Jebakan “precious children”

Di bagian awal buku What Every 21st Century Parent Needs to Know: Facing Today’s Challenges With Wisdom and Heart, ada sebuah gagasan yang diungkap oleh pengarangnya,  Debra W. Haffner yang membuat saya sempat “tercenung”.

Beliau menyatakan, bahwa “beban” yang harus ditanggung oleh anak-anak zaman sekarang, jauh lebih berat dibanding dengan beban yang ditanggung oleh anak-anak di zaman yang lalu. Bukan saja tantangan “di luar sana” yang lebih berat dengan berkembangnya teknologi dan sebagainya. Akan tetapi pilihan orangtua untuk hanya mempunyai anak sedikit (rata-rata dua), membuat orangtua menumpukan seluruh harapan besarnya pada dua atau satu anak mereka. Menanggung beban harapan orangtua yang sedemikian besar (dan tak bisa dibagi dengan saudara-saudara yang lain, karena saudaranya hanya 0 atau1), adalah beban yang berat untuk anak.

Menurut saya, gagasan ini keren. original. dan…..benar. Membacanya, saya seperti menemukan jawaban dari perasaan saya selama ini terhadap beberapa situasi.

Beberapa tahun lalu, saya mendengar cerita mengenai seorang ibu yang  membuat semacam “petisi”, meminta seorang pembantu di lingkungannya untuk dipecat. Gara-garanya, puteri tunggalnya ynag berusia 5 tahun, suatu hari menangis dan bilang kalau ia disebut “ih, kamu meni item” oleh si pembantu tetangga. Si ibu tak terima, lalu mengumpulkan ttd tetangga-tetangganya untuk “mengusir” si pembantu. “Anak saya kepercayaan dirinya langsung ngedrop. Dia jadi trauma…”. Dan akhirnya, “petisi”nya berhasil. Setelah si ibu mencaci maki si pembantu tsb, si pembantu itu pun “diberhentikan” oleh majikannya. Kejadian itu cukup mengguncang saya. Saya merasa itu terlalu berlebihan. Saya merasa, akan lebih proporsional jika si ibu “menegur” si pembantu dengan baik-baik, dan memberi pengertian pada puterinya yang saya yakin, tak mengalami “trauma” akibat kejadian tersebut. Itu pikiran saya di satu sisi. Namun di sisi lain, saya merefleksikan diri….saya paham kalau si ibu melakukan hal itu terdorong oleh besarnya cinta dan sayangnya pada si anak. Namun saya tak mungkin akan melakukan hal itu kalau itu terjadi pada anak-anak saya. Apakah itu berarti bahwa cinta dan sayang saya tak besar pada anak-anak saya? apakah sebagai ibu saya terlalu pengecut untuk tak melindungi anak-anak saya secara all out seperti ibu tersebut? Saya baru tenang setelah diskusi dengan mas. “Sayang kita sama anak-anak itu, batasnya adalah tak merugikan orang lain”. “Jangan sampai anak merasa begitu berharganya ia, sampai ia merasa orang lain tak perlu ia hargai” kata mas.

Satu lagi pengalaman saya terkait dengan isu “precious children” ini adalah situasi di sebuah preschool internasional. Para orangtua yang anaknya maksimal dua itu, saat mereka menatap si anak….tergambar dengan jelas berjuta sayang, cinta, dan kebanggaan mereka pada si anak. Yups, anak-anak berusia 2-4 tahun itu memang sangat “menggemaskan”. Yang perempuan didandani bagai barbie, yang laki-laki juga seperti para coverboy cilik dengan gaya rambut dan pakaian yang supermodis. Di sekolah ini, para guru sangat cemas kalau terjadi “kontak fisik” antara anak-anak “mahal” itu. Karena satu laporan bahwa si X mendorong si Y sampai jatuh. Si Z merebut mainan si A sampai menangis….bisa jadi masalah besaaaaaar, apalagi kalau ada “tanda”. Seperti suatu hari, katanya si B “mencakar” si C secara tidak sengaja. Ibu si B langsung datang, dengan wajah pucat menunggu kehadiran ibu si C yang akan segera datang. Saya lihat, gak ada bekas apapun…dan si B dan C, sudah main kejar-kejaran lagi dengan riangnya.

Saya sekarang tahu jawaban dari dua situasi itu, juga beberapa situasi senada yang pernah saya saksikan.

Ketika saya mengikuti workshop “couple therapy” sebulan lalu, dengan “gamblang” Prof Sawitri menungkapkan kurang lebih seperti ini ; “kayaknya ini efek dari program KB ya…tapi saya menemukan…sekarang ini, para laki-laki itu begitu “dikekep”, “over protected”, “over loved” oleh ibunya. Sehingga kematangan emosinya, kemandirian untuk lepas secara emosional dari figur ibu dan menjalin relasi dewasa dengan istrinya menjadi berkurang….

Yups…yups…otak saya langsung ingat mengenai “precious children” ini….

So….hikmahnya….apakah berarti kita harus punya anak banyak agar “beban” yang kita tumpukan pada masing-masing anak menjadi lebih ringan? haha….itu kesimpulan yang disebut “kesesatan berpikir” 😉 (jadi inget waktu ujian filsafat ilmu dan logika di semester awal kuliah S1 dulu…;)

Hikmahnya adalah….kita harus “aware” terhadap adanya kecenderungan itu dalam diri kita. Bahwa kita sayang pada anak kita, ya…pastinya. Lha wong kasih sayang Allah, Rahman-Rahim-nya Allah yang tak terbatas itu, pengejawantahannya adalah kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Bahwa kita punya harapan yang besar terhadap mereka, berharap seluruh kebaikan, kebahagiaan dan kesuksesan tercurah pada mereka, yups….itu hal yang amat wajar.

Namun kita harus selalu menghayati CARA kita mengaktualkan berjuta kasing sayang dan harapan itu. Jangan sampai sayang kita, membuat anak-anak kita merasa selalu terlindungi sampai tak punya kekuatan sendiri  untuk melindungi dirinya. Jangan sampai harapan yang kita bebankan padanya, yang tujuan kita adalah membuatnya bahagia- malah membuatnya tertekan dan tak bahagia.

___Kita tak tahu, apakah usia kita cukup panjang untuk selalu mendampingi dan menjaga anak-anak kita. Maka, berikan  bekal yang akan membuatnya “survive”, walau kita sebagai orang yang paling menyayanginya di seluruh dunia ini tak ada di sampingnya___

semoga kita selalu dibimbing dan diberi kekuatan untuk menyayangi dan mendidik anak-anak kita dengan baik, benar dan bijak. amiiiin…..

Maaf dan Utang Maaf (part one)

Gak sabar ingin segera jam 10.30, saat guru Umar beristirahat.

Ingin segera menanyakan kabarnya Umar. Tadi dia marah sama ibu.

Ceritanya gini…tadi pagi, Umar semangat sekali mandi pagi hari. Jam tujuh pagi, ia sudah siap berangkat sekolah-mandi, pakai baju seragam dan makan- sendiri. Maklum, mulai tadi pagi ibu menerapkan sistem reward ngasih uang Rp.1000,- kalau mas Umar mandi dengan tertib –ambil anduk, beresin alat mandi yang sudah dipakai, ngeset yang bener, dan jembrengin anduk kembali di jemuran handuk-. Dengan girangnya, uang receh 2 koin Rp.500,-an yang ibu kasih ia masukkan ke celengan angry bird nya; lalu bertanya…”butuh berapa hari lagi bu,mas Umar bisa beli cd ultraman pake uang mas Umar sendiri? “ mmmhhh..ultraman lagi…ultraman lagi….

Sayangnya,  dia terpaksa harus menunggu ibu yang juga akan pergi sekalian ke jatinangor. Meskipun mulai jam setengah 8 dia sudah mulai misruh-misruh “takut terlambat” dan minta berangkat duluan… tapi ia terpaksa menunggu de Hana yang harus dibujuk untuk mau mandi, lalu menunggu  ibu yang masih nenenin Azzam biar kenyang dulu sebelum berangkat…

Akhirnya, kami tiba di sekolahnya jam  8.15. Teman-temannya sudah mulai shalat dhuha…Tak disangka, dia menangis tersedu-sedu sambil mengikuti kegiatan itu, sampai gurunya kaget. Saya jelaskan pada gurunya bahwa ia kesal pada saya…akhirnya bu guru memberi waktu mas Umar untuk ngobrol dulu dengan ibu.

Ibu peluk mas Umar, ibu tanya: “mas Umar kesal sama ibu ya? “ ia mengangguk.

“Kesalnya sebesar apa?”…” Sebesar jupiter” katanya…mmmhhh…berarti kesal banget …

”Ibu minta maaf ya…emang ini salah ibu …”

“Ibu udah berkali-kali kayak gini…mas umar udah berusaha untuk tidak terlambat, ibu yang bikin mas umar terlambat…terus ibu tidak berusaha…mengulangi lagi…”katanya ditengah sedu sedannya…

”ya, ibu janji selanjutnya ibu akan memperbaiki diri. Nanti kalau akan terlambat, mas Umar berangkat aja duluan….atau ibu akan berusaha bangun lebih pagi, biar siap lebih awal…”

dia mengangguk, meski air matanya tersu mengalir. Ibu ajak mas Umar untuk wudhu, lalu bergabung dengan teman-temannya yang sudah berada di rokaat terakhir. Mas Umar ikutan, tapi tampaknya air matanya belum bisa ia hentikan.

Maafkan ibu ya mas….ibu memang kurang berusaha untuk menghargai usaha mas Umar ….semoga ibu benar-benar membuktikan kata maaf ibu dengan perilaku ibu di masa yang akan datang…

Mmmmhhh,….bicara tentang kurang menghargai usaha, ibu jadi ingat…ibu juga punya utang maaf sama Kakak.

bersambung…

@ facebook; by Fitri Ariyanti on Monday, May 28, 2012 at 9:57am ·

Jangan pernah berhenti ….. berkomunikasi

Komunikasi.

Tidak pernah tidak kita lakukan dalam keseharian kita. Dalam konteks apapun. Dengan beragam cara. Bahkan bayi pun berkomunikasi lewat tangisannya. Namun demikian, komunikasi interpersonal antara dua orang kadang tidak mudah. Meskipun dua orang itu telah berkomitmen dalam sebuah ikatan perkawinan.

Berikut adalah materi “Dinamika Interaksi Antar Pasangan dalam Konflik Marital” dari Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, yang sudah puluhan tahun menjadi konselor perkawinan (@Couple Therapy Workshop, July 2012)

Gejala-gejala gangguan komunikasi antarpasangan yang disebabkan oleh benturan-benturan pendapat yang terjadi dalam konflik marital  biasanya salah satu pasangan memutuskan reaksi emosional tertentu yang menyiksa ketentraman batin kedua belah pihak,  yang antara lain dengan cara sebagai berikut.

  • sikap diam, walaupun tetap bersikeras bertahan pada pendapatnya.
  • menurut, namun menyisakan perasaan kesal berlanjut.
  • sikap konfrontatif, spontan dan frontal.
  • sikap submissive (pasif) , tanpa pretensi yang menekan.
  • sikap seolah menurut di hadapan pasangan, namun mempertahankan pendapat dengan cara berperilaku tertentu yang membuat pasangannya “mati kutu”.
  • sikap diam seribu bahasa, namun mengalami ketegangan emosional yang menekan.kedua pasangan memutuskan komunikasi secara total, dengan memanfaatkan anak untuk menjadi perantara bila kebutuhan akan komunikasi tidak terelakan.

Mari kita evaluasi pola komunikasi antara kita dengan pasangan. Hati-hati, jangan-jangan tanpa kita sadari kita mengembangkan salah satu dari pola komunikasi di atas. Atau kita membiarkan pasangan kita “memelihara” salah satu pola komunikasi tidak sehat di atas.

