cerita pesiar: dua kekhawatiran dan dua rasa perpisahan

Awal Oktober lalu, tgl 2-7 Oktober, adalah waktu yang dinanti-nanti si sulung, teman-teman se-boarding schoolnya, dan keluarganya masing-masing. Pesiar. Waktunya “pulang”. Empat hari yang sudah dinanti-nanti selama 3 bulan. Setiap menengok si sulung, saya selalu tak bisa menahan senyum melihat “kalender pesiar” yang ditempel di kamar si sulung, karya teman-teman sekamarnya. Ada deretan tanggal sejak akhir Juli, sampai dengan hari H pesiar. Setiap hari yang terlewati disilang sepenuh hati, tak jarang dengan beragam ekspresi emosi yang tertuang  dalam bentuk tekanan, gambar dan komentar 😉

Riak euphoria pesiar sudah mulai terasa 3 minggu sebelumnya di grup telegram orangtua.  Mulai dari pendaftaran travel, serta koordinasi pembookingan tiket pesawat bagi santri yang di luar kota/luar pulau/luar negeri. Di minggu terakhir menengok sebelum pesiar, euphoria itu sangat terasa di kamar asrama. Saya senyum-senyum sambil berkaca-kaca melihat gadis-gadis remaja itu “heboh” packing, menyiapkan baju apa yang akan dipakai pulang, membuat rencana kegiatan yang akan dilakukan selama 4 hari di rumah. Ketika ketemu adik-adiknya, si sulung sudah berkali-kali wanti-wanti : “Awas loh! kamar Kaka jangan berantakan ! Harus kalian beresin!”. Kalimat itu disertai tatapan tajam setajam silet, khususnya pada si bujang yang saat ini menempati kamarnya haha….

Euphoria juga terasa di rumah kami. Selain si gadis kecil dan si bungsu yang heboh bikin gambar dan surat penyambutan buat kakaknya, saya pun tak mau kalah. Saya kosongkan semua jadwal saya di minggu itu. Beberapa kali saya harus “menolak” beragam aktifitas di minggu itu dengan mengatakan : “anakku mau pulang” ;). Si abah, saya tugasi mengecat kamar si sulung dengan warna biru, warna favoritnya. Plus nempel-nempelin foto-foto kelas SMP, bergabung bersama foto-foto kelas SD-nya.

Tapi seiring dengan euphoria itu, di sudut hati saya, ada 2 kekhawatiran yang muncul. Kekhawatiran pertama,  bernuansa “rasio”. Kekhawatiran kedua, bernuansa emosi.

Kekhawatiran pertama. Saya khawatir bahwa “kebaikan” yang terbiasa dilakukan si sulung di boarding school-nya (baik yang sifatnya habit : sholat malam, tilawah, dll; maupun yang sifatnya value), “luntur” saat tiba di rumah. Saya sudah banyak mengetahui dan menyaksikan bahwa anak-anak “sholih/sholihah-disiplin” di boarding school itu, bisa berubah 180 derajat saat di rumah. Artinya, nilai-nilai yang coba ditanamkan, hanya bersifat “perilaku situasional”, bukan terinternalisasi menjadi kepribadian. Saya banyak mendengar, bagaimana anak-anak yang terbiasa bangun jam 4 itu, saat di rumah kembali susah dibangunkan dan kesiangan shalat subuh. Saya juga tida jarang mendengar kisah, pemisahan antara putera-puteri di boarding, membuat mereka seperti “kuda keluar dari kandangnya” saat di rumah.

