Reureugnya tuh disini…

Beberapa waktu yang lalu, pernah rame di medsos share tulisan yang isinya ….. Seorang guru di Australia pernah berkata: “Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.” Bagi yang belum pernah membaca, bisa membaca di link https://www.facebook.com/arifs2/posts/10151739757894463.

Salah satu pesan moral dari tulisan  tersebut yang saya tangkap adalah, bahwa seringkali kita “salah fokus”, terlalu memfokuskan perhatian kita untuk menstimulasi dan mengapresiasi pencapaian akademik anak, dan “melupakan” stimulasi dan apresiasi terhadap pencapaian non akademik anak. Dalam tulisan ini, pencapaian akademik diwakili oleh “pandai matematika” dan pencapaian non akademik diwakili oleh “pandai mengantri”.

Yups, saya setuju bahwa -menyontek slogannya SMA 3 Bandung- Knowledge is power, but character is more. Pinter kudu, tapi itu gak ada gunanaya kalau gak ditunjang sama “sikap mental” yang baik. Nah terkait dengan “sikap mental” ini, ada satu hal yang meresahkan saya. Anak saya, si nomor dua. Umar. Dalam beberapa tulisan saya, saya sering menuliskan betapa perjuangan terbesar mengasuh anak ini adalah menumbuhkan sikap mental yang positif. “Yang engga lebay”. Karena dibandingkan dengan kakak dan adiknya, saat menghadapi masalah ia cenderung “lebay”. Bukannya maju malah mundur. Mudah menyerah. Kurang “fight” gitu.

Ujiannya dia, kurang fight nya dia diringi oleh kemampuan kognitif yang baik. Jadi tak perlu belajar, ia bisa mencapai nilai-nilai tertinggi. Kenapa saya bilang ini ujian? karena hal ini melenakan dia. Saya tahu betul, tantangan di kehidupan bermasyarakat saat ia sudah besar nanti tak hanya bisa diselesaikan oleh kepintaran. Tapi…”sikap mental” itu tadi. Tak mudah menyerah. Pantang mundur. Mau mencoba hal baru. Berani ambil resiko. Bukannya menghindar dan “lebay”.

Keresahan saya semakin memuncak karena profesi saya membuat saya sering melewati “lorong waktu”. Saya bertemu dengan permasalahan anak yang usianya diatas usia anak-anak saya. Saya bertemu dengan ibu-ibu dan anak-anak yang memiliki persoalan yang sama dengan Umar. Kalau dia sekarang kelas 3 SD, saya menemukan permasalahan yang sama pada anak usia 13 tahun bahkan 23 tahun . Dari permasalahan-permasalahan itu saya menyadari bahwa daya juang untuk mengatasi hambatan dan masalah, itu gak bisa tumbuh sendiri seiring bertambahnya usia anak. Bahkan masalahnya akan semakin kompleks saat usia semakin besar dan persoalan semakin kompleks.

Saya benar-benar resah, khawatir, dan gelisah. Setiap kali saya sholat, saya berdoa “rabbi…habli…minash sholihiin” sambil saya bayangkan anak-anak saya satu-satu. Saat saya bayangkan wajah Umar, saya doakan dia tiga kali. Waktu tahun lalu ke tanah suci, setiap thawaf sunat saya punya jatah 4 keliling untuk mendoakan masing-masing anak saya, saya tambah ekstra satu keliling untuk Umar. Bahkan saya pernah menangis dan memohoooon banget pada Allah. Saya sering curhat soal kekhawattiran saya tentang Umar pada Mas. Saya khawatir karena dia anak laki-laki pertama. Saya suka bilang kalau abah nanti meninggal duluan, mas Umar yang akan jadi kepala keluarga di rumah ini.

Sebagai ikhtiar, saya juga berusaha untuk menumbuhkan dan menempa daya juangnya. Melalui kegiatan sehari-hari. Umpan balik terhadap sikap-sikapnya, arahan dan dorongan serta apresiasi….

Sampai hari Sabtu lalu, sore-sore dia minta saya untuk membantu dia mengerjakan PRnya. PRnya, 6 soal bagi kurung. Soal pertama, saya tuntun langkah demi langkah. Soal kedua juga. Soal bagi kurung itu adalah hal yang kompleks buat anak-anak kelas 3. Selain mempersyaratkan kemampuan bagi dan kali yang harus sudah di luar kepala, mengingat langkah-langkah penyelesaiannya yang kompleks juga bukan hal mudah. Soal no 3, 4, dua soal terakhir sudah bisa saya lepas sepenuhnya.

Setelah selesai, saya perhatikan kok soal itu ditulis tangan oleh gurunya…Lalu saya tanya “Mas, bu guru nulisin PR di buku anak-anak satu-satu?”…”Enggak” jawab dia. “Ini mah PR khusus untuk mas Umar kok, gak untuk semua kelas 3”. … saya merasa heran dengan jawabannya. “Kenapa gitu mas?” … “Iya, mas Umar yang minta dibikinin PR sama bu guru, soalnya mas Umar merasa belum ngerti, jadi minta PR”.

Seperti saat mendengar kata-kata Hana di tulisan https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/10/28/kala-anak-kita-bicara-gamblang/ , saya “freeze” sejenak. Saya tak menyangka kalimat itu akan saya dengar. Beberapa detik kemudian setelah saya sadar, saya rasanya ingin melompat ke atas awan. Saya bahagiaaaaa banget. Jauuuh lebih bahagia dibanding saat mendengar dia renking satu. Lebih bahagia dibanding melihat beberapa nilai 100 di rapornya.

reugreugMenghayati bahwa ia belum memahami pelajaran, ada keinginan untuk bisa, lalu berinisiatif meminta PR pada gurunya, buat saya adalah hal yang sangat istimewa, dilakukan oleh Umarku. Memang ini hanya satu momen. Tapi cukup untuk memudarkan  kekhawatiran saya. Saya katakan saya bangga padanya, sangat bangga. Karena ia tak menyerah, karena ia berinisiatif dan mau berusaha.

Perasaan saya sore itu, kalau mencontek kata-kata Kang Emil…”reugreugnya tuh di sini”. Perasaan reugreug yang saya rasakan sepadan dengan penantian 19 tahun para bobotoh menanti si maung bandung jadi juara…

Semoga “sikap mental” itu kau bawa terus sampai saatnya nanti kau harus menghadapi dunia seorang diri, nak …

1 Comment (+add yours?)

  1. Tri Widy Astuti
    Nov 25, 2014 @ 15:29:08

    postingan yang menyentuh mba.. semoga Umar tumbuh jadi anak yang kuat dan bermental ok 😉

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: