# 03 Bukan Patah Hati Biasa

 

 

 

 

 

Setengah jam kemudian, Rara dan Amelie sudah berada di bis menuju centrum. Berbeda dengan di Amsterdam, di Maastricht tidak ada tram. Transportasi umum adalah bis dan kereta. Amelie memarkir mobilnya di tempat parkir Maastricht University, lalu mereka membeli karcis bus seharga 2 euro di stasiun bis dekat sana. Setelah menunggu sekitar 15 menit, bis pun datang. Rara dan Amelie memilih tempat duduk di tengah, yang posisinya cukup tinggi. Sangat strategies untuk menikmati kiri-kanan yang tampak cantik. Amelie janjian dengan Martin jam 13, jadi masih ada waktu sekitar 1,5 jam untuk mereka berjalan-jalan di sekitar centrum.

Saat itu autumn menuju winter. Walaupun cuaca terang, tapi dinginnya tetap menusuk. Turun dari bis, Rara melingkarkan syal abunya lebih ketat pada lehernya. Sungai Maas terpampang indah di depannya.  Mereka berjalan sepanjang sungai, lalu menuju Maastrich city hall.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jalan-jalan di sekitar centrum tampak semakin cantik dengan dekorasi menjelang natal yang satu bulan lagi akan dirayakan. Di depan city hall, banyak pedagang buah dan bunga. Rara membeli buah kesemek kesukaannya, yang disini disebut “kaki fruit”. Harganya 3,5 euro per 10 buah. Sedangkan Amelie, membeli nanas kesukaan om Mark (Om Mark jatuh cinta pada nanas sejak pertama kali mencicipinya di Bandung). Rara juga membeli seikat bunga berwarna orange, ia titipkan pada Amelie untuk diberikan pada Tante Martha. Sebenarnya jarak dari city hall ke Boekhandel Dominicanen sangat dekat, sekitar 3 menit saja berjalan. Tapi mereka melewatinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mereka berjalan melewati Basilica of Saint Servatius yang terkenal dengan bangunan merahnya. Bangunan super tua itu semakin terlihat megah namun anggun. Tanpa harus bersepakat, Amelie dan Rara tau tempat yang dituju kemudian, yaitu Helpoort. Pada jamannya, Helpoort  merupakan pintu gerbang masuk ke kota Maastricht dan merupakan salah satu pintu gerbang kota tertua di Belanda. Helpoort adalah pemandangan favorit Rara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selama berjalan, dua sahabat itu riang bercerita tentang segala macam hal.  Mereka menemukan satu kursi dengan pemandangan helpoort yang cantik di depan mereka. Amelie mebuaka bekalnya : dua roti lapis dan dua apel. “Mau ke Bonnefanten gak?”, Amelie menggoda Rara. Amelie tahu Rara agak “trauma” dengan koleksi yang ia lihat di Bonnefanten Museum. Tiga tahun lalu, waktu Amelie pertama kali mengajak Rara ke rumahnya, sebagai nyonya rumah yang baik ia mengajak Rara ke tempat-tempat yang populer untuk para turis. Salah satunya adalah Museum Bonnefanten. Selama tour, Rara menggamit erat tangan Amelie, dan mengajaknya cepat keluar dari Museum. Malamnya, Rara tidak bisa tidur. “koleksi yang kuliat tadi membuat aku depresi”. Amelie masih ingat kata-kata Rara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.15. “Hei, cari hot chocolate  yuk. Nanti kamu telat ketemu Martin”, Rara mengingatkan. Mereka memilih sebuah cafe yang sepi, dengan kursi yang terbuat dari rotan. Amelie memesan kopi, Rara memesan hot chocolate. “Gak percaya kamu tinggal dua minggu lagi disini”, Amelie berkata. Kalimat pendek dari sahabatnya itu sudah cukup membuat Rara berkaca-kaca. “Sorry, I am so sorry, Aku gak bermaksud bikin kamu sedih”, Amelie kaget dan refleks berpindah tempat ke samping Rara, menggenggam tangan sahabatnya.  “Gapapa, bukan salah kamu”, kata Rara berusaha mengendalikan emosinya. “It just… aku ingin menutup hari-hariku di negeri ini dengan kenangan manis. Aku ingin meninggalkan tanah ini dengan senyuman, Amelie”. Amelie memeluk sahabatnya. “Dan sekarang rasanya aku tak bisa. Itulah sebabnya aku merasa dia sangat jahat, Amelie. Dia tidak peduli sama sekali apa yang akan aku rasakan setelah aku mendengar apa yang ia katakan. Dia jahat, Amelie”. Kali ini Rara tak lagi berusaha menahan perasaannya. Ia terguguk dalam pelukan erat sahabatnya. Amelie tidak tahu persis apa yang terjadi, meskipun ia bisa menebaknya samar-samar. Yang ia tahu dengan pasti adalah, saat sahabatnya sudah mengeluarkan isi hatinya, artinya kejadian yang ia alami adalah sesuatu yang “besar”dan “dalam”, yang tak bisa ia simpan sendiri. Rara adalah orang yang paling bisa menyimpan perasaannya dalam-dalam. Hanya orang-orang yang sangat dekat dengannya, yang akan tau apa yang ia rasakan sesungguhnya, itu pun kalau Rara sudah siap mengungkapkannya.

“What exactly did he tell you, Rara?” akhirnya Amelie tidak tahan. Melihat sahabatnya begitu terluka, ia jadi ragu pada tebakannya. “He… he.. he told me… “ Rara melepas pelukan sahabatnya, mengambil tisue, menghapus air matanya, berusaha menenangkan diri, menyeruput hot chocolatenya. Dua sahabat itu saling menatap. “He told me, he want to spend the rest of his life with me”, tangis Rara pecah lagi di ujung kalimat. Dua sahabat itu berpelukan lagi. Rara menangis lebih hebat dari sebelumnya. Kali ini Amelie mengerti. Ia peluk sahabatnya seerat yang ia bisa. Sahabatnya memang mengalami patah hati yang amat parah. Bukan, bukan seperti patah hati yang biasanya orang lain rasakan. Semua laki-laki di dunia boleh mengatakan kalimat “I want to spend the rest of my life with you” untuk merayu, atau untuk mengungkapkan cintanya. Tapi ketika kalimat itu diucapkan oleh laki-laki Belanda, itu bukan main-main. Apalagi jika kalimat itu diucapkan oleh Jeroen, laki-laki super serius itu. Kalimat itu adalah gabungan cinta yang dalam dan komitmen yang kuat. Dan bagian rumitnya adalah, Amelie tahu betapa dalam pula cinta Rara pada laki-laki itu. Namun, semesta tak berpihak pada mereka, dan rasanya tak akan pernah berpihak. Kini air matanya Amelie pun ikut menetes.

 

#02 Amelie

“Hai…kalian curang tidak membangunkan aku!” teriakan Amelie memecah keheningan yang terjadi antara Rara dan Om Mark. Amelie bersandar pada bingkai pintu, dengan rambut keriting merah kecoklatannya yang acak-acakan. Rara dan Om Mark saling memandang dan tersenyum. Mereka sepakat untuk tak pernah membangunkan Amelie. Kalau melihat Amelie tertidur, rasanya tak ada seorang pun yang tega membangunkannya. Ia tidur seperti bayi. Wajah bulatnya, kulit putih kemerahan dengan sedikit bintik, membuat siapapun lebih memilih untuk menatapnya dan tertulari perasaan damai, dibandingkan membangunkannya.

Dengan wajah cemberut, Amelie memandang mereka : “Kalian tidak mulai membicarakan itu tanpa aku kan“. Wajahnya dibuat seolah-olah “menginterogasi” kami. “Itu apa?” Wajah Om Mark tak kalah “menggoda”. “Insiden Vondelpark!” katanya. Hahaha… Amelie memang paling jago bikin jargon-jargon lucu. “Insiden Vondelpark” pasti ia maksudkan peristiwa yang membuat Rara patah hati itu. “What do you think?” Om Mark memberi tanda pada Rara seolah-olah mereka punya rahasia. Amelie menatap wajah Rara : “Melihat masih mendungnya wajah kamu, kamu pasti belum siap menceritakannya. Iya kaaan?” tanyanya. Rara hanya tersenyum.

“Makan yuk! I am starving” kata Amelie mengalihkan pembicaraan. “Kita berdua yang masak ya Pa, Papa santai saja baca koran”, kata Amelie menyodorkan koran hari itu pada Om Mark. “Oke, nanti papa yang cuci piring” kata Om Mark. Ini salah satu yang Rara kagumi dari bapak-bapak di Belanda. Di awal, dia tak terbiasa melihat om Mark atau Prof. Hans memasak atau mencuci piring. Sampai om Mark bilang “Rara, real man do the dishes”. Sebagai negara yang berada di garis terdepan persamaan gender, di Belanda sangat biasa para laki-laki  mencuci, memasak, menyetrika, membereskan rumah, menggendong bayi atau mendorong stroller.

02 amelie_breakfastRara dan Amelie menyiapkan sarapan. Kentang rebus, ayam panggang dan tumis bayam yang ditaburi “pijnboom pitten“. Sambil makan, Amelie bertanya: “Rara, what will you do today? kamu masih perlu sendirian?” . “Aku belum punya rencana apapun”, jawab Rara. “Aku ada janji dengan Martin di Boekhandel Dominicanen buat cari kado buat Mama Martha. Trus kayaknya menginap di rumah Martin. Besok ultah Mama Martha. Kamu mau ikut gak?” Mama Martha yang dimaksud Amelie adalah mamanya Martin, calon mertua Amelie. Tante Martha dan Tante Imke adalah sahabat baik. Percaya atau tidak, pertunangan Amelie dan Martin adalah hasil perjodohan Tante Martha dan Tante Imke. Rara masih ingat bagaimana dua tahun lalu Amelie berusaha menumbuhkan cinta pada pemuda canggung super jangkung yang berprofesi sebagai pengacara itu. Syukurlah cinta itu perlahan tumbuh, sehingga tepat seminggu sebelum tante Imke wafat tahun lalu, pertunangan mereka dilaksanakan, tanpa paksaan dan penuh cinta.

“Papa ada janji di kampus jam 10” kata Om Mark. Meskipun Om Mark sudah pensiun, namun ia masih mengisi kuliah seminggu sekali dan masih punya jadwal meeting dengan kolega-koleganya. “Bagaimana kalau kamu berangkat dengan Amelie. Kamu bisa jalan-jalan di sekitar centrum, nanti jam 4 kita ketemu di De Tribune. Ada buku yang harus om ambil disana”. De Tribune adalah toko buku favorit om Mark dan tante Imke. Om Mark sering sekali memesan buku-buku baru di toko buku itu. Rara sudah beberapa kali diajak kesana. Pemiliknya adalah sahabat Om Mark, Om Rene. Ia menjaga sendiri toko buku itu, dan mulai mengkader cucunya. Om Rene bukan sembarang “pemilik toko buku”. Ia pecinta buku. Ambillah satu buku sembarang di toko itu, tanyakan isinya apa. Om Rene akan menceritakannya dengan mata berbinar, lalu ia juga akan menceritakan mengenai pengarangnya, dan buku-buku lain yang ditulis oleh pengarang tersebut. Rara dan Amelie pernah menemani Om Mark kesana, dan mereka harus menunggu obrolan mereka berdua satu jam lebih! Sungai Maas dan bangunan-bangunan cantik di sekitarnya adalah favorit Rara. Rencana yang ditawarkan om Mark sangat sempurna.

Jam 10 kurang 20 menit, tepat saat om Mark menyelesaikan piring terakhir yang ia cuci. Om Mark lalu pamit, Amelie juga pamit untuk mandi. Tinggal Rara sendirian di meja makan. Di meja makan ini, percakapan selalu terasa hangat. Kalau Rara diminta memilih momen-momen terbaik dalam hidupnya, maka berbincang di meja makan ini akan masuk di momen itu. Terutama saat sosok Om Mark ada dalam lingkaran perbincangan itu. Mungkin karena Rara tak pernah mengenal sosok yang namanya ayah. Di negeri inilah ia pertama kali mengenal  dua sosok ayah. Prof Hans dan Om Mark, di usianya yang ke-25 tahun.

02 amelie_meja makan

Ah, Yang Maha Kuasa memang penuh rahasia. Rara teringat momen pertemuan pertama dengan Amelie. Setelah acara semi formal perkenalan dan sesi formal pertemuan antara Prof Hans, Christian sebagai daily supervisor dan Barbara dan Amelie sebagai tim, Amelie langsung mendatanginya. “You have to meet my papa, he will loves you”, ia langsung berkata demikian dengan gesturenya yang saat itu terasa mengintimidasi bagi Rara. “He is Indonesia big fan. He loves nasi goreng. soto betawi, rendang, nasi rames and sop buntut. He visit Indonesia every year! He fall in love with Bali, Lombok, Jogja, Bunaken, Raja Ampat, Bandung and Ciwidey. He said Indonesia is a perfect place for my honeymoon someday”. Rara ingin tertawa mendengar Amelie mengucapkan nama makanan dan tempat-tempat di Indonesia dengan pronunciation Dutch-nya.

Di negeri individualis ini, menjadi kolega di kampus belum tentu otomatis menjadi teman. Tapi itu tak terjadi antara Amelie dan Rara. Sejak hari itu, sampai 4 tahun kemudian saat ini, mereka menjadi sahabat. Om Mark yang seolah menjadi lem bagi meraka. Dua gadis yang lahir dan tumbuh besar dengan jarak 11 ribuan kilometer, bertemu setelah 25 tahun, dengan tampilan fisik dan kepribadian yang berbeda, tapi langsung merasa “dekat” mulai saat pertama kali bertemu. Hari itu, mereka pulang dari kampus bersama.

Waktu menunjukkan pukul 10.30 saat langkah Amelie terdengar menuruni tangga. Ia sudah tampil cantik dengan kemeja kotak-kotak kecil berwarna gelap dan celana jeans. Rambutnya digulung ke atas. Penampilan Amelie memang cenderung casual. Ia menghampiri Rara yang masih duduk di kursi makan. “He apps me” katanya dengan suara rendah. “Dia tanya apakah kamu baik-baik saja. Aku jawab yes”. Rara mengangguk meng-iya-kan. “But, are you ?” tanya Amelie. wajahnya menatap Rara serius. “I feel much better now” jawab Rara. Ia masih belum siap menceritakana apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan dia di Vondelpark tempo hari.

 

 

#01 Patah Hati

Jam di pergelangan tangan Rara menunjukkan waktu 18.45. Lima belas menit lagi kereta akan sampai di stasiun Maastricht. Rara bersiap-siap,  disekanya sisa air mata yang masih menggenang di matanya. Ia tak mau bertemu Amelie dengan wajah yang mendung, meskipun ia tahu tak mungkin memakai topeng keceriaan di depan sobatnya itu. Setiap kali berkunjung ke Maastricht, biasanya ia menikmati 3 jam perjalanan Amsterdam-Maastricht dengan memandang lahan-lahan luas dari jendela keretanya. Tapi tidak kali ini. Ia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan membaca buku, tapi kata-kata yang ia baca tak bisa ia cerna. Seluruh inderanya tak mau beranjak dari situasi 7 jam lalu. Di telinganya masih terdengar jelas suara berat itu, rangkaian kalimat itu, kulitnya masih bisa merasakan dinginnya kursi kayu yang ia genggam saat dirinya terasa limbung setelah mendengar kalimat itu. Hanya matanya yang cukup kooperatif, bisa ia minta mengusir bayangan dia, dengan cara mengerdipkan mata.

patahhati_stasiunKereta berhenti, dengan pemberitahuan sudah sampai di stasiun Maastricht. Ia hanya membawa ransel abu yang setia menemaninya. Meskipun mungkin akan menginap beberapa hari di rumah Amelie, mana sempat tadi ia pulang ke apartmentnya. Kalimat Amelie tadi seperti hipnotis baginya. “Kamu naik intercity jam 16.30an dari Amsterdam Zuid, jam 19 aku jemput di stasiun Maastricht”. Begitu Rara melihat aplikasi 9292nya, dia tersenyum. Perintah Amelie sangat akurat. Ada kereta menuju Maastricht bertolak jam 16.26 dari Platform 2 Amsterdam Zuid.

Tak seperti stasiun-stasiun di Amsterdam yang selalu penuh orang, stasiun Maastricht agak lengang. Belum sampai Rara di pintu keluar stasiun, sosok tinggi besar-yang wajahnya selalu tampak tersenyum itu, dengan rambutnya yang keriting berwarna merah kecoklatan, telah menghambur ke arahnya. Amelie, sahabatnya. Memeluknya dengan super erat.  “Kupikir akan telat. Tadi aku ke toko Turki dulu menyiapkan perbekalan buatmu, biar kamu nanti langsung makan dan istirahat. Tadi cari parkirnya susah banget”. Ah, setiap kali Amelie atau Om Mark-ayah Amelie menjemputnya dari stasiun, agenda pertama selalu ke toko Turki, untuk membeli persediaan makanan halal untuknya.

“Sori aku kasih tau Papa. Aku gak tahan” katanya dengan wajah baby-facenya, begitu kami sampai di mobilnya. “It’s oke“, jawab Rara. Buat Rara, Om Mark sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Ayah yang tak pernah ia miliki. “How is your feeling now?” tanya Amelie. Tangan kirinya memegang kemudi, tangan kanannya menggenggam tangan Rara. “I don’t know” jawab Rara.

Dua puluh menit kemudian, mereka mulai memasuki gerbang “desa” dimana rumah Amelie berada. Kali ini, dengan sepenuh perasaan, Rara menikmati pemandangan sekitar. Saat itu, bulan November. Di Amsterdam, pohon-pohonnya sudah sepenuhnya gundul, menyisakan batang, dahan dan ranting berwarna hitam. Tapi disini, warna orange-kuning-emas daun masih terlihat. Bangunan gereja tua yang dikelilingi oleh kolam mulai terlihat. Beberapa angsa putih terlihat berenang-renang.

patahhati_rumahRumah Amelie mulai terlihat. Rumah ‘sederhana” berbata merah, dengan kaca besar yang tirainya hampir selalu terbuka, seperti lazimnya rumah di Belanda.Tak seperti di Amsterdam yang didominasi oleh apartemen, di desa Amelie rumah-rumahnya berbentuk “rumah” yang benar-benar terasa hommy. Belum sampai mobil berhenti, pintu  bercat putih itu sudah terbuka. Om Mark, sama tinggi-besarnya dengan Amelie, sudah mengembangkan tangannya untuk memeluk Rara. “Welcome home, my daughter”, begitu bisiknya di telinga Rara. 

Om Mark adalah Profesor Filosofi di Universitas Maastricht. Ia baru pensiun tahun lalu. Di usia 75 tahun saat ini, ia masih tampak gagah. Tak seperti Amelie yang wajahnya selalu tampak sumringah, wajah om Mark selalu tampak “serius”. Rambut abu bercampur putih, bagian depannya panjang menutupi keningnya. Setiap bicara, ia seperti bicara dengan jiwanya, seperti berpuisi. Rara selalu merasa om Mark adalah “filsuf sejati”.

Masuk rumah, Om Mark melepaskan jaket  Rara, menggantung di tempatnya. Om Mark memang masih memegang teguh etika penghormatan laki-laki pada perempuan. Melepaskan jaket, membukakan pintu mobil, menarik kursi, ia lakukan pada istrinya, Amelie, dan tentunya pada Rara. Tante Imke, ibu Amelie, wafat karena kanker setahun lalu. Sejak saat itu, om Mark tinggal sendiri sementara Amelie menyelesaikan PhDnya di Amsterdam, bersama Rara.

“Maaf Om, Amelie, Rara sepertinya akan langsung istirahat. Tadi sudah makan roti di kereta”, kata Rara. Ia tau jam  makan malam yaitu jam 18 sudah lewat. Mungkin om Mark dan Amelie menunggunya, tapi ia benar-benar tak ingin air matanya tumpah. Ia belum siap menceritakan kejadian siang tadi. Padahal meja makan adalah tempat paling menggoda untuk saling berbagi cerita di rumah ini. “We understand, Rara. Kamarmu udah disiapkan di atas. Meskipun Amelie pengen tidur bareng kamu, tapi pasti kamu pengen sendirian malam ini” kata Om Mark. “Aku sudah menyimpan baju-baju panjangku yang cocok buat kamu di kamar atas” tambah Amelie. Setelah berpelukan, Rara naik ke kamar atas, yang ada di lantai 3. Ia menaiki tangga sempit yang curam-khas Belanda, berwarna abu. Ia tersenyum sendiri saat mengingat kekonyolan Amelie yang setiap menemukan tangga, kalau sempit dan curam akan berseru “Dutch stairs”. Jika tangganya lebar dan tidak curam, ia akan berseru “Indonesian stairs”.

Kamar itu  terletak di lantai 3, atapnya berbentuk segitiga. Ukurannya 3×3 meter, diperuntukkan untuk tamu.  Rumah ini hanya memiliki 3 kamar. Dua kamar di lantai 2, satu kamar tamu di lantai 3. Tiap berkunjung kesini, biasanya Rara tidur di kamar Amelie di lantai 2.  Kasur di kamar ini  berupa kasur portabel, kasur angin yang bisa dipompa. Selain kasur, kamar ini dipenuhi buku. Membaca adalah nafas bagi Om Mark. Bukunya beragam macam. Di ujung, ada jendela yang membuat Rara bisa menatap pepohonan dan atap rumah di sebrang. Di ujung satunya, sajadah batik biru miliknya sudah teretang di atas karpet yang tebal, menghadap kiblat. Meskipun Amelie dan Tante Imke penganut Katolik taat dan Om Mark menyatakan “I am not a religious person”, tapi Rara merasa ia sangat diterima di keluarga ini. Sajadah batik biru itu ia bawa saat pertama kali berkunjung ke rumah ini 3 tahun lalu. Tante Imke sangat mengagumi motif batik di sajadah itu, membuat Rara menghadiahkan sajadah itu untuk tante Imke. Tante Imke senang sekali. Setiap Rara berkunjung, sajadah itu selalu sudah disiapkan tante Imke. Kali ini, mungkin Amelie yang menyiapkannya.

Setelah berganti baju, mencuci muka dan menyikat gigi di kamar mandi depan kamarnya, Rara menenggelamkan diri di bawah selimut hangat berwarna abu. Ia matikan lampu, segera menutup matanya. Ia berdoa semoga lelap segera menghampirinya. Pikirannya terasa penuh. Ia tak ingin memikirkan apapun, dan tak ingin merasakan apapun, apalagi memikirkan dan merasakan kejadian tadi siang.

……….

Ia terbangun oleh alarm dari handphonenya. Jam 4. Subuh jam 06.30 hari ini. Bangun jam 4 lalu mandi, adalah satu kebiasaan yang tak bisa diubahnya, yang ia bawa dari Indonesia. Jam berapapun subuhnya, Ia akan terbangun jam 4, dan merasa “harus” mandi, di musim apapun. Seperti sebuah keterikatan psikologis. Setelah itu, ia akan sholat, lalu membuka laptopnya. Hal-hal yang sulit akan ia kerjakan di rentang waktu itu, dimana ia merasa kepalanya sangat jernih dan pikiran cemerlang mudah mendatanginya.

Kali ini, ia tak mau membuka laptop. Setelah mandi, sholat, ia terpekur di sajadahnya. Ia masih belum ingin mengolah perasaannya terkait kejadian kemarin siang, meskipun kali ia merasa pikirannya lebih jernih. Ia justru menghadirkan memorinya tentang Bunda, di Bandung sana. Kalau ia sudah siap, ia akan bercerita pada Bunda tentang kejadian kemarin siang.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan jam 7. Langit mulai terang, terlihat dari jendela kamar. Rara turun ke dapur. Amelie dan om Mark belum bangun tampaknya. Ia menuangkan “chocomel”, susu coklat favoritnya ke dalam gelas, lalu menghangatkannya di  microwave. Di belakang rumah ini ada taman kecil. Ia bisa melihatnya melalui kaca besar di depannya. Kini terlihat kurang terawat. Dibukanya pintu yang mengarah ke taman itu. Udara dingin 1 derajat langsung terasa menggigit. Rara mengambil jaket dan syalnya, lalu kembali keluar. Terasa sejuk kali ini. Ia menuju taman itu, meletakkan gelas chocomel-nya di meja, dan ia duduk di kursi kayu yang sama dinginnya dengan kursi kayu di Vondelpark, yang ia duduki kemarin siang.

patahhati_taman

“Morning!” suara Om Mark mengagetkan Rara. Om Mark tampaknya sudah mandi, Rambutnya basah tapi tersisir rapi. “Gak kedingian disana Rara?” katanya dari pintu dapur. “Engga om”, jawab Rara. “I’ll make you a cup of Het Wonder Van Nijmegen, ok” katanya. “Het Wonder Van Nijmegen” atau “The miracle of Nijmegen” adalah teh kesukaan Rara. Teh kesukaan Om Mark adalah teh Tjibuni, yang Rara bawakan setiap kali pulang ke Indnesia. Sepuluh menit kemudian, Om Mark telah berjaket membawa dua gelas teh yang masih mengepul. Rara melingkarkan jemarinya menggenggam gelas yang diberikan om Mark, terasa hangat di tangannya yang dingin.

patahhati_teh

“Om belum pernah cerita ya, taman ini om namakan taman patah hati” katanya sambil tersenyum dengan cara bicaranya yang seperti berpuisi. “Kenapa om?” tanya Rara. “Karena setiap kali Amelie patah hati, dia selalu cerita sama om disini”. Katanya sambil tersenyum. Rara ikut tersenyum, membayangkan sahabatnya pasti bercerita dengan ekspresifnya pada ayahnya. “Ah, Om baru ingat. Amelie pertama kali patah hati sama cowok yang namanya Martin, waktu itu dia kelas 4 SD”. Kami tertawa bersama. Saat ini Amelie telah bertunangan dengan Martin. “Tapi bukan Martin Van Rijn kan?” tanya Rara menyebutkan nama lengkap tunangan Amelie. “Tentu bukan”. jawab om Mark sambil tertawa.

Sejenak, suasana menjadi hangat. Rara menyesap tehnya, saat ia menyadari bahwa kalimat Om Mark terkait dengan kondisi dirinya. “Kamu memang istimewa, Rara” tiba-tiba om Mark berkata lirih. Rara menatap om Mark yang tengah menatap lembut dirinya. “I am proud of you, kamu memilih untuk berani patah hati saat kamu punya pilihan untuk berbahagia”. Kata-kata Om Mark, tak ayal membuat mata Rara berkaca-kaca.

Bersambung

 

Prolog

missBeberapa tahun yang lalu, saya dan anak-anak menonton film seru berjudul Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children. Anak-anak lalu bilang, ada bukunya. Kita pun hunting. Di sebuah toko buku, dapat buku tersebut dan buku lanjutannya : Hollow City. Berbahasa Inggris British uy… saya terseok2 bacanya. Jauh lebih susah dibanding English Amerika kalau buat saya mah. Seperti biasa, meskipun udah nonton film-nya, tapi membaca rangkaian kalimat di buku jauh lebih seru. Tapi ternyata, ada yang lebih seru lagi. Cerita di balik proses penulisan novel yang menjadi #1 New York Times best seller  tersebut. Ransom Riggs, penulis buku ini, menulis rangkaian cerita di buku ini berdasarkan foto-foto yang ia punya. “The photo came first, and then I shaped the story around the imagery” katanya. Keyen dan kreatif !

Menurut survey mengenai urutan 24 character strength yang saya isi di  https://www.viacharacter.org/account/register, “appreciation of beauty and excellent” adalah peringkat pertama. Artinya, karakter yang paling kuat dalam diri saya adalah “noticing and appreciating beauty, excellence, and/or skilled performance in various domains of life, from nature to art to mathematics to science to everyday experience“. Aih, pantesan aja hal-hal yang buat orang lain mah retjeh, buat saya mah mempesona. Pantesan juga sering minta si abah brenti kalau lagi jalan buat moto hal-hal yang kata si abah mah biasa, kata saya mah keren banget. Tapi alhamdulillah juga, pas sama profesi saya sebagai ibu, dosen dan psikolog yang sifatnya “mengembangkan orang lain”, sehingga  mudah untuk melihat dan menghargai progres & usaha sekecil apapun.

Jadi gak aneh kalau jalan2 ke tempat baru, saya punya banyak foto. Lha wong perjalanan ke Jatinangor aja bisa menambah puluhan foto. Awan lah, pohon lah, bunga lah haha… ditambah lagi dimodalin hape yang lumayan bagus sama si abah, seneng banget menikmati capture-an situasi dalam perjalanan hidup sejauh ini.

Tiga bulan di Tanah Van Orange, kebayang dong berapa ribu foto “keren” yang saya punya hehe… Buat saya, setiap foto punya ceritanya sendiri2. Makanya, sebenernya pengen ceritain masing-masing foto. Gak pengen cuman disimpen di softfile dan diliat aja. Nah, saya jadi inget sama buku yang saya ceritain di atas. Foto-foto itu ditampilkan dan dirangkai jadi satu novel… seru kayaknya.  Akan jadi petualangan baru buat saya, karena saya merasa saya gak bisa bikin tulisan fiksi. Daya imajinasi saya terbatas. Apalagi waktu ketemuan sama temen saya Ruthie yang udah ahli bikin cerita fiksi, Ruthie bilang kalau cerita fiksi tuh harus ada drama-dramanya gitu.

Pas saya ceritain sama si abah pengen mengabadikan  rangkaian foto2 itu menjadi sebuah cerita fiksi, si abah mendukung. Dengan satu pesan : “tapi tetep, harus ada pesan moral yang valuable de”. Aduh… fiktif, dramatis tapi punya pesan moral yang valuable. Hhhmmm… triple uy tantangannya.

Tulips from AmsterdamSetelah 3 bulan berlalu, ada suatu kejadian yang membuat saya dapat wangsit untuk alur ceritanya haha…. Maka, mari kita mulai new adventure ini. Resmilah blog saya nambah satu category berjudul : Tulips from Amsterdam. Konon, life begin at 40. Mungkin “life” yang dimaksud adalah “brave to try something new”. Tapi seperti biasanya, I do it for my self. Sebagai salah satu tambahan coping kalau lagi stress. Jadi ceritanya akan dibuat cerbung dengan waktu tayang menggunakan rumus “saka” : sakainget, sakahoyong 😉

“Bidadara Tak Bersayap”

Bidadara tak bersayap datang padaku
Dikirim Tuhan dalam wujud wajah kamu
Dikirim Tuhan dalam wujud diri kamu
Sungguh tenang kurasa saat bersamamu
Sederhana namun indah kau mencintaiku

Sampai habis umurku
Sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku?
Kaulah satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku?
Diam-diam aku memandangi wajahnya
Tuhan, kusayang sekali lelaki ini

Sampai habis nyawaku
Sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku?
Kaulah satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku?
#Anji
#Bidadari Tak Bersayap

Apa makna menikah buatmu?

Mereka adalah salah satu pasangan  favorit saya. Dua-duanya akademisi; suaminya profesor istrinya doktor. Suaminya berusia 71 tahun, istrinya 69 tahun. Mereka sudah pensiun. Saya senang mengamati relasi pasangan yang sudah sekian lama bersama. Pasangan ini sudah 40 tahun bersama ! Dan ketika bulan lalu saya menginap di rumah mereka di jantung kota Amsterdam, saya dapat “rejeki” mengamati relasi keseharian mereka di rumahnya. Biasanya, saya melihat relasi mereka saat mereka berkunjung ke Indonesia, dalam situasi formal-akademik. Di rumahnya, tentu relasi mereka lebih natural.

Salah satu momen yang saya nikmati adalah saat mereka sedang “bargaining” mengenai aktifitas mereka. Pak Prof yang sangat senang menonton film dokumenter mengajak istrinya menonton, sedangkan istrinya tampaknya kurang terlalu suka, dan punya rencana lain. Mereka membicarakan waktu yang pas, sehingga si istri tetap bisa ikutan nonton, dan aktifitas si istri juga bisa terlaksana. Karena ada beberapa variabel yang belum pasti, akhirnya si suami berkata :  “Ya udah, saya tetep akan beli 2 tiket. Nanti kalau pada saatnya kamu bisa, yuks nonton bareng. Kalau engga bisa, nanti saya akan ajak temen saya”. Selesai “berdiskusi”, mereka menyadari saya ada di sana, lalu menjelaskan : “ya, beginilah tipikal kami bargaining” kata mereka.

Lalu si istri menambahkan : “Waktu ia menyatakan keinginannya menikah, saya tanya apa arti menikah buat dia. Lalu dia jawab, menikah adalah dedikasi buat saya”, Si suami kemudian menjelaskan : “Ya, dedikasi artinya saya siap melakukan apa yang tidak saya sukai, tapi disukai sama istri saya” . “Begitu pula saya”, tambah istrinya.

Salah satu hal yang essential but beautiful dalam pernikahan adalah, ketika 2 orang yang berbeda bersatu. Bersatu secara fisik-ketubuhan, bersatu secara psikologis, melangkah bersama. Iyesh, itu tidak mudah. Tapi prosesnya selalu indah. Indah, dengan catatan ada kesadaran dari dua orang itu, untuk “bergeser ke tengah”. Salah satu aja keukeuh sureukeuh selalu bertahan di titiknya, maka mungkin secara kasat mata-fisik mereka tetap bersama, namun secara psikologis, menabung bom waktu. Kenapa ? karena kemauan untuk “bergeser” adalah tanda bahwa “pasangan saya cukup berharga” untuk didengarkan, untuk dipertimbangkan. Dan perasaan DIHARGAI, adalah kunci kebahagiaan dalam semua relasi. Itulah sebabnya dalam psikologi, menikah adalah tugas perkembangan di usia dewasa. Setelah individu mengenal dirinya, matang dalam membuat pertimbangan, empati dalam problem solving. Setiap kali membantu pasangan dalam sesi couple therapy, esensi proses yang saya lakukan adalah; membuat pasangan saling mendengarkan dan bergeser ke tengah. Itu kalau mereka merasa pernikahan mereka masih layak untuk diperjuangkan.