Yups…terkadang, baik istri maupun suami, karena merasa “terbentur” untuk bisa mengkomunikasikan suatu persoalan dengan pasangannya, mengambil langkah diam. “Daripada ribut dan berantem…”. Saya tidak setuju. Karena pola komunikasi seperti itu pastinya gak bikin hepi. Itu hanya akan menjadi bom waktu. Karena pada dasarnya, masalahnya tak diselesaikan. Satu lagi kerugiannya adalah, kita menjadi tidak bisa belajar untuk mengembangkan komunikasi kita dengan pasangan. Pada kenyataannya, keterampilan komunikasi antar pasangan tidak secara otomatis meningkat seiring dengan usia pernikahan. Keterampilan itu harus dilatih.

Coba lagi, cari beragam cara, mungkin perlu diam sebentar….namun jangan pernah berhenti untuk berupaya mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan permasalahan kita dengan pasangan. Karena dengan mengkomunikasikannya, berarti kita berupaya melangkah mendekat. Menutup dan berhenti mengkomunikasikannya, berarti kita menjauhkan diri. Kalau masalah sudah bertumpuk, akan sulit mengkomunikasikannya mulai dari mana, sudah tidak tahu lagi ujung pangkalnya. Banyak perceraian terjadi “hanya” karena masalah -masalah “kecil” tak dikomunikasikan dan tak selesai.

Beberapa keterampilan yang bisa dilakukan kalau kita merasa “mentok” berkomunikasi dengan pasangan adalah:

(1) Menggunakan “I feel…” message. Seringkali saat akan mengkomunikasikan sesuatu, kita jatohnya jadi menyerang. Pasti lah pasangan kita tak mau diserang atau disalahkan. Maka, lebih baik gunakan cara komunikasi ini. Misalnya: “waktu tadi abang ngebentak adik, adik merasa sedih” (ups..bias gender ginih…maaf ya, karena penulisnya seorang istri, jadi we contohnya dari sudut pandang istri hehe….)

(2) Kalau mau memberi umpan balik mengenai sikap pasangan yang negatif, ungkapkan dulu hal positif pasangan dalam hal itu. Misalnya : “dulu waktu kita masih awal menikah, adik rajiiiin banget beresin rumah. sekarang jadi gak terlalu rajin. abang kangen adik yang selalu menjaga rumah tetap rapi” (adil kan sayah ngasih contohnya…hehe…)

(3) Cermati waktu dimana pasangan bisa berkomunikasi dengan lebih baik. Nah, ini idividual banget. Memerlukan kepekaan kita. Misalnya, ada beberapa teman yang bisa bicara “heart to heart” setelah selesai melakukan hubungan seksual. Mungkin karena secara fisik, tubuh sedang rileks-rileksnya…Atau ada juga beberapa teman yang paling oke membicarakan sesuatu menjelang tidur, atau di pagi hari, atau selesai sholat….

Intinya…never give up !! kebahagiaan itu, harus kita perjuangkan…termasuk kebahagiaan dalam pernikahan…dan Allah, pastinya menilai upaya kita, dan pasti akan membantu dengan caraNya.

lampu-lampu hijau dan kuning dalam usia pernikahan

  • usia pernikahan 0-5 tahun  : masa penyesuaian. bagi yang tidak sabar menanti saatnya penyesuaian diri berhasil, akan mudah sekali untuk bercerai.
  • usia pernikahan 5-10 tahun : penyesuaian sudah berhasil, perkawinan relatif stabil.
  • usia pernikahan 10-15/18 tahun : baik istri maupun suami masuk ke masa “puber kedua”. Tapi istri biasanya fokus untuk menghadapi anak pertama yang umumnya sudah menginjak remaja. Bila tidak diwaspadai, suami bisa fokus pada remaja lain di luar perkawinan hehe …(wil gituh ;). Tapi istri juga rentan dengan hadirnya pil, sehingga di usia pernikahan ini sering juga terjadi perceraian.
  • usia pernikahan 18/20-40 tahun : masa krisis kembali. Tantangan yang dihadapi: dealing with post power syndrom karena masuk masa pensiun.
  • usia pernikahan 40-lansia : stabil kembali.

