Ibu-ibu yang tidak ideal: Jangan Menyerah !!!

Saya adalah ibu yang tidak ideal. Saya tidak selalu ada disamping anak-anak saya. Setiap hari kerja, saya meninggalkan rumah mulai jam setengah 8 sampai jam 4 sore. Si bungsu Azzam, yanng berusia 2,5 tahun akan meninggalkan rumah duluan. Jam 7 dia akan dijemput teh Rini, istri sopir saya. Yups, selama saya pergi, Azzam memang diasuh oleh teh Rini di rumahnya yang tak terlalu jauh dari rumah saya. Kenapa? karena teh Rini pun punya anak kecil. De Rendi yang seusia teteh Hana, TK B. Gile….ayahnya lulusan S3, ibunya lulusan S2, anaknya diasuh lulusan SMA? rumahnya gede tapi anaknya diasuh di rumah sederhana? yups, memang demikianlah adanya. Kan saya sudah bilang saya ibu yang tak ideal.

Dhuhur, teh Rini akan membawa de Azzam kembali ke rumah untuk beberes rumah, sambil nemenin teteh Hana yang akan datang jam setengah 1 dari sekolah. Demikian sampai saya dan Kaka Azka plus mas Umar pulang sore. Setelah itu teh Rini akan pulang, dan kalau si Abah sedang di luar kota maka kami pun akan menghabiskan waktu berlima. Memasak makan malam, lalu makan malam dan beraktifitas sampai tidur.

Saya adalah ibu yang tak ideal. Tak selalu tiap malam saya bisa menemani Kaka Azka dan mas Umar belajar. Seringkali juga saya ketiduran di tengah membacakan buku buat Teteh Hana dan de Azzam dan…alih-alih menghapuskan gadget, terkadang saya sengaja menyetelkan youtube ke Azzam dan Hana biar bisa mandi sebentar… biar seger dan bisa terjaga sampai Hana-Azzam terlelap.

Saya adalah ibu yang tak ideal. Saya suka meminta anak-anak saya “berkorban”; misalnya setiap kamis, anak-anak harus berangkat setengah jam lebih pagi dan menunggu di sekolah karena saya jam setengah 9 harus sudah ada di jatinangor. Sedangkan mobilitas kami semua tergantung pada pak Ayi, sopir kami.

Dulu, saya berpikir kalau menjadi ibu itu harus ideal. Harus selalu ada di samping anak dan selalu berkorban untuk anak. Itulah yang berusaha saya wujudkan dalam diri saya. Tapi kemudian, saya bertemu dengan banyak ibu yang “tak ideal”. Ibu-ibu single parent yang ditinggal wafat atau bercerai dengan suaminya, para ibu bekerja yang tetap  mengejar cita-cita sambil berkeluarga…

Dan dari para ibu “tak ideal” itu saya belajar, bahwa ketidak-idealan, tak harus membuat kita lebay dan putus asa. Saya melihat mereka-mereka tetap berjuang sekuat yang mereka bisa, untuk tetap memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Baik emosi, tenaga ataupun biaya. Dan no gain without pain. Kerja ekstra mereka, membuahkan anak-anak yang tak lantas menjadi “broken home” karena kurang kasih sayang ibunya.

Saya pernah menyaksikan seorang ibu yang ditinggal wafat suaminya, pergi pagi pulang malam dan meninggalkan dua putri kecilnya bersama neneknya. Setiap hari, entah berapa banyak air mata si ibu yang tertumpah. Saya tahu si ibu akan bangun jam 3 dini hari setiap harinya, membuatkan bekal makanan kesukaan anak-anaknya. Saya juga pernah mendengar cerita seorang ibu yang tiap hari pulang pergi jakarta-bandung saat menempuh kuliah S3 di Bandung padahal rumahnya di Jakarta, agar anaknya tidak kehilangan sosok dirinya. Saya juga melihat bagaimana seorang ibu pejabat yang selalu membayar kamar hotel ekstra setiap kali ia bertugas di luar kota, agar anak-anaknya bisa ikut dan ia tetap bisa bersama anaknya di tengah aktifitasnya. Saya mengetahui seorang ibu yang setiap hari bekerja dengan sungguh-sungguh dan saat wiken mematikan handphonenya, agar bisa full untuk anak-anaknya.

