MASA KECIL: ANTARA AKU DAN FATHIMAH (Fitriyadi, 2014)

Tulisan ini merupakan tanggapan saya terhadap “pertanyaan” Kang Andri Fitriadi. Kang Andri atau kami biasa menyebutnya Kang Afiet ini, adalah salah seorang “akang” di Karisma Salman ITB. Salah satu hal yang saya suka dari beliau adalah rangkaian-rangkaian kalimat yang mengalir ringan dan “enakeun” dalam tulisan-tulisannya. Saya adalah “secret fans” tulisannya sejak jaman beliau menulis di Bukom dulu. Gak percaya? ini dia tulisan beliau….

MASA KECIL: ANTARA AKU DAN FATHIMAH

Dahulu, aku selalu berangkat sekolah bersama-sama dengan teman dengan berjalan kaki. Aku, yang rumahnya paling jauh, memulai perjalanan dengan menghampiri rumah teman pertama, kemudian kami berdua menghampiri rumah teman kedua dan seterusnya. Jarak komplek rumah kami dengan sekolah lumayan jauh untuk ukuran anak SD. Kegiatan mendatangi rumah teman untuk mengajaknya berangkat sekolah disebut dengan “nyampeur”.

Dahulu, waktu sekolah kami tidaklah terlalu lama karena dahulu tidak ada yang namanya full-day school. Paling lama pukul 12 siang kami sudah sampai di rumah. Selepas shalat dzuhur dan makan siang, terbentang waktu yang sangat lapang buat kami, anak-anak SD yang memang senang bermain. Bila musimnya tiba kami membawa layang-layang lengkap dengan benang dan gelasan. Gelasan ini adalah upgrade dari benang dengan tambahan bulir gelas sehingga bisa dipakai untuk “ngadu” layang layang. Bukan hanya itu, seabreg mainan siap memanjakan kami. Sebut saja main gambar, kaleci (kelereng), sorodot gaplok, kasti, sapintrong, galah asin, boy-boyan, ucing sumput (petak umpet), gatrik, dan lain sebagainya. Apalagi bila musim liburan tiba. Wahana ekplorasi kami semakin luas. Dari mulai nonton sepakbola tarkam sampai berenang di sungai. Tidak jarang kami menjelajah daerah yang sama sekali belum pernah kami jelajahi. Dalam basa Sunda, tradisi menjelajah ini biasa disebut “Jarambah”.

Memang tidak pernah nonton TV? oh, tentu saja ada. Tapi dahulu channel TV tidak banyak dan kita sudah tahu kapan saja waktunya ada acara-acara film itu. Mulai dari film legendaris si Unyil hingga film kartun seperti Google V, The Mask, Flash Gordon, Silver Hawk, hingga film Jepang semacam Lion Man. Tapi, karena waktu pemutaran sebentar dan jadwalnya terukur, kami tidak banyak menghabiskan waktu-waktu kami untuk menonton televisi. Dunia bermain, diluar sana, jauh lebih menantang dan menarik dibandingkan nongkrong di depan televisi.

Memang tidak ada Video Game? Oh, dulu belum ada Playstation, Game Online atau semacamnya. Game paling canggih yang pernah kami mainkan adalah GameWatch (dibaca Gimbot) yang biasa kami sewa di taman dekat rumah. Ada beberapa permainan Gimbot yang ada seperti Gimbot Kereta Api, Gimbot Kapal Selam dan Gimbot Koboi. Kami tidak banyak bermain Gimbot ini karena kami harus menyewa Gimbot itu dari Bapak penyewa Gimbot. Jadi, konsekuensinya, semain lama bermain, semakin banyak uang dari kantong harus dikeluarkan.

Selepas bermain dari siang sampai waktu Ashar atau lebih, kami menutup hari dengan pergi ke masjid dan mengaji. Waktu mengaji ini biasanya ba’da Maghrib sampai Ba’da Isya. Belum ada metode Iqra waktu itu jadi kami belajar dengan cara ‘tradisional’ dengan bimbingan Pak Ustadz lulusan pesantren dari Cianjur atau Sukabumi. Bukan hanya mengaji, kami pun belajar Fiqh dan lain-lain dari beliau dengan referensi kitab kuning semacam Safinatun Najah, Tijan Darori, Tanbihul Ghafilin dll. Cara mengajarnya pun dengan metode klasikal .Ajaibnya, hingga 30 tahun masa belajar itu lewat, aku masih menghafal bagaimana dulu Pak Ustadz mengajar.

“Bismillahi – ngawiti ingsun ing iki kitab kang den ngarani kitab safinatun najah. Hal le nuwun pitulung lan ngalap berkah kalawan nyebat asmaning Allah”

Selepas Isya, kami biasanya mengerjakan PR (bila ada PR). Itu pun paling lama sampai pukul 8 malam. Tidak ada nonton joget-joget YKS, tidak ada nonton jingkrak-jingkrak dangdut di TV. Hening. Istirahatnya maksimal sampai besok hari memulai belajar kembali.
———————————————————————————————-
Fathimah nampak masih mengantuk saat dibangunkan. Waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Dengan langkah berat Fathimah masuk ke kamar mandi, ambil air wudhu dan shalat shubuh. Selepas itu, Fathimah duduk di meja makan. Hidangan sarapan sudah tersedia. Sembari sarapan, channel channel TV mulai berhamburan menghampiri anak-anak. Sponges Bob, Chalk Zone, Sofia The First dll. Seringkali Fathimah diperingatkan oleh Nenek dan Ibunya karena hilang fokus makannya karena asyiknya tayangan Sofia the First yang dia gandrungi. Selepas makan, mandi pagi dan tengg….pukul 06.45 Fathimah diantar ke sekolah.

Fathimah ini kelas 2 SD lho dan dia harus berangkat sekolah sama dengan berangkatnya orang-orang dewasa bekerja. Memang mulai belajar pukul 08.00 tapi dia harus menjalani Morning Journal setiap hari pada pukul 07.30.

Pukul 08.00-Pukul 15.30 adalah waktu yang sangat lama, menurutku untuk anak SD, yang harus dihabiskan di sekolah. Selain Ilmu Umum juga ada konten lokal semisal Al-Quran Hadits, Fiqh, Bahasa Arab, TIK, dan lain lain. Kurikulum 2013? Tematik? Waduh makhluk apa lagi ini? Yang aku tahu, sepulang sekolah sampai di rumah pukul 16.30 wajah Fathimah sudah nampak sangat lelah. Mandi, makan sore sambil ditemani Pororo hingga maghrib. Tadinya kami ingin Maghrib-Isya ini belajar mengaji seperti tradisi ayahnya dahulu. Tapi, apa mau dikata, dia sudah menghempaskan diri di kasur empuknya dan menghilang di balik peraduannya.
———————————————————————————————-
Khawatir. Kata itu cukup mewakili gejolak hatiku saat ini. Ditengah gempuran media sepanjang waktu, oase imani untuk anak-anak semakin hari semakin kering dan sulit untuk diisi lagi dengan kesejukan tilawah Al-Quran, khyusuknya shalat berjamaah, dan belajar kesantunan dan tata krama. Terlebih dia kehilangan waktu bermainnya karena harus dijejali mata pelajaran yang menggunung yang harus dia pelajari setiap hari. hmmm…seringkali bimbang itu hadir….apakah uang berjuta-juta yang aku keluarkan untuk sekolah Fathimah ini dapat berbuah manis di masa depan dia nanti atau ini menjadi bumerang bagi orang tuanya yang menyangka bahwa sekolah yang katanya “bagus” itu bisa menghasilkan anak yang super dan juga shaleh?

Mohon saran para pakar psikologi Lita Edia, Fitri Ariyanti dan pakar konseling Eva Novita Ungu

Bener kan…tulisannya asiiiik šŸ˜‰ . Karena nama saya di-tag, jadinya saya merasa berkewajiban untuk menjawab pertanyaan yang BEURAT itu. Alhamdulillahnya, Dua teteh saya dan seorang akang…ketiganya teteh2 dan akang Karisma juga, telah menjawab dengan jawaban yang keyeeen…jadi saya punya contekan kkk…. Mmmmhh…jadinya saya melengkapi sajah tanggapan dari teh Lita, teh Noviet dan Kang Bony.

