Duniaku, Duniamu, Dunia Kita

Beberapa tahun terakhir ini, saya senang karena mulai banyak klien yang datang untuk konseling pra-nikah. Memang, masih belum mengalahkan jumlah klien “konseling pra-perceraian” atau “pasca perceraian”. Tapi peningkatan jumlah klien konseling pra-nikah, saya maknakan sebagai besarnya kesadaran muda-mudi untuk menyiapkan diri masuk ke jenjang pernikahan dengan semaksimal mungkin. Dari beberapa pasangan yang datang, mereka mengatakan bahwa datang ke psikolog, adalah salah satu agenda “safari” mereka. Setelah atau sebelumnya, mereka datang ke ustadz, dan atau ke orang-orang yang mereka tua-kan, dengan agenda yang sama : mendiskusikan hal-hal yang dirasa “mengganjal” sebagai bagian dari keputusan “ya” atau “tidak” untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Menikah, konon sekarang “kesakralan”nya sudah berkurang. Terutama di barat, banyak yang menyatakan “tidak percaya institusi pernikahan”. Di Timur, termasuk di negara kita tercinta, kesakralan pernikahan pun sudah tercemari dengan adanya beberapa pernikahan settingan para artis, atau pernikahan-pernikahan yang hanya berlangsung beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu.

Meskipun demikian, tetap saya melihat, pernikahan ini masih SESUATU banget. Di barat misalnya, saya pernah lama berdiskusi dengan teman saya yang area penelitiannya memang di “marriage“. Saya ambil contoh kasus Brad Pitt sama Angelina Jolie. Mereka berdua menikah hanya 5 tahun sebelum bercerai, tapi sudah tinggal bersama bahkan punya anak lebih lama dari usia pernikahan “resmi”nya. Kenapa gak nikah aja gitu dari awal? Setelah saya baca referensi-referensi yang dikasih temen saya itu, saya jadi paham, bahwa justru perilaku semacam itu dikarenakan pemaknaan bahwa pernikahan itu memang “agung”. Kalau belum yakin banget bahwa saya bersedia menghabiskan sisa hidup saya dengan orang ini dengan setia, mereka gak akan “propose”.

Tentulah itu satu kutub yang sangat tak sesuai dengan agama dan budaya Indonesia. Tapi kutub satunya, yang menganjurkan para pemuda menikah di usia belia dengan jargon “menikah lebih baik daripada berzina” TANPA memberikan advokasi mengenai hakikat pernikahan, penghayatan pernikahan, menanamkan “benih” untuk siap menghadapi persoalan-persoalan pernikahan; menurut saya juga melecehkan makna sakral pernikahan. Kalau saya lihat dari beberapa medsos penggiat nikah muda, duh suka miris deh. Gak proporsional dan gak memberikan pengetahuan/pemahaman yang benar menurut saya. Kadang pernikahan dilihat hanya sebagai potongan romantisme semata. Tak heran dengan gambaran itu, banyak yang kemudian tak siap ketika berada dalam pernikahan sesungguhnya. Karena 99,9% dunia pernikahan itu, tak seperti yang tampak indah di IG 😉 Masalahnya adalah, di Indonesia, menikah itu “satu paket” dengan punya anak. Sebagai psikolog yang concern pada kesejahteraan anak, saya suka pengen “ngamuk” deh kalau menghadapi persoalan pernikahan dua orang yang “gak mateng” lalu anak jadi korban ketidakmatangan keduanya. Jadi, buat saya bukan soal muda atau tua-nya terkait dengan menikah. MATANG ! itu yang penting.

Jangan main-main sama pernikahan ! Dalam agama, pernikahan disebut mitsaqan ghaliza; ikatan yang kokoh dan kuat (QS.An Nisaa : 21). Allah sandingkan pernikahan, ikrar dua manusia, dengan janjiNya dengan para nabi. Karena “mitsaqan ghaliza”, hanya Allah sebut dalam Al-Qur’an 3 kali, yaitu dalam konteks perjanjian dengan para Nabi Ulul Azmi (QS. AL Ahzab : 7) dan dalam konteks ketaatan Bani Israil (QS. An Nisaa : 154).