Saya menyaksikan begitu banyak upaya dan begitu besar pengorbanan ibu-ibu yang “tak ideal” ini untuk “menembel ketidak-idealannya”. Saya juga jadi memahami bahwa definisi operasional dari menjalankan peran sebagai “madrasah yang pertama dan utama” buat anak itu, banyak bentuk dan caranya. Saya jadi memahami esensinya. Dengan menyaksikan bahwa peran untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang benar dan baik, itu tetap bisa dilakukan walaupun dengan kondisi yang “tak ideal”.

idealSegala upaya ibu-ibu “tak ideal” yang saya ketahui dan saya saksikan, menginspirasi saya bahwa dalam ketidak-idealan yang kita miliki, kita tetap bisa “bergerak” untuk memberikan yang terbaik buat anak-anak kita. Jangan menyerah. Itu intinya. Yups, pastinya ada masa-masa galau yang saya rasakan, saat penilaian-penilaian negatif dan judgement bahwa “saya bukan ibu ynag baik” begitu melukai. Padahal hujatan itu datangnya dari lubuk hati saya sendiri. Namun berkaca dari ibu-ibu tak ideal yang saya ceritakan tadi, saya bisa tetap yakin akan keputusan saya.

Yups, saya memang menitipkan anak saya pada seorang lulusan SMA. Lulusan SMA yang begitu responsif dalam mengasuh anak. Itulah sebabnya Azzam makannya lahap, badannya harum selalu setiap sore saya memeluknya. Saat saya melakukan “sidak” pulang siang hari, saya pergoki dia sedang main petak umpet lah, sedang main ciluk ba lah, main bola lah, main robot-robotan lah, sama teh Rini. Bahkan di luar harapan saya, dia sudah bisa menyanyikan 10 lagu dan hafal dua doa, serta sudah bisa berhitung 1-10 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Itu adalah “ulah’ teh Rini. Mengenai nilai-nilai kehidupan? salutnya saya sama keluarga sederhana ini adalah, nilai-nilai kejujuran dan kebaikan yang dijaga teguh.

Minimnya waktu bersama, juga membuat saya jadi aware untuk tak menyia-nyiakan waktu saat bersama anak-anak. Satu jam di pagi hari, 3 jam di sore-malam hari plus 2 hari wiken menjadi waktu yang sangat berharga. Saya juga belajar banyak untuk mengantisipasi dampak buruk dari minimnya waktu bersama anak. Berlatih active listening, berupaya memanfaatkan waktu di luar untuk menyelesaikan semua pekerjaan saya agar tak harus membawa pekerjaan ke rumah…Saya berdoa dan ingin melakukan kebaikan yang lebih banyak biar Allah melindungi anak-anak saya. Saya melakukan segala upaya sebisa saya untuk menembel ketidak idealan saya. Yups, saya tetap mengakui bahwa saya tidak ideal, tapi saya tak mau cengeng dan lebay dengan ketidak idealan saya, seperti contoh ibu-ibu tak ideal lain yang saya saksikan.

Inti dari tulisan ini adalah …. saya ingin mengajak ibu-ibu yang tak bisa mewujudkan kondisi pengasuhan yang  ideal, untuk tak berputus asa. Justru situasi tak ideal ini membuat kita harus try harder and pray harder. Dengan kesadaran diri, kerendahan hati plus keikhlasan, semoga pertolongan Allah senantiasa kita dapatkan.

1 Comment (+add yours?)

  1. eka
    Oct 26, 2014 @ 15:03:29

    Izin share mba…sesuai bgt

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: