Berhaji, Rindukanlah …

Seminggu lagi, 10 Dzulhijah akan datang. Di tanah air, kita merayakan salah satu dari dua hari super spesial buat umat Islam, yaitu Idul Adha. Buat sebagian teman-teman saya, bahkan berpendapat bahwa hari yang boleh dirayakan oleh kita sebagai muslim hanya dua hari raya, Idul Fitri dan Idul adha. Terlepas dari perbedaan pendapat dalam merayakan hari “spesial” lain, pendapat ini sekaligus mengukuhkan ke super spesial-an Idul adha.

Saat kita di tanah air merayakan sekaligus menghayati dengan puasa dan berqurban, sebagian saudara muslim/muslimah kita, tengah menjalani ritual super agung di tanah suci. Berhaji.

Beberapa minggu lalu saya bertemu dengan teman yang tiga tahun lalu bersama berhaji. Dia berkata: “sudah musim haji lagi ya….” lalu matanya berkaca-kaca, dan dia sesenggukan. Lalu kita berpelukan. Tanpa kata.”Kangen…. Mina….Arafah…” kata-kata itu terselip diantara senggukannya. Ya, saya mengerti. Saya sungguh mengerti. Saat menulis  ini pun genangan ini tak bisa dihentikan.

Berhaji, dirindukan oleh yang belum merasakannya. Lebih dirindukan lagi oleh yang telah merasakannya. Beberapa teman, mengingat antrian haji amat sangat panjang, mensegerakan ber-umroh. Saya senang sekali. Tapi saya selalu bilang sama teman-teman saya, umroh itu jangan diniatkan mengganti haji.

Dulu, mas pernah bilang: beda banget rasanya haji sama umroh. Itu karena sebelum haji, ia telah berumroh. Saya gak percaya. Namanya di tanah suci sama aja lah. Setelah saya merasakan sendiri… ya, saya setuju. Haji dan umroh itu berbeda.

Dari segi durasi, jelas berbeda. 10 hari versus 40 hari. Saat umroh, kadang kita tidak bisa sepenuhnya “menarik diri” dari rutinitas. Berbeda dengan haji. 40 hari. Kehidupan kita rasanya di restart. Dari semua peran.  Yang kedua, dari intensitas aktifitasnya. Tiga hari mina-arafah-midzalifah, dengan jumlah orang yang begitu ekstrim, kondisi alam yang begitu ekstrim, situasi yang begitu ekstrim…. Benar-benar “menelanjangi” lapis demi lapis diri kita. Tidak ada yang lebih “romantis” di dunia ini selain saat Sang Maha Pemilik Segalanya  membanggakan kita di hadapan para Malaikat.

Tiga hari mina-arafah-midzalifah, dengan jumlah orang yang begitu ekstrim, kondisi alam yang begitu ekstrim, situasi yang begitu ekstrim…. Benar-benar “menelanjangi” lapis demi lapis diri kita. Saya masih ingat, waktu itu dalam perjalanan yang panjang seorang teman kehabisan air minum. Teman saya yang lain, memberikan cadangan air minum yang ia persiapkan. Perjalanan masih panjang. Tapi teman saya memutuskan untuk memberikan simpanan minumnya. Saya masih sangat ingat ekspresi teman saya yang diberi air minum itu :    “Saya nanti bersaksi di akhirat teh…Allah yang membalas…Allah yang membalas” . Kalimat itu, ekspresi wajah itu, benar-banar simulasi padang mahsyar. Rasanya benar-benar langit dan arrasyNya, begitu dekat saat itu. Ya, haji adalah once in a lifetime experience.

Maka, meskipun kita sudah puluhan kali umroh, tetaplah rindukan berhaji. Meskipun kita pikir tak ada kemungkinan kita bisa lakukan – misalnya secara finansial dan situasi-situasi terbatas lainnya, tetap rindukanlah berhaji. Bukan. Bukan untuk gelar, bukan untuk mengukuhkan keluasan ilmu agama kita, bukan untuk menggugurkan kewajiban, apalagi untuk kita pamerkan di medsos. Tapi sebagai upaya sepenuh hati kita mendekatkan dri padaNya.

DSC_0102

Maka, rindukanlah berhaji. Caranya dengan apa? Dengan memupuk kerinduan kita. Bukan. Bukan dengan memajang dan mengusap lukisan ka’bah. Tapi dengan menyiapkan diri saat kita diundang olehNya.

Maka, baca buku tentang ritual haji, jangan nanti pas akan pergi. Dari sekarang. Itu cara memupuk kerinduan.

Baca buku tentang filosofi haji, jangan nanti saat akan pergi. Tapi sekarang. Untuk memupuk kerinduan itu.

Membaca kisah agung perjalanan Bapak para Nabi, Ibrahim, jangan nanti. Tapi mulai dari sekarang.

Membaca kisah hidup Rasulullah, para sahabat, membaca tempat2 bersejarah di tanah suci, makan Hamzah, bukit uhud, bukit hudaibiyah, jangan nanti…..dari sekarang….

Pupuk teruuuuuuus kerinduan itu, agar memuncak dan pada saatnya nanti, hingga tiap detik di sana akan menjadi sangat bermakna, tiap jengkal tanah yang kita injak  disana menjadi terhayati danmenjejak di lubuk hati terdalam.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari Arafah tiba, Allah SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat, ‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh. Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

 

47. Kangen Level 11

Hari ini, hari terakhir kami disini. Nanti malam, dinihari jam 3 kami sudah akan dijemput bis menuju bandara Madinah dan terbang ke tanah air sekitar pukul 7.45, insya allah.

Seperti waktu di Mekah, belum juga tempat ini ditinggalkan, rasa rindu yang amat sangat sudah mulai melanda. Rasanya hari ini pengen 24 jam di mesjid … Padahal gak mungkin banget da kurang dari 24 jam kami sudah harus berangkat.

Rasa rindu dan tak ingin berpisah yang tak terkatakan ini, anehnya mengalahkan besarnya rasa rindu pada anak-anak. Padahal sudah beberapa malam ini mimpi terus meluk Hana dan terutama Azzam. Sejak beberapa hari lalu gak tahan, sering puterin video anak-anak yang ada di hape.

Entahlah….rasanya, berkunjung ke dua tanah haram ini, bagaikan bertemu dengan orangtua yang “sempurna”. Saya merasa, Masjidil Haram bagaikan seorang ayah yang begitu menguatkan, mengokohkan, melindungi. Terasa aman berada dalam pelukannya. Dan Masjid Nabawi ini, rasanya bagaikan seorang ibu. Begitu lembut, hangat, nyamaaaaaan…..Terasa amat menenangkan berada dalam buaiannya.

Kangen sama anak-anak, kalau pake level maicihnya adalah kangen level 10. Tapi kangen untuk tetap berada disini, adalah kangen level 11.
IMG_20131106_084327Ya Robb, ya Allah…
Undang kembali kami tahun depan untuk berkunjung ke rumahMu dan rumah NabiMu….Aamiin

Madinah, 6 November 2013

46. Hajj : If You Fail to Plan, You Plan to Fail

Sejak manasik di tanah air, ada satu hal yang dipesankan oleh guru kami, yaitu….menurut beliau, berdasarkan pengamatan bertahun-tahun  mendampingi jemaah haji, kesuksesan berhaji sangat ditentukan oleh : apakah kita punya “program”/planning individual yang bertarget ga nanti disana.

Jadi harus ada target yang “smart” : spesific, measurable, attainable, result oriented, time limits.

Tausyiah itu beliau ulang lagi begitu kami selesai melaksanakan ritual haji, setelah thawaf ifadah.

“Di tanah air, susah banget dapetin waktu 40 hari tanpa diganggu urusan kerjaan, urusan rumah, urusan anak-anak ….Mumpung disini…ayo…belajar… targetkan benerin bacaan alqur’an, targetkan jumlah tambahan  hafalan, targetkan mau khatam al qur’an berapa kali, baca-baca buku agama; tafsir, siroh…”

Ah, moment tausyiahnya pas banget…beliau tau betul kondisi psikologis kami, yang begitu selesai hajian, pengen cepet pulang, kangen rumah, kangen anak-anak.

Dan para pembimbing kami langsung menanggapi tausyiah itu dengan program tahsin, membetulkan bacaan alquran kami, yaitu Alfatihah dan three Qul: Qul huwallahu ahad, Qul audubirobbinnas dan Qul audzu birobbil falaq 😉 biar nanti bapak-bapak haji ini bener kalau diminta ngimamin sholat, dan gak cuman berani ngimamin sholat dhuhur ama ashar aja haha…. Setiap ba’da syuruq kami berkunpul di lantai 3 masjidil haram.

