibu seperti saya membutuhkan materi psikologi. Soalnya…gimana ya, kita ini kan …rasanya sudah gak berarti gitu….anak-anak udah gak butuh kita lagi, sibuk ngurus keluarga mereka sendiri…kerja udah pensiun….jadi rasanya hidup ini udah gak bermakna gitu…”. Dalam satu acara dengan kementrian tertentu, saya mendapatkan paparan bahwa para lansia, memang kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Tampaknya pemerintah tak mau “mengeluarkan biaya” untuk program-program lansia ini, karena mereka kan bukan kelompok produktif.

Nah, temans….orangtua kita, pastilah berada pada tahap perkembangan dewasa madya atau bahkan dewasa akhir. Alhamdulillah kalau mereka hidup bahagia, memiliki makna hidup yang membuat mereka masih merasa “berharga” meskipun tak ada lagi yang membutuhkan mereka: anak atau pekerjaan. Semoga mereka tetap semangat  meskipun fisik mereka semakin terbatas dan kesehatan mereka semakin menurun.

Namun mungkin, sebagian orangtua kita tengah “bergumul” dengan beragam persoalan psikologisnya.  Kebermaknaan diri. Baik intensitasnya ringan maupun berat.Pasti mereka tak akan minta kita sms atau menelpon mereka tiap minggu. Pasti mereka tak minta perhatian dari kita.

Namun perhatian kecil kita; menelpon, mengirimi makanan kesukaan, mendengarkan keluhan, atau sekadar menceritakan tingkah polah si cucu, mungkin bermakna besar bagi mereka.

Mungkin kita melihat orangtua kita banyak melakukan “hal yang gak penting” atau “hal kecil” . Tapi bisa jadi, kegiatan itu adalah hal penting dan hal besar untuk menjaga kestabilan psikologis mereka.

parents-love-quotesMungkin, aktifitas pekerjaan dan rumah tangga menyita waktu, tenaga dan emosi kita. Dengan alasan itulah kita tanpa sadar “memutuskan” ikatan psikologis kita dengan orangtua. Mereka hanya ada di pikiran dan hati kita saat hari-hari perayaan besar.  Mungkin kita sering  menganggap mereka adalah “orangtua yang tak punya lagi gejolak psikologis”. Padahal sebenarnya mungkin tidak.

Kita harus cari cara untuk tetap membangun ikatan psikologis dengan mereka. Caranya? setiap orang berbeda. Unik. Dengan kebiasaan dan pengalaman berkesannya masing-masing. Mendoakan mereka setiap habis shalat sambil membayangkan wajah mereka, adalah salah satu caranya. Meminta doa mereka, adalah cara lainnya. Tak hanya membuat mereka merasa berarti, namun doa mereka memang berarti. Tak hanya membuat mereka merasa dibutuhkan, tapi kita memang membutuhkannya.

Sssttt…khusus buat para istri, biasanya bapak-bapak lebih lupa sama orangtuanya. Kita yang harus ingatkan dan lakukan #self reminder.

Kalau dulu mereka menjaga  kita secara psikologis, maka kini saatnya kita menjaga mereka agar selalu sejahtera psikologisnya.

Sumber gambar : http://www.friendsstatus.com/love-your-parents-we-often-forget-best-quotes-for-parents/

Marshmallow Test (part One) : catatan tentang “self control”

Marshmellow-TestBagi teman-teman “orang psikologi” atau yang suka sama psikologi populer, mungkin pernah membaca mengenai “marshmallow test”. Marshmallow test adalah sebuah penelitian experimental yang dilakukan oleh Psikolog Walter Mischel pada anak usia 4 tahun di  tahun 1960-an.

Bagi yang ingin melihat ilustrasi penelitian tersebut dalam bentuk video, dapat menyaksikannya di link berikut ini:  https://www.youtube.com/watch?v=QX_oy9614HQ

Buat yang barusan liat, kita bisa menyaksikan tingkah lucu menggemaskan anak-anak yang diberi tantangan : “kamu bisa makan marshmallow ini sekarang, atau kalau kamu mau menunggu dan tidak memakannya, kamu akan dapat satu lagi marshmallow”. Tapi sebenarnya, apa yang diukur oleh penelitian ini sesuatu hal yang mendasar dan penting.

Dalam penelitian ini, sang peneliti lalu “mengikuti” kehidupan sekitar 110 anak yang menjadi partisipan dalam penelitian ini, yang kini berusia akhir 40an/awal 50an. Penelitian longitudinal tersebut mendapatkan hasil bahwa anak-anak yang mau menunggu, tidak memakan marshmallownya saat itu sehingga kemudian mereka mendapatkan dua marshmallow; menjadi orang dewasa yang kuliahnya selesai, mendapatkan penghasilan lebih tinggi, dan lebih tidak mengalami “overweight” dibandingkan dengan anak-anak yang langsung memakan marshmallow yang ditawarkan.

Dalam majalah APA (American Psychological Association) edisi Desember lalu, Sang Profesor menguraikan penelitian-penelitian lanjutan yang beliau tulis dalam bukunya: “The Marshmallow Test: Mastering Self-Control”. Ringkasan artikel itu yang akan saya share dalam tulisan pertama ini. Bagi yang ingin membaca artikel aslinya, dapat membuka link ini : http://www.apa.org/monitor/2014/12/marshmallow-test.aspx

Penelitian ini diilhami oleh perilaku anak-anaknya loh….yang membuat beliau ingin mengetahui bagaimana self control bisa berkembang dalam diri seorang anak dan bagaimana cara melatihnya. Menurut beliau, penelitian tersebut penting karena mengajarkan anak untuk membuat pilihan. Memiliki keterampilan self control serta memiliki motivasi untuk mengontrol diri, adalah hal yang penting saat menghadapi pilihan.

Setelah penelitian tersebut, sebenarnya beliau melakukan serangkaian penelitian lagi di tahun-tahun setelahnya. Dan hasil rangkaian penelitian beliau tersebut hasilnya sama: anak yang memilii self control yang baik dan mau “menunggu”, menjadi orang dewasa yang memiliki regulasi diri dan kontrol diri yang baik, serta perilaku lainnya yang menunjukkan bahwa self control adalah keterampilan berpikir dan keterampilan emosional yang sangat penting.

Good newsnya adalah ….keterampilan kognitif dan emosi tersebut…bisa diajarkan !!! apalagi pada anak usia dini. Keterampilan tersebut bisa diajarkan pada anak prasekolah, anak sekolah, remaja, bahkan pada orang dewasa sekalipun !

Bagaimana cara mengajarkannya? dengan hal-hal yang sederhana. Prinsipnya, ada dua hal yang harus kita ajarkan pada anak jika ingin menumbuhkan self control mereka: (1) anak-anak harus mengetahui “cara”nya mengontrol diri (2) anak-anak harus “termotivasi” untuk melakukan kontrol diri.

Tahapannya, yang pertama adalah …. jadilah model. Jika kita berjanji pada anak, jangan pernah mengingkarinya. Yang kedua adalah…anak harus belajar bahwa perilaku mereka memiliki konsekuensi. Jika mereka berperilaku baik, konsekuensi yang akan mereka terima pun baik. Jika mereka berperilaku buruk, konsekuensi yang akan mereka terima pun hal yang buruk.

Mereka harus menghayati bahwa ada hubungan antara apa yang mereka lakukan dan apa yang akan terjadi pada mereka, sehingga dari penghayatan ini akan tumbuh perasaan bahwa mereka bisa mengontrol perilaku mereka.

……

Secara pribadi, saya amat terkesan dengan penelitian “sederhana” maupun dengan konsep self control ini. Menurut pengamatan saya, banyak kekeruhan dalam masyarakat yang terjadi karena orang-orang dewasa lemah dalam self control dirinya. Perilaku impulsif di jalan raya yang kini jadi sorotan, atau perilaku reaktif di dunia maya adalah contoh nyatanya.

Dalam dunia praktek sebagai psikolog, saya semakin yakin akan pentingnya self control untuk kita bangun dalam diri anak. Saya selalu bilang dan meyakini bahwa self control itu seperti otot. Semakin dilatih, ia akan semakin kuat. Saya juga selalu berusaha meyakinkan orangtua bahwa self control bukanlah sesuatu yang bisa “tumbuh otomatis seiring dengan usia”. Ia harus diajarkan. Dilatih.

Anak dua tahun, saat tak mendapatkan keinginannya tantrum. Anak dua belas tahun, saat tak mendapatkan keinginannya lempar barang. Anak dua puluh tahun, saat tak mendapatkan keinginannya menyiksa orangtua. Itu bukan kabar dari koran atau sinetron. Itu saya temui secara nyata, di ruang praktek saya.

Dalam tulisan kedua, saya akan berbagi pengalaman mengajarkan keterampilan “menunggu”, sebagai salah satu bentuk “self control” yang paling dasar pada anak usia 2 tahun 9 bulan, si bungsu Azzam. Inshaa allah.

Sumber gambar : http://www.astanduplife.com/whats-your-marshmallow/

Tak Sekedar Agenda …

IMG-20141224-WA0007Banyak diantara kita yang menjadikan awal tahun baru ini sebagai titik untuk mengevaluasi dan membuat rencana tahunan. Saya adalah salah satunya. Salah satu momen yang cukup menyenangkan buat saya setiap akhir tahun adalah, mencari buku agenda untuk tahun yang baru. Buku agenda itu, bukan hanya sekedar buku bagi saya. Ia juga adalah “belahan jiwa” yang akan menemani hari-hari padat saya, juga sebagai “jangkar” yang bisa mengendalikan produktifitas hari-hari saya. Haha…bombastis banget ya? tapi, memang demikianlah adanya….

Salah satu momen yang menyenangkan untuk saya adalah…menjelang tidur atau bada Subuh, ketika saya menuliskan dengan detil jam per jam, menit per menit apa yang harus saya lakukan. Dan momen yang lebih menyenangkan adalah saat menjelang tidur saya lihat kembali “jadwal” itu, dan semuanya saya checlist, yang artinya….kegiatan itu selesai saya lakukan. Percaya atau tidak, tanpa “list” itu…dijamin hari-hari saya tak akan produktif. Meskipun sudah “tertulis” di pikiran, namun tanpa bantuan tulisan dalam agenda itu… saya bisa cuman ngobrol ngalor ngidul, ngelamun gak jelas, dan ujungnya…stress karena kerjaan gak beres.

Setelah gak ada asisten yang menginap, fungsi agenda itu menjadi bertambah. Dia adalah “external hardisk” buat saya. Maklum, seabreg urusan mulai yang serius misalnya ujian mahasiswa sampai yang gak serius tapi kalau lupa bisa berakibat fatal (misalnya lupa ngasih tau sopir untuk jemput anak-anak lebih awal karena ada jadwal sekolah yang berubah), atau beliin cemilan yang udah dijanjiin ke anak-anak,  sulit saya ingat tanpa bantuan tulisan.

Salah satu fungsi lain yang sangat penting dari agenda buat saya juga adalah, “merapikan hati” kkk. Maklum, kalau dikepung deadline, hati jadi resah dan gelisah. Tapi dengan mengurai kepungan deadline itu satu persatu,  menuliskan kapan harus dikerjakan,target per bulan-per minggu,  apa yang jadi prioritas, sampai breakdown per hari, itu bikin perasaan legaaaa. Secara psikologis, situasinya menjadi bisa kita kontrol. Dan perasaan bisa mengontrol situasi itu, secara psikologis menyehatkan. Maklumlah, kalau hanya mengikuti perasaan, banyak hal “penting” lain yang ingin dikerjakan, berakibat hal yang urgent menjadi luput dan ujungnya…stress lagi ;(

Jadi, buat saya, si agenda itu tak pernah hanya sekedar sebuah buku. Makanya, dalam pemilihannya tidak pernah sederhana. Itulah sebabnya juga, kalau pilih agenda saya gak pernah ngajak anak-anak apalagi mas, biar khusyuk 😉 Agenda yang akan jadi belahan jiwa itu haruslah menyenangkan, warna dan designnya harus bikin semangat dan … sesuai dengan kepribadian saya haha…

Jadi, buat teman-teman yang merasa hari-harinya kurang seru, kurang produktif, kurang “bergairah” mungkin bisa mencoba pengalaman saya ini. Hunting agenda yang lutu, lalu membuat rencana-rencana. Tahunan, yang dibreakdown jadi bulanan, mingguan, lalu harian.

Percayalah, setiap kali membuat checklist dari kegiatan harian yang telah direncanakan, rasanya bahagiaaaa banget. Meskipun apa yang kita rencanakan setiap harinya, mungkin adalah hal yang sama.

Photos by : Azka Rahima