Radar hidayah, persepsi dan atensi (inspired by Bencana Lisan)

Gara-gara si bujang kecil dan si gadis kecil hobi banget baca komik, maka saya pun jadi  terpapar oleh komik. Dan “bertemu” lah saya dengan “VBI_Djenggoten”, sang penulis komik-komik  yang berupaya untuk “membumikan” ajaran Islam dengan bahasa komik. Sesungguhnya, meskipun dibeli untuk anak-anak, saya melihat komiknya bukan komik untuk anak-anak. Buktinya, meskipun si gadis kecil kelas dua SD itu seneng banget baca buku-bukunya, namun setiap kali baca, setiap menit dia tanya: “bu, upeti itu apa? liberal itu apa? kejayaan itu apa? menyuap itu apa? …..” . Tapi karena gaya gambar dan gaya tulisannya, membuat si gadis kecil bilang gini: “Teteh Hana sebenernya gak ngerti isi buku ini, tapi seru bacanya” katanya  kkkkk….akhirnya jadilah saya dan si abah menjelaskan apa maksud dan contoh yang lebih konkrit dalam kehidupan sehari-harinya.

Bukunya “Bencana Lisan”, kalau ada orang yang tanya pendapat saya, saya akan bilang “Super duper keren. Jleb”. Di buku ini, selain jelas teknik menggambarnya bagus dan “enak diliat” dengan gaya khas tanpa leher, yang berkesan buat saya adalah :

WhatsApp-Image-20160720 (1)(1) Topiknya kekinian dan menggejala

(2) Struktur materinya  sangat sistematis. Kita jadi terbayang “mindmapnya”.

(3) Penjabaran materinya sederhana, namun clear. Jelas dan mudah dipahami definisi-definisinya.

(4) Definisi itu, lalu ia konkritkan dengan  menggambarkan contoh super duper lucu namun begitu  nyata dan membumi, yang membuat kita-kita para pembacanya, tersenyum tapi tersindir abissss. Seolah-olah buku itu spesial dibuat untuk kita(haha…..geer mode:on)

(5) Referensi dicantumkan. Ini etika penulisan yang sangat saya hargai

Tak ada gading yang tak retak. Buku ini tak sempurna. Kekurangannya adalah ………ga ada daftar isi kkkkk (atau kalau komik emang gak ada daftar isinya ya? hehe…maklum new reader 😉

Beberapa waktu lalu saya bertemu seorang teman saya. Ternyata, dia juga sangat terkesan denWhatsApp-Image-20160720gan buku ini. Dia menunjukkan satu halaman buku ini, lalu ia berkata: “Saya udah sering baca buku, hadits, tafsir, dengerin ceramah ustadz tentang ini. Saya tau, negreti, tapi saya belum bisa mengubah perilaku saya. Tapi jujur, ketika saya membaca ini  jleb banget dan kekuatan jleb-nya, cukup membuat saya punya energi untuk berubah. Menahan diri”.

Di samping ini halaman yang ia maksud. Halaman mengenai “batasan bicara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat”. Beberapa contoh perilaku yang dipaparkan dalam buku ini, jelas banget dan membuat kita bisa memahami sekaligus tersindir dan ternasehati.

Tapi bukan itu yang sebenarnya menarik perhatian saya. Tapi kata-kata teman saya yang mengatakan “komik ini membuat saya punya energi yang cukup besar untuk merubah perilaku saya”.

Mengubah perilaku. Selama belajar psikologi, saya berkutat dengan perilaku dan “mengubah perilaku”. Semakin kesini, semakin dalam, semakin jelas jika perilaku manusia itu amat sangat kompleks. Maka, mengubah perilaku pun tak kalah kompleksnya. Kita ambil contoh: mengubah perilaku membuang sampah tidak pada tempatnya. Ada berapa ratus skripsi-tesis-disertasi-artikel jurnal yang membahas satu perilaku itu? Dan ada berapa ratus metoda intervensi yang coba disusun? berapa banyak yang berhasil? berhasil di kelompok ini apakah berhasil juga di kelompok lain? berhasil di tempat ini apakah berhasil juga di tempat lain? berhasil di saat ini apakah berhasil juga di saat yang lain?

Mengubah perilaku itu kompleks. Tidak mudah. Teman saya sendiri sudah mengatakan bahwa ia sudah menerima banyak informasi dari berbagai channel, namun “hidayah”Nya, turun lewat komik ini. Dan saya melihat bahwa yang ia katakan benar. Teman saya ini, sesungguhnya bukan tipe yang “berisik” yang suka komentar ini itu. Namun beberapa waktu belakangan ini, memang ia tampak irit berkomentar atau menulis. Waktu lagi rame-rame orang berkomentar mengenai es doger versus ulen, saya tahu bahwa ia punya pendapat sesuatu. Pendapat yang biasanya bisa menganalisa tajam dan mengembalikan kesadaran orang-orang yang sedang “memperdebatkan kulit” menjadi memahami esensi yang mereka perdebatan. Tapi ia tidak melakukannya. Ia bilang: “Dengan menulis itu, saya tak akan mengubah apa-apa. Mengingatkan orang? di medsos? Saya gak yakin efektifitasnya. Tulisan saya tak akan mengubah keadaan. Malah tambah bikin berisik aja.  Saya jadi paham mengapa waktu mendengarkan khutbah jumat, kita tak boleh bicara meskipun tujuannya mengingatkan. Niat meningatkan seringkali membuat kita terjerumus menjadi larut dalam keberisikan yang awalnya ingin kita ingatkan”. Begitu katanya.  Di wa grup yang kami ikuti, ia juga semakin jarang berkomentar. Beberapa kali saya lihat ia “typing”, tapi tak jadi. Waktu saya tanya, dia bilang….” iya, aku mau nulis hore-hore…tapi kayaknya aku nulis atau gak nulis gak ada bedanya kan?” iya sih….dalam banyak topik pembicaraan di grup wa, memang demikian kondisinya

Temuan penelitian kolega dan kakak kelas saya mengenai diri religius mengungkapkan bahwa “gen Tuhan” itu ada. Di akhir presentasi, beliau mengatakan bahwa untuk menjelaskan perilaku buruk manusia, pertanyaannya bukan “faktor apa yang membuat ia berlaku buruk?” namun “apa yang menghalanginya dari berbuat baik”? karena kebaikan itu sudah ada dalam diri kita, namun belum teraktifasi. Bahasa agamanya, “fitrah baik” itu melekat dalam diri kita, namun perlu diaktivasi untuk menjadi amal sholeh.