Seorang artis laki-laki Indonesia berumur 38 tahun, sudah sekian lama single. Padahal ia adalah super idola para wanita. Katanya ia belum menemukan “tipe”nya. Ketika diwawancara tipe perempuan seperti apa yang ia inginkan untuk menjadi istrinya, dia menjawab kurang lebih : “Yang enak diajak ngobrol, soalnya pengennya kan langgeng. Kalau udah tua kan secantik apapun pasti pudar, aktifitas kita kalau udah tua ya paling ngobrol. Kebayang kalau istri saya nanti gak enak diajak ngobrol”. Meskipun jawabannya sederhana, tapi menurut saya itu adalah perspektif yang benar.

Tahun ini, usia pernikahan saya 19 tahun. Perjalanan bersama yang semakin kesini semakin saya hargai dan syukuri. Karena saya menyaksikan perjalanan banyak pasangan; tak mudah untuk sampai di titik ini baik secara waktu, apalagi secara kualitas. Maka, oleh-oleh paling berharga setiap kali saya pulang dari perjalanan  kemanapun adalah; amunisi untuk terus mengikatkan hati dan meningkatkan kualitas koneksi dengan si abah. Secara teoretis, terasa banget fase demi fase yang digambarkan dalam teori pernikahan: fase berdua, fase punya anak bayi, fase punya anak di usia sekolah, dan kini fase anak usia remaja. Tahun ini, si sulung 17 tahun, si bujang 14 tahun, si gadis kecil 11 tahun, si bungsu 8 tahun. Saya 41 tahun, si abah 44 tahun.

Saya merasa, betul yang dikatakan teori itu. Bahwa buat pasangan yang punya anak usia remaja, pernikahan memasuki tahap baru. Tahap baru karena tak hanya anak-anak yang berubah tahap perkembangan, kami pun mengalami perubahan tahap perkembangan dari dewasa muda ke dewasa madya (dan ini kerasa banget dalam diri saya : perubahan baik dalam hal fisik maupun psikologis). “PR-PR” terkait anak-anak sudah berkurang. Topik obrolan yang biasanya didominasi masalah teknis tentang anak-anak, menjadi berkurang. Banyak waktu kami habiskan berdua, dengan ngobrol. Ngobrol tentang apa? di sinilah titik kritisnya. Di sinilah saat yang tepat untuk mengamalkan jurus “dedikasi” yang diungkap pak profesor.

Mengobrol adalah pengejawantahan hakiki dari kerendahan hati, ketulusan sekaligus kesungguhan untuk menghargai pasangan & menguatkan koneksi. Gak semua ungkapan panjang lebar pasangan kita mengerti, kita sukai atau kita setujui. Sejujurnya, banyak topik ynag diceritakan suami saya, yang saya gak ngerti, gak suka & gak setuju. Misalnya tentang sistem perITan, sistem ekonomi negara, politik, dll dll. Sebelum bulan Juli lalu, saya gak aware tentang hal ini. Presentasi seorang peneliti di Melbourne Juli lalu-lah yang membuat saya “sadar”. Kalau kita bisa memberikan respons dengan frekuensi emosi yang sama dengan pasangan kita, irama jantung kita dan pasangan akan selaras. Itulah koneksi secara ketubuhan. Apalagi kalau kontennya kebahagiaan. Happy hearts beat as one. Indah kan?

Maka, setiap kali suami saya cerita hal-hal yang kurang saya sukai topiknya; saya selalu berpikir, mungkin suami saya juga gak menikmati cerita-cerita saya tentang beragam emosi, relasi, segala masalah psikologis manusia… Buat dunia teknik & maskulinnya, mungkin “lebay banget sih manusia teh”. Sepulang dari Melbourne, kita berjanji untuk  “berjuang” saling mendengarkan ! Tidak mengabaikan pasangan dengan dengerin sambil pegang hape, tidak memotong pembicaraan. Saya berusaha mendengarkan, memahami, mencerna dan menangkap emosi yang menyertai ceritanya : marah? kesal? sedih? kecewa? senang? berharap? lalu berusaha memberikan respons yang selaras dengan emosi itu.  Perjuangan yang tak mudah tapi ketika berhasil,  indah banget. Saya merasa dihargai & dicintai; dan saya semakin mencintainya. Kami jadi saling mencintai.

Salah satu yang suka saya bikin sedih adalah pasangan yang “religius”, namun koneksi dengan pasangannya “hampa”. Mempunyai cita-cita bersama dengan pasangannya di syurga, tapi tak merasakan nikmatnya syurga dunia dalam relasi mereka. Koneksi psikologisnya rapuh.  “Sakinah mawaddah warohmah” hanya tertulis di kartu undangan pernikahan; namun tak dipahami, dihayati apalagi diperjuangkan dalam operasionalisasi kehidupan sehari-hari.

Hayu ah, dinamika pernikahan itu tidak konstan. Di titik manapun pernikahan kita saat ini, tak ada kata terlambat untuk mengevaluasi, dan untuk membuat “akad baru”. Akad untuk lebih rendah hati bergeser ke tengah; sebagai operasionalisasi saling menghargai dan saling mencintai.

 

If Cats Disappeared from the World

Delapan tahunan lalu, saat memikirkan topik buat disertasi, saya tertarik pada topik “father-child attachment”. Topik yg kemudian lagi ngehits di Indonesia saat ini. Jadi saya banyak baca buku & hasil2 penelitian terkait topik itu. Bahkan buku “asli” pertama kali yg saya beli adalah “father attachment”. Isinya kumpulan penelitian terkini di negara2 Barat yg membuktikan bahwa era ayah yg hanya berfungsi sebagai breadwinner, telah berakhir. Bukti2 empirik menunjukkan bahwa ayah punya kapabilitas buat menjalin kedekatan emosi sama anak secara langsung. Jadi peran ayah pada pengasuhan anak bisa melalui 2 jalur : dengan menjalin koneksi emosi dgn Ibu, pengasuhan Ibu jadi berkualitas; dan atau langsung menjalin koneksi emosi dengan anak. Kalau kata Eri parternya Wijnand di Maastricht mah : Masa dimana ayah cuman “making money & making baby” udah lewat haha…

Saat itu, pertanyaan penelitian yg ingin saya jawab adalah : “Gimana bentuk keterlibatan ayah yg bermakna untuk anak di Indonesia?” Mengingat kultur Indonesia yg patriarki & hierarchical. Berapa referensi mengenai budaya di Indonesia membuat saya berhipotesa bahwa mungkin bentuk attachment ayah-anak di Asia/Indonesia gak sama dengan di kultur Barat. Bisa salah arah kalau ujug2 “maksa” ayah2 Indonesia jadi se”hangat”, se”ekspresif” ayah2 Barat. Malah bisa jadi stressor buat si ayah2 Indonesia.