Kekhawatiran kedua. Seperti ibu-remaja putri lainnya, saya mengalami fase-fase “renggang” dengan si sulung di usia SMPnya. Hari-hari kami dipenuhi konflik, saling kesal dan saling marah. “Perpisahan” ini lah yang kemudian memberi andil besar pada kedekatan hati kami kembali. Berpisah, membuat masing-masing kami punya waktu untuk menelusuri relung-relung hati. Meresapi banyak rasa seiring dengan menelusuri beragam peristiwa selama 3 tahun terakhir. Memunculkan rasa sesal, kangen, perasaan bersalah, rasa bangga, bercampur aduk. Campur aduk rasa itu yang saya tuangkan dalam bentuk surat, yang saya berikan setiap saya mengunjunginya. Maka, tiga bulan secara fisik berpisah, tapi kami merasa justru secara hati sangat dekat. Tanpa konflik-konflik keseharian, setiap bertemu kami berpelukan erat dan lama, saya kembali bisa merasakan degup jantungnya di dada saya. Tanpa kekesalan sehari-hari, saya kembali bisa menciumi wajahnya, dan dia menjadi my little sweet girl kembali. Saya sangat khawatir, 3 bulan masa “bulan madu” itu, hancur dalam 4 hari. Saya takut gesekan-gesakan aktivitas, ketidaksesuaian harapan saat kami bersama 4 hari, kembali memunculkan kekesalan-kekesalan yang membuat jarak kembali antar kami berdua.

Dan hari itu pun tiba. Tidak tahu siapa yang lebih heboh; 5 orang yang menyambut atau satu orang yang disambut 😉. Dua hari penuh, saya menghabiskan waktu bersama si sulung. Nonton, makan, jakan-jalan, belanja belanji, masak, dan tentu saling curhat diantara aktivitas-aktivitas tersebut. Dua hari lainnya, terbagi menjadi satu hari untuk janjian dengan teman-temannya dan satu hari sendirian di rumah. Saya pikir saya juga pelu memberi ruang buat dia untuk sendiri. Dia juga ternyata pulang dengan membawa banyak tugas. Selain tugas menghafal 7 hadits, murojaah hafalannya, mencari sumber untuk lomba essay yang akan diikutinya, juga memvideokan 5 aktivitas untuk ujian TKK pramuka-nya : berenang, bersepeda, memasak, beres-beres rumah, dan menjahit 😉

Dan, tak terasa tanggal 7, kami mengantarkannya kembali ke asrama. Kehadirannya sore itu disambut teriakan teman-temannya yang sudah duluan datang. Dan lalu mereka berebut saling cerita tentang pengalaman pesiar, plus tentu saja kabar terbaru dari monyet-monyet… eh cinta-cinta monyet mereka haha….

Bagaimana kabar dua kekhawatiran saya diatas? Alhamdulilah keduanya tak terjadi. Mulai terlihat perubahan nilai, sesuai dengan yang ia dapat di boarding schoolnya. Dan secara otomatis, itu mereduksi konflik-konflik dianatar kami. Hal-hal yang dulu jadi bahan “pertengkaran” antara kami, kini sudah tak ada.

azkaaaaaaWaktu kami pulang menjelang maghrib, kami berpelukan eraaat ….saya bisa merasakan degupan dadanya di dada saya. Saya ingat tiga bulan lalu, kami berpisah dengan sejuta keresahan dan kekhawatiran dalam diri masing-masing. Kali ini, rasa resah dan khawatir itu tak ada. Pengalamannya selama 3 bulan disana, kami berdua bersyukur, Allah tunjukkan pilihan terbaik yang paling pas untuk dia.

Satu hal yang masih sama terjadi seperti ketika 3 bulan lalu saya meninggalkannya, satu kesamaan yang tidak saya duga, adalah ternyata saya masih sesenggukan sesampainya di mobil. Dan saya yakin dia juga, begitu sampai di kamarnya. But its oke. Tangis itu belum tentu karena luka. Sedih itu bisa berarti karena seseorang, amat berarti buat kita.