Di masjidil haram sendiri, ada program “qur’an education for pilgrim”. Beberapa orang berkafiyeh akan duduk di sudut-sudut  mesjid, di depan banner bertuliskan “qur’an education for pilgrim”. Disana ada mikrofon, dan siapapun boleh “setor” bacaan al qur’annya untuk dikoreksi oleh mereka. Ah, seneeeng banget liat orang Afrika minta dikoreksi bacaan alfatihah, orang Amerika baca al ikhlas, orang Malaysia baca annas, orang india baca annaba, orang cina baca al quraisy… Berbeda “penampakan” tapi ternyata kita membaca qur an yang sama !!!! Subhanallah…

Adanya target individual itu,  amat terasa terutama di Madinah ini. Memang waktu di Mekkah, itikaf di masjidil harom tidak terlalu nyaman. Selain sangat berdesak-desakan, udaranya juga sering gak pas. Yang pake kipas kepanasan, yang pake ac kedinginan. Dan di masjidil haram, kita selalu tergoda tak melewatkan kesempatam emas berthawaf.

Di Madinah ini, sangat nyaman…mana ada tausyiah berbahasa indonesia ba’da sholat lagi…kalau gak punya target individual, bisa jadi 40 hari disini kita gak khatam Alqur’an satu kali pun. Gak nambah ilmu apapun. Di hoteeel…aja…belanjaaaa aja…atau di mesjid nonton perilaku orang lain aja….just killing the time. Padahal, begitu pulang ke tanah air, seiring dengan panggilan “pak haji” dan “bu hajjah”, tak bisa dipungkiri ada penilaian dari masyarakat kalau para haji dan hajjah ini punya ilmu agama yang bagus.

So, buat temen-temen  yang akan berhaji….. Waktu nyiapin koper, don’t forget…selain makanan  fisik  : abon, dendeng, rendang, sambel pecel, dll. Ingat juga makanan ruhani. Buku tafsir, buku tentang sholat, siroh, buku yang tidak sempat kita baca di tengah kesibukan kita di rumah.

Seperti tausyiah subuh tadi, kalaulah dosa-dosa kita tak diampuni karena kita tak dapat pahala mabrur, semoga kita dapat pengampunan karena pahala belajar sungguh-sungguh di tempat-tempat dimana kebaikan kita nilainya 100ribu kali dan seribu kali.
Amiiiin

H-3, senin 4 nov 2O13, bada dhuhur @ mesjid nabawi.

45. Feels Like Home

Baru dua hari di Madinah ini, saya merasa sangat betah. Mungkin ga ya, pindah rumah ke hotel deket Masjid Nabawi? Mulai deh halusinasi kkkk…

Selain udaranya yang sejuk dan  mesjidnya yang super nyaman, secara keseluruhan situasi disini rasanya lebih enak dibanding dengan di Mekah. Jarak antara bangunan satu dengan lainnya dekat-dekat, kalaupun harus nyebrang jalan raya gak serem. Banyak restoran makanan indonesia.

IMG-20131106-01048Dan… setiap bangunan hotel bawahnya adalah commercial center, alias toko-toko…plus atm yang deket, saya jadi bisa sesuka hati jalan-jalan, mengamati dan bela-beli barang dan pernak-pernik lutu tanpa harus minta ditemenin mas haha….maklum, ibu-ibu dan bapak-bapak kala belanja bareng sama-sama stress bukan? 😉

IMG-20131106-01047Setiap pulang dari mesjid saya dan mas janjian ketemuan di gerbang no. 17. Nah, kalau saya udah nyampe tapi mas belum, biasanya saya “kabur” dulu ke pertokoan deket situ. Sampai-sampai setiap kali saya “pamer” hasil penemuan saya ke temen-temen sekamar, mereka heran kok bisaaaaa aja saya nemuin pernak-pernik itu haha…Sempet juga saya jalan-jalan sama mas cari gamis kecil buat Azzam, mas sampai heran kenapa saya hafal benget mana toko parfum yang murah, mana toko sajadah yang bagus, tempat kurma yang enak….hehe…

Tapi syukurlah saya belanja belanji yang banyak-nya udah di Mekah. Di sini harga-harganya lebih mahal dan sebelnya…gak bisa ditawar ! Hehe…

44. Pudarnya Semangat Ihrom

Saya paling suka saat kami berada dalam keadaan ihrom. Karena kami sadar betul akan larangan ihrom, maka kami jauh lebih menjaga. Siapa yang ingin melanggar larang ihrom yang beresiko hajinya batal, atau harus bayar dam atau fidyah? Saya juga suka waktu di Mekah, saat kami meyakini bahwa apapun yang kami lakukan, akan mendapat balasan langsung dari Allah.