  • Bony Budiman masa kecil sy 60 – 75 % mirip dengan andri, mirip pada kebiasaan sekolah, main dan ngaji di masjid kampung…. masa kecil fatimah 40 – 60 % beda dengan Yasmin/Annisa… beda di uang SPP yg gratis, beda di sekolah yg cumaa 3 jam (kelas 1-2 SD) dan jadi 5 jam setelah kelas 3… Alasan Yasmin_Nisa sekolah di SD Negri ya karena kekhawatiran sy-dini yg mirip dengan kekhawatiran andri sekarang. Khawatir anak2 itu kehilangan masa berharga untuk bermain. Yasmin-Nisa ngaji sama ibunya, Karena saya percaya pendidikan terbaik untuk anak2 ada di rumah… guru terbaik adalah orangtuanya (untuk kasus saya saya ya ibunya krn sy LDR)… dan saya sudah membuktikannya… Tapi saya juga gak mau bilang cara keluarga saya mendidik anak adalah yg plg baik atau lbh baik dibanding yg lain… sama sekali tidak… karena tiap keluarga punya tantangan masing2… punya kebutuhan yg bisa jadi sangat berbeda… every family is special…

    Eva Novita Ungu saya bukan ahli konseling, tp kmrn ikut kajian ust budi ashari, ktnya anak tk sd memang tidak semestinya diserahkan porsi pendidikannya lbh banyak ke sekolah, mirip kaya bony, beliau menyarankan anak tk sd tidak sampe sore sekolahnya … bukti terbaik hasil pendidikan jaman dulu yah kita2 ini ktnya … yg masih lebih banyak waktu bermainnya, waktu kumpul ma ortunya dll

    Sammaaa…masa kecil saya juga mirip dengan masa kecil Kang Afiet dan Kang Bony…ya, memang kita satu “cohort”/angkatan/generasi kan … Dan hari-hari Azka/Umar, si kelas 6 dan kelas 3, sangat mirip dengan Fathimah. Itu adalah konsekuensi dari pilihan kami menyekolahkannya di SDIT, yang fullday. Bahkan, fullday school adalah salah satu kriteria teknis pertama buat kami saat cari sekolah buat anak-anak. Kenapa? karena kami memutuskan bahwa saya bekerja. Fulltime.

    Saya setuju, bahwa kondisi pengasuhan yang dijalankan oleh Kang Bony dan teh Dini adalah ideal. Kombinasi dari ibu berpendidikan tinggi yang bekerja “part time” di rumah, punya orientasi pendidikan anak yang wokeh, ada support ART, adalah kombinasi ideal bagaimana kuantitas dan kualitas pengasuhan anak bisa optimal di rumah. Dengan demikian, saya dukung sepenuhnya pilihan Kang Bony dan teh Dini untuk mencari sekolah yang “sebentar”, biar anak lebih terpapar pendidikan dari ibunya. Tampaknya itu juga yang dimaksud oleh Ust Budi Ashari yang disampaikan oleh teh Noviet.

Lita Edia fathimah insyaa Allah bahagia memiliki ayah dan ibu yg lekat dengan dirinya. Sekolah full day belum tentu beban…kan mereka main sama teman temannya. Kadang kekhawatiran kita yg justru mereka jadi kurang menikmati apa yg mereka tadinya ingin nikmati. Misal anak di kasih PR… tadinya mereka semangat ngerjain…eh karena si ibuna hore (am) dan ngerasa itu ngebebanin anak (dan ibuna) jd kesel terus BT sama soal soalna terus ibuna ngomel ngomel…jadi we anakna ngahuleng daaan jd ikut BT sama sekolah…ehehe… #imajiner . Di sekolah tempat saya ikut serta mengelola, ada anak anak yang ngga jadi happy karena ortunya khawatir akan ini itu

Setuju juga ama pendapat teh Lita (kkk…ketahuan males mikir;)… saya ingin menitikberatkan bahwa … studi-studi mutakhir yang dilakukan tidak lagi bersifat “labelling”.Ā  Jadi labelling “ibu di rumah, pasti anak baik”, “ibu bekerja, anak terlantar”, “sekolah sebentar, anak bahagia”, “sekolah fullday, anak stress” atau “ortu bercerai, anak broken home” dll dll itu sudah lama ditinggalkan. Dengan berkembangnya pandangan positive psychology, sekarang fokusnya lebih pada “faktor apa yang bisa membuat anak sejahtera dengan kondisi yang ada?”. Itu sebabnya saya menebalkan kata “kombinasi” saat membahas pengasuhan keluarga Kang Bony. Kenapa? karena walaupun ibu di rumah, namun salah satu faktor lain tak terpenuhi; misalnya pendidikannya sangat rendah, kecapean karena ngurus urusan rumah tangga sendiri, gak punya visi dan keterampilan mendidik anak… kuantitas dan kualitas yang harusnya optimal tidak akan terjadi. Demikian juga sebaliknya pada ibu bekerja. Jadi, untuk keluarga yang tidak bisa mencapai pengasuhan yang “ideal”,misalnya single parent,Ā  dont worry…. ada banyak hal yang bisa diupayakan biar kebutuhan anak-anak kita tetap terpenuhi.

Logika yang sama berlaku juga pada masalah fullday non fullday. Ini agak panjang bahasannya. Kita sering mendengar ada istilah “tugas perkembangan “. Nah, om Hurlock (1981) menyebut tugas ā€“ tugas perkembangan ini sebagai produk dari social expectations. Artinya, ia akan berubah seiring dengan waktu, berbeda sesuai tempat. Itu sebabnya kita bisa faham, mengapa pada zaman Rasulullah dulu, para sahabatnya usia belasan sudah bisa menjadi panglima perang? Aisyah pun dinikahi Rasul di usia yang (menurut ukuran kita sekarang) “belia”? Karena social expectation pada zaman itu, di tempat itu, berbeda dengan social expectation pada zaman ini, di Indonesia. Tugas perkembangannya pun berbeda. Remaja-remaja di Pinggiran Bandung Selatan sana, tugas perkembangannya di usia 12-15 tahun, itu beda sama tugas perkembangan remaja di dago. Tugas perkembangan mereka yang di sana adalah menikah. Menjadi istri dan ibu. Itu temuan mahasiswa saya.

Jadi kalau kita lihat kenyataannya, tampaknya anak-anak seperti Fathimah dan Azka-Umar sudah memiliki tugas perkembangan yang berbeda dalam hal sekolah, dan sepertinya…seperti kata teh Lita …banyak yang baik-baik saja. Satu lagi….adaptasi manusia itu, sudah terbukti dengan temuan plastisitas otak. Lha wong terbukti kok…ada pasien yang salah satu hemisfer otaknya mati, fungsinya di-cover oleh hemisfer otak yang satunya lagi…Jadi anak-anak kita juga sangat mungkin sudah beradaptasi dengan tuntutan harus “nyaris 12 jam sekolah”.

Jujur saja, kekhawatiran yang sama pernah saya rasakan. Jika kita bandingkan generasi kita dengan generasi mereka, pasti kita akan khawatir. Karena kita pake standar “cukup” dan “tidak” yang dulu. Setelah diskusi dengan beberapa teman yang bergerak di bidang psikologi perkembangan, akhirnya kamiĀ  melihat bahwa ….apa yang dibutuhkan anak-anak jaman sekarang, masih bisa terpenuhi dengan kondisi sekarang. NamunĀ  bentuknya yang berbeda. Susah buat kita untuk menciptakan kembali dunia “Si Bolang” seperti yang kita jalani dulu. Mau sepedahan? orangtua waswas karena keamanan jaman sekarang jauuuh dengan keamanan jaman kita dulu. Mau main bola sepuasnya ? duh….nyari lapangan bola semakin sulit bukan? Mau “abring-abringan” kayak saya dulu … dengan teman sekolah yang juga tetangga…sekarang itu pertemanan anak bukan didasarkan pada geografis kok… Contoh sederhana, ada sekitar 10 anak sebaya Azka di komplek saya, gak ada yang sekolahnya sama. Apakah itu berarti stimulasi untuk motorik dan sosial anak menjadi nol?

duluSaya setuju dengan upaya sebagian teman-teman yang berupaya “mengembalikan lagi” kondisi seperti dulu. Menggiatkan kembali permainan tradisional misalnya. Namun upaya itu tak sepenuhnya bisa dilakukan. Itu realitasnya. Karena kondisi non fisik masyarakat, anak-anak kita, itu perubahannya amat dipengaruhi kondisi fisik. Saya pengen banget ngajarin anak-anak “galah asin”. Tapi dimana? sama siapa?

Sudut pandang lain yang bisa kita upayakan adalah, melihat apa yang terjadi sekarang. Ada klub futsal dimana-mana. Ada arena-arena outbond. Di mall, ada wahana Ice Skating. Di game master, ada wahana apa sih tuh, yang jingkrak-jingkrak ngikuti pola di layar itu…. Untuk yang ekonomi kelas menengah dan menengah ke atas, Alternatif bentuk stimulasinya beragam. Kognitif? oh, itu mah gak usah dibicarakan. Coba lihat beragam permainan di tablet atau ipad. Itu stimulasi kognitif semua. Stimulasi lengkap dari aspek-aspek dasar belajar. Sosial? yups, mereka gak bisa abring-abringan secara fisik. Tapi kalau saya intip obrolan wa-an Azka, owh…tenang…proses persahabatan, pengelolaan konflik, kerjasama dan kompetisi-nya, terstimulasi kok….

Jadi, khawatir itu tanda kita peduli. Itu sayap yang satu. Kita seimbangkan dengan sayap satunya lagi : “abundant mentallity”. Mencoba melihat dan memanfaatkan apa yang ada sebagai sumber daya. Menurut saya hal ini penting biar kita jadi orangtua yang optimis.

Btw, tampaknya saya jadi ngacaprak kesana-kemari…maaf ya….;)

Andri Fitriyadi Masalah yang sering timbul adalah ketika Fathimah memanfaatkan waktu mainnya yang terbatas (antara jam 16.00-18.00) dengan sesuatu yang dia kehendaki dan kadang kala sangat sangat kreatif (menggunting sesuatu, menempel kertas, membuat macam-macam dll) atau ‘menghilang’ keluar rumah dengan sepedanya bermain dengan kakak-kakaknya yang datang menghampiri ke rumah. Hal ini ‘bertabrakan’ dengan keinginan umminya yang ingin Fathimah di rumah saja sambil baca Iqra karena Umminya tahu habis maghrib Fathimah sudah tidur dan tidak ada kesempatan lagi untuk ngaji.