Lalu saya ingat materi kuliah saya mengenai persepsi dan atensi. Dalam salah satu proses yang mengawali persepsi,  kita mengindera sesuatu. Kita tak akan pernah bisa “mengolah” informasi yang tak kita terima melalui indera. Nah…dari materi ini, kita tahu bahwa apa yang bisa kita ketahui melalui indera kita, adalah sangat sedikit dibandingkan realitas yang ada di dunia ini. Ada yang namanya ambang sensasi. Gelombang cahaya dan gelombang suara yang bisa kita indera, jauuuuuuuuh lebih sedikit dibandingkan dengan gelombang cahaya dan gelombang suara yang sebenarnya diciptakan oleh Dia sang Maha. Kita tak bisa mendengar suara yang “terlalu” pelan, “terlalu” keras, kita tak bisa melihat sesuatu yang “terlalu” jauh. Demikian pula dengan rasa, sentuhan, sakit, dll.

Nah…dari sejumlah kecil realitas yang bisa kita indera, realitas yang bisa kita berikan perhatian, menjadi lebih terbatas lagi. Mengacu pada defisini atensi menurut Atkinson (2009), kemampuan kita memperhatikan sangat terbatas. Ya, kita punya kemampuan divided attention. Namun mayoritas penelitian menunjukkan bahwa “divided attention decreased performance”. Kalau kita mengasuh anak sambil goreng ikan dan sambil dengerin puteran cucian di mesin cucui udah berenti atau belum, maka kualitas perhatian kita pada masing-maisng kegiatan itu akan berkurang dibandingkan jika kita memilih untuk memusatkan perhatian pada satu kegiatan.

Hiiiii…..jadi, apa kesimpulannya? kesimpulan saya adalah: hanya hidayah yang bisa membuat perilaku (dan kepribadian) seseorang berubah. Hidayah itu kita dapat dari mana? dari seluruh yang Allah ciptakan dan terjadi-kan. Dari orang-orang yang bertemu dengan kita, dari ucapan para ustadz, dari nasihat orangtua, dari sindiran teman, dari kejadian yang dialami orang lain, perilaku menyebalkan orang lain……Kalau demikian ,maka kita harus membaka selebar-lebarnya radar hidayah itu. Dan kita juga perlu memberi perhatian pada banyak channel hidayah. Dengan cara itulah kita memastikan bahwa kita menyingkirkan penghalang yang bisa menghalangi diri kita dari proses aktifasi gen kebaikan yang ada dalam diri kita.

Maka, kalau kita memutuskan_sadar atau tidak- hanya mau mengindera  dan memberi atensi pada konteks terbatas; hanya mau mendengarkan nasihat ustadz kelompok ini, hanya mau nonton TV channel ini, hanya mau mendengarkan kata-kata dari teteh yang bajunya begitu, hanya mau berteman dengan kelompok ynag memilih presiden ini, hanya mau baca buku karangan kelompok ini… jangan-jangan…kita sedang mempersempit radar hidayah kita.

Maka, sejauh ini, saya akan mengajarkan pada anak-anak saya, untuk mengindera seluruh channel kebaikan. Dari siapapun kata-kata itu berasal, dengan cara apapun kebaikan itu disampaikan- buku, gambar, musik, karya seni, kegiatan alam-, biar banyak kebaikan yang terindera, dan banyak yang menarik perhatian, agar membuka lebih banyak peluang untuk mengaktifasi gen kebaikan dan keshalehan dalam diri kita.

Kebaikan jika tak dikaitkan dengan Allah, hanyalah amal kebaikan. Kebaikan yang dikaitkan dengan Allah, akan menjadi amal sholeh. Amal kebaikan adalah kunci kebahagiaan di dunia, amal sholeh adalah kunci kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.

 

 

 

 

Who are your idol(s)?

decoration_13Saya selalu membayangkan diri saya bagaikan mozaik kaca. Mozaik itu terdiri dari potongan-potongan yang berbeda-beda. Potongan-potongan itu, adalah kepribadian dari orang-orang yang menjadi “idola” saya. Bagian terbaik dari diri mereka. Masing-masing potongan itu lalu membentuk diri saya secara unik.

…………………………….

Awal minggu ini, saya menjadi “panitia” dan menghadiri sidang promosi doktor dari seorang kolega dan  “kakak kelas” saya. Tapi buat saya, sosok beliau bukan hanya sekedar kolega dan “kaka kelas”. Ia adalah salah seorang “idola” saya. Ia seorang ibu dari 3 anak, salah satunya berkebutuhan khusus. Ia pernah menjadi “pejabat” di tempat kami bekerja. Dan dengan semuanya itu, ia menjalani program doktor, dengan hasil cum laude ! Isi disertasinya, caranya memaparkan dan menjawab pertanyaan, membuat semua orang kagum dan bangga.

Di ruangan itu, saya tak bisa menahan air mata saya. Alasan “mengapa kita harus beragama” dituturkan melalui penghayatan filosofi yang dalam dan dibuktikan dengan cara-cara yang ilmiah. Dan meskipun “penampakan” beliau super cuek, tapi hari itu, saya merasa banyak cinta  dihadirkan oleh orang-orang yang mengenalnya. Disampaikan padanya dalam bentuk karangan dan buket bunga, pelukan hangat, doa-doa tulus… sungguh, hari itu, saya sangat iri padanya.

Di hari perhitungan nanti, saya akan bersaksi bahwa ia, adalah pengejawantahan dari kata-kata: sungguh-sungguh, tegar, kuat. Dan tiga hal itulah yang membuatnya menjadi begitu mempesona dan menginspirasi. Apakah ia sempurna? tidak. Ia tidak sempurna. Ada situasi-situasi tertentu yang ia tidak akan “fit”.

Tapi kala saya merasa waktu saya begitu terbatas untuk menunjukkan karya terbaik, saya membayangkan dia. Dia yang sangat produktif. Dia yang bisa sambil mengobrol, sambil mengetik pekerjaannya yang penting. Tak ada waktu yang terbuang percuma, tapi tetap menyenangkan dalam relasinya. Saat saya lebay dan merasa riweuh ngurus anak-anak saya dan ingin menjadikan mereka excuse untuk tak berprestasi, bayangan  dia saya hadirkan. Bagaimana kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus dan sangat membutuhkan perhatian. Saat saya merasa tak bisa menyeimbangkan kehidupan kerja dan keluarga, saya membayangkan dia yang bisa mendidik anak-anaknya, sehingga anak laki-laki remajanya yang jadi idola para wanita,  nampak begitu sayaaaaaang dan peduli pada si bungsu yang berkebutuhan khusus, sama sekali tak canggung menujukkan rasa sayangnya di depan umum. Saat saya merasa frustrasi dengan kondisi anak-anak yang tiba-tiba membutuhkan saya disamping mereka, saya ingat ia yang tak hanya sekali-namun beberapa kali membatalkan atau mengurungkan keinginan dan rencana besarnya tanpa rasa menyesal, karena memilih mendampingi anak-anaknya yang  sakit.

15 tahun lalu, saya pernah menulis di diary saya: ” saya ingin menjadi secerdas teteh x, se-rendah hati teteh y, seramah teteh z, setangguh teteh a, seanggun teteh b, secantik teteh c”  (kkkk….dua yang terakhir tampak tidak mungkin ya). Tulisan lugu itu, selalu saya ingat. Dulu, saya pikir itu adalah gambaran kegalauan dalam proses pencarian jatidiri. Namun kemudian, saya menyimpulkan itu adalah proses pembentukan jatidiri.

Saya selalu membayangkan diri saya bagaikan terdiri dari mozaik kaca (yang semoga indah). Mozaik itu terdiri dari potongan-potongan yang berbeda-beda. Potongan-potongan itu, adalah kepribadian dari orang-orang yang menjadi “idola” saya. Bagian terbaik dari diri mereka. Masing-masing potongan itu lalu membentuk diri saya secara unik.Dan proses penambahan potongan mozaik itu terus berlanjut sampai sekarang dan seterusnya.

Saya punya banyak “idola”. Masing-masing dari mereka,  saya hadirkan secara mental, saya internalisasikan sosoknya dalam diri, saat saya menghadapi situasi-situasi tertentu. Mereka menjadi semacam sekumpulan “senjata” yang selalu saya bawa kemana-mana, dan saya keluarkan sesuai dengan medan pertempurannya.

Saat saya berada di ruang konseling, bukan kolega dan kakak kelas tadi yang saya hadirkan. Tapi seseorang yang lain. Saat saya sakit, seorang yang lain lagi yang saya hadirkan. Saat saya memiliki banyak rejeki finansial, sosok lain yang saya hadirkan. Saat saya sedang malas, sedang nyinyir, sedang lebay, sedang sotoy, sosok lain lagi yang saya hadirkan. Saat saya sedang menulis, sosok lainnya lagi. Saat saya sedang memimpin, saat sedang mengalami kekesalan pada pasangan, saat merasa didzalimi, sosok lain lagi……..

Maka, bagi saya, dipertemukan olehNya dengan seseorang yang bisa kita “serap”  energi kebaikannya menjadi potongan mozaik kepribadian saya, adalah rejeki dan karunia yang tak terhingga.

Idola bagi saya,  tak harus seseorang yang “hebat”, yang “ternama”. Salah seorang office boy di tempat saya beraktifitas, adalah salah satu potongan mozaik kepribadian saya. Pekerjaannya sederhana. Salah satunya adalah, membuatkan/memberikan minuman pada kita para dosen. Namun ia, melakukannya dengan 100% kesungguhan. Tak hanya dari gesture dan senyum tulus saat berinteraksi dengan kami. Namun yang “mempesona” adalah, ia hafal betul minuman kesukaan masing-masing kami. Kopi susu merk x untuk saya, merk yang lain untuk teman saya, air putih untuk ibu ini, air putih hangat untuk bapak itu, kopi tanpa gula untuk ibu ini, teh manis dengan setengah sendok gula untuk bang ini, kopi dengan dua sendok gula untuk mas itu, teh tawar untuk mbak ini…. Pekerjaan remeh temeh tak berharga yang dilakukan dengan kesungguhan, ternyata bisa membuat kita terpesona.

Yang jelas buat saya, mereka adalah perpanjangan tangan Allah untuk menjaga diri kita tetap berada dalam kebaikan. Mereka adalah jawaban dari doa “ihdinassirootol mustaqiim” – karuniakanlah kami jalan yang lurus, jalan kehidupan yang baik, yang produktif, yang bermanfaat, yang membawa keberkahan. Mereka adalah pengejawantahan dari konsep-konsep kebaikan. Kita jadi yakin bahwa kebaikan itu ada, dankita jadi  tergerak untuk mewujudkannya baik dalam diri maupun dalam lingkungan. Mereka membuat “ketidakmungkinan” yang kita rasakan menjadi mungkin.

Apakah itu berarti bahwa saya selalu bisa “meniru” kebaikan mereka? Yaaaa namanya juga manusia. Bukan malaikat. Tentu tak selalu. Baik dalam frekuensi ataupun kadar. Namun tanpa potongan-potongan mozaik itu, saya meyakini “I will not survive” dalam memaksa diri berada di dalam koridor kebaikan.

Untuk para “idola” saya, di hari akhir nanti saya akan bersaksi dihadapan sang Maha, inspirasi dan kebaikan apa yang telah saya lihat dari mereka dan menjadi bagian dari kebaikan dalam diri saya.

sumber gambar: http://www.sigalitart.net/en/mosaic/mosaic-gallery/special-work/

 

Jika kita tak dimaafkan

Meskipun secara syar’i momen  idul Fitri bukanlah momen untuk saling memaafkan, namun menurut saya, saling memohon maaf dan memaafkan saat idul Fitri adalah budaya yang baik dan sangat menguntungkan. Jika kita manfaatkan momen ini dengan kesungguhan dari lubuk hati paling dalam, maka momen tahunan ini bisa jadi momen penyelamat kita di akhirat nanti.