Memang sih, banyak juga yang meskipun sedang berihrom, tetep we…parasea, memaki, dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Tapi….di Madinah ini saya merasakan betul bagaimana sebagian besar orang kembali “menjadi dirinya” dan secara psikologis meninggalkan kondisi ihrom yang seharusnya tetap dijaga seumur hidup.

Bapak-bapak mudah tersulut kalau senggolan dikit di lift. Saya gak bicara tentang jamaah Indonesia saja. Tapi juga jamaah bangsa lain. U know what? Sampai-sampai…lift itu dijaga ama petugas hotel. Kalau di hotel saya sih masih sebatas adu mulut. Tapi kalau di hotel teman saya, sampai adu jotos dan harus dijaga polisi!!!! Aduh…padahal kan mereka teh udah haji.

Kalau ibu-ibu, masalahnya teuteup…otoritas sajadah. Itulah sebabnya saya suka datang jauuuh sebelum waktu sholat. Bukan karena saya rajin…tapi itu karena…biar saya bisa dapet tempat di pojok depan, sehingga tak perlu menyaksikan suasana “panas” mulai 30 menit menjelang waktu sholat.

Ibu-ibu teh  jararutek dan garalak pisan kalau wilayah sajadahnya terganggu. Pernah saya menyaksikan, 3 orang ibu berteman yang tak mau bergeser sedikit pun, padahal jarak antara mereka masih sangat renggang. Mereka menolak seorang ibu yang mau sholat disamping mereka. Saat si ibu tetap mengambil tempat dan sholat sunnat, si ibu itu menyikutnya sambil marah, tetep gak mau geser. Aduuuuh…..pengen nangis liat yang gitu.

Pernah juga ada ibu yang masih tidur menjelang waktu sholat, yang tentunya mengambil tempat yang luas. Saat dibangunkan, ia marah. Ketika seorang Tunisia mengambil tempat disampingnya, ia pun marah dengan emosi yg tinggi. Sambil menunjuk-nunjuk si Tunis cantik, ia berteriak : “saya tau, kalian-kalian tuh dari tadi ada di luar…gak mau masuk…sana, cari tempat lain..jangan disini”. Aduuuuh…sebagai teman sebangsa saya sampai maluuuuu liat ekspresi wajah si tunis yang kaget dan berkali-kali beristighfar.

Saya juga melihat, prejudicenya tinggi banget disini. Kalau liat orang Turki, India, Bangladesh yang memang terkesan “kurang sopan”, ibu-ibu  ini langsung “siap tempur”. Sering orang-orang turki “mengomel” : “hai, we are sister, we are muslims,”….

Masalahnya, karena tak semua ibu-ibu jutek dan galak, sikap-sikap seperti itu menimbulkan “gelombang keburukan” : ibu-ibu lain ada yang “ngomongin”, ada yang negur dengan cara yang kurang baik (misal: kasih tempat dong bu..memang mesjid ini punya ibu, kalau mau sendirian aja jangan kesini dong…).  Tah, ini juga gak tepat. Messagenya bagus tapi embel-embel kata-kata selanjutnya menimbulkan reaksi defensif.

Ya…. kalau kita hayati, ritual ibadah haji sebenarnya mudah. Mudah sekali kalau kita lakukan sendirian. Tapi menghayati apa yang Allah latihkan pada kita saat melaksanakan ibadah haji, itu jauuuuh lebih sulit. Katanya, hakikat ibadah haji itu adalah melatih diri untuk meninggalkan ke-aku-an. Makanya dalam ihrom, laki-ali hanya boleh mengenakan dua lembar kain tak berjahit, perempuan tak boleh memakai wewangian (itu artinya segala jenis kosmetik tak bisa dipakai).

Berihrom, berhaji adalah latihan membuang sifat “aku”. SajadahKU, tempat sholatKU, AllahKU, AKU.

43. Raudhah Yang Luaaaaaaas

DSC_0032Banyak orang yang bilang mesjid nabawi itu indah dan nyaman. Ternyata mereka salah. Mesjid nabawi itu, indaaaaaaaah banget, cantiiiiiiik banget, dan nyamaaaaaan banget ;). Buat saya, seluruh masjid ini adalah taman syurga. Berada disini terasa nyaman….aman…tentram…tenang…tak hanya fisik dan psikologis, tapi juga spiritual. Bawaannya pengen nangis, tapi bukan nangis sedih. Entah apa namanya emosi ini. It’s a deep impact..