Lita Edia fisik anak beda beda ya Andri Fitriyadi, tapi anak saya termasuk cepet cape. Jadinya sy ngga narget banyak memang untuk belajar dirumah. Dirumah tinggal main dn yg asik asik aja. Sama ngerjain PR. Ngulang hafalan…sama baca Al QuR’an habis shubuh sama.ayahnya

Setuju lagi ama bu Lita …. šŸ˜‰ indikator paling gampang apakah pilihan sekolah buat anak pas atau engga, liat anaknya. Selama anak tak menunjukkan masalah, berarti kapasitas fisik dan psikologis yang dia punya, lebih besar daripada persoalan yang harus ia hadapi.

Dulu, saya seperti Umminya Fathimah. Di rumah ada jadwal belajar lagi. Itu waktu Azka. Sampai akhirnya itu tak berlanjut karena saya tak tega lihat betapa cerianya Umar kalau main sepeda sepulang sekolah, atau betapa “khusyuk”nya Azka baca komik kesukaannya di sisa 2 jam sebelum maghrib.

Tentang pendidikan agama di rumah….saya setuju itu tanggung jawab orangtua. Da orangtua kan, yang akan dimintai pertanggungjawabannya nanti. Dampaknya anak sholeh atau engga-pun, orangtua yang merasakan. Kalau saya pribadi, untuk “pengetahuan” dan “keterampilan” agama, saya merasa sekolah yang saya pilih sudah cukup memberikan itu. Azka-Umar sudah lancar mengaji dengan makhraj dan tajwidnya. Demikian pula dengan hafalan, sholat, puasa sunnah, sholat sunnah dll dll. Kami memposisikan diri untuk “mengikat” dan “membumikan” nilai-nilai agama itu menjadi “way of life”nya. Menurut penghayatan saya, itu hal yang paling penting dari agama. Misalnya, saya mewajibkan Umar ke masjid setiap maghrib (plus Subuh kalau ada abahnya), lalu saya jelaskan kenapa harus begitu. Mengaji, biar seayat-dua ayat… adalah karena diĀ  zaman ini keburukan begitu banyak. anak dihipnotis, dijual, dibunuh diambil organnya, diperkosa…kita butuh banyak kebaikan untuk menangkal itu. Membaca Qur’an, satu hurufnya mengandung 10 kebaikan. Itu sebabnya kita butuh baca Qur’an untuk memagari kita dari keburukan di luar sana. Itu value yang saya tanamkan. Dan nilai-nilai agama lain….tawakkal, ikhtiar maksimal, rahman-rahim, dll dll… Dan itu bisa dilakukan tanpa “program khusus” … Bisa saat kita bertanya apa yang dipelajari di sekolah, saat dia cerita temannya begini-begitu, pelajarannya susah, dll dll.

apakah uang berjuta-juta yang aku keluarkan untuk sekolah Fathimah ini dapat berbuah manis di masa depan dia nanti atau ini menjadi bumerang bagi orang tuanya yang menyangka bahwa sekolah yang katanya “bagus” itu bisa menghasilkan anak yang super dan juga shaleh?

Setelah panjang lebar ngacapruk, tetap saya tak bisa jawab pertanyaan ini. Variabel untuk menjadikan anak yang super dan shaleh itu, amat sangat banyak. Tergantung juga dari operasionalisasi super dan saleh itu. Namun saya yakin…ikhtiar kita, mencari partner pendidikan yang paling pas buat anak-anak kita plus doa-doa yang kita panjatkan selalu, semoga menjadi jalan turunnya keberkahan bagi anak kita.

Keberkahan itu, kalau saya operasionalisasikan adalah kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat. Tak ada yang lebih baik dari itu bukan? šŸ˜‰

Bipolar? Depresi? NORMAL? atau ABNORMAL?

Kasus artis cantik Marshanda dan aktor terkenal Robin Williams yang mengalami “gangguan kesehatan jiwa”, tampaknya membuat “galau” sebagian dari kita. Selain 2 tokoh tersebut, ada satu lagi yang terkenal, yaituĀ  “bipolar”. Cukup banyak pertanyaan yang saya terima terkait dengan si “bipolar” ini. Memang sih, kalau baca-baca artikel yang kita dapati di media tentang bipolar ini, wajar kalau sebagian dari kita jadi “curiga”, jangan-jangan diri kita, pasangan kita, sodara kita, temen kita…punya gangguan bipolar hehe…kayaknya simptomnya cucok gituh šŸ˜‰

Misalnya, ini penjelasan mengenai bipolar dari link yang cukup populer : health.detik.com dalam artikel Mengenal Bipolar: Datang dari depresi dan harus minum obat terus-menerus. Ā “Jika hari ini riang gembira, tahu-tahu esoknya diliputi duka nestapa. Penderita bipolar sering merasakan sensasi bahagia, sedih dan galau secara bergantian. Jika diibaratkan, siklusnya mirip jet coaster,” kata dr Dito kepada detikHealth dan ditulis pada Jumat (8/8/2014).

Dalam tulisan ini, saya tak akan membahas tentang Bipolar atau Depresi. Nanti saya minta teman saya yang mendalami psikogi klinis dewasa yang membahas hal tersebut. Dalam tulisan ini saya akan mengulas tentang hal yang lebih mendasar, yaitu apa itu “normal” dan “abnormal”. Ini adalah salah satu topik kuliah saya, yaitu mata kuliah Pengantar Psikologi atau nama “kerennya” PEPSI :). Psikologi abnormal sendiri, di psikologi diajarkan khusus 1 semester yaitu di semester 5.

Sebelum saya mengulas, mungkin ada baiknya kalau ada kertas dan pulpen, silahkan diambil, lalu tuliskan perilaku yang dianggap “abnormal” oleh teman-teman …..” haha…sok dosen pisan nya….” kkkk

abnormalMenurut Atkinson dan Hilgard (2009), ada 4 kriteria yang bisa digunakan untk menilai apakah satu perilaku disebut “abnormal” atau “menyimpang. Empat kriteria tersebut adalah :

  1. Penyimpangan dari norma budaya
  2. Penyimpangan dari norma statistik
  3. Tingkah laku maladaptif
  4. Personal Distress

Mari kita bahas Ā persatu :

(1) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAL jika menyimpang dari NORMA BUDAYA

Seminggu lalu, saat saya berada di sebuah toko buah, ada dua perempuan memakai baju super minim. Sangat super minimnya. Hampir semua pengunjung toko buah tersebut, tak ada yang bisa menyembunyikan tatapan pada kedua perempuan tersebut. Setelah perempuan itu keluar toko, beberapa berkomentar dan saling meng-iya-kan. Intinya adalah, pegunjung toko buah itu menilai kedua perempuan tersebut memakai pakaian yang “kurang pantas” dikenakan di tempat umum. Padahal kalau kita liat film barat, mungkin kita biasa melihat perempuan barat mengenai pakaian super minim tersebut. Ini adalah contoh perilaku abnormal menurut norma budaya.

Sebaiknya, kita “peka” terhadap hal ini. Sejalan dengan perspektif Ā “Cultural Relativist” yang menyatakan bahwa Ā “we should respect each cultureā€™s definitions of abnormality for the members of that culture, We do not impose one cultureā€™s standards on another, dan Ideas of normality and abnormality differ from one society to another and over time within the same society”

(2) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAL jika menyimpang dari NORMA STATISTIKĀ 

Contohnya misalnya saya, dianggap abnormal diantara teman seumuran saya karena sebagai ibu bekerja memiliki 4 anak. Kenapa? karena secara statistik, punya 4 anak buat ibu bekerja adalah di luar “kurva normal” yang rata-ratanya 2 dengan standar deviasi 1 (haha…sok tau…;). Anak-anak akselerasi itu, yang punya IQ di atas 130 adalah anak-anak dengan kecerdasan yang “abnormal”. Kalau kitaĀ Ā biasa on time datang rapat sedangkan seluruh rekan kerja teman-teman semuanya telat satu jam, maka berarti kita juga abnormal.

Jadi kriteria ini terkait erat dengan kuantitas. Jumlah. Dibawah rata-rata kebanyakan orang, atau diatas rata-rata kenbanyakan orang.

(3) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAL jika sifatnya MALADAPTIF (mengganggu kesejahteraan individu dan atau merugikan lingkungan).

Jadi perilaku menyalakan petasan deket rumah sakit, atau perilaku suporter PERSIB yang mencorat-coret tembok kota adalah perilaku abnormal menurut kriteria ini.

(4) Suatu perilaku bisa disebut ABNORMAlĀ berdasarkan penghayatan subjektif individu yang merasakannya.

Kriteria ini sifatnya subjektif sekali. Ada orang-orang yang merasa perilakunya normal-normal saja meskipun seluruh dunia mengatakan dia menyimpang. Demikian juga sebaliknya, ada orang yang merasa dia menyimpang padahal menurut lingkungan dan berdasarkan 3 kriteria sebelumnya oke-oke aja.

BIG QUESTIONNYA adalah, kriteria manakah yang digunakan oleh para profesionalĀ untuk mendiagnosa masalah kesehatan mental (mental health problems)?