Sharing from “Kisaran Kerentanan Relasi Antar Pasangan Pada Usia Perkawinan” oleh Prof Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen @Couple Therapy Workshop, July 2012.

 

 

I’m not Iciher, but I Love Maicih ;)

Hari minggu lalu, kami sekeluarga ke Gramedia. Maklum…menjelang minggu ketiga liburan ini,  kung fu boy jilid 1-13 sudah tamat dibaca dan  bermain bersama teman sudah mulai membosankan. Main bulutangkis, balapan sepeda, nulis diari, bikin komik dan segala macam kegiatan lain pun sudah tidak menarik lagi. Akhirnya…pelarian anak-anak adalah….TV, googling n tablet. Masalahnya, karena tidak ada alternatif lain, Azka dan Umar bisa berjam-jam menghabiskan waktunya untuk 3 kegiatan tersebut, yang….tentu saja bukan kegiatan yang positif kalau over dosis. Jadilah Azka dan Umar  memborong Komik Conan untuk bekal seeminggu lagi liburan, mengingat Kungfu Boy baru kluar sampai jilid 14.

Si ibu gak mau kalah. Selain melengkapi buku koleksi DIS dengan membeli 2 buku lagi: “Sepatu Dahlan” dan “Dahlan juga Manusia”, maka si ibu yang sedang seneng banget sama buku biografi pun membeli buku “Chairul Tanjung si Anak Singkong” dan satu buku lagi yang memang ibu cita-citakan untuk beli sejak melihat billboard besarnya di daerah setiabudi: “Revolusi Pedas Sang Presiden Maicih”.

Saya bukan pecinta cemilan pedas. Makanya, saya telat mengetahui fenomana Maicih. Setelah tahu pun, saya tak pernah tertarik. Maklum, sebelum sampai perut, si lidah udah gak kuat menerima rasa pedas…pertama kali dan sekali-kalinya saya makan produk Maicih adalah, saat berkunjung ke rumah teh Titin di Katumiri n disuguhi gurilem Maicih. Salah satu varian produk Maicih tersebut katanya didapat sehari sebelumnya, saat launching di Maja House Setiabudi dengan mengundang grup boyband yang saat itu sedang ngetop2nya, SM*SH. “Gile!!!!” itu tanggapan saya … baik terhadap acara launching produk gurilem yang “eksklusif”, maupun terhadap rasa pedas si gurilem yang saya cicipi itu.

Sejak beberapa bulan lalu, 2 km dari rumah saya di Sariwangi, sebuah kapling dengan logo Maicih di pagarnya tengah dibangun. Di depan kapling tersebut ada sebuah rumah, yang tampaknya adalah salah satu rumah produksi Maicih. Beberapa karyawan, anak-anak muda berkaos merah bertuliskan “Maicih Crew” juga sering kami liaht di rumah tersebut. Waktu jalan-jalan ke Borma, saya juga melihat produk Maicih dengan kemasan alumunium foil. Keren banget. Tapi tetap, saya tak berniat membelinya. Saya memang bukan “iciher” 😉

Tapi, saya sangat berniat membeli bukunya. Saya penasaran siapakah yang punya ide original mengenai nama, logo, maupun strategi marketing Maicih yang keren banget itu. Mungkin juga saya sudah ketularan si abah yang suka sama buku-buku mengenai bisnis. Tapi, seperti kata si abah….”Kalau baca buku mengenai orang yang sukses berbisnis, yang paling penting itu adalah…bagaimana kisah dan perjalanan hidup orang tersebut, yang membuat dia mendapat pertolongan Allah. Karena menurutku, bisnis yang sukses itu, jalannya dari Allah. Karena kalau masalah strategi bisnis….ya…paling gitu-gitu aja…”.

Setelah membaca buku “Revolusi Pedas Sang Presiden Maicih”, saya mendapatkan jawabannya. Kisah hidup Reza Nurhilman, sang milyarder muda berusia 24 tahun itu…membuat saya berkaca-kaca, tersenyum, bersemangat, dan berani bermimpi. Saya juga punya jawaban dari pertanyaan “apa yang membuatnya diberi jalan oleh Allah, sehingga bisnisnya sukses”…Saya pun semakin yakin dengan sunnatullahNya. Rizki itu, kadang kita cari ke barat, eeh…datangnya dari timur. Tapi, yang dari timur itu gak akan ada kalau kita gak berangkat ke barat itu…”

Satu hal paling berharga yang saya dapat dari buku itu, entah mengapa … berhasil membaut saya “membangun mimpi” kembali. Sudah beberapa tahun ini, saya tak berani bermimpi. Saya mengubah mimpi saya menjadi prinsip “seperti air mengalir, jalani saja”…..Sekarang, seperti Axl Sang Presiden, saya berani punya “dreambox” lagi…

So, maybe because I Like Maicih, Someday I will be an Iciher 😉

biografi

Sepuluh tahun lalu. 16 Juni 2002. Hari Minggu.

Itu adalah hari kedua pernikahan kami. Saya dan Mas langsung meluncur dari Purwakarta ke Bandung sehari setelah pernikahan kami, dan agenda pertama kami adalah : angkut-angkut barang (yang 90%nya adalah buku)  dari tempat kost-an mas di taman hewan dan tempat kost-an saya di cisitu; ke rumah kontrakan mungil yang sudah dipersiapkan mas di Gg. Aquarius Sadang Serang. Setelah itu, kami belanja segala macam keperluan rumah tangga untuk mengisi rumah kontrakan mungil tersebut; di pasar simpang…

Waktu membuka kardus-kardus mas yang isinya buku dan menatanya di lemari buku, saya seperti berada di “syurga”….Uuuuuh…..semua buku favorit saya, mas punya !!!! baik buku agama,  buku pengembangan diri, buku psikologi populer yang sedang atau pernah best seller…..Buku-buku saya sendiri hampir semuanya buku fotocopyan textbook psikologi….Maklum, jaman itu masih miskin (haha…kayak sekarang udah kaya aja…). Jaraaaaaaang banget beli buku. Semua buku yang “menggiurkan” saya baca dari hasil pinjaman….Buku agama kebanyakan pinjam dari teh Isma, buku agama yang “berat” pinjem dari Kang Rezha, buku-buku nasionalisme dan best seller pinjem dari Kang Syafril, dan buku novel fiksi ilmiah yang saya sukaaaa banget, pinjem dari tempat penyewaan buku, Comic Corner di ujung  Jl pager gunung depannya toko kue Victoria 😉

Maka, tak heran kalau acara membereskan buku itu menjadi sangat lamaaaaa…karena saya kembali membuka dan membaca halaman-halaman yang saya hafal sekali, di halaman itu ada kalimat-kalimat yang sangat bermakna buat saya. Saya juga tak tahan dengan godaan membaca buku-buku yang saya pengeeeen dari dulu. Yang saya ingat adalah, buku Fiqih Sunnah dan buku tafsir edisi lengkap….Memang saya agak heran, karena kondisi buku-buku itu bagai tak pernah terbuka halaman-demi halamannya, kayak masih dari toko buku. Setelah saya ngobrol sama mas, akhirnya keheranan saya terjawab. Sebagian besar buku itu memang belum dibaca mas …haha….. Katanya, setiap abis gajian ngasih les privat waktu kuliah S1 atau gajian dari kerja, memang disisihkan uang untuk beli buku. Tapi kalau bacanya…..tampaknya tak tersisih waktu khusus haha….itulah  “saling melengkapi” yang pertama kali saya sadari sebagai istrinya…saya mah gak punya bukunya tapi udah baca, mas punya bukunya tapi belum baca …wkwkwk…Tapi adanya irisan buku-buku yang menjadi favorit kami, membuat saya senang…