DSC_0028Entahlah, saya merasa Rasulullah, Abu Bakar yang terkenal kelembutannya dan Umar yang terkenal ketegasannya seolah ada di sini, bersama kami. Hidup. Duh, semoga di akhirat nanti bisa bertemu meraka. Amiiiin. Kalaulah ada obat yg bisa bikin gak batal wudhu dan ada obat yg bisa bikin kenyang, pengennya 24 jam disini.Selain payung-payungnya di luar yang terkenal mengagumkan, tadi ketika saya sedang tilawah tiba-tiba kubah diatas saya bergeser. Saya sudah sering mendengar … Tapi mengalaminya langsung, berada dimesjid tapi dibawah langit dan awan yang cantik, aduuuuuh itu rasanya tak terlukiskan.

Dan satu lagi…karena tempat laki-laki dan perempuan terpisah, maka saya bisa bebassss dengan posisi apapun disaat-saat masjid kosong. Tiduran, telungkup, enaaaak….

IMG-20131106-01039IMG-20131101-01013Tiap bada ashar, bada maghrib dan subuh, ada ceramah berbahasa indonesia dari ustadz-ustadz  yang pengetahuannya luaaaaasss banget. Kalau jelasin sesuatu, beliau jelasin dasar hukumnya, mana yang shohih mana yang lemah…banyaaaaak banget ilmu baru yang saya dapet disini. Penjelasannya sistematis dan clear. Meskipun saya tidak bisa menyaksikan orangnya karena beliau di tempat laki-laki, tapi apa yang beliau-beliau ucapkan kadang bikin nangis, bikin semangat, bikin tersepona we pokonya mah.

Saya baru tau ada program ini di hari kedua, karena tak semua bagian mesjid bisa mendengar. Mikrofonnya dilokalisir sehingga hanya daerah tertentu yang bisa mendengar. Saya sudah survey daerah mesjid mana yang bisa mendengar dengan jelas ceramahnya, dan sudah tau spot mana yang bisa nyender, dibawah kubah besar yang bisa geser, ga terlalu deket ac, sambil bisa dengerin ceramah hehe… Yaitu, tepat sebelah tempat sepatu no. 630, dari pintu Umar bin Khatab…di situlah tempat “nangkring” saya di sini…

Sekarang saya mengerti kenapa ada yang berusaha  tiap tahun umroh. I will miss it so much. Makanya…teman-teman…hayu urang berhemat…uang untuk ini itu yang gak perlu mending ditabung, lalu daripada liburan kesana-sini mending umroh kalau belum memungkinkan berhaji…..

It’s the best moment in my life. Semoga tahun depan dan setiap tahun kembali bisa berziarah kesini. Amiiin

Bada dzhuhur. 30 okt. Masjidnya Rasulullah

42. Taman Syurga

Rabu, 30 oktober 2013. 07.21.
Mesjid nabawi

Kami, saya dan beberapa teman sedang “mengantri” untuk masuk ke raudhah. Di sebelahnya ada makam tiga orang yang dijamin masuk syurga, Rasulullah dan dua sahabat terbaiknya, Abu Bakar dan Umar  Bin Khatab.

07.59
Kami berada di antrian tahap dua. Sudah dekat ke raudhah. Beberapa menit sebelum kami diminta bergerak tadi, ada keriuhan. Ternyata, ada serombongan ibu-ibu yang masuk dari pintu kiri, dan langsung duduk di urutan awal. Hal ini membuat rombongan ibu-ibu yang sudah mengantri lama protes. Ya, memang demikianlah adanya. Dimanapun, kapanpun, dalam konteks apapun, akan sangat sulit bagi kita untuk menemukan keadilan sejati di dunia ini hehe… Kalau kata tafsir al misbah-nya pak Qurais Shihab, itulah sebabnya ada hari perhitungan. Agar setiap individu mendapatkan keadilan sejati.