Geliat Hari di Penjara Suci

Hari Sabtu dan  Ahad lalu, saya menengok si sulung di boarding school nya. Di bulan pertama ini, kami bisa menjenguk setiap minggu, memberi waktu untuk kami maupun anak beradaptasi. Sebenarnya jadwal menengok adalah hari Minggu. Namun atas izin Bunda asrama, Sabtu siang kami datang dan menghabiskan waktu bersama si sulung, sampai maghrib.

Kenapa?  karena jumat malam, ketika waktu menelpon, 30 menit waktu menelpon saya pada si sulung diisi oleh isak tangis si sulung. Saya kaget banget. Saya pikir akan mendengar suara cerianya, mengingat ketika kunjungan pertama setelah seminggu di sana, saya menilai proses adaptasinya smooth banget. Tangisannya, curhatannya, adalah tangis dan curhat  yang “sehat”. Oh ternyata, sudah sejak hari sebelumnya dia sakit. Mual, muntah-muntah dan kemudian demam. Ringan sih sakitnya. Tapi membayangkan dia menjalaninya “sendirian”, untuk yang pertama kali, bikin hati saya remuk redam (haha…hiperbola banget ya…). Kenapa “sendirian”nya saya kasih tanda kutip karena sebenernya gak sendirian. Ada Bunda asramanya yang cekatan memberikan obat, menemani dan memijiti, ada 8 teman kamarnya yang bergantian mengompres, mengambilkan makan, dan mentake-over tugas-tugasnya.

Maka, setelah saya ikutan rapat ortu di sekolah si bungsu dan si abah ngurus placement test les bahasa inggris si bujang dan si gadis kecil (balada anak banyak, rempong always haha); kami pun cuzz ke Subang. Ashar kami sampai disana, sampai maghrib. Besoknya, hari Ahad, pagi-pagi kami sudah kembali nangkring di asrama si sulung, menunggu izin keluar jam 8, lalu membawa si sulung istirahat di hotel tempat kami menginap sampai check out, dan menghabiskan waktu sampai ashar kembali di asrama si sulung.

Jadilah dalam jangka waktu di asrama itu, saya punya waktu banyak mengamati aktifitas harian di asrama SMA putri. Saya bisa memahami mengapa secara fisik, si sulung ngedrop. Kalau di rumah selama ini rutinitasnya mulai  jam 4.30 dan tidur jam 9; dua minggu di asrama dia mulai beraktifitas jam 3. Mandi air dingin (Secara di rumah selalu air hangat hehe). Kenapa mandi jam 3? biar gak antri. Lalu qiyamul lail, sampai subuh. Bada subuh, ke sekolah (yang jaraknya tentu dekat) untuk tahfidz. Jam 6an, kembali ke asrama, siap-siap lalu makan pagi. Lalu ke sekolah, mulai aktifitas jam 7. Beraktifitas di sekolah sampai dhuhur, baru ada waktu istirahat dari dhuhur sampai ashar. Waktu istirahat yang biasanya dipakai untuk nyuci baju (meskipun ada laundry seminggu dua kali, namun untuk “daleman” dan seragam, si sulung mengantisipasi nyuci sendiri). Kalau gak dipakai nyuci baju, akan dipakai nyetrika, atau ngobrol sambil ngemil (itulah sebabnya dalam waktu 2 minggu, berat badannya sudah naik 3 kilo haha).  Btw, suply makanan di asrama buanyaaaak banget. Mereka mengumpulkan logistik makanan kiriman ortu dan hadiah-hadiah lomba dalam satu lemari (kebetulan ada satu lemari kosong karena satu orang ternyata gak jadi masuk), menjadi logistik bersama kkk. Ashar sampai jam 5, mereka tahfidz lagi di mesjid. Lalu jam 5 jadwal makan, ke mesjid lagi maghrib sambung isya, lalu jam belajar  sampai jam 10, tidur bangun jam 3. Total tidur 5 jam berarti. Jadi wajar di masa adaptasi ini agak drop. Apalagi karena batas antara “sekolah” dan “rumah” tidak kasat mata, maka banyak juga aktifitas sekolah yang melewati batas waktu jam 10. Misalnya waktu demo ekskul, itu baru selesai jam 12 malam.