Ada beberapa kelompok buku kami yang  tak saling beririsan. Itu adalah kelompok buku texbook psikologi milik saya, dan kelompok buku mas yang tak menarik untuk saya: kelompok buku elekro, kelompok buku bisnis, dan….kelompok buku biografi. Ada biografi Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, biografi pak Amin Rais dan beberapa tokoh sejarah nasional.Buku-buku biografi tersebut tidak pernah saya sentuh dan saya baca, karena saya tak pernah tertarik buku jenis itu. Satu-satunya biografi yang pernah saya baca adalah biografi Helen Keller. Saya baca buku yang saya temukan di perpustakaan umum “Batu Api” Jatinangor itu  di tahun 2011, saat saya menyusun skripsi. Karena skripsi saya mengenai individu yang tuna netra, maka pembimbing saya menyarankan saya menghayati dunia mereka tidak hanya melalui observasi dan “bergaul” bersama mereka, namun juga menyelami lewat kisah tokoh terkenal Hellen Keller.

Waktu berlalu…… saya sering mendengar mas mengutip isi dari biografi-biografi itu dalam obrol-obrol kami…Demikian juga, kalau kami jalan-jalan ke Gramedia, pasti mas membeli jenis buku biografi ini. Akhirnya saya tahu kalau mas sukaaaa sekali dengan jenis buku tersebut. Maka, dalam beberapa kesempatan, saya pun sering membelikan buku biografi untuk mas. Waktu saya memberi pelatihan di SMP Al-MA’shoem, saya belikan buku kisah hidup Al-Ma’shoem. Waktu saya nganter seorang kolega bule ke saung angklung ujo, saya belikan Kisah hidup Udjo Ngalagena sebagai oleh-oleh. Saya juga belikan buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”-nya Dahlan Iskan, karena saya tahu mas ngefans banget sama Pak DI.

Karena jadwal kerja mas selama weekdays di luar kota padat dan saat weekend di bandung juga tak kalah padat (karena anak-anak sudah punya jadwal kegiatan yang harus diikuti abahnya), maka pastinya amat sedikit waktu santai untuk baca buku baru yang saya belikan. Maka, iseng-iseng saya membaca sendiri buku-buku biografi yang saya belikan itu…ternyata…seperti kata mas….buku biografi itu, selalu bisa memberikan energi. Kita seperti menyerap makna kehidupan dari orang-orang “hebat” itu; makna kehidupan dari perjalanan yang mereka alami selama puluhan tahun.

Maka, lama kelamaan saya pun berubah peran. Bukan semata membelikan,  tapi juga membacakan dan menceriterakan isi dari buku-buku itu. Dan….selanjutnya, saya baru menyadari bahwa lama-kelamaan, saya membeli buku biografi bukan untuk mas saja, tapi juga untuk diri saya sendiri !

Selain Biografi Umar bin Khatab karya Haekal, buku biografi favorit saya adalah  “Habibie dan Ainun”, “Novel Biografi Lendo Novo”, “Menapak Jejak Amin Rais” dan “Inilah Jalan Hidup Saya (autobiografi Amien Rais), “Ganti Hati”-“Habis Gelap Terbitlah Terang”-“Tidak ada yang Tidak Bisa” (Dahlan Iskan), “Diplomasi Angklung” (Udjo), dan “Biografi Haji Ma’shoem” (ditulis oleh mas di blognya:http://abuazmar.wordpress.com/2008/02/11/kiat-bisnis-haji-mashoem/).

Meskipun demikian, masih ada tumpukan buku biografi yang dibeli mas yang belum tertarik untuk saya baca, diantaranya “Tan Malaka: Dari Penjara ke Penjara”, “Prof. Dr. Ir. Sedyatmo: Intuisi Mencetus Daya Cipta”, “Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman”, “Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil”…maklum…guru sejarah saya tak sehebat guru sejarah mas, yang bisa membuat mas “mengagumi” tokoh-tokoh sejarah nasional;)

Sejujurnya, saya tak bisa menggambarkan “energi” apa saja yang saya dapat dari buku-buku biografi tersebut. Saya tak punya kata-kata dan tidak bisa merangkaikan kalimat untuk menggambarkan pikiran dan perasaan saya mengenai hal tersebut. Tapi kurang lebih, inilah yang saya dapat dari buku-buku biografi:

(1) Prinsip-prinsip hidup yang “mengagumkan”: misalnya prinsip THE BIG U AND THE SMALL I nya bu Ainun dalam mendampingi pak Habibie.