Mengapa? Karena kesalahan dan  dosa-dosa yang kita lakukan, berdasarkan subjeknya bisa dibagi dua: kesalahan/dosa kepada Allah dan kesalahan/dosa kepada manusia. Syarat diampuninya kesalahan/dosa adalah, apabila subjek yang kita bersalah/berdosa padanya ridha dan memaafkan.

Seorang ustadz mengatakan bahwa kesalahan/dosa pada Allah lebih “mudah” untuk kita mohonkan ampunanNya.  Dengan taubatan nasuha -taubat yang sungguh-sungguh; merasa menyesal dan berupaya keras untuk tak mengulanginya lagi- dan keyakinan bahwa Allah itu maha penerima taubat juga maha pengasih dan maha penyayang, kesalahan/dosa kita bisa diampuniNya.

Kesalahan/dosa pada manusia, selain bertaubat juga perlu mendapatkan ridho dan maaf dari orang bersangkutan yang kita bersalah/melakukan dosa padanya. Nah, di poin inilah…sebenarnya kita harus benar-benar berhati-hati. Jika kita melakukan kesalahan/dosa pada seseorang, lalu ia tidak memaafkan kita, maka urusannya akan berlanjut sampai ke akhirat. Jadi kesalahan pada manusia itu, harusnya tidak dianggap sepele loh….

Tanpa sadar memaki orang di jalan raya, misalnya sampai orang itu merasa sakit hati. Gimana coba minta maaf dan keridhoannya? Menulis status yang menyinggung perasaan orang lain sampai orang lain itu terluka ….gimana minta maafnya? menulis tulisan di blog yang menyinggung orang lain….banyak sekali potensi kita melakukan kesalahan dan dosa pada sesama manusia.

Maka, sekali lagi, sesungguhnya kita harus bersyukur difasilitasi oleh budaya untuk memiliki momen khusus mohon maaf dan memberi maaf pada orang-orang yang sering berinterkasi dengan kita, dalam acara halal bi halal. Bertahun-tahun mengikuti seremoni halal bi halal baik di keluarga maupun di tempat aktifitas, saya melihat ada yang memang menjalani acara bermaaf-maafan (musafahah) itu sebagai momen rutinitas semata. Nah, sikap kayak gini mungkin yang bikin seorang teman saya berkata “gue gak suka sama halal bi halal. Seolah-olah semua orang boleh melakukan kesalahan semau dia, dan lalu dengan entengnya tanpa kesungguhan, mohon maaf dan berasumsi kesalahan dimaafkan saat halal bi halal”.

Sebagian orang yang lain, saya lihat memanfaatkan momen halal bi halal ini dengan sungguh-sungguh. Saat menjabat tangan saya, mereka sungguh, meminta maaf. Kadang sampai basah mata mereka karena air mata. Nah, pengen banget mencontoh tipe orang-orang ini. Memanfaatkan budaya baik ini untuk sungguh-sungguh memohon maaf dan memberikan maaf. Seiring dengan tangan saling menggenggam, luka hati pun saling lebur.

Tentang hakikat memohon maaf, memberi maaf dan saling memaafkan sudah pernah saya tuliskan, salah duanya di tulisan https://fitriariyanti.com/2013/08/20/halal-bi-halal-bermaafan-atau-berekonsiliasi/ dan https://fitriariyanti.com/2014/08/04/halal-bi-halal-ber-maafan-atau-ber-rekonsiliasi-versi-2-0/

Masalahnya adalah, bagaimana kalau kita sudah sungguh-sungguh meminta maaf, namun orang yang terluka hatinya oleh kita, tak memaafkan? Nah, pastinya urusan ini akan sampai di akhirat nanti, saat kita berada di hari perhitungan.

Ada satu ilmu yang baru saya peroleh di ramadhan tahun ini. Dalam salah satu kajian tafsir Al Misbah-nya, pak Quraish Shihab menyoal hal ini dan menyampaikan bahwa dalam kondisi kita tak dimaafkan, solusi yang bisa kita lakukan adalah memohon pada Allah agar Ia Sang Maha mengambil alih persoalan ini.

Beliau menganalogikan seperti kita punya utang pada seseorang, tapi kita tak sanggup bayar. Maka yang bisa kita lakukan adalah, mendatangi orang kaya, lalu meminta orang kaya itu untuk mengambil alih utang kita. Demikian pula untuk kasus saat kesalahan kita tak dimaafkan oleh orang lain. Kita mohonkan Sang Maha untuk mengambil alih “utang” kita pada orang-orang yang tak memaafkan kita saat mereka menuntut kita di akhirat nanti.  Kita berharap, RahmatNya yang seluas langit dan bumi, akan melindungi kita dari kerugian disebabkan tuntutan orang-orang yang tak memaafkan kesalahan kita di dunia.

maaf-3Minggu depan, kita akan menghadiri banyak acara halal bi halal. Kita manfaatkan momen itu untuk sungguh-sungguh memohon maaf dan memaafkan. Sambil menyalami atau mengirim wa pada setiap orang, bayangkan kesalahan-kesalahan yang kita ingat terhadap orang itu, baik yang mereka ketahui ataupun yang tak mereka kerahui. Sesali lalu tekadkan untuk tidak mengulanginya lagi. Dan karena mungkin kita tak tahu siapa saja yang sudah memafkan kita dan siapa yang tak ridho pada kita, maka kita sungguh-sungguh berdoa juga, memohon Dia Sang MAha untuk mengambil alih urusan kita dengan orang-orang yang tak memaafkan kita di akhirat nanti.

 

Kediri, 3 Syawal 1437. The last day.

sumber gambar : https://maskakank.wordpress.com/2014/07/27/makna-dibalik-kata-maaf/

 

Generasi Penggema Hujan

generasi penggema hujanBuku ini adalah buku terakhir dari novel biografi Rasulullah Muhammad karya sang juru cerita Tasaro GK. Tiga buku sebelumnya adalah https://fitriariyanti.com/2016/06/14/lelaki-penggenggam-hujan/, https://fitriariyanti.com/2016/06/28/lelaki-pengeja-hujan/, dan https://fitriariyanti.com/2016/07/01/sang-pewaris-hujan/.