Selain drop fisik, saya juga melihat ada pergulatan psikologis yang tentu saja menyita energi.  Jadi inget sama seorang teman saya. Putrinya,  NEMnya tinggi. Tapi gak masuk SMA yang “diimpikannya”, terlempar ke SMA yang kurang ia sukai. Lalu putrinya mengatakan : “Percuma aku berusaha belajar keras selama ini”. Ia pun berkata pada putrinya : “Saat ini, kamu sudah mulai masuk ke kehidupan yang sesungguhnya. Banyak hal yang akan kamu alami, akan jadi pelajaran kehidupan yang berharga buat kamu. Misalnya, bahwa tak selamanya upaya keras kita, membuahkan hasil sesuai harapan kita”. Saya sepakat dengan apa yang dingkapkan teman saya pada putrinya. Ya, tampaknya di usia SMA ini memang anak-anak kita, dengan kemampuan berpikir abstraknya, mulai punya pandangan, keinginan, harapan, antisipasi, penilaian, dan cara mengolah informasi yang lebih “dewasa” dan lebih “kompleks”.

Misalnya, bertemu dengan teman-teman barunya dari beragam kota di Indonesia bahkan beberapa dari luar negeri yang tak bisa berbahasa Indonesia, melihat beragam kehebatan teman-temannya, di sulung “galau”. Ada yang sudah hafal 16 juz, ada yang jago bahasa Jepang, ada yang melukisnya keren banget, ada yang juara OSN, ada yang fisika nya pinter banget … dia merasa …bisa “survive” gak ya, diantara teman-temannya yang “hebat-hebat”… Yups…ketidaktahuan memang meresahkan … jadi inget film jurassic world, ketika si dinosaurus hasil rekayasa kabur, si pawang dino bilang : dia gak tau posisi dia di rantai makanan tuh dimana, jadi dia akan membabi buta menyerang semua dino untuk tau posisi dia dimana.  Nah, kalau dinosaurus mah ekspresi cemas nya teh menyerang, kalau manusia mah galau … stress … gitu kali ya haha…

Kegalauan lain adalah, di satu sisi dia pengen aktif; jadi pengurus OSIS, ikut beragam ekskul. Jangankan anaknya ya, emaknya aja galau pengen ikutan semua ekskul haha… soalnya pas liat demo ekskulnya di live IG, keyeeen banget. Tari samannya, amazing banggets… klub debatnya keren, ekskul science, ekskul OSN, jurnalistik, panahan, basket, broadcasting, PASUS dengan koreo yang keren banget …. emang bikin bingung mau pilih yang mana hehe. Tapi di satu sisi, dia juga takut cita-cita ke PT dan jurusan yang dia inginkan, menjadi terganggu karena waktunya tersita oleh beragam aktifitas. Kemarin dia terpilih seleksi paper untuk menjadi pengurus OSIS, tapi kemudian ia mengundurkan diri karena pertimbangan takut terlalu menyita waktu belajar. Di satu sisi hatinya  bangga karena tak semuanya terpiih, di satu sisi “otaknya” menimbang-nimbang itu akan mengancam tujuan jangka panjangnya. Jadilah ia memutuskan mengundurkan diri dengan air mata haha….

Bener kan …. di usia ini, ia mulai menghadapi “pilihan-pilihan sulit”. Kalau dipikir-pikir sih, pilihannya gak sulit. Mungkin pernah ia hadapi sebelumnya. Tapi kemampuan berpikir yang lebih kompleks dan dewasa, membuat pertimbangannya menjadi kompleks. Soalnya adiknya, si bujang kelas 7, menghadapi pilihan yang sama : ekskul, OSIS dan target prestasi, dengan santai dia membuat keputusan : ikut OSIS. Alasannya? “Keren pas MPLS bisa bentak-bentak adik kelas” hahaha….