Begitu kami dipersilahkan bergerak, hadeeeuuuh… Ibu-ibu hajjah ini langsung berlarian, ada beberapa yang sikut sana sikut sini. Banyak yang tdk mengikuti arahan asykar, dilarang jalan sini, malah cuek…disuruh diam tunggu, malah masuk…jigana si asykar teh stress ngurus ibu-ibu indonesia mah haha…
Cik atuh lah bu hajjah… Gak mungkin kebaikan diraih dengan cara yang tak baik. Kalau saat ini Rasulullah menyaksikan, isin atuuh…

08.45
Kami berada di antrian tahap 3. Area raudhah terlihat semakin jelas.
Di depan kami langit berwarna biru dengan hiasan awan berarak. Kubah-kubah mesjid di bagian ini telah terbuka, menampilkan langit yang cantik dan udara yang segar.

09.13.
Antrian tahap 4. Kami sudah berada di area raudhah namun masih harus menunggu untuk memasukinya. Suasana semakin “panas”. Banyak yang tak sabar berdiri padahal diminta duduk. Perilaku minus (menyikut, dll), sama banyaknya dengan komentar minus yan diucapkan. Ya Allah…karuniai kami kesabaran dan keikhlasan.

DSC_0041

41. Berkah-Berkah Madinah

Senin, 28 Oktober 2013

Alhamdulillah, tepat ketika alarm pertanda saya harus minum pil kb yaitu jam 15, kami memasuki kota Madinah dan disambut oleh….hujan ! Alhamdulillah, semoga barokah yang menyambut kami, menaungi kami selama di Madinanh. Tapi pemandangan kiri-kanan kami masih berupa gurun pasir dan hujan batu. Penasaran, seperti apa “penampakan” kota ini….

16.18
Kami sampai di hotel tempat kami menginap. Namanya Al MajeediHotel. Memang hotelnya lebih sederhana dibanding hotel kami di Mekah. Tapi secara fungsional, lebih lengkap. Kamar-kamarnya model apartemen, satu unitnya terdiri dari dua kamar, satu kamar mandi besar yang ada bathtubnya dan dapur yang didalamnya ada kompor listrik, mesin cuci dan kulkas besarrr…

Kami dipasang-pasangkan. Satu kamar para istri, satu kamar para suaminya.

Dan, berkah yang kami dapat adalah….ternyata hotel kami ini berbatasan langsung dengan masjid nabawi ! Dari jendela kamar kami bisa melihat payung-payung  di pelataran masjid nabawi yang sangat terkenal itu. Subhanallah….

Tadi kami sudah sholat maghrib dan isya disana. Dibadingkan dengan di majidil haram, di nabawi lebih “disiplin”. Petugas wanita pengatur jamaah banyak, dan bisa berbagai bahasa, terutama bahasa indonesia. Petugas air zamzamnya ternyata banyak yang TKW Indonesia. Tadi kami berbincang berbahasa sunda karena salah satunya berasal dari Cililin 😉

Semoga kemudahan dan keberkahan mengiringi hari-hari kami disini…tak sabar berkunjung ke raudhah…

Madinah, selasa 29 okt, 21.31.

Di sini, karena konfigurasi jumlah tempat tidurnya berbeda dengan di Mekah, maka ada beberapa orang yang berganti teman sekamar. Saya adalah salah satunya. Sekarang, salah seorang teman sekamar saya adalah seorang ibu sepuh. Ah, bersama beliau, saya tercerahkan akan satu hal: bahwa seringkali saya tak mensyukuri nikmat “usia muda” yang saya miliki. Ternyata, kalau sudah sepuh itu, kekuatan dan kondisi fisik sangat terbatas. Sangat amat terbatas. Sehingga amalan-amalan yang bisa dilakukan pun terbatas pula. Selain itu, melihat keterbatasan beliau karena usianya, jadi tertanam niat untuk nanti bisa merawat mamah atau emak mertua saat mereka sudah sepuh…

40. Dari “yang disucikan” menuju “yang bercahaya”

Selasa 29 Oktober 2013

Kami di bis on the way to Madinah. Akan meninggalkan Mekah Al Mukarromah, Mekah yang disucikan, menuju Madinah Al Munawwaroh, Madinah yang bercahaya.

Berangkat kurang lebih jam 8 tadi pagi, katanya perjalanan kurang lebih selama 6 jam. Saya baru bangun hehe… Dan pemandangan di kiri kanan kini adalah padang pasir yang diselingi gunung-gunung batu. Ah, kebayang waktu zaman rasulullah dahulu. Pasti alamnya jauh lebih ganas, dan waktu hijrah Beliau tak melaluinya dengan bis ber ac seperti ini. Saya juga membayangkan perang-peran yang terjadi….perang badar, perang uhud….ah, speechless…pantaslah para sahabat yang gugur bergelar syuhada dan mendapat jaminan syurga.