Dari keempat buku tersebut, buku ini adalah buku yang paling membuat saya sedih kala membacanya. Jeda-jeda untuk menyeka air mata saat saya membaca buku pertama dan kedua, jeda-jeda untuk mencerna kedalaman makna mengenai ajaran-ajaran agama yang diutarakan dalam bentuk perbincangan sang pencari Himada di buku ketiga, lebih sering saya lakukan saat membaca buku ini. Tapi dengan alasan yang berbeda.

Saya tahu, buku ini akan bercerita mengenai masa-masa kekhalifahan Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Saya sudah berkali-kali membaca siroh yang bercerita mengenai masa itu. Masa kejayaan Islam secara wilayah, dan mulainya masa-masa perpecahan yang berujung pada kesedihan. Dan seperti di tiga buku sebelumnya, Sang juru cerita penulis buku ini benar-benar bisa menggambarkan situasi itu dengan gamblang.

Jeda-jeda yang saya lakukan saat membaca buku ini, adalah karena kesedihan. Bukan karena rangkaian kalimat maupun situasi yang digambarkan di buku itu. Namun karena, situasi yang digambarkan di buku ini, adalah cerminan dari gambaran apa yang terjadi  di sini, saat ini. Secara pemikiran, jujur saya mendapatkan jawaban mengenai kecamuk gelisan yang ada di hari saya selama ini. Namun seiring dengan penemuan jawaban tersebut, saya harus berkali-kali menjeda, untuk menarik nafas panjang, melepaskan kesedihan yang ada di dada ini.

Ada satu keresahan yang bergemuruh di dada saya sejak lama, dan semakin kesini semakin menjadi-jadi. Mengenai persatuan dan kesatuan ummat agama ini. Agama ini begitu sempurna. Begitu indah. Dilihat dari sisi manapun. Tapi mengapa kesempurnaannya seolah tak tampak? keindahannya seolah tak bisa dinikmati? Apakah mungkin kita bersatu? UMMAH. Itu istilah yang saya baca. Umat islam yang menyatu. Bagai satu tubuh. Pertanyaan itu, saya bawa berhaji 3 tahun lalu. Haji, adalah gambaran menyatunya secara fisik, umat Islam. Dalam ritual yang suci. Di tempat yang suci. Pertanyaan itu berkali-keli muncul di kepala dan hati saya kala melihat begitu kental sikap ke-aku-an dan atau ke-kami-an yang membatasi persatuan. Begitu tinggi, kokoh dan kuat benteng-benteng prejudice. Prejudice negara, prejudice ras, prejudice suku, bahkan sampai prejudice syal antar KBIH. Tahun ini, pertanyaan yang sama saya bawa ketika ziarah ke tanah suci. Dan hal yang sama masih saya lihat.

Di tanah air, di negeri yang umat muslimnya terbanyak sedunia, pertanyaan itu semakin sering muncul dalam kepala dan hati saya. Perbedaan madzhab. Perbedaan cara berpakaian. Perbedaan pilihan politik. Perbedaan tafsir. Perbedaan pendekatan dakwah. Perbedaan pendapat mengenai satu dan lain hal. Perbedaan …. perbedaan ….perbedaaan…perbedaaan… begitu banyak perbedaan yang dipermasalahkan.  Bukan perbedaannya yang membuat saya sedih. Namun sikap terhadap perbedaannya itu yang membuat seluruh emosi negatif, menyatu dalam hati saya. Apalagi jika perbedaan itu adalah bukan hal yang esensial.

Membaca buku ini, membuat saya mendapatkan jawaban dari semua ini. Dalam buku ini digambarkan bagaimana keresahan dankesedihan perasaan Ali menghadapi perilaku ummat 25 tahun sepeninggal Rasulullah. 25 tahun ! hanya 25 tahun !! dan dalam jangka waktu itu, sudah banyak terjadi perbedaan. Jelas, perbedaan antara baik dan buruk. Antara pemimpin seperti Umar Bin Khatab yang menjalankan standar hidup warga termiskin, dengan para Gubernur yang bahkan memiliki istana saat itu. Jelas, perbedaan antara orang-orang yang mengagumi Ali karena kualitasnya, dengan munculnya kelompok yang mendewakan Ali dan menyatakan bahwa Ali adalah Nabi. Tapi selain perbedaan itu, ada juga perbedaan-perbedaan antara yang baik, dengan yang baik. Yang benar dengan yang benar.

25 tahun setelah nabi wafat, hanya 25 tahun setelah Rasulullah tiada, dalam buku ini diceritakan bagaimana para tokoh “suci”, sahabat-sahabat mulia yang kisahnya membuat hati kita mengharu biru di buku-buku sebelumnya, kini saling berhadapan di dua kubu yang berbeda. Perang Unta adalah gambara yang terang benderang. Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi, melawan Ali dan Ammar Bin Yasir di kubu yang lain. Aisyah! Istri yang paling dicintai Nabi! Thalhah dan Zubair! sahabat-sahabat Rasul yang dijamin masuk syurga! saling beradu pedang dengan Ali sang gerbang ilmu yang dijamin masuk syurga juga, serta Ammar bin Yasir, yang ibunya adalah syahidah pertama!

Siapapun yang membaca kisah mengenai perang Unta, akan merasakan kesedihan yang mendalam. Mereka, tokoh-tokoh utama dalam perang pertama antara muslim ini adalah orang-orang mulia. Orang-orang terdekat dengan Rasulullah. Dan mereka bisa berada dalam situasi demikian. Jika ditelusuri, dan coba kita hayati, pendapat kedua pihak adalah benar. Seperti juga sama-sama benarnya pendapat Fathimah dan Abu Bakar mengenai tanah Fadak yang dituntut Fathimah sedangkan Abu Bakar bersikukuh itu bukan hak ahli waris Rasulullah. Sama-sama benarnya  pendapat Utsman Bin Affan yang menganggap bahwa kemewahan hidup Muawiyah adalah wajar selama ia telah menunaikan zakat sedangkan Abu Dzar Al Ghifari menganggap haram harta yang melebihi kebutuhan hidup kita. Perbedaan antara dua hal yang sama-sama baik dan benar, itu sudah terjadi 25 tahun setelah Rasulullah wafat! Sedangkan kita, berapa jarak kita dengan Rasulullah? lebih dari 1400 tahun !!!

Membaca buku ini, meski entah berapa puluh kali saya harus menjeda untuk menghela nafas melepaskan kesedihan, namun saya mendapatkan jawaban “mengapa ummat Islam sulit bersatu; sekaligus kunci bagaimana agar bisa bersatu”. Menganalisis dan menyikapi perbedaan. Itu kuncinya. Menganalisis? untuk memahami apakah perbedaan itu esensial atau tidak, dan untuk menempatkan di posisi yang tepat, kapan saatnya memaknakan perbedaan itu.

Teman kerja kita seorang syiah misalnya. Oke. Perbedaannya esensial? katakanlah esensial. Perbedaannya akidah. Oke. Lalu, kita posisikan dimana perbedaan itu? apakah kita jadi menjauhi kerjasama dengan dia? tak mau berteman dengannya? tak mau berhubungan dengan dia? atau…pertemanan itu tetap kita jalin, namun jika anak kita akan menikah dengannya, baru kita katakan “tidak”?. Pasangan  kita, memutuskan untuk golput karena ia berpikir tidak ada pilihan yang baik. Sedangkan kita, memutuskan untuk memilih “the best from the worst” karena kalau kita golput, yang lebih jelek yang akan menang. Oke, itu berbeda. Lalu dimana kita posisikan perbedaa itu? apakah itu perbedaan yang kemudian harus mewarnai kebaikan rumah tangga kita selanjutnya? Ustadz ini berdakwah dengan sentuhan sosial. Ustadz itu berdakwah dengan concern pada akidah. Ustadz ini berdakwah dengan menitikberatkan pada fikih. Ustadz itu berjuang di dunia politik.

Mengapa harus saling membandingkan dan selalu menganggap perbedaan itu adalah benar dan salah??? Mengapa tidak dipandang sebagai potongan puzzle yang saling melengkapi? Dan kalaupun ada kesalahan yang harus diluruskan, mengapa tak diselesaikan dengan silaturahim pribadi tanpa harus saling menyindir di media sosial? Dan kita, para pengikutnya, mengapa harus men-share tulisan “nyinyir” satu ustadz pada ustadz lainnya? padahal belum tentu itu tulisan ustadz ybs. 

Setelah membaca buku ini, entah mengapa saya merasa seperti mendapatkan peta, gambaran situasi here and now yang tengah saya hadapi. Sebuah peta dari gambaran situasi 1400 tahun lalu, namun bisa dipakai sampai abad ini. Ada golongan “syeh hitam” yang memandang seorang tokoh panutannya suci, tanpa salah dan cela. Ada golongan khawarij, yang berasal dari kelompok penghafal Qur’an saat itu, yang hatinya keras, merasa dirinya paling benar, memahami ajaran agama secara letter-lek; merasa semua orang salah selain kelompoknya. Ada golongan yang cinta dunia dan kekuasaan, yang memanfaatkan isu-isu “kebenaran” untuk kepentingan pribadinya.  Ada golongan yang memiliki segala kelebihan, namun kelebihannya itu ia manfaatkan untuk mendapatkan keinginan pribadinya, seperti Amr Bin Ash. Ada golongan yang memanfaatkan kekacauan untuk kepentingan diri dan golongannya, ada kelompok yang tak terlalu berperan penting namun “berisik” mengomentari ini itu…Dan, ada kelompok Ali bin Abi Thalib; kelompok yang tetap teguh pada kebenaran, komitmen terhadap aturan serta kelompok Hasan bin Ali, yang berlapang hati, mengalahkan ego demi persatuan ummat.

Seluruh peta kelompok itu, hari ini, ada. Dengan peta ini, pilihan-pilihannya menjadi gamblang. Akan masuk di kelompok manakah kita saat ini?

Tak ada gading yang tak retak. Saya adalah fans berat sang penutur cerita. Namun bukan berarti ia sempurna. Di buku ini, tampaknya ada beberapa poin yang menunjukkan subjektifitas penulis. Subjektifitas itu terlihat dari referensi yang beliau gunakan sebagai acuan kisah siroh yang beliau tuliskan. Pada bagian kisah mengenai peran unta, saya menangkap uraian beliau mengenai perilaku Thalhah dan Zubair bernada negatif. Begitu juga gambaran perilaku Utsman Bin Affan terhadap sahabat Rasul yang terkenal, Abi Dzar Al Ghifari. Kisah yang beliau tuturkan membuat saya bertanya-tanya. Mungkinkah perilaku Thalhah dan Zubair demikian “buruk”? mereka sahabat yang dijamin masuk syurga loh. Demikian juga perilaku Utsman. Demikiankah? Lalu saya buka buku siroh dan beberapa artikel mengenai mereka dan peristiwa itu. Di sumber yang berbeda dengan sumber yang dikutip penulis, saya mendapatkan pandangan yang berbeda. Bahkan ada salah satu artikel yang baguuus sekali menjelaskan bahwa kita harus hati-hati sekali menilai sikap, perilaku dan keputusan para sahabat. Kehati-hatian itu, menurut saya bisa dioperasionalisasikan dengan mencari sumber seobjektif mungkin. Dan karena buku ini dinyatakan sebagai biografi meskipun dituturkan dalam bahasa novel, poin akurasi dan objektifitas itu  yang ingin saya sarankan pada penulis.

Di halaman 613 buku ini, penulis menuliskan rangkaian kalimat penutup dari keempat buku tebal yang telah ditulisnya, diberi judul “Lambaian Tangan”. Seluruh kalimatnya, saya rasa keluar dari lubuk hati terdalam sang penulis. Semuanya menyentuh dan mewakili perasaan kita semua sesungguhnya. Namun ada kalimat di dua paragraf terakhir yang ingin saya kutip disini:

“……Apa sebenarnya motivasi sejati anda ketika menyusun buku ini?…….”