Selain adaptasi fisik dan pergulatan psikologis, tak ada yang perlu dikhawatirkan ternyata. Secara pribadi, saya menilai usia SMA memang usia yang paling “pas” untuk masuk boarding school (nanti secara lebih detil akan saya sampaikan paparannya, di tulisan lain). Secara emosi dan regulasi diri, mereka sudah cukup matang untuk mengelola perbedaan antara teman sekamar. Ada yang takut gelap, ada yang manajemen dirinya belum rapi, ada yang tidak terbiasa rapi; bisa mereka kelola dan tetap kompak. Mereka punya panggilan sayang khusus dalam satu kamar ini. Mereka juga saling dukung secara emosional. Ada yang kangen banget ortu, ada yang pengen pindah, mereka punya cara untuk saling memberikan support.

Minggu lalu, beberapa teman sekamar si sulung yang lanjut ikut proses seleksi menjadi OSIS dan MPK, mendapatkan challenge dari kakak kelasnya. Yang calon MPK dikasih kasus tentang pengurus OSIS; mereka harus menyelesaikan kasus itu, membuat keputusan dan menyampaikan argumen di depan panel kakak-kakak kelasnya. Yang calon pengurus OSIS bidang minat bakat, harus menyiapkan pidato persuasif dengan tema tertentu, yang calon pengurus OSIS bidang kedisplinan, harus presentasi ke kakak-kakak kelas 12. Salut banget deh…mereka saling bantu. Yang sudah menyiapkan pidato, “tampil” dihadapan teman-teman sekamarnya, lalu diberi feedback sebaiknya gimana, yang latihan memecahkan kasus, “diuji” oleh teman-temannya… Mereka juga kompak bersatu mengusulkan ekskul-ekskul yang belum ada, yang mereka minati untuk diusulkan ke skolah, karena prosedur itu dimungkinkan.

Pagi-pagi, saat saya berkunjung, sebagian bermain basket, sebagian bermain badminton di lapangan depan asrama. Sisanya, anak-anak yang tak akan dikunjungi oleh orangtuanya, diajak jalan-jalan oleh Bunda asrama ke luar. Seorang  gadis cantik yang berasa dari luar negeri, yang minggu lalu saya lihat tak berhenti-henti menangis ketika dijenguk orangtuanya, pagi itu saya lihat duduk menghadap lapangan basket, sambil membuat sketsa. Saya intip sekilas, sktesanya baguuuus.

Suara radio menyala lewat pengeras suara, siaran dari anak-anak ekskul broadcasting. Radio el-syifa ini, bisa didengarkan di seluruh kota katanya. Pengumuman makan dan menunya, dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian olahraga dan kesehatan; sedangkan pengumuman waktu sholat dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian rohis. Semua pengumuman di sampaikan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa arab. Jam 1 sampai maghrib, language time menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak tim bahasa yang akan mengontrol.

penjara suciJujur saja, saya senang sekali melihat geliat aktivitas harian di sekolah ini. Tidak adanya handpone dan TV yang pernah saya khawatirkan; tercover oleh adanya lab komputer, fasilitas olahraga, dan kegiatan ekskul yang beragam. Seperti yang disampaikan oleh kepala sekolah, dari beliau saya pertama kali mendengar istilah “penjara suci”; bagi anak-anak itu, asrama ini bisa jadi dipersepsikan sebagai penjara. Mereka tak bisa melakukan banyak hal yang dilakukan oleh teman sebaya mereka “di luar sana” melalui gadget dan keleluasan mobilitas. Mereka kelhilangan kesempatan bertambah pengetahuan dan pengalaman yang bisa diberikan oleh kemajuan teknologi dan media sosial. Mereka terpenjara oleh rutinitas, oleh aturan.