(2) Menghayati bahwa, sehebat dan se”besar” apapun seseorang, itu tak didapat dengan mudah. Yups, kita sering sekali mendengar kalimat ini. Namun mengetahui bahwa Pak Habibie yang kita kenal sebagai orang yang amat cerdas pun, pernah mengalami episode sepatu bolong, membaca perjuangan Pak haji Ma’shoem dari nol mulai dari menyewa sepetak rumah kecil…rasanya beda… Ya, seperti reff winning song-nya indonesian idol 2012 karya Ahmad Dhani; “kemenangan adalah milik orang-orang yang berjuang” 😉

(3) Terkait dengan poin no 2, membaca buku biografi membuat saya yakin bahwa banyak hal yang rasanya tak mungkin menjadi mungkin.

(4) Awalnya, saya malas membaca buku biografi karena saya pikir isinya adalah sebuah ke’narsis”an atau “pengagungan” seseorang. Namun sebaliknya, justru saya menemukan sisi-sisi “kemanusiaan” dari setiap tokoh itu….saya sangat terpesona dengan kisah di biografi Umar Bin Khatab, yang menggambarkan sisi manusiawi Umar Bin Khatab ….padahal ia adalah sahabat yang dijamin masuk syurgaNya…yups, karena sisi manusiawi itulah yang membuat manusia bisa lebih mulia dari malaikat.

(5) Asyiknya baca buku biografi, satu buku bisa dimaknakan berbeda oleh orang yang berbeda…jadi asyik kalau diobrolin. Seperti waktu saya dan mas baca buku biografi Steve Job, yang “nempel” di saya mah bagian dia yang merasa “dibuang” oleh ibunya…..sedangkan bagian yang “nempel” di mas mah tentang kehebatan dia yang di usia SMA sudah diteriam bekerja di manaaaaa gituh….;) Hal ini semakin membuat kita “mengenal” siapa diri kita…..

(6) Sebagai orang psikologi, saya sangat excited dengan “apa yang membentuk suatu kepribadian” dan “apa yang bisa dibentuk dari suatu kepribadian”. Seperti juga akhirnya saya bisa memahami mengapa Piaget mengeluarkan teori mengenai perkembangan kognisi sedangkan Ericson mengeluarkan teori mengenai tahap perkembangan psikososial dengan “identity crisis”nya; melalui biografi mereka. Melalui biografi, saya jadi memahami …mengapa Lendo Novo menciptakan Sekolah Alam dengan konsep khas-nya…(kalau yang belum baca biografi Lendo Novo, tampaknya kurang bisa memahami secara utuh “ruh”nya sekolah alam;). Hal ini membuat saya seperti “punya kekuatan” untuk mengarahkan anak-anak saya pada kepribadian tertentu yang kami harapkan.

(7) Setiap kali selesai membaca buku biografi, selalu terlintas dalam benak saya….”kalau ada yang membuat biografi saya, akan seperti apa isinya ya?”…pertanyaan ini membuat saya menjadi malu jika melakukan hal-hal yang tidak bermakna bagi anak cucu saya…

Pokoknya mah…membaca buku biografi, saat membacanya bisa membuat kita menangis, tertawa, tercenung…terhanyut pada masa dimana mereka berada, kejadian yang mereka alami…penghayatan yang mereka rasakan…dan setelahnya, selalu saja “menghidupkan jiwa dan pikiran”…

Tapi anehnya, sampai saat ini kami belum tergoda untuk membaca apalagi  membeli buku bografi “Pak Moer-Poppy Untold Story”, “My Life – My Secret”, atau “Aku dan Diva” hehe…