Karena topiknya relatif “baru” saat itu, maka penelitian harus dimulai dengan eksploratif-kualitatif. Depth interview atau focused-group discussion tekniknya. Bedanya penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif adalah, dalam penelitian kualitatif peneliti “tidak berjarak” dengan subjek penelitian. Nah, disitulah saya merasa rasanya saya kurang bisa berperan jadi peneliti kualitatif yg baik dalam topik ini. Jadi saya tinggalkan jalur penelitian jni, meskipun tetap seneng mengamati & mengikuti perkembangan penelitiannya.

Salah satu buku “refreshing” yg saya baca saat di tanah Van Orange adalah bukunya Genki Kawamura. Pantesan buku ini best seller di Jepang & diterjemahkan ke beberapa bahasa. Keyen banget emang. Kisah fiksi yg ringan & lucu, tapi sesungguhnya itu adalah media untuk menyampaikan pesan filosofis yg bikin tercenung & berkaca2.

Buku ini bercerita ttg seorang pemuda usia 30an yg divonis menderita kanker otak, sehingga sisa usianya tinggal menghitung hari. Lalu datanglah “devil” yg menawarkan perjanjian padanya : kamu bisa punya tambahan usia satu hari selama berapa lama pun kamu mau, tapi di setiap hari itu kamu harus menukar hidup kamu dgn sesuatu yg akan dihilangkan secara permanen dari dunia”.

Diceritakan pemikiran & pergulatan psikologis & yg mengiringi penghayatan tentang kehidupan yg ia jalani selama ini. Hari pertama, ia minta hidupnya ditukar dengan handphone. Karena ia merasa bahwa hidupnya banyak tersia2kan dgn aktifitas handphone yg sebenernya gak terlalu ia butuhkan. Diceritakan di buku ini bagaimana situasi yg terjadi saat handphone menghilang dari dunia. Dampak bagi dirinya & org lain.

Menurut saya, si penulis sebenernya membawa kita untuk merenungi apa yg penting & gak penting dlm hidup kita. Apa sesungguhnya yg paling bermakna dalam hidup kita? Karena saat membaca itu, saya gak bisa engga merefleksikan pada diri saya. Andai saya di posisi seperti tokoh di buku itu, apa/siapa yg ingin saya hilangkan dari dunia ini? Dan itu bikin tercenung lama.

Sampai tiba ke hari ke7. Pilihan apa yg harus dihiangkan setiap harinya, harus di “acc” oleh si devil. Di hari itu, si devil hanya meng-acc kucingnya yg bisa dihilangkan. Di bab-bab terakhir inilah penulis membuat saya berkaca2. “Dalem” banget “proses mental” yg terjadi pada si tokoh yg mengantar dia pada keputusan : Mana yg lebih berharga, hidupnya? atau kucingnya? Dan ini terkait dgn ayahnya.

Di hari ke7, saat ia akan “menukar” hidupnya dgn menghilangnya kucing peliharaannya, Ia merenungi bahwa selama ini, tanpa ia sadari banyak episode kehidupan yg telah ia jalani bersama si kucing. Memori kebersamaan dgn si kucing membawanya ke memori kebersamaan dgn orangtuanya. Kucing ini adalah peliharaan ibunya yg sudah wafat. Ia sangat dekat dgn ibunya yg hangat. Kucing ini juga mengingatkannya pada kenyataan bahwa ia membenci ayahnya. Ia benci karena di hari ibunya wafat, ayahnya tak mendampingi ibunya. Ayahnya lebih memilih mereparasi jam tangan kesayangan ibunya yg saat itu rusak. Ia juga merasa ayahnya tak mencintainya, karena lebih banyak menghabiskan waktu di toko reparasi jam. Itulah sebabnya di hari kedua, ia meminta si devil menghilangkan jam dr dunia, dia ingin tahu apa yg akan dilakukan ayahnya ketika jam2 yg membuat ayahnya “gak punya waktu buat anak”; hilang.

Tapi memori demi memori membuatnya mengingat, bahwa yes, ayahnya memang tdk “mencintainya” dgn ekspresi yg ia inginkan; tapi sesungguhnya banyak moment dimana ia melihat & merasa ayahnya sebenernya mencintainya. Ia ingat kenapa saat ini ia menjadi pegawai pos. Karena ia jatuh cinta pada prangko. Kenapa ia jatuh cinta pada prangko? Karena ayahnya, setiap kali pergi ke berbagai tempat, selalu meng-oleh2i-nya prangko. Ia pun mengingat sejarah si kucing, kucing liar yg di”pungut” oleh ayahnya, untuk menemani ibunya. .
Dari memori2 itu dia merasa bahwa ibunya benar, ibunya bilang bahwa ayahnya sangat mencintai keluarga ini. Mencintai Ibu & dirinya. Hanya ayahnya punya ekspresi tersendiri. Dan ia akhirnya bisa menghayati Hal tsb. Dari situlah akhirnya ia mengambil keputusan bahwa panjang pendek hidupnya bukanlah hal yg esensial. Tapi apa isi dari hidupnya, yg harus lebih ia pedulikan. Sehingga buatnya, tidak penting lagi memperpanjang hidup. Yg lebih penting adalah isinya. Ia pun memutuskan mengunjungi ayahnya, membawa si kucing untuk menemani ayahnya.

Ada muatan kultur yg kuat dalam kisah ini. Ayah2 Asia termasuk Jepang, terkenal “lempeng”. Tapi bukan berarti tak cinta.

If we keep running all the time, we’ll miss the beauty along the way

Sebagai planner sejati, maka saya punya hobi hunting buku agenda/catatan yang lutu. Bahkan saya mengoleksinya. Selain suka saya kasih ke orang lain sebagai hadiah, yg saya suka banget saya keep. Jadi udah punya agenda buat 10 tahun ke depan haha.

 

Untuk agenda tahun ini, saya jatuh cinta pada sebuah agenda bersampul kain hijau muda. Saya temukan di “Bookhandel VU” bulan November lalu.

Sebenernya saya gak terlalu suka agenda yg ada tanggal2nya. Saya lebih suka yg kosong, yg bisa saya tulisin sendiri tanggalnya. Tapi begitu saya buka halaman pertamanya, saya langsung jatuh cinta. Meskipun harga euro aganda itu kalau di kurs kan ke rupiah cukup besar, tapi kalau udah jatuh cinta mah susah ya.

Apa yang bikin saya jatuh cinta? Rangkaian tulisan ini. For me, it’s so smart, humble, beautiful and powerful as well. Rangkaian kalimatnya menggambarkan dengan sempurna hari-hari seperti apa yang ingin saya jalani di tahun ini. I am falling love with those words.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Esensi #1

Selepas makan, supervisor saya dan istrinya membereskan piring. Tentu saya ingin membantu. Tapi spv saya dengan gesture dan ekspresi “memohon” bilang : “Please Fitri, just sit and relax”. Jadilah saya bermain dengan si cantik Evy dan Lou. Meskipun ini baru kali kedua bertemu mereka, tapi si 5 dan 3 tahun itu  seperti sudah nyaman dengan saya. Saya menunjukkan beberapa video yang dikirim anak-anak saya di Jatim Park kemarin, saat mereka ngasih makan binatang-binatang dari mobil. Meskipun berbeda bahasa; Evy dan Lou  berbahasa Belanda dan saya berbahasa Inggris, tapi dengan bahasa “tarzan”, bisa juga kami berkomunikasi.

Selanjutnya, saat spv saya dan istrinya mencuci piring, kami main salon-salonan. Dua anak itu menyisiri kerudung saya. “^%$#*(&%%$#” si sulung Evi berkata pada saya (tentu dalam bahasa Belanda yg saya tidak mengerti). Spv saya yang mendengar kata-katanya langsung berkata :”Nee, Nee, Evy, &#^^##^^#*#($@ (dalam bahasa Belanda juga). Yg saya ngerti cuman “Nee” itu artinya “No”. Wajah Evy terlihat kecewa. “She want to see you hair, and I said it’s impossible”; kata spv saya menjelaskan. “Oh, it’s possible if we do it in your kamer” kata saya spontan pada Evy (kamer adalah bahasa Belanda untuk room, satu dari sedikit bahasa Belanda yang saya tau hehe). “Yang gak boleh liat rambut saya cuman Papa. Mama, kamu dan Lou boleh liat”. Begitu saya bilang sama Evy. Spv saya terlihat kaget mendengar penjelasan saya, lalu menerjemahkan pada Evy dan Lou. Begitu papanya selesai menerjemahkan, mereka langsung antusias dan menarik saya ke kamar mereka.

Seperti rumah2 Belanda pada umumnya, rumah spv saya tidak “luas ke samping” (hmmm…gimana jelasinnya yaaa). Rumahnya kurang lebih tipe 60an, terdiri dari beberapa lantai. Tiap lantainya pendek sih, kayak mezanin gitu. Kamar Evy berada di lantai bawah dari ruang dapur dan ruang makan yang di Belanda jadi kayak “ruang utama” karena letaknya pas begitu masuk. Sesampainya di kamar Evy, saya buka kerudung, aduuh lucu banget mereka liat rambut saya, terus pegang2. Haha…curiosity anak-anak melihat hal yang berbeda itu amazing ya. Sekitar 10 menit,  lalu mereka menunjukkan beberapa barang di kamar tersebut, kita ketawa-ketawa, tiduran, sampai saya pikir waktunya kembali memakai kerudung. Waktu saya lagi pake daleman kerudung, Evy mengambil kerudung saya dan mencoba memakai di kepalanya. Saya bilang : “You wanna wear this?” lalu saya pakaikan. Dua gadis kecil itu excited banget. Begitu selesai saya pakaikan, dia langsung lari ke atas, sambil teriak-teriak ke Papa-Mamanya. Saya mendengar mereka heboh seru di atas. Ketika kembali ke kamar 5 menit kemudian, gantian si kriwil Lou yang pengen pake kerudung.

Satu jam kemudian, setelah selesai bimbingan terakhir sama spv saya, lalu mengenang 3 bulan “kebersamaan” kami, dari awalnya “we are totally stranger” sampai saat ini kita “trust each other”, saya pamitan. Pamitan untuk “selamanya”. Kita gak akan ketemu lagi karena 4 hari lagi saya akan pulang ke Indonesia. Mata saya berkaca2. “Sorry, I am a little bit sad now” kata saya. “Me too”; kata beliau. Suasana hati saya haru biru keluar dari rumah itu. Apalagi warna langit begitu menyentuh. Say goodbye pada spv saya mentrigger perasaan say goodbye pada kota ini.

Maka saya memutuskan untuk menenangkan diri dengan jalan. Saya ingat waktu saya bilang suka sama Oosterpark, spv saya bilang “udah ke Vondelpark belum, deket sini loh”. Saya cek di google map, 30 menit. Dekat sama mueseumplein ternyata.

 

Saya duduk di salah satu kursi di Vondelpark. Di depan saya kolam, bebek-bebek asyik berenang disana. Taman-taman di Amsterdam serasa syurga buat saya. Saya bisa melakukan aktifitas favorit saya dengan sangat tenang dan khusyuk disana : membaca, menulis, atau berbincang dengan diri sendiri. Ada satu hal yang wara-wiri di kepala saya saat itu. Gema dari kata-kata yang saya katakan pada si kecil Evy : “Cuman papa yang gak boleh liat rambut tante. Mama, Lou dan kamu boleh liat”.

Kalimat yang “spontan” saya ucapkan itu, berputar-putar dalam kepala saya. Meskipun saya melihat ekspresi kaget di wajah spv saya mendengar jawaban itu (tampaknya beliau tidak banyak tahu tentang Islam, jadi jawaban saya bikin beliau kaget); tapi spv saya tidak bertanya lebih lanjut. Tapi justru jawaban dari diri saya yang memunculkan pertanyaan2 lanjutan dari diri saya sendiri. Kenapa papa gak boleh liat tapi mama boleh liat? Jadi berarti jilbab itu untuk menurut aurat dari siapa? laki-laki non muhrim? kenapa begitu? kenapa pembedanya adalah jenis kelamin? kenapa perempuan non muslim boleh liat?  jadi apa esensinya berjilbab itu?

Iyesh, 84 hari disana memang tak hanya me-refresh kognitif dan self. Tapi juga merefresh aspek religiusitas. Jawaban-jawaban saya pada mereka-mereka yang bertanya tentang filosofi maupun ritual islam, bergema dalam pikiran saya, memaksa saya untuk kembali merenungi, apa esensi dari keberagamaan saya.

Amsterdam, 29 Desember 2019.

 

 

 

Temporary Pindah Channel

Dear all, setahun terakhir ini, karena keterbatasan waktu, tulisan2 saya sementara pindah channel ke IG dan Facebook. Bagi yang merasa bermanfaat membacanya, mangga bisa diakses di IG dan Facebook saya.

ig

facebook

Kategori2 tertentu bisa disearch melalui hashtag ini :

hashtag

Insyaallah kalau waktunya sudah luang, tulisan2 di medsos akan dipindahkan ke blog, dan selanjutnya akan kembali ke blog

Salam hangat & peluk erat,

Fitri

Previous Older Entries