Kata mas, ia juga jadi mengerti kenapa jaman penjajahan belanda dulu, penjajah sangat takut dengan yang pergi berhaji. Yang pulang haji, pasti sudah tertempa fisik, spiritual bahkan wawasan saat bertukar pikiran dengan seluruh warga muslim sedunia, terutama saat di Mina. Tak heran penggerak-penggerak dan pahlawan-pahlawan  kemerdekaan datang dari kaum yang pulang berhaji.

Semalam, bada isya kami melakukan thawaf wada. Thawaf perpisahan. Rasanya? Tak terbayangkan. Sedih, campur haru, campur syukur, campur harap yang amat besar untuk bisa diundang kembali, campur kangen, campur baur menjadi rasa yang tak terdefinisikan. Belum pernah saya merasakan perasaan sedalam ini. Tujuh kali putaran, saya tak sanggup berdoa apapun. Segala campur baur perasaan ini membuat saya hanya bisa mengucapkan satu kata. Allah. Hanya air mata saja yang bisa mengekspresikannya.

Walaupun mas terpincang-pincang karena keseleo kakinya, tapi ia mau mengabulkan keinginan saya, mengantar dan melindungi saya masuk ke Hijir Ismail dan memegang Rukun Yamani. Tadinya, melihat kondisi mas saya sudah pasrah dan berdoa agar keinginan masuk ke Hijr Ismail dan memegang Rukun Yamani jadi “PR” yang membuat saya bisa kembali lagi kesini untuk menyelesaikannya. Makanya, pas mas tetap mengusahakannya, setelahnya saya peluk mas, pelukan yang paling …. “sesuatu” selama 11 tahun menikah ini (gak tau namanya apa, pokoknya didorong oleh perasaan yang “dalem” banget lah..hehe..)

Di Hijr ismail, duh…saya bener-bener speechless. Berada di rumah seorang wanita, yang di mata manusia paling hina (wanita sering dipandang sebagai warga kelas dua), budak, hitam, (yang karena itulah dipilih oleh Sarah istri ibrahim, karena tak akan menimbulkan kecemburuan), tapi oleh Allah diangkat derajatnya setinggi-tingginya. Terbayang saat beliau ditinggalkan di lembah tandus Mekkah, terbayang perasaannya saat Ismail menangis sedangkan air tak ada, terbayang upayanya bolak-balik bukit Shafa dan Marwah mencari air, terbayang betapa bahagianya ia saat melihat zamzam mengalir… Duh ya Allah…karuniakanlah aku ketauhidan sekuat tauhid  Hajar, karuniakanlah semangat ikhtiar sebesar semangat  Hajar, karuniakanlah cinta yang amat pada anak-anakku, sebesar cinta  Hajar.

Setelah berthawaf wada, rombongan kami janjian ketemuan untuk berdoa bersama dipimpin pak Ustadz. Saat ketemu teman-teman, rata-rata matanya pada bengkak habis menangis. Kami puas-puasin berdoa di Multazam.

Dalam perjalanan pulang, rasa sedih itu terasa lagi. Di sepanjang jalan dari pool bis sampai maktab kami, para pedagang yang selama puluhan hari ini menjadi langganan kami membeli segala macam keperluan, berdiri di depan toko-tokonya. “wada? wada? selamat tinggal” kata mereka sambil melambaikan tangannya pada kami. Beberapa bahkan memanggil kami dan memberikan buah…..Saya sendiri “say goodbye” secara khusus dengan seorang pemuda berwajah arab berperawakan ceking penjual buah yang selama ini hampir setiap hari melayani saya. Ah, cuman satu bulan, tapi rasanya sudah terjalin “hubungan emosional” antara kami dengan mereka (kkkk…lebay….)

Tadi pagi, sejak jam 4 kami sudah bersiap. Koper sih sudah dikumpul sejak semalam di bawah. Koper-koper yang dalam waktu 30 hari, pada hamil 9 bulan haha….Dan selain hamil, ternyata ia juga sudah beranak. Terbukti, tidak hanya tas tentengan yang kami bawa. Tapi bertambah dengan tas ini-itu berisi beragam oleh-oleh. Plus juga ember-ember, rice cooker dan peralatan jemur menjemur yang kami bawa ke Madinah.