“Saya adalah muslim yang bodoh. saya tidak tahu banyak mengenai agama saya. Saay tahu amalan saya tidak akan pernah cukup mengetuk pintu kebaikan akhirat. Tapi setidaknya, di Padang Mahsyar kelak, ketika Rasulullah menimang-nimang siapa diantara umatnya yang layak mendapatkan syafaat, saya akan berkata: saya pernah menulis kisah tentangmu dengan lelehan air mata, ya Rasul”.

Kalimat penulis yang saya tebalkan, membuat saya tak bisa menahan lelehan air mata.

Wallahu Alam.

Kediri, 1 syawal 1437 H

 

 

Sang Pewaris Hujan

sang pewaris hujan“Mengapa kita harus berdoa? Bukankah Allah maha tahu kebutuhan kita?”

“Agar manusia menjadi rendah hati. Tahu diri siapa hamba dan siapa tuhannya. Ketika engkau melakukannya, engkau mengusir sikap sombong, malas apalagi berharap kepada selain Allah”.

Itu adalah secuil percakapan Kashva/Elyas dengan tokoh Muhammad, salah seorang dari pasukan Amr Bin Ash yang membebaskan Alexandria. Perbincangan itu ada di halaman 351 buku ketiga dari seri novel Biografi Muhammad, karya “sang juru cerita” Tasaro.

Hehe… saya memang “jurig novel”. Si abah, meskipun sudah 14 tahun hidup bersama, masih sering tak percaya saat saya bisa menamatkan bacaan novel saya dalam waktu -yang menurut dia- sangat cepat. Padahal bacanya ya curi-curi waktu di sela-sela beragam kewajiban yang lain: “serius? selesai? gak dilompat-lompat bacanya?” gitu reaksi si abah setiap kali ia melihat saya selesai membaca buku. Padahal udah puluhan kali saya bilang, kalau “membaca buku yang keren itu, kayak kita makan makanan yang enak. Kita gak pengen cepet-cepet habisin. Kita akan mengunyahnya pelan-pelan, menyecap seluruh rasanya dengan semua indera kita…”. Dan buku Muhammad : Sang Pewaris Hujan, beserta dua buku sebelumnya: https://fitriariyanti.com/2016/06/14/lelaki-penggenggam-hujan/ dan https://fitriariyanti.com/2016/06/28/lelaki-pengeja-hujan/ absolutely masuk kategori buku super keren yang ingin saya nikmati setiap kata dan rangkaian kalimatnya.

Saya merasa, ada warna yang berbeda di buku ini dibandingkan dua buku sebelumnya. Salah satu ulasan mengenai buku ini yang saya dapat dari gugling-sebelum membaca buku ini- mengatakan bahwa buku ini akan memuaskan mereka yang mengidolakan Umar Bin Khatab. Saya mengidolakan Umar Bin Khatab. Sangat. Tapi saya sama sekali tak puas dengan buku yang memang mengisahkan 10 tahun kepemimpinan khalifah kedua ini. Tentunya ini bukan salah penulis. Lha wong ini buku “Biografi Muhammad”. Tentunya akan berbeda dengan buku “Biografi Umar Bin Khatab” yang sudah beberapa buku saya baca.

Di buku ini, yang diceritakan lebih banyak gambaran peristiwa, bukan gambaran tokoh. Jika di buku sebelumnya penulis secara detil menggambarkan tokoh-tokoh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya bahkan tokoh musuhnya secara personal sampai kita merasa siapa yang digambarkan hadir sendiri di hadapan kita, di buku ini, yang lebih banyak digambarkan adalah peristiwa. Penaklukan Persia dan Romawi.

Membaca buku ini, saya tak harus menjeda untuk mengusap air mata yang menggerimis (kkkk…nyontek kata-kata sang juru cerita). Tak terlalu banyak kisah dan peristiwa yang menyentuh dan mengaduk-aduk emosi. Kecuali pada saat penulis menggambarkan detik-detik wafatnya sang Khalifah, mata saya sempat berkaca-kaca.

Saya merasa, di buku ini penulis secara khusus mengerahkan energinya untuk menciptakan rangkaian percakapan yang radikal dan bermakna antara tokoh Kashva/Elyas dengan sahabat barunya yang muslim, Muhammad. Kognisi yang berusaha disentuh penulis, bukan emosi. Dan, saya harus katakan, sang penulis berhasil jika memang itu tujuannya.

Pertanyaan-pertanyaan lugu Kashva/Elyas dan jawaban-jawaban Muhammad, itulah yang membuat saya menjeda bacaan saya. Kalau di buku sebelumnya saya menjeda untuk mengusap air mata dan menenangkan emosi, di buku ini saya menjeda untuk mencerna. Buat kita yang terlahir sudah dengan status muslim/muslimah, mungkin tak semua pertanyaan kritis Kashva/Elyas pernah kita tanyakan pada diri sendiri maupun pada orang lain. Itulah saya duga tujuan sang penulis. Penulis mencoba menyampaikan “tausyiah”/nasihat … namun seperti gaya personalnya yang sangat terasa, dengan gaya yang unik.

“Kau tahu makna syahid?”/ “Kau yakin Allah akan mengabulkan doa kesyahidanmu?”/ “Apa yang engkau pahami ketika aku menolongmu dalam hujan batu itu? Allah menunda pengabulan doamu?”/”Allah memperkenalkan diriNya?”/”Bagaimana kau masih memikirkan Tuhan dalam keadaan serba tak menentu seperti sekarang?”/”Bagaimana engkau bisa menganggapNya ada sedang Dia tidak terlihat dan tidak terbayangkan wujudNya?”

Kalau kita seorang mulim/ah, cobalah menjawab pertanyaan-pertanyaan tokoh Kashva/Elyas tersebut. Menurut saya, itu adalah pertanyaan nurani kita. Dan melalui jawaban-jawaban tokoh Muhammad, penulis berhasil menyampaikan jawaban yang menguatkan tauhid kita. Dialog-dialog seperti ini, harusnya selalu kita hidupkan dalam nurani kita. Tak harus selalu kita tahu jawabannya. Justru kalau kita tak tahu, kita terus mencari tahu, itulah indikator nurani yang hidup.

Satu lagi perbedaan gaya buku ini dengan kedua buku sebelumnya, para tokoh fiksi dan tokoh sahabat alurnya blended, bercampur. Secara personal saya melihat ada “keberanian” penulis mempertemukan tokoh fiksi dengan tokoh-tokoh nyata. Saya sendiri, mencium adanya “resiko” dalam keputusan itu. Tapi itu penilaian personal saya. Jujur saja, kalau saya tidak akan berani melakukan itu. Misalnya ketika Penulis memperemukan Astu dengan Saad Bin Abi Waqash, Bahkan Astu dan Vakhsur dipertemukandengan Ubaidillah Bin Umar saat sang putra Khalifah itu “memburu” Persia-ers di Madinah selepas ayahnya di bunuh Fairuz. Tapi saya tetap menghargai keputusan penulis, pastinya penulis bukan tanpa pertimbangan matang mengambil langkah ini.

Di akhir buku ini, seperti di akhir buku kedua, digambarkan perpindahan kekhalifahan dari Umar kepada tim formatur yang berujung pada terpilihnya Utsman bin Affan. Waktu saya gugling mengenai penulis seri buku ini, ada satu tulisan yang mengatakan seri buku ini adalah buku Syiah. Argumennya adalah kisah di buku kedua yang menggambarkan kejadian di Tsaqifah. Kepemimpinan setelah Rasulullah wafat memang menjadi titik tajam antara sunni dan syiah. Dan penulis yang mengatakan buku ini buku syiah, menyampaikan bahwa sang penulis buku ini mengutip kisah “versi syiah”. Bagi mereka yang berpendapat demikian, mungkin akan mengangguk-angguk ketika membaca bagian akhir buku ketiga ini karena digambarkan juga “Utsman vs Ali” dalam proses musyawarah formatur itu. Apalagi kalau hanya membaca “bagian itu”. Tapi kalau kita membaca ketiga buku itu secara lengkap, saya menangkap bahwa yang disampaikan penulis adalah sesuatu yang proporsional dan objektif.

Proporsional? karena penulis menggambarkan keistimewaan Ali dan Fathimah, dengan porsi yang sama dengan saat penulis menggambarkan keistimewaan ABu Bakar, Umar, Utsman dan Aisyah. Sesuatu yang tak akan dilakukan oleh syiah-er yang berakhlak buruk (saya percaya ada syiah-er berakhlak baik dan syiah-er berakhlak buruk, seperti saya percaya ada muslim berakhlak baik dan muslim berakhlak buruk, kristen berakhlak baik dan kristen berakhlak buruk, orang sunda berakhlak baik dan orang sunda berakhlak buruk) Jadi meyimpulkan bahwa buku ini buku syiah, menurut saya pribadi kurang pas .

Objektif? saya pernah membaca buku biografi Utsman Bin Affan berbahasa Inggris, yang dituli Dr Alli Muhammad Al-Sallabi. Di sana beliau mengambarkan peristiwa berakhirnya kekhalifahan Utsman. Sebagai pengantar, di bagian itu beliau menyebutkan bahwa akhir kekhalifahan Utsman dan peristiwa terbunuhnya Utsman, seringkali “dihindari” untuk dibicarakan. Sama dengan peristiwa bani Tsaqifah. Seolah-olah kalau kita membicarakannya dan mengupasnya, kita pasti akan sampai pada kesimpulan yang “buruk” dan membuat kita merasa menodai agama ini. Ali Sallabi memiliki pandangan yang berbeda. Ia mengatakan bahwa secara objektif, melalui metodologi penelusuran kisah yang akurat, kita tak perlu menghindari pembahasannya. Kita tetap harus mengetahuinya, menganalisanya dan menjadikannya pelajaran. Kita akan mengetahui ada sisi-sisi “manusiawi” dari para sahabat mulia itu. Sisi “tak sempurna” itu, yang membuat kita tetap menjejak di bumi dalammemahami ajaran agama. Yang membuat kita memiliki nyala api untuk menjadikan mereka sebagai diola. Karena kita bisa menghayati bahwa mereka manusia, bukan malaikat.

Secara pribadi, “efek samping” setelah membaca buku ini adalah, saya jadi pengen banget memaca buku-buku biografi yang bisa menceritakan lebih detil mengenai kehidupan para sahabat: Amr bin Ash, Abu Ubaidah, Abdurrahman bin Auf, dan tokoh-tokoh yang digambarkan di buku sebelumnya: Khalid Bin Walid, dan sahabat-sahabat mulia lainnya. Selain itu, saya juga ingin membaca buku-buku ynag menggambarkan perjalanan sejarah setelah khulafaurrasyidin, para dinasti setelahnya, hingga sampai saat ini. Sebenarnya saya tahu sih kisah kronologisnya. Si abah yang memang  tertarik pada sejarah sudah puluhan kali menceritakan perjalanan kehidupan umat Islam sampai saat ini. Bahkan, ada beberapa buku tentang itu di lemari buku kami. Tapi sampai saat ini, hanya setelah membaca buku ini, saya begitu ingin menghayatinya. Dan ini efek samping luar biasa buat saya yang gak suka sejarah hehe….

Saya ingin menutup tulisan ini dengan percakapan lain antara tokoh Muhammad dengan tokoh Kashva/Elyas:

“Bagaimana caranya mengetahui tujuan takdir?”

“Bagaimana? tentu saja dengan menjalaninya. Allah sudah menakdirkan akhir perjalanan hidup kita, sedangkan kita tak akan pernah mengetahuinya, kecuali dengan menjalaninya, Kawan. Lalu, Allah memberi bimbingan bagaimana caranya menjalani proses itu”.

…..”jika engkau percaya tidak ada kebetulan di muka bumi, hilangnya sebagian besar ingatanmu pun memiliki sebuah tujuan. …..kelak, jika engkau tak menemukan jawaban atas pertanyaanmu tentang masa lalu, semoga Allah menggantinya dengan jawaban perihal untuk apa engkau mengalami semua ini”.

Yups, pertanyaan yang lebih tepat untuk episode yang Allah berikan pada kehidupan kita bukanlah “mengapa”. Tapi “untuk apa”.

Wallahu alam.