Untuk menentukan bahwa si A sedih biasa, sedangkan si B depresi? untuk menyatakan bahwa “mood swing“nya si X wajar sementara “mood swing“nya si Y termasuk bipolar?Ā 

DSM-5_CoverSalah satuacuan yang digunakan oleh para profesional di bidang kesehatan jiwa adalah apa yang disebut dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM);Ā yaitu klasifikasi gangguan mental dari penelitian-penelitian yang ada, mempertimbangkan sekian banyak kriteria. Selalu diperbarui berdasarkan penelitian yang ada.Jadi isi dari satu edisi dengan edisi lainnya akan berbeda, sesuai kondisi yang uptodate. Yang terbaru adalah DSM-5 yang terbit tahun 2013. Dari sinilah istilah “bipolar” atau “depression” itu muncul.

Ada serangkaian kondisi dalam jangka waktu tertentu yang harus “dipenuhi” agar sebuah simptom-simptom perilaku mendapatkan “nama” gangguan tertentu. Asesmennya harus menyeluruh. Kenapa? karena keakuratan diagnosa merupakan pertaruhan integritas dan kompetensi profesional tersebut. Akan sangat berpengaruh pada bentuk intervensi yang dilakukan, apalagi jika intervensinya menyangkut obat. Salah diagnosa, salah intervensi, maka akan berakibat fatal. Itulah sebabnya juga, sebaiknya kita tidak menduga-duga apakah kita mengalami gangguan mental tertentu berdasarkan hasil bacaan saja. Jika kita merasa atau menduga, lebih baik datang ke profesional, daripada “tersugesti” oleh pikiran kita.Ā 

Untuk para profesional, DSM ini juga berfungsi sebagai sarana komunikasi. Jadi kalau ada psikiater dan psikolog bicara tentang ADHD, ya dalam benak masing-masing konsepnya sama. Demikian pula kalau psikiater Chicago dan psikiater Chiamis bicara soal bipolar, yang dibicarakan adalah hal yang sama.

Di Indonesia, kita punya juga “DSM versi Indonesia”, yaitu PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) yang menjadi pegangan psikiater dan psikolog klinis.

terlaluBeberapa waktu lalu, seorang teman juga meminta saya mengulas bagaimana caranya “mendeteksi dini” gangguan mental yang mungkin dimiliki oleh calon pasangan (yang akan menikah), karena katanya kasusnya sekarang cukup banyak. Dan memang, banyak dari yang punya indikasi gangguan mental ini bisa “survive” di lingkungan; seperti yang kita lihat padaĀ artis Marshanda.

Menurut saya, mudahnya untuk “deteksi awal” adalah Ā menggunakan ke-empat kriteria yang saya ulas di atas, dan kalau disederhanakan lagi bisa pake rumusnya bang Rhoma; yaitu TERLALU….kkk. Eh, ciyus loh, menurut pengalaman, biasanya setiap orang punya “feeling” ada “something wrong” didasatkan pada penialain “terlalu” ini. “Terlalu narsis”, “Terlalu jaim”,”Terlalu lebay, “Terlalu lempeng” … dan terlalu terlalu lainnya …. Feeling “terlalu” itu, jangan diabaikan. Diskusikan dan minta pendapat objektif dari orang lain, kalau perlu profesional.

Semoga bermanfaat…

Ā 

Obrolan tentang “metoda imunisasi” dan pendidikan seksual pada anak

Kemarin, salah satu topik yang diobrolin di salah satu wa-grup yang saya ikuti adalah mengenai pendapat seorang tokoh parenting tentang pendidikan seks pada anak usia dini. Artikelnya ada di situs health.detik.com. Berikut bagian terakhir yang menjadi bahan perbincangan:

“Setelah dirasa aman artinya anak menganggap apa yang diajarkan orang tua adalah sesuatu yang penting dan wajar, Ayah Edi mengatakan bisa dicoba tahap melihat gambar porno. Mengapa demikian? Ayah Edi menuturkan masalah sesungguhnya yang nanti akan dihadapi anak, terutama ketika mereka sudah bergaul dengan teman di sekolah, adalah melihat konten porno dalam bentuk gambar ataupun video. “Jadi nanti pas di sekolah, dia dikasih tahu temannya ada konten porno, dia udah pernah dan biasa melihat itu sama orang tuanya. Jadi semacam kekebalan. Tapi hal yang dia ingat waktu lihat konten begitu bahwa itu salah dan tidak seharusnya area pribadi kita dipertontonkan seperti itu,” terang Ayah Edi. Oleh karena itu, right response saat melihat konten porno perlu dilatih sejak kecil bahwa sesuatu yang ia lihat tidak seharusnya. “Cuma cara ini kan masih tergantung dari budaya atau nilai-nilai yang berlaku di dalam keluarga, tidak bisa disamakan,” tegas Ayah Edi.

Saya sendiri, kalau diminta menanggapi, maka tanggapan saya adalah “no comment”. Saya gak punya pengetahuan dan kapabilitas untuk berkomentar terhadap pendapat beliau. Saya belum pernah baca referensi secara intensif atau buat penelitian mengenai kesehatan reproduksi.

sexAlhamdulillahnya kemarin siang saat di kampus, dalam kegiatan yang kami lakukan saya duduk di sebelah teman saya yang memang “ahli” di bidang kesehatan reproduksi. “Ahli” dalam artian, bidang penelitiannya bertahun-tahun di sana. Kegiatannya seputar itu, referensi yang ada di kepalanya tentang kesehatan reproduksi remaja udah “ngelotok”. Jadilah saya meminta pendapatnya mengenai “metoda imunisasi” ini. Juga menyampaikan beberapa pertanyaan titipan teman-teman di wa grup tersebut. Tapi akhirnya, yang saya tanyakan tak hanya itu. Tapi semua “unek-unek” saya mengenai pendidikan seksual pada anak. “unek-unek” disini adalah gini…saya sudah sering baca mengenai bagaimana mengajarkan pendidikan seksual pada anak. Tapi ada beberapa poin mendasar yang saya gak ngerti WHY nya, dan “filosofi”nya. Nah, kesempatan saya tanyain ampe puas hal tersebut. Akhirnya kita jadi diskusi. Seru ! saya pengen membagi keseruan itu dalam tulisan ini. Sengaja saya buat dalam bentuk format tanya jawab, karena rasanya pertanyaan-pertanyaan saya juga jadi FAQ dari para ortu.

Apa sih alasan yang “mendasar” mengapa pendidikan seksual itu perlu diberikan pada individu?

Tujuan yang paling “mendasar”nya adalah agar individu menghayati sisi “seksualitas” yang ada dalam dirinya. Maksudnya gini…. kalau kita ngliyat manusia, kan bisa dilihat dari beragam sisi. Manusia sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk spiritual…. nah, ada juga sisi manusia sebagai “makhluk seksual”. YAng gak boleh “dinafikkan”. Kenapa manusiaĀ  perlu menghayati dirinya sebagai makhluk seksual? ya karena Allah sudah menganugerahkan itu. Dengan menghayatinya, maka tujuan selanjutnay adalah agar ia bisa memfungsikan seksualitasnya dengan baik dan benar.

Kapan kita bisa mulai mengajarkan pendidikan seksual pada anak?

Sedini mungkin, saat kita mengajarkan nama-nama anggota tubuh pada anak. Mmmmmmhhh..berarti usia satu tahunan, saat kita “mengajarkan” anak menunjuk bagian tubuh yang kita sebutkan, kita sudah bisa mengajarkan pendidikan seks ya…. Esensi dari mengenalkan organ seksual yang dimiliki anak adalah, agar ia aware pada seluruh bagian tubuhnya. Bahwa ia memiliki mata, hidung, mulut, juga memiliki dada, bokong, dan memiliki “organ intim”.

Next question: Bagaimana caranya?

Caranya adalah, dengan memberi nama seluruh anggota tubuhnya, termasuk organ-organ seksualnya. Kenapa harus dikasih nama? agar bagian tubuhnya itu, tidak menjadi bagian tubuh yang “misterius”; yang kayak Voldermort “tak boleh disebut namanya”. Dengan memberi nama, maka ia bisa membicarakan bagian tubuhnya itu. Misalnya, anak bisa bilang kalau “tititnya gatal”. Atau ekstrimnya saat mendapatkan pelecehan seksual, ia bisa menceritakannya. Nah, kalau bagian tubuh itu tidak diberi nama, cuman disebut “ininya” atau ‘itunya”, bagaimana anak akan bisa cerita?

My big question : Saya pernah baca bahwa saat memberi nama organ-organ seksual anak, itu harus menggunakan istilah “ilmiah” seperti Penis dan Vagina. Sebenarnya apa sih filosofi di baliknya? apa urgensinya gituh? Soalnya menurut saya jadi “gak nature” gituh…menurut saya lebih “nature” kalau pake istilah yang umum biasa kita pakai. Di sunda misalnya, untuk penis biasanya disebut titit atau lebih halusnya mamas. Untuk vagina disebut momok, atau sebutan lain yang sudah “umum”. Saya penasaran banget dengan jawabannya !

Sebenarnya, penyebutan organ seksual itu tidak mutlak harus pake istilah ilmiah seperti penis dan vagina. Esensinya adalah, penamaan itu tidak boleh menjadi bahan “olok-olok” atau “asosiasi” dengan hal tertentu. Ini bagian dari tubuhku. Aku harus menghargainya. Penamaan seperti “burung”, “belalai”, atau “gunung” untuk payudara, itu membuat bagian tubuh itu menjadi olok-olok. Misalnya ketika mendengar itilah itu jadi ketawa-ketawa… Menurut pengalaman teman saya ini yang sudah mengadakan beragam kegiatan advokasi dan intervensi kesehatan reproduksi khususnya buat anak SMP, ia menggunakan isntilah vagian dan penis pada anak SMP itu, karena biasanya anak-anak itu sudah “terkontaminasi” dengan beragam istilah yang “mengolok-olok” itu tadi. Tapi kalau buat anak-anak kita, ya…kita bisa sebut dengan sebutan yang kalau istilah saya “lebih nature”.

Lalu apa tahap selanjutnya?

Tahap selanjutnya, untuk anak prasekolah…..yang harus diajarkan adalah, kalau istilah saya “stratifikasi” dari bagian-bagian tubuh itu. Mana yang boleh dilihat semua orang, mana yang hanya boleh dilihat oleh keluarga, mana yang gak bole diliatin ke sembarang orang. Nah, di sini sebenarnya sex ducation akan kental terwarnai oleh value kita. Buat muslim, disini saat yang tepat mengajarkan makna aurat. Kalau keluar rumah, harus pake baju panjang. Celana pendek hanya boleh dipake kalau di dalam rumah. Yang boleh gendong atau cium hanya siapa saja…. Kalau udah mandi, harus pake handuk leuar kamar mandi, malu kalau titit/momoknya keliatan orang lain. Kalau pake baju renang, jangan yang “two pieces”. Kenapa? dsb dsb.

Setiap tahap perkembangan, pastinya materi pendidikan seksual yang tepat diberikan juga berbeda. Mengingat saya punya anak yang menjelang haid, saya nge-blank, kapan sih saya harus menjelaskan misalnya bahwa proses reproduksi itu terjadi dengan cara penis masuk ke vagina…apakah itu perlu disampaikan? atau gimana?

Pemberian informasi pendidikan seksual itu, kalau di rumah lakukan “by nature”. Keywordnya adalah, saat anak bertanya atau saat kita melihat anak sudah “nyerempet-nyerempet”. Misal saat si 5 tahun bertanya : “dede bayi keluar dari mana?” ; atau saat si 10 tahun bertanya: “gimana sih ibu bisa hamil?” atau saat misalnya anak kita bilang ” bu, teman laki-laki kakak suka bilang tegang…tengang…itu teh apa sih?” atau misalnyaĀ  “kata temenku, dia suka liat video orang yang lagi gituan”. Pada saat anak mengalami menstruasi atau mimpi basah, itu titik kritis yang pas banget buat jelasin. Pada anak yang haid, jelaskan haid itu apa, mengapa terjadi, lalu bisa lanjut ke proses kehamilan, dll. Demikian juga pada anak laki-laki.

Siapa yang paling pas ngajarin pendidikan seksual ke anak?

Saya ingat teman saya ini pernah cerita hasil penelitiannya, bahwa buat anak SMP orangtua masihlah figur signifikan untuk bertanya mengenai hal ini. Namun sayangnya, orangtua belum berperan sebagai sumber informasi yang “pas” buat anak dalam hal ini. Sebaiknya, orangtua “sejenis” yang mengajarkan pendidikan seks pada anak ini. Ibu ngobrol sama anak perempuannya, Ayah ngobrol sama anak laki-lakinya.

Terkait isu “metoda imunisasi” yang disampaikan oleh tokoh parenting ynag sedang dibicarakan, bagaimana tanggapannya?

Menurut teman saya ini, “metoda imunisasi” mungkin tepat jika ; (1) dilakukan pada anak yang sudah terpapar pornografi. Misal kita cek di hystory laptop anak kita, dia menonton tayangan pornografi. Lalu kita tanya…”De, kemaren dede nonton apa sih?” Lalu anak menunjukkan, dan dibahas bersama.

Nah…coba kita hayati…… situasi ini hanya akan terjadi jika hubungan emosional ortu dengan anak baik bukan? bahwa orangtuanya tidak akan langsung marah, menasehati atau bahkan memberi hukuman pada anaknya. Itu syaratnya anak mau terbuka. Kenapa harus anak yang sudah terpapar pornografi? karena kalau tidak, bisa jadi langkah ini justru menjadi pintu gerbang perkenalan anak dengan pornografi.

Lalu yang ke(2) adalah, “metoda imunisasi” ini hanya akan mencapai tujuannya jika pengawasan ortu dipastikan intensif dan kontinyu. Bayangkan anak sudah “dikenalkan” dengan konten tersebut, lalu selanjutnya ortunya gak konsisten memonitor dan “membahas”….

Ini adalah “closing statement” dari temen saya tersebut, yang amat sangat penting :

Orangtua cenderung menjejali anak dengan nilai dan norma yang sifatnya kognitif dalam masalah seksualitas ini. Padahal, seksualitas ini dominan ada di area “rasa”. Suka atau tidak suka, degdegan, sembriwing-sembriwing. Oleh karena itu, sebaiknya “rasa” anak juga “diolah”. Misalnya dengan membicarakan perasaan si gadis muda yang degdegan saat ngeliat temen laki-laki yang dia suka. Atau perasan “ser-seran” dan “tegang” si anak laki-laki saat melihat perempuan yang bajunya terbuka dan “seksi”. Rasa-rasa yang mereka rasakan itu jangan “dinafikan”; tapi justru dibahas lalu diajarin untuk mengolah. Misalnya, pada remaja laki-laki yang “gampang tegang”, berarti dia harus banyak menghindari melihat perempuan2 yang “mengggoda”. Atau pada remaja perempuan yang deg-degan gak ketulungan saat deketan sama kecengannya, berarti jangan sampai jadian lalu berduaan, karena deg-degan itu artinya apa…tegang itu artinya apa…. Kalau kita cuman membekali mereka dengan pengetahuan dan aturan yang sifatnya kognitif, maka pada kenyataannya saat mereka pacaran atau liat konten pornografi dan yang aktif adalah “rasa”, mereka jadi gak bisa mengolah dan mengendalikannya.

……

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan renungan bahwa ….. pendidikan seks hanya akan berjalan dengan baik jika kita punya “hubungan baik dan mendalam” dengan anak kita. Kalau anak kita punya kepercayaan 100 persen bahwa ia bisa cerita apapun pada ibunya, ayahnya, tanpa mendapatkan konsekuensi negatif. Didengarkan. Tidak langsung disalahkan, dimarahi, dicap buruk. Bahwa ayah ibunya akan melindungi dia dari keburukan. Itu yang harus kita bangun. Untuk mengajarkan pendidikan seksual, dan untuk mengajarkan apapun.

Semoga ikhtiar ini membuat anak-anak kita selalu mendapat perlidungan dariNya, karena pada dasarnya kita sebagai orangtua tak punya kuasa untuk melindungi anak-anak kita.

 

 

 

(Terpaksa) Mandiri : Blessing in Disguise

Kombinasi antara menjadi fulltime-working mother, plus 4 anak dan tak ada pembantu nginep; kalau mau dicurcol-in … bisa gak abis-abis. Tuntutan domestik yang bejibun di satu sisi (meskipun si abah sangat membantu secara teknis dan emosional) dan tuntutan profesi-pekerjaan yang tanggung jawabnya kian hari kian bertambahĀ  di sisi lain, kalau mau dihayati sebagai stressor sih beneran bisa bikin stress… Tapi…saya tahu bahwa sepanjang apapun curhatan saya, itu akan menjadi gema, yang terdiri dari 2 kata: KONSEKUENSI PILIHAN. Semua ini terjadi karena ; (1) Kami sepakat memutuskanĀ  saya tetap bekerja. (2) Kami akhirnya sepakat,Ā  bahwa saya “lebih nyaman” kerepotan tapi pasti dengan si teteh pulang pergi yang bantuannya minimalis, dibanding “insecure” dengan adanya pembantu nginep tapi “cemas” gak tau kapan mereka akan bilang “mau pulang tanpa alasan pasti dan gak tau akan balik lagi atau engga” šŸ™‚ …. tuh kan, gak niat curhat pun teuteup curcol šŸ˜‰

Konon kan katanya kita punya kebebasan untuk memilih “realita” mana yang mau kita nikmati… jadi daripada mengeluhkan segala macam “penderitaan” akibat dari pilihan yang sudah diputuskan, mari kita lihat sisi lainnya sajah.

Konon katanya, salah satu “benefit” yang akan didapat oleh anak yang ibunya bekerja adalah, mereka menjadi mandiri. Setelah menjalaninya, saya setuju … dengan satu tambahan sisipan kata: anak yang ibunya bekerja, (terpaksa) mandiri. Nah, sisipan kata “terpaksa” ini bermakna banyak. Saya melihat, faktor “terpaksa” ini yang kini menjadi penting untuk menumbuhkan kemandirian anak.

Kenapa? karena by nature, menumbuhkan kemandirian anak itu, memberi konsekuensi yang tidak menyenangkanĀ  buat ortu. Coba lah kita hayati….. kalau kita adalah seorang ibu yang suka dengan kebersihan … mana rela kita membiarkan si 5 tahun belajar bikin susu sendiri yang pasti akan tumpah sana-sini. Kalau kita seorang ibu yang “apik”, mana rela membiarkan si 3 tahun makan belepotan sana-sini dan kena bajunya. Kalau kita seorang ibu yang “perfectionist”, mana mau kita membiarkan si 8 tahun melipat selimut dengan lipatan yang gak rapi, si 10 tahun motongin sayur dengan ukuran yang gak sama dan bergerigi,Ā  …. Kalau kita seorang ibu yang memperhitungkan efisiensi waktu, berapa sering kita membiarkan anak-anak kita bekerjasama mencuci….. yang waktunya pasti akan lamaaaaa karena diselang main air, berantem, “percobaan ini-itu”…. Padahal, “kemandirian” itu hanyaĀ  bisa ditanamkan dengan cara “meng-alam’i”, membiasakan.

Akan lebih mudah meminta dan “mengajarkan” kemandirian pada anak-anak kita saat kita “terpaksa”. “Terpaksa” minta si 5 tahun bikin susu sendiri karena lagi kerepotan ngurus adiknya. “Terpaksa” minta tolong si 10 tahun motongin sayuran karena kalau engga, makan malam akan telat. “Terpaksa” membiasakan si 8 tahun beresin kasur dan sprei sendiri karena di pagi yang hectic, mana sempaaat ….. Hukum “terpaksa” ini juga sering dimanfaatkan oleh ibu-ibu yang memasukkan anak-anaknya ke pesantren. “Biar terpaksa mandiri”; seringkali menjadi salah satu alasan utama ortu mem-pesantren-kan atau mem-boarding school-kan anak.

Di sisi lain, kemandirian ini menjadi satu hal yang amat penting. KemandirianĀ  menjadi salah satu kualitas anak yang “didambakan” dan…saat ini banyak dikeluhkan orangtua. Jujur saja, dulu saya sering “tidak percaya” saat mendengar kasus-kasus yang diceritakan senior mengenai “ketidakmandirian” anak/remaja/ individu. Tapi sekarang, saya tidak kaget lagi mendengarkan keluhan mengenai anak kelas 3 SD yang masih harus disuapin ibunya saat makan, anak kelas 5 yang alat-alat sekolahnya masih harus disiapin ama ortu, anak SMP yang handuknya masih harus dijembreing ortu, anak SMA yang kamarnya masih harus diberesin ortu, anak kuliahan yang masih harus dibangunin dan diingetin jadwal kuliah ama ortu…. Saya kebayang banget betapa “hal-hal kecil kemandirian ini” menjadi bahan omelan harian yang amat melelahkan buat ortu, terutama ibu.

Nah, balik lagi ke “realita” yang saya pilih untuk saya nikmati di tengah “keriweuhan” saya, adalah kemandirian anak-anak saya. Sebenarnya, saya awalnya tidak menganggap “bermakna” sih … “tugas-tugas rutin” dan aktifitas keseharian yang sudah biasa dilakukan anak-anak saya, secara sendiri. Namun itu menjadi bermakna saat mudik kemarin, Yangti-nya anak-anak terkaget-kaget melihat Azka si 11 tahun yang dengan sukarela membantu saya mencuci, lalu saya suruh menjemur dan melipat segambreng pakaian kami. Beliau juga kaget melihat Hana yang saat menumpahkan minuman, langsung bertanya: “yangti, boleh minta lap pel?” atau mendengar cerita Umar yang sudah biasa bolak-balik ke warung pake sepeda buat beli bumbu-bumbu yang kurang šŸ˜‰ ….. Mereka mendapat pujian setinggi langit dari Yangti-nya hehe….

blessing inAda satu kejadian yang membuat saya kemudian benar-benar mensyukuri “keterpaksaan” kondisi yang dihadapi keluarga kami. Jumat lalu, pagi-pagi saya harus bawa Azzam ke dokter anak karena diare. Dan sepulangnya dari dokter, dia mogok gak mau sama pengasuhnya. Padahal saya harus pergi ke biro karena ada janji klien. Akhirnya, jadilah Azzam dibawa, plus 3 kakaknya. Pas jadwal konsul, saya titip Azzam ke Azka. Sejam. Setelah selesai, saya mendapat laporan Azzam rewel dan ngamuk, tapi bisa diatasi oleh si 11 tahun itu šŸ˜‰ dan…yang saya “terharu” adalah … kemudian saya tahu bahwaĀ  pada saat yang sama Hana mau bab dan..Umar yang mengurus. Si 8 tahun yang “jijik”an itu, dengan penuh kesadaran mengantar, menemani, mengurus dan “nyebokin” adiknya haha…

Yah, itulah salah satu “blessing in disguise” yang bisa membuat saya “bersyukur” dan tersenyum. Soalnya kalau ingetnya yang riweuh-nya, ntar tiap hari disodorin gambar wajah cemberut sama Hana šŸ˜¦

 

Dalam bahasa agamanya, itu disebut “hikmah” šŸ™‚ … Mari kita cari terus hikmah- hikmah dalam kehidupan kita….biar kita bisa bersyukur,Ā  bersyukur lagi, dan terus bersyukur šŸ˜‰ .

 

Sekolah favorit itu, yang kayak gimana sih?

Setelah 5 tahun gak pernah mikir “nyari sekolah” buat anak-anak, tahun ini saya galau karena harus nyari sekolah. Buat Azka, yang tahun ini mulai menginjak kelas 6. Sebenarnya sebelumnya sih nyantei-nyantei aja, udah positif mo masukin Azka ke SMP 1 Cimahi. Rekomendasi dari teman yang berkecimpung di dunia pendidikan Cimahi. Secara teknis sangat menguntungkan pula karena sejalur sama SD adik-adiknya. Maklum, dengan 4 anak yang tahun depan akan ada di PG, SD dan SMP, harus benar-benar memperhitungkan teknis bagaimana sopir kami, Pak Ayi bisa antar jemput ke-4 anak (plus emaknya) dengan efisien tanpa bentrok.

Kegalauan saya mulai ketika mendengarkan cerita teman yang mengurus pendaftaran putrinya ke SMP. Dan semakin galau ketika mengikuti pertemuan khusus ortu kelas 6 di sekolah Azka, awal bulan lalu. Buat kami yang tinggal di daerah Sariwangi, memang aturan sekolah tahun ini sangat menyesakkan. Karena kami tak masuk wilayah kota Cimahi maupun Bandung. Kami masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat sodara-sodara….Kabupaten yang baru berdiri beberapa tahun ke belakang. Saya paham sih, bahwa wajar kalau setiap daerah itu, pasti ingin memberikan yang terbaik untuk warganya. APBD Cimahi, ingin dimaksimalkan untuk “mencerdaskan” anak2 Cimahi. Begitu juga dengan Bandung. Jadi saya paham bahwa wajar mereka memberlakukan sistem yang membuat warganya mendapatkan kesempatan lebih besar. Tapi kalau istilah temen saya mah, “otak dan hati saya gak nyambung”. Otak ngerti dan memahami, tapi hati mah tidak. Tetep we pengen nangis dan merasa “it’s unfair!”…. apalagi setelah ngobrol dengan temen saya itu, yang putrinya dapet nilai kedua terbaik di sekolahnya, nilainya di-down grade- sampai 0,7 poin ! Concern kami para ibu adalah, nyesek banget menyaksikan usaha yang dilakukan anak-anak kami, menjadi tak terhargai dengan sistem yang ada. Menyaksikan teman-temannya yang dapat nilai lebih rendah, bisa melenggang masuk SMP “bagus” dengan bermodalkan jarak rumah yang lebih dekat dengan sekolah tersebut….

Memang sih, konon katanya MUNGKIN tahun depan sistemnya akan berubah. Namun buat seorang pencemas sejati seperti saya, mana bisa “tenang” menantikan sistem yang wallahu alam akan seperti apa. Maka, mulailah saya mencari-cari sekolah yang SREG segala sesuatunya dengan “visi” kami. Termasuk SREG secara teknis. Alhamdulillah dapet. Bahkan karena kecemasan saya sedang kumat, saya pun sudah mencari dan menyusun langkah-langkah persiapan Azka untuk masuk SMA nanti. Sampai-sampai si abah terbengong-bengong. “SMA De? Azka kan baru masuk kelas 6 …empat tahun lagiiii…..”. Tapi saya punya jawaban jitu : “Justru karena masih lama, jadi bisa mempersiapkan secara maksimal Bah….”. Jawaban yang ga nyambung haha…… Tapi 12 tahun hidup bersama saya, si Abah udah ngerti kalau cemas saya lagi kumat, maka sikap terbaik menanggapinya adalah dengan diam hehe….

Baiklah…itu kisah kegalauan sayah. Moga-moga SMP Azka nanti menjadi sekolah FAVORIT buat saya menyekolahkan keempat anak saya disana, seperti juga saya sudah “tak bisa ke lain hati” dengan TK dan SD buat anak-anak. Nah, ini yang mo saya bahas sebenarnya. SEKOLAH FAVORIT.

Tak bisa dipungkiri, dalam proses menentukan SMP dan nanti SMA-nya Azka dan adik-adiknya, terbersit keinginan untuk menyekolahkan Azka dan adik-adiknya ke SMP dan SMA favorit di Bandung. Apalagi melihat prestasi Azka-Umar di SD sekoarang, rasanya gak perlu masuk bimbel intensif khusus buat masuk ke SMP-SMA favorit itu. Fyi, saya kaget loh… waktu melihat brosur-brosur bimbel khusus untuk masuk ke SMP-SMA favorit ituh. Jaman saya dulu emang ada sih, bimbel khusus untuk masuk Kedokteran dan ITB. Ternyata jaman sekarang, saking favoritnya 2 SMP dan 2 SMA di Bandung itu, ada bimbel khususnya untuk tembus ke sana …ck..ck..ck… Segitu favoritnya ya… Lalu saya mendengar dari seorang teman, bahwa untuk memasukkan anaknya ke sebuah SD favorit di Bandung, ia harus merogoh kocek 7 jutaan… Untuk sekolah swasta, atau SDIT, itu sih setengah harga. Tapi buat sekolah negeri ? yang sebenarnya gratis? 7 juta ?

Hal-hal tersebut membuat saya ingin menghayati lebih dalam tentang si FAVORIT tadi. FAVORIT. Apa sebenarnya yang akan didapat anak atau orangtua kalau sekolah disana? apakah “worthed” dengan “pengorbanan” yang diberikan? Saya pun mulai lirik kiri-kanan, mengumpulkan mana teman-teman dan orang-orang yang saya kenal, yang berasal dari “JALUR SEKOLAH FAVORIT” ituĀ  ….SD A, SMP B, SMA C, PT D; dan teman-teman/orang-orang yang saya kenal yang bukan berasal dari sekolah favorit, yang bahkan Perguruan Tinggi nya pun gak pernah kita denger namanya. Kalau asumsinya sekolah favorit akan membuat seseorang SUKSES, mari kita lihat “data empiriknya”.

Misalnya, kita asumsikan kesuksesan itu dari “jabatan”. Yups, orang-orang yang saya kenal yang berasal dari “jalur sekolah favorit” itu, memang menduduki jabatan-jabatan penting di tempat ia bekerja. Karirnya menanjak cepat. Tapi itu sebagian. Sebagian yang lain? ada yang “biasa-biasa saja”. Kalau kita asumsikan kesuksesan itu adalah harta…. yups,Ā  orang-orang yang saya kenal yang berasal dari “jalur sekolah favorit” itu, memang banyak yang tinggal di luar negeri dengan gaji dolar yang tak terbayangkan besarnya. Seumur saya, banyak yang sudah punya investasi tanah sekian, properti segambreng, rumah mewah, mobil lebih dari 3….. itu sebagiannya. Sebagian yang lain, ada yang masih hidup dengan sistem “gali lobang tutup lobang”. Kalau asumsi kesuksesan itu dari “kebahagiaan dan aktualisasi diri”…Yups, orang-orang yang saya kenal yang berasal dari “jalur sekolah favorit” itu, banyak yang di usianya saat ini sudah berhasil “menemukan jati diri dan kebahagiaan hidupnya”. Sebagian yang lain? masih banyak yang galau dan “belum tahu arah yang ingin ia tuju”.

Sekarang, mari kita lihat teman-teman dan kenalan saya yang tak pernah mengenyam pendidikan di “jalur sekolah favorit”…. kondisinya tak jauh beda. Jadi…meskipun pastinya respondennya gak representatif, namun karena ini bukan dalam konteks kepentingan bangsa dan negara …Ā  “quick count” ini cukup lah buat saya pribadi, untuk mengambil kesimpulan bahwa … saat sampai pada tahap perkembangan dimana tugas perkembangannya tidak terkait langsung dengan akademis, maka “sekolah favorit” yang dijalani seseorang itu, tak memberi pengaruh signifikan.Ā 

Pemikiran itu memberikan ketenangan dan kedamaian serta keyakinan pada saya (haha lebay…). Jadi, walaupun hasil akhir keputusan saya dan si abah sama, namun reasoningnya berbeda. Kalau si abah, alasannya adalah : “ah, gak seru … masuk SMP ini, lanjut SMA itu, terus PT ono… kerja di perusahaan enoh….hidup kok udah bisa diprediksi…gak rame” katanya ….haha…

……………………….

Untuk TK dan SD, saya sudah menemukan TK dan SD FAVORIT. Yang meskipun secara teknis lokasinya berbeda arah, tapi saya “tak bisa ke lain hati” haha… Apa yang bikin saya gak bisa pindah ke lain hati? Apakah karena saat saya membantu asesmen kematangan masuk SD di TK anak saya, 99 persenĀ  anak-anaknya “matang” secara psikologis? apakah karena lulus dari TK itu anak-anak saya sudah pada bisa baca baik latin maupun al Qur’an? atau karena lulusan SD anak-anak saya beberapa kali menjadi peraih nilai tertinggi di Cimahi? bukan. Bukan karena itu. Namun ada duaĀ  hal yang membuat saya begitu memFAVORITkan 2 sekolah ini.

1. Responsifitas guru-gurunya. Saya sudah beberapa kali menulis tentang bagaimana responsifnya guru-guru di TK dan SD anak-anak saya. Bagaimana guru-gurunya menangani Azka yang di hari pertama sekolah di TK dulu nangis 1,5 jam dari 2 jam waktu sekolah…. bagaimana guru-guru tetap memberi “ruang” bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah ini, tetap “tampil” pada saat pentas seni sesuai dengan kondisi mereka, juga bagaimana guru Umar berperan sebagai “ibu” dan mendampingi Umar saat ia diejek teman-temannya karena tidak bisa bilang “r”. Dan efek dari responsifitas ini adalah, “hubungan interpersonal” yang terjalin antara anak-anak dengan guru-gurunya. Saya ingat betul bagaimana Azka dan teman-temannya menulis surat kangen pada guru kelas 1 dan kelas 2 nya saat mereka di kelas 3; atau saat Azka dan teman-temannya begitu “heboh” mempersiapkan kue, kado dan pesta kejutan untuk guru kelas 5-nya.

Ada satu “kriteria” lagi yang saya hayati sebulan lalu. Saat saya mengantar Hana untuk mengikuti “Kemping Ceria”, acara tahunan menutup sekolah di bulan Ramadhan yang selalu ditunggu-tunggu oleh anak-anak saya sejak zaman Azka, Umar dan kini Hana. Sore menjelang kemping, acaranya selalu sama. Mendongeng. Kali ini, yang mendongeng adalah Kak Dedi, guru seni di TK itu. Tentunya diiringi oleh iringan organ Kakak guru seni musik.

IMG_5794IMG_5802Tak hanya anak-anak umur 3-5 tahun saja yang menikmati dongengan Kak Dedi yang super ekspresif. Saya dan emak-emak lain yang berumur 35-an pun ikutan menikmati. Ikutan kaget saat Kak Dedi berbalik badan setelah menceritakan “ada seorang raja yang sudah tua” lalu ketika kembali balik badan mengarah anak-anak, Kak Dedi sudah “berganti wajah” memakai mahkota dengan topeng seorang raja tua penuh kerutan di wajahnya. Saya pun ikut tegang saat Kak Dedi menahan ceritanya secara misterius….dan ikut bersorak saat Kak Dedi mengeluarkan topi “baling-baling bambu”. Kalau gak maluĀ  sih pengen ikut uler2-an sama anak-anak itu, ikut “keliling dunia” sama Kak Dedi…..

Saat menyaksikan ekspresi wajah puluhan anak-anak itu, saat mereka menutup mata karena tegang, bersorak, tertawa… tahulah saya bahwa ya, sekolah ini memang FAVORIT. Kenapa? Karena ia bisa menghadirkan antusiasme pada anak-anak. Buat saya…antusiasme adalah hal yang berharga. Karena ia berarti ketergugahan. Ketergugahan emosi. Ketergugahan perhatian, atensi. Ia menjadi “pintu gerbang” ketergugahan hal-hal baik lainnya….

Momen-momen antusiasme anak-anak, lalu muncul dalam pikiran saya. Saat Hana dengan riangnya nelpon saya di kampus, cerita bahwa selama ramadhan, tiap hari gurunya punya hadiah yang bisa dibawa murid-muridnya. Entah itu beragam bentuk origami dan beragam hasil karya yang akan dipajang Hana di softboardnya. Atau antusiasme Hana menceritakan betapa “lucu” bu gurunya, betapa seru kegiatan hari ini. Lalu Azka dan Umar….. di SDnya, saya tak akan lupa antusiame Azka belajar tentang energi dengan praktek sosis panggang, hebohnya ia cerita tentang kegiatan musyawarah untuk menentukan tujuan fieldtrip, semangatnya Umar pilih buku-bukunya untuk disimpen di “perpustakaan mini” kelas, senangnya Azka dapet hadiah “kemandirian”, satu dari 25 hadiah yang diberikan pada seluruh murid kelas 3, dengan kategorinya masing-masing….hebohnya Azka cerita serunya ustadz yang ngisi materi di acara mabit ramadhan….

Sebagai seorang “guru”, saya tahu sulitnya menumbuhkan antusiasme pada diri seseorang. Pada anak lebih mudah dibanding pada mahasiswa? kata siapa? coba aja saya disuruh mendongeng 1,5 jam di depan anak-anak umur 3-5 tahun. Atau diminta ngasih “tausyiah” pada anah kelas 5 SD … kayaknya udah dilemparin telor karena akan garing banget.

Ah, bukankah semua sekolah kayak gitu? guru-gurunya responsif dan menghidupkan antusiasme anak? doa saya demikian. Meskipun pada kenyataannya, saya masih mendapatkan klien anak yang mogok sekolah karena sekolahnya “tidak menyenangkan”. Saya masih menemukan anak-anak yang tiap mau berangkat sekolah, badannya panas. Padahal ketika dipindah ke sekolah lain, sehat-sehat aja. Saya juga masih ketemu orangtua yang bingung mengapa guru-guru di sekolah anaknya menganggap “hal yang biasa” ketika anaknya dibully habis oleh teman-temannya, juga saya masih mendengar cerita rekan-rekan saya yang diminta membantuĀ  sekolah yang satu kelas muridnya “trauma” karena dibully kakak kelasnya.

Yups….jadi, kalau anak-anak kita sering pulang dengan mata berbinar menceritakan “serunya, hebohnya” kegiatan sekolahnya, kalau anak-anak kita sering menyebut nama gurunya, cerita betapa ia ikut bahagia atau ikut sedih pada apa yang terjadi pada gurunya…. yakinlah bahwa kita sudah menemukan sekolah favorit untuk anak-anak kita. Tak peduli apakah anak kita sekolah di sekolah inpres, sekolah swasta, madrasah ibtidaiyah, sekolah internasional, atau apapun. Tak peduli apakah bayaran anak sekolah kita jutaan, ratusan ribu, puluhan ribu atau bahkan gratis….. tapi yakinlah bahwa kita sudah menemukan sekolah favorit buat anak-anak kita.

Sekolah-sekolah ini, akanĀ  meng”hidup”kan potensi terbaik yang dimiliki anak kita, akanĀ  membuat hidupnya berwarna-warni dan membuat kita pun menjadi bahagia šŸ˜‰

 

 

 

Halal Bi Halal : Ber-maafan atau Ber-rekonsiliasi ? (versi 2.0)

Minggu ini atau minggu depan, kita mulai akan beraktifitas kembali dalam rutinitas masing-masing. Anak-anak masuk sekolah, bapak-ibu yang bekerja akan mulai ngantor, yang di rumah akan kembali berbaur dengan dengan aktivitas bersama tetangga.Ā  Agenda yang tidak pernah tidak ada sehabis lebaran adalah HALBI atau halal bi halal. Baik dilakukan secara formal (mengundang ustadz, pake acara makan2 šŸ˜‰ atau tidak formal (setiap ketemu salaman, cipika-cipiki). Semua itu dilakukan sebagai tanda kita saling bermaafan. Saya memaafkan kesalahan kamu, kamu memaafkan kesalahan saya.

Saya setuju dengan pandangan Mustofa Bisri aka Gus Mus dalam bukunya “Menembus Pintu Langit”. Di buku itu, ada salah satu judul tulisan beliau: “Idul Fitri atawa Lebaran”. Kalau saya ringkas, menurut beliau Halal Bi Halal (selanjutnya akan disebut dengan istilah “Halbi”) ini “dibudayakan” oleh para pendahulu kita di Indonesia sebagai salah satu bagian penting membersihkan diri, menghapus seluruh dosa yang pernah dilakukan. Kesalahan pada Allah, bisa dihapus dengan berbagai ritual ibadah : beristighfar, sholat, puasa, zakat. Sedangkan dosa pada sesama manusia, selain memerlukan pertobatan pada Allah, ada satu syarat lagi yang diperlukan…yaitu, meminta maaf pada orang yang bersangkutan. Nah..di moment halbi inilah menurut Gus Mus, tampaknya setiap orang lebih lapang dadanya untuk meminta maaf dan dimaafkan. Di moment ini, bahkan tanpa “mikir” kita meminta maaf dan memaafkan, hal yang mungkin berat kita rasakan saat “hari-hari biasa”.

Buat sebagian orang, memaafkan bukanlah proses yang mudah. Saya ingat ada seorang teman yang sangat peka dan sulit baginya untuk bisa memaafkan kesalahan yang telah dilakukan orang lain padanya. Apalagi jika kesalahan yang dilakukan oleh orang tsb begitu “mendalam” dan “personal” serta menyangkut hal yang sangat “prinsip”. Beberapa tahun lalu, saya tak bisa menghayati ini. Namun tahun ini, saya bisa menghayati karena ada seseorang yang melakukan sesuatu pada keluarga saya, yang bahkan “dalam bayangan pun” beraaaaat sekali untuk saya maafkan.

Dalam proses “memaksa diri” untuk memaafkan inilah saya ingat tulisan dalam bukuĀ  Handbook of Forgiveness (2005) yang di editor-i oleh Everett L. Worthington, Jr. Di buku itu dijelaskan bahwa “memaafkan” sebenarnya bermanfaat untuk yang bersangkutan. Penelitian menunjukkan bahwa orang2 yang bisa “memaafkan” kesalahan orang lain, hidupnya lebih bahagia. Mereka tidak akan menjadi “ahli sejarah” yang akan mengingat kesalahan orang-orang kepadanya. Jadi kalau dilihat dari sudut pandang egoistis, sebenarnya memaafkan itu adalah untuk kepentingan diri kita sendiri.

Hal paling menarik yang diungkapkan oleh buku itu adalah, bahwa insting “memperbaiki hubungan” itu tak hanya ada pada manusia, tapi juga pada hewan. Sayangnya, hal itu bukanlah yang dimaksud dengan “memaafkan”, namun hanya “rekonsiliasi”.

Reconciliation is defined as a friendly reunion between former opponents: The reunion supposedly serves to return the relationship to normal levels of tolerance and cooperation. Begitu diungkap di buku ini.Ā  Jika merujuk pada definisinya, maka hasil rekonsiliasi adalah “hubungan yang kembali pada level kerjasama dan toleransi yang normal”. Dua makhluk yang sudah berekonsiliasi akan bisa bersikap “biasa” lagi. Ini sejalan dengan definis rekonsiliasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia : reĀ·konĀ·siĀ·liĀ·aĀ·si /rĆ©konsiliasi/ n 1 perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pd keadaan semula.

Tapi, rekonsiliasi BUKANLAH memaafkan. Memaafkan hanya bisa dilakukan oleh MANUSIA. Dan, tak semua manusia juga bisa melakukannya meskipun punya potensi ini. Betapa banyak kita lihat orang-orang, atau mungkin diri kita sendiri yang setiap tahun bersalaman saat halal bi halal, namun setelah itu ….. rasa benci itu, rasa kesal itu, tak memudar sedikitpun.

Forgiveness is best defined as a victim releasing or foregoing bitterness and vengeance toward the perpetrator of an offense while acknowledging the seriousness of the wrong. Forgiveness does not imply forgetting (Smedes, 1996), condoning (Veenstra, 1992), reconciliation (Freedman,1998), or release from legal accountability (Enright & Fitzgibbons, 2000).

Further, we assume that the absence of negative feelings toward the offender is sufficient for forgiveness. This definition allows maximum applicability across religious worldviews, which vary as to whether acknowledgment of wrongdoing and restitution by the offender are prerequisites of forgiveness and whether positive feelings or actions by the victim are a necessary part of forgiveness (Rye et al., 2000).

The process of forgiveness occurs when individual A has been wronged in some way by individual B, resulting in A having negative emotions toward B. A then attempts to cope with the situation and overcomes these negative feelings, which usually requires changing oneā€™s perception of the other individual. Forgiveness implies acceptance of the situation and the other individual.

forgives2Nah, melalui penjelasan diatas, jelaslah sudah…”make sense” kenapa pahala memaafkan amatlah besar, dan benefit psikologisnya pun segudang. Jadi sambil bermaafan, ada baiknya dalam hati kita hayati betul bahwa kita benar-benar melakukan proses “memaafkan”. Bahkan untuk kesehatan mental kita, yang perlu kita lakukan adalah bayangkan orang-orang yang telah melukai kita, lalu lakukan proses memaafkan. Bahkan jika tak bertemu dengan orang itu. Tentunya sambil diniatkan beribadah.

Jika amat berat karena kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu begitu besar, mendalam dan amat menyakitkan, menurut saya keywordnya adalah requires changing oneā€™s perception of the other individual. Kalau mau bisa memaafkan kita harus ubah persepsi kita mengenai orang itu. Kita luaskan lantang pandangĀ  kita dalam melihat orang tersebut; bukan hanya berfokus apa yang dia lakukan terhadap kita, tapi siapa dia. Sejauh mana pengetahuannya, bagaimana lingkungannya, mengapa dia melakukan itu. Proses memaafkan, akan selalu menempatkan kita sebagai seorang yang posisinya “di atas”. Yang “mau memahami” orang lain. Yang “lebih dewasa”. Itulah salah satu hikmah memaafkan.

Semoga kita selalu mendapatkan “hasanah” dalam kehidupan kita ini. “Hasanah” ada kebaikan yang tak hanya di dunia, namun “memanjang” sampai ke akhirat. Atau dengan kata lain,Ā  bahagia di dunia dan selamat di akhirat. Siapa yang tak mau bahagia dan selamat? memaafkan adalah salah satu caranya. Biar kita sehat. Fisik, Psikologis dan Spiritual.