Proses mengepak koper bukanlah proses yang mudah bagi kami para ibu-ibu. Harus memutar otak dan menggunakan beragam rumus matematika untuk membuat ruang-ruang di koper kami muat diisi oleh segala macam oleh-oleh yang kami beli. Kami saling berguru ilmu mengenai cara packing yang paling efisien dengan sesama teman sekamar. Dalam hal ini, bapak-bapak dalam keadaan pasrah. Pasrah diimpor-i beragam barang yang tak muat di koper kami, pasrah saat kami ambil alih proses pengepakan kopernya haha…. Dan salah satu yang paling berat buat saya adalah, saat harus memilih barang-barang yang mau tak mau harus saya tinggalkan karena ruang tak muat. Termasuk dua tikar yang menemani perjalanan ke Mina-Arafah. Tikar yang menjadi alas tidur di jalan mudzalifah. Saat termangu memandangi tikar-tikar itu, seorang teman saya bilang “ayo…tinggalin aja…meni kayak nini-nini segala berat ditinggalin” katanya …. haha….

Selama di Mekkah dan di baitullah, tak sempat melihat dengan mata kepala sendiri hajar aswad, gak berani mendekat. Pernah saya ada kesempatan mendekat, hadeeeeuuuh…para joki, yaitu orang-orang  Indonesia banyak yang menawari jasa “mencium” hajar aswad. Kami sudah diwanti-wanti untuk menolaknya dengan tegas. Karena mereka meminta bayarang yang tinggi. Dan tidak hanya itu, bagi kami yang berusaha melakukanya tanpa meminta bantuan mereka, mereka akan berupaya menggagalkan dengan cara menghalangi sampai menggencet. Sering kami dengar jeritan-jeritan akibat ulah mereka.

Dari buku-buku yang saya baca, hampir semua menggambarkan bahwa Mekah dan Madinah memiliki karakteristik ynag berbeda, baik secara fisik maupun soiologis dan psikologis. Meskipun sedih meninggalkan Mekah, namun excited juga menuju Madinah.

39. Sai : The Power of Love

IMG-20131019-00977Jujur saja, setiap kali saya bersa’i, saya pasti teler. Mulai putaran ke 3 biasanya langkah saya mulai  gontai, harus berhenti-berhenti untuk istirahat. Biasanya saya membasuh kaki saya dengan air zamzam dingin sambil mensugesti diri untuk kuat.

Sampai-sampai di salah satu sa’i saat umroh sunnah, saya minta mas meninggalkan saya, dan kita janjian ketemu di tempat tahallul aja di bukit marwa. Padahal, mas dari pertama udah bilang: “ayo…jangan kalah sama Hajar…!”.

Ya, saya membayangkan sosok ibu agung itu….kalau kini, jarak 400m x 7 itu berlantai, ber-ac sejuk dengan kran-kran air zamzam di sepanjang jalannya, waktu  Hajar dulu pastinya berupa padang pasir tandus, panas dan kering. Hanya “the power of love” terhadap puteranya Ismail saja-lah memang yang membuat Hajar tak kenal lelah bolak balik 7 kali antara bukit shafa dan marwah….

Ya….kekuatan cinta ibu memang tak ada bandingannya. Mampu membuat ibu melakukan hal-hal  yang tak terbayang dan secara objektif amat berat dilakukan orang lain. Saya jadi ingat klien-klien saya. Ibu-ibu hebat yang mendapat ujian lewat anak-anaknya. Saya ingat seorang ibu dari anak tuna rungu yang bersekolah di sekolah biasa, lalu ortu lainnya membuat petisi untuk mengeluarkan anak itu, karena khawatir anak itu “mengganggu anak yang normal”. Ibu itu sampai izin kerja 2 minggu, setiap hari mengobservasi dan mencatat perilaku anaknya di kelas, untuk menunjukkan bukti bahwa anaknya tak memberi dampak buruk bagi yang lain. Saya juga ingat ibu-ibu yang tak kenal lelah mengajak anaknya terapi. Ada seorang ibu dulu yang datang ke tempat terapi basah kuyup karena dia naik ojek dari buahbatu ke dago. Saya juga ingat ibu yang harus bolak-balik mengurus surat miskin agar anaknya bisa diperiksa secara psikologis, untuk membuktikan bahwa anaknya tak harus masuk SLB.

Ya, kekuatan cinta ksih ibu, dalam bentuk apapun, memang tak ada tandingannya….

Previous Older Entries