Sedih itu belum tentu luka

Ada dua “kebijakan” yang diambil oleh boarding school/pesantren terkait dengan siswa baru-nya terkait kunjungan orangtua, terutama di awal masuk.

  1. Tidak memperbolehkan orangtua menjenguk di jangka waktu tertentu di awal
  2. Memperbolehkan, bahkan boleh “lebih sering” di awal.

Masing-masing kebijakan tentunya punya dasar pertimbangan masing-masing. Tapi saya pribadi, lebih setuju dengan kebijakan yang kedua. Maka, saya girang bukan kepalang ketika Boarding School si sulung mengambil kebijakan tersebut. Selama sebulan pertama, bulan Juli, anak-anak boleh dijenguk setiap minggu, setiap hari Ahad. Selanjutnya, dua minggu sekali. Akhwat di Ahad ganjil dan ikhwan di ahad genap (dan para emak akhwat pun mulai menandai bulan-bulan yang terdiri dari  5 minggu haha…)

Secara objektif, kebijakan boleh dijenguk lebih sering di bulan awal tersebut memberikan waktu “beradaptasi” ; baik kepada anak maupun kepada orangtua yang sebelumnya selalu “bersama”, dan kini harus “terpisah”. Saya bisa memahami perspektif lain yang menilai bahwa anak jangan sering ditengok apalagi di awal, karena nanti malah pengen pulang. Nanti “mengganggu” proses adaptasinya. Saya bisa memahami karena saya lihat faktanya.

Hari ahad lalu, tgl 15, adalah minggu pertama kami mengunjungi di sulung. Sejak 5 hari sebelumnya, adik-adiknya terutama si bungsu sudah “menghitung hari”. Tiap bangun tidur pertanyaan si bungsu nambah jadi dua: (1) Berapa hari lagi abah pulang; (2) Berapa hari lagi kita jenguk Kaka. Emaknya juga menghitung hari sih, tapi dengan cara yang berbeda haha….

Sesampainya di kawasan asrama yang asri, di beberapa spot