Tapi saya melihat, untuk kesejahteraan psikologis mereka,  di usia itu, tak ada yang terampas. Bermain, beraktifitas, membangun intimacy dalam persahabatan, mengelola diri, mengolah pikir untuk problem solving, menghadapi keragaman, fasilitasnya bahkan bisa lebih baik dari pada yang bisa saya berikan di rumah.

Saya percaya, untuk mencapai tujuan pengasuhan yang telah kita tetapkan, yaitu ingin putra/puteri kita menjadi sholeh/sholehah; ada banyak cara dan jalan. Turunannya, ada beragam bentuk sekolah yang bisa kita pilih. “Penjara suci” menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan visi itu; menyiapkan anak kita tak hanya untuk jangka pendek : masuk jurusan ini di PT itu. Tapi mewujudkan visi untuk bisa mengenali diri, memiiki pengalaman dan menempa kebijaksanaan untuk menghadapi peran-peran dalam kehidupannya : menjadi muslim/muslimah, menjadi bagian dari masyarakat, menjadi istri/suami, ibu/ayah, menjadi pribadi yang survive dan berprestasi di dunia, dan selamat di akhirat.

Ada banyak cara untuk mencapai visi pengasuhan kita. Yang penting kita dengan sepenuh kesadaran memilihnya. Karena sesunggungguhnya, takdir putera-puteri kita, telah tertulis di Lauhul mahfudz. Yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar maksimal. Itu kewajiban kita.

Sedih itu belum tentu luka

Ada dua “kebijakan” yang diambil oleh boarding school/pesantren terkait dengan siswa baru-nya terkait kunjungan orangtua, terutama di awal masuk.

  1. Tidak memperbolehkan orangtua menjenguk di jangka waktu tertentu di awal
  2. Memperbolehkan, bahkan boleh “lebih sering” di awal.

Masing-masing kebijakan tentunya punya dasar pertimbangan masing-masing. Tapi saya pribadi, lebih setuju dengan kebijakan yang kedua. Maka, saya girang bukan kepalang ketika Boarding School si sulung mengambil kebijakan tersebut. Selama sebulan pertama, bulan Juli, anak-anak boleh dijenguk setiap minggu, setiap hari Ahad. Selanjutnya, dua minggu sekali. Akhwat di Ahad ganjil dan ikhwan di ahad genap (dan para emak akhwat pun mulai menandai bulan-bulan yang terdiri dari  5 minggu haha…)

Secara objektif, kebijakan boleh dijenguk lebih sering di bulan awal tersebut memberikan waktu “beradaptasi” ; baik kepada anak maupun kepada orangtua yang sebelumnya selalu “bersama”, dan kini harus “terpisah”. Saya bisa memahami perspektif lain yang menilai bahwa anak jangan sering ditengok apalagi di awal, karena nanti malah pengen pulang. Nanti “mengganggu” proses adaptasinya. Saya bisa memahami karena saya lihat faktanya.

Hari ahad lalu, tgl 15, adalah minggu pertama kami mengunjungi di sulung. Sejak 5 hari sebelumnya, adik-adiknya terutama si bungsu sudah “menghitung hari”. Tiap bangun tidur pertanyaan si bungsu nambah jadi dua: (1) Berapa hari lagi abah pulang; (2) Berapa hari lagi kita jenguk Kaka. Emaknya juga menghitung hari sih, tapi dengan cara yang berbeda haha….

Sesampainya di kawasan asrama yang asri, di beberapa spot orangtua sudah bersama anak-anaknya. Beberapa anak tampak sedang sesenggukan di pelukan orangtuanya. Saya juga hampir tak dapat menahan air mata saya. Begitu saya masuk kamar si sulung, si sulung langsung memeluk erat, sesenggukan juga.

Tangisan itu, tanda sedih. Sedih itu, tanda sesuatu yang tak menyenangkan. Secara “instinktif”, kita akan menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan buat kita. Itulah mengapa banyak ibu lebih memilih “pergi diam-diam” daripada “pamit” pada anak balita-nya saat akan meninggalkan anaknya; meskipun penelitian sudah menunjukkan bahwa dampak jangka panjang kalau “pamit”; jauh lebih positif dibandingkan pergi tanpa pamit, yang akan membuat anak merasa “tidak aman” karena tidak tahu kapan akan ditinggal, kapan tidak akan ditinggal. Saya, pernah punya 4 balita. Pamit pada anak  balita, adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Mereka akan nangis, ngamuk, dan kita akan gak tega. Kita akan merasa “jahat” meninggalkan mereka. Tak jarang setelah pamit, saya pergi dengan air mata berlinang atau bahkan terisak.

Tangisan itu, tanda sedih. Kita mengasosiasikan sedih dengan luka. Itulah sebabnya mengapa banyak suami yang “tidak tahan” melihat istrinya menangis. Reaksi mereka kala istri menangis adalah : abai, pergi, atau bahkan marah. Dulu, saya pikir para suami itu jahat. Tapi setelah belajar psikologi, lalu berprofesi sebagai psikolog; mendengarkan apa yang sesungguhnya dirasakan para suami itu, tak semuanya jahat. Sebagian besar  justru karena “tidak tahu harus menanggapi gimana”; “engga tahan liat orang yang disayangi terluka”; “merasa sudah bikin sedih, gak buat bahagia istri”. Padahal, kalau ngobrol dengan istri, tak semuanya menangis karena luka. Bagi wanita, menangis adalah ekspresi rasa. Tak semuanya rasa yang negatif.

Wajar memang jika secara “instinktif” kita menghindari tangisan. Saya melihat dan mendengar banyak orangtua yang meminta anaknya untuk berhenti menangis. Atau bahkan memang sengaja tidak menjenguk untuk menghindari tangis itu. Saya pun, mungkin akan mengambil cara itu. Andai saya tak belajar psikologi.

Setelah belajar psikologi, saya jadi menghayati bahwa setiap emosi, gak mungkin Allah ciptakan tanpa tujuan. Demikian pula kesedihan. Mengapa harus kita hindari? Kalau yang udah pernah nonton film “inside out”, salah satu pesan moral yang ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa kesedihan itu, sama diperlukannya oleh diri kita seperti juga kebahagiaan. Emosi, Allah ciptakan bukan untuk kita hindari atau abaikan. Emosi Allah ciptakan untuk kita hayati, kita kelola agar tidak merusak diri kita.  Banyak hikmah yang akan kita dapat kalau kita lakukan proses ini.

Misal ketika kita sebagai ibu pamit lalu meninggalkan si kecil yang “ngamuk” gak mau ditinggal oleh kita; air mata kita mengalir, kita akan sadar betapa kita ingin selalu dekat dengan anak. Penghayatan ini mungkin tak akan kita rasakan kalau kita pergi tanpa pamit. Demikian pula penghayatan itu, akan dirasa anak kita, jika kita bantu dia mengenali dan “mengajarkannya”. “Dede tadi nangis karena gak mau ditinggal ibu ya, dede pengen sama ibu terus ya? Berarti dede sayang sama ibu. Ibu juga sayang sama dede. Ibu juga gak mau ninggalin dede. Tapi ibu harus kerja. Ibu pergi, bukan berarti engga sayang sama dede. Ibu tetep sayang sama dede. Makanya ibu pulang cepet-cepet pas kerjaan ibu selesai.” 

Berbeda dengan padangan umum tentang “ketegaran”, psikologi melihat kesedihan sebagai sebuah mekanisme alami yang wajar. Sehat. Tidak merusak. Yang tidak sehat adalah yang menghindari dan mengabaikan rasa itu. Karena menghindari sunnatullahNya. Dan biasanya akan berdampak tidak sehat di kemudian hari.