Dalam psikologi, pernikahan adalah relasi dua manusia yang paling panjang durasinya, dan paling intens. Pada hakikatnya, sepanjang hidup kita selalu menjalin relasi. Begitu lahir, kita sebagai anak dan atau adik atau kakak. Lalu kemudian menjalin relasi sebagai teman, sebagai murid, dst dst. Tapi dari semua relasi sepanjang hidup manusia itu, pernikahan adalah relasi yang paling “dalam”. Paling kumplit harusnya. Ada perlindungan dan kehangatan yang kita rasa sebagai anak, ada kenyamanan yang kita rasa sebagai teman, ada bimbingan dan arahan yang kita rasa sebagai “bawahan”, dan yang paling membedakan adalah, hubungan seksual. Saya pernah membaca buku mengenai hubungan seksual dari segi fenomenologis. Duh, daleeem banget. Menyatunya dua tubuh yang menjadi simbol menyatunya juga dua hati, dua jiwa, dua pikiran, dua dunia. Itulah hakikatnya pernikahan.

Menurut saya, ada 4 situasi setelah dua orang memutuskan untuk menikah. Pernikahan sehat, pernikahan sakit, perceraian sehat, perceraian sakit. Tentu yang paling ideal adalah pernikahan sehat. Tapi bila itu tak bisa diwujudkan setelah berusaha keras, maka pilihan kedua saya bukanlah pernikahan sakit, tapi perceraian sehat. Pilihan ketiga pernikahan sakit, dan yang suka bikin saya pengen “nangis darah” adalah perceraian sakit.

Intimacy. Itu konsep yang menggambarkan bergabungnya dua dunia kalau dua orang memutuskan untuk menjalani kehidupan bersama dalam pernikahan. Ada 6 ciri dari hubungan intimacy ini. Buat saya, enam hal ini adalah indikator dari pernikahan sehat, operasionalisasi dari konsep sakinah, mawaddah warohmah.  yaitu :

(1) Knowledge / Pengetahuan ; pasangan yang relasinya sehat punya pengetahuan yang banyak/dalam satu sama lain. Kalau diibaratkan bawang merah, manusia punya banyak lapisan. Pada siapa ia “berani” membuka lapisan yang paling dalam, pada dialah ia punya relasi yang paling dalam. Mereka saling berbagi rahasia, berbagi sejarah hidup, berbagi apa yang disukai/tidak disukai, berbagi perasaan, berbagi mimpi-mimpi; yang… tak mereka ceritakan pada orang lain. Intinya, pasangan adalah orang yang harusnya paling mengenal diri kita, bukan malah netijen/ friend di medsos ya… yang lebih mengenal kita 😉

(2) Caring / Kepedulian ; pasangan yang relasinya sehat, saling peduli. JAdi, setelah saling mengetahui, jika pengetahuan tentang pasangan ditanggapi dengan pemahaman dan penghargaan (misal : “aku tuh gak pernah dipuji sama ibu aku”. Tanggapan pasangan: “kamu pasti sedih banget ya, sini aku peluk” … bukan … “kamu kan udah dewasa, jangan lebay ah”) ; maka tumbuhlah peduli. Duh, saya gak kuat untuk menuliskan “kata mutiara” paporit sayah : “lawannya cinta bukan benci, melainkan tidak peduli” haha…

(3) Interdependence / Kesalingtergantungan ; pasangan yang relasinya sehat, mereka saling tergantung. Mereka saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Saya pernah baca buku yang menjelaskan dari sudut pandang gelombang2 gitu deh lupa lagi kkk  mengapa pasangan menikah, makin lama makin “mirip”. Karena mereka saling mempengaruhi. Itu yang kasat mata. Yang gak kasat mata? nilai, pemikiran, perasaan. Kesalingtergantungan ini punya akar sejarah panjang dari mulai awal kehidupan manusia. Mungkin kita yang baik-baik saja, yang sehat-sehat saja perkembangannya, gak akan percaya kalau ada orang yang gak bisa saling tergantung. Bisa secara ekstrim gak mau “digantungi” orang lain, atau “gak mau menggangungkan diri pada orang lain”.

(4) Mutuality / Kebersamaan; Sebagai konsekuensi dari 3 hal diatas, maka  setelah menikah, sepasang manusia itu sekarang punya kosakata baru : “kita”. Ada uangku, ada uangmu, ada uang kita. Ada hobiku, ada hobimu, ada hobi kita. Ada waktu untukku sendiri, waktu untukmu sendiri, ada waktu kita bersama. Ada film kesukaanku, film kesukaanmu, film kesukaan kita. Ada ustadz favoritku, ustadz favoritmu, ustadz favorit kita. Ada ibumu, ada ibuku, ada ibu kita; dst dst.

Nah, dalam aspek ini, 27 tahun yang lalu,  Aron, Aron, and Smollan menciptakan alat ukur bernama “the inclusion of other in the self scale”; untuk menggambarkan penghayatan kita akan kedekatan hubungan emosional kita dengan pasangan. Alat ukurnya kayak gini : Kita diminta untuk menilai kedekatan emosional dengan psangan kita, di diagram yang mana? selfothers

(5) Trust / Kepercayaan ; Keempat aspek diatas menjadi sebab dan juga akibat dari kesalingpercayaan pasangan. Kalau psangan sudah kehilangan rasa saling percaya, maka pasti sulit untuk bisa terbuka. Karena rasa sakit yang akan dirasakan. Sulit juga untuk mau mendengarkan keterbukaan pasangan, jika rasa sakit atau tidak nyaman juga yang dirasakan. Tanpa rasa percaya? menggantungkan diri menjadi tidak aman. Misalnya, dalam banyak kasus banyak perempuan yang mempertahankan tetap bekerja sampai ia merasa “aman” dan bisa percaya bahwa pasangannya bisa ia “gantungi” secara psikologis, bukan secara finansial ya… Karena kalau sudah tumbuh rasa percaya mah, kalau kata Sheila on Seven mah “kita lawan bersama.. dingin dan panas dunia… “ 😉

(6) Commitment / Komitmen ; komitmen artinya menginvestasikan waktu, upaya, dan semua sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan pernikahan. Bahasa romantisnya mah “berupaya sekuat tenaga terus bergenggaman erat membangun mimpi bersama” 😉 

Keenam aspek ini, adalah operasionalisasi “sakinah mawaddah warohmah” dalam pernikahan. Pernikahan yang sehat itu menguatkan, melengkapi, membuat seseorang menjadi lebih indah. Surga dunia lah pokoknya mah.

Saya sendiri, menjadikan 6 hal ini acuan evaluasi kekuatan psikologis pernikahan kami. Karena pernikahan itu, ada tahap-tahapnya. Setiap tahap punya faktor keindahan dan faktor potensi kehancuran. Tahap berdua, tahap tinggal sama mertua, tahap riweuh punya balita, tahap fokus ngurus lebih dari satu anak, tahap udah gak ngurus anak, tahap anak-anak udah dewasa, tahap berduaan lagi… semua ada keindahan, kekuatan, juga ada potensi kehancurannya.

Mulai dari menghayati dan mengukur kedekatan emosional dengan pasangan, menggunakan alat ukurnya Mas Aron. Kalau penilaian kita dengan pasangan beda, lanjutkan dengan “ngobrol”; apa yang membuat berbeda. Kalau sama juga ngobrol sih.. apa yang membuat sama. Lalu merenung:

Apakah kita tahu kekhawatiran terdalam, kebahagiaan terdalam, mimpi terbesar pasangan kita, apakah ia mengetahui juga kekhawatiran terdalam, kebahagiaan terdalam, mimpi terbesar kita? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah saya cukup peduli pada kekhawatirannya? kebahagiaannya? mimpi-mimpinya? apakah dia peduli pada kekhawatiran saya? kebahagiaan saya? mimpi-mimpi saya?Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah saya merasa aman untuk tergantung padanya, apakah dia mau tergantung pada saya? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah kami sudah berupaya untuk memperbesar zona “kami”? atau kami adalah dua orang yang tinggal bersama tanpa ada irisan apapun? dua orang dalam gelembung dunia yang berbeda? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Apakah saya berusaha sekuat tenaga untuk “berinvestasi” pada pernikahan ini?Apakah dia berusaha sekuat tenaga untuk “berinvestasi” pada pernikahan ini? Kalau ya, what next? kalau tidak what next?

Pertanyaan-pertanyaan itu bisa jadi obrolan hangat saat pillow talk, atau momen-momen mengobrol lainnya.

Kalau hasil evaluasinya masih “buruk”, jangan khawatir. Kesediaan untuk mengevaluasi, itu adalah sudah menunjukkan pernikahan yang sehat. Karena ada banyak pasangan yang menggunakan jurus “menyapu debu ke bawah karpet”. Menghindari obrolan “dalam” tentang evaluasi pernikahan, karena dirasa tidak nyaman dan mengancam. Makanya ngobrolnya sambil pelukan hehe… Akhirnya, tak sadar karpet tempat mereka beraktivitas menjadi penuh debu, berbau, menyesakkan pernafasan dan …. neraka dunia yang dirasakan

Semoga kita semua dikarunia Allah kekuatan dan kesabaran untuk memperjuangkan kualitas dalam pernikahan, agar “separuh” agama ini tak hanya beruba gombalan yang tak kita hayati maknanya.