If Cats Disappeared from the World

Delapan tahunan lalu, saat memikirkan topik buat disertasi, saya tertarik pada topik “father-child attachment”. Topik yg kemudian lagi ngehits di Indonesia saat ini. Jadi saya banyak baca buku & hasil2 penelitian terkait topik itu. Bahkan buku “asli” pertama kali yg saya beli adalah “father attachment”. Isinya kumpulan penelitian terkini di negara2 Barat yg membuktikan bahwa era ayah yg hanya berfungsi sebagai breadwinner, telah berakhir. Bukti2 empirik menunjukkan bahwa ayah punya kapabilitas buat menjalin kedekatan emosi sama anak secara langsung. Jadi peran ayah pada pengasuhan anak bisa melalui 2 jalur : dengan menjalin koneksi emosi dgn Ibu, pengasuhan Ibu jadi berkualitas; dan atau langsung menjalin koneksi emosi dengan anak. Kalau kata Eri parternya Wijnand di Maastricht mah : Masa dimana ayah cuman “making money & making baby” udah lewat haha…

Saat itu, pertanyaan penelitian yg ingin saya jawab adalah : “Gimana bentuk keterlibatan ayah yg bermakna untuk anak di Indonesia?” Mengingat kultur Indonesia yg patriarki & hierarchical. Berapa referensi mengenai budaya di Indonesia membuat saya berhipotesa bahwa mungkin bentuk attachment ayah-anak di Asia/Indonesia gak sama dengan di kultur Barat. Bisa salah arah kalau ujug2 “maksa” ayah2 Indonesia jadi se”hangat”, se”ekspresif” ayah2 Barat. Malah bisa jadi stressor buat si ayah2 Indonesia.

Karena topiknya relatif “baru” saat itu, maka penelitian harus dimulai dengan eksploratif-kualitatif. Depth interview atau focused-group discussion tekniknya. Bedanya penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif adalah, dalam penelitian kualitatif peneliti “tidak berjarak” dengan subjek penelitian. Nah, disitulah saya merasa rasanya saya kurang bisa berperan jadi peneliti kualitatif yg baik dalam topik ini. Jadi saya tinggalkan jalur penelitian jni, meskipun tetap seneng mengamati & mengikuti perkembangan penelitiannya.

Salah satu buku “refreshing” yg saya baca saat di tanah Van Orange adalah bukunya Genki Kawamura. Pantesan buku ini best seller di Jepang & diterjemahkan ke beberapa bahasa. Keyen banget emang. Kisah fiksi yg ringan & lucu, tapi sesungguhnya itu adalah media untuk menyampaikan pesan filosofis yg bikin tercenung & berkaca2.

Buku ini bercerita ttg seorang pemuda usia 30an yg divonis menderita kanker otak, sehingga sisa usianya tinggal menghitung hari. Lalu datanglah “devil” yg menawarkan perjanjian padanya : kamu bisa punya tambahan usia satu hari selama berapa lama pun kamu mau, tapi di setiap hari itu kamu harus menukar hidup kamu dgn sesuatu yg akan dihilangkan secara permanen dari dunia”.

Diceritakan pemikiran & pergulatan psikologis & yg mengiringi penghayatan tentang kehidupan yg ia jalani selama ini. Hari pertama, ia minta hidupnya ditukar dengan handphone. Karena ia merasa bahwa hidupnya banyak tersia2kan dgn aktifitas handphone yg sebenernya gak terlalu ia butuhkan. Diceritakan di buku ini bagaimana situasi yg terjadi saat handphone menghilang dari dunia. Dampak bagi dirinya & org lain.

Menurut saya, si penulis sebenernya membawa kita untuk merenungi apa yg penting & gak penting dlm hidup kita. Apa sesungguhnya yg paling bermakna dalam hidup kita? Karena saat membaca itu, saya gak bisa engga merefleksikan pada diri saya. Andai saya di posisi seperti tokoh di buku itu, apa/siapa yg ingin saya hilangkan dari dunia ini? Dan itu bikin tercenung lama.

Sampai tiba ke hari ke7. Pilihan apa yg harus dihiangkan setiap harinya, harus di “acc” oleh si devil. Di hari itu, si devil hanya meng-acc kucingnya yg bisa dihilangkan. Di bab-bab terakhir inilah penulis membuat saya berkaca2. “Dalem” banget “proses mental” yg terjadi pada si tokoh yg mengantar dia pada keputusan : Mana yg lebih berharga, hidupnya? atau kucingnya? Dan ini terkait dgn ayahnya.

Di hari ke7, saat ia akan “menukar” hidupnya dgn menghilangnya kucing peliharaannya, Ia merenungi bahwa selama ini, tanpa ia sadari banyak episode kehidupan yg telah ia jalani bersama si kucing. Memori kebersamaan dgn si kucing membawanya ke memori kebersamaan dgn orangtuanya. Kucing ini adalah peliharaan ibunya yg sudah wafat. Ia sangat dekat dgn ibunya yg hangat. Kucing ini juga mengingatkannya pada kenyataan bahwa ia membenci ayahnya. Ia benci karena di hari ibunya wafat, ayahnya tak mendampingi ibunya. Ayahnya lebih memilih mereparasi jam tangan kesayangan ibunya yg saat itu rusak. Ia juga merasa ayahnya tak mencintainya, karena lebih banyak menghabiskan waktu di toko reparasi jam. Itulah sebabnya di hari kedua, ia meminta si devil menghilangkan jam dr dunia, dia ingin tahu apa yg akan dilakukan ayahnya ketika jam2 yg membuat ayahnya “gak punya waktu buat anak”; hilang.

Tapi memori demi memori membuatnya mengingat, bahwa yes, ayahnya memang tdk “mencintainya” dgn ekspresi yg ia inginkan; tapi sesungguhnya banyak moment dimana ia melihat & merasa ayahnya sebenernya mencintainya. Ia ingat kenapa saat ini ia menjadi pegawai pos. Karena ia jatuh cinta pada prangko. Kenapa ia jatuh cinta pada prangko? Karena ayahnya, setiap kali pergi ke berbagai tempat, selalu meng-oleh2i-nya prangko. Ia pun mengingat sejarah si kucing, kucing liar yg di”pungut” oleh ayahnya, untuk menemani ibunya. .
Dari memori2 itu dia merasa bahwa ibunya benar, ibunya bilang bahwa ayahnya sangat mencintai keluarga ini. Mencintai Ibu & dirinya. Hanya ayahnya punya ekspresi tersendiri. Dan ia akhirnya bisa menghayati Hal tsb. Dari situlah akhirnya ia mengambil keputusan bahwa panjang pendek hidupnya bukanlah hal yg esensial. Tapi apa isi dari hidupnya, yg harus lebih ia pedulikan. Sehingga buatnya, tidak penting lagi memperpanjang hidup. Yg lebih penting adalah isinya. Ia pun memutuskan mengunjungi ayahnya, membawa si kucing untuk menemani ayahnya.

Ada muatan kultur yg kuat dalam kisah ini. Ayah2 Asia termasuk Jepang, terkenal “lempeng”. Tapi bukan berarti tak cinta.

Leave a comment