Kemarin, setelah puas bertangis-tangisan dengan si sulung, lalu mendengarkan  si sulung cerita bahwa emosi yang ia rasakan nano-nano di minggu pertamanya; kadang seneng banget, kadang excited, kadang sedih, kangen rumah, kangen orang rumah… lalu gantian saya yang ceritain perasaan adik-adiknya, perasaan abah, perasaan saya yang juga tak kalah nano-nanonya…. lalu kami cerita gimana kami berusaha mengatasi rasa itu ….  saya bilang bahwa sedih itu wajar. Sedih itu tandanya kita saling sayang. Kalau Kaka gak sedih, kalau ibu gak sedih, berarti selama ini kita gak punya ikatan apapun. Sedih itu tandanya apa yang kita sedihkan itu, berharga buat diri kita.

Yups, sad is oke. Ia bukan tanda tidak mandiri, bukan tanda cengeng, bukan tanda tak berdaya. Sedih adalah tanda bahwa kita terkoneksi dengan dunia; dengan tempat, dengan orang, dengan peristiwa, dengan nilai-nilai. Sedih adalah tanda bahwa kita hidup. Dan rasa sedih yang Allah anugerahkan, menghidupkan hati kita.

 

H-2 : Refleksi 15 tahun

Hari Sabtu pagi, kami akan mengantar si sulung masuk babak baru kehidupannya. Boarding school. Di kota tetangga. Jaraknya 2 jam saja. Sejak sebulan lalu, saya mulai melow. Air mata, seringkali jatuh berderai tanpa terasa. Perasaan campur aduk. Yang jelas bukan khawatir. Sekolah yang kami pilih, sudah melalui proses panjang pertimbangan memilihnya, dari berbagai hal yang kami rasa penting. Faktor si sulung sendiri, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Secara psikologis maupun teknis, dia sudah siap menghadapi situasi yang berbeda dari pengalamannya di rumah bersama kami.

Saya baru menyadari bahwa derai tangis ini adalah tanda betapa saya begitu mencintainya. Entahlah… sebulan ini, semua memori rasa tentang si sulung muncul di hati maupun pikiran saya. Meskipun saya punya 4 gunung cinta yang sama besar untuk keempat anak saya, tapi tak bisa dipungkiri bahwa si sulung, adalah first love kami.

Ia menjadi yang pertama dalam beragam hal. Ada banyak, tak terhingga pengalaman pertama kali saya dalam menjadi ibu, saya lalui bersamanya. Kebingungan, kecemasan, excitement, kebahagiaan, semuanya berbaur menjadi satu tiap kali mengalami pengalaman pertama bersamanya.

mantraBersamanya, pertama kali saya belajar mengikatkan diri begitu dalam dengan seseorang. Seseorang yang berbagi darah, tak hanya 9 bulan.  Tapi selamanya. Bersamanya juga, pertama kali saya belajar membuat jarak, melepaskannya, membiarkannya memiliki gelembung kehidupan sendiri, belajar mempercayai pilihannya, belajar menghargai pikiran dan perasaannya, belajar lapang dada melihatnya mengenal cinta lain di luar cinta keluarganya. Bersamanya, saya belajar menghayati makna cinta tak bersyarat. Tak ada yang sederhana dari hubungan seorang ibu dengan anak perempuannya.

Selama 15 tahun bersamanya, ada banyak pembelajaran yang tak mudah untuk dicerna. Jatuh bangun saya menjalaninya, dengan beragam ketidaktahuan, kesalahan dan pergulatan.  Pembelajaran yang penuh makna dan sungguh sangat saya syukuri, karena dengan cara itulah saya dipaksa untuk menjelajah beragam perasaan, penghayatan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman  yang sebelumnya tak pernah terbayangkan oleh saya.

Allah, kupercayakan ia padaMu…3 tahun ini, dan sepanjang sisa hidupnya.  Lingkupilah dirinya dengan gelembung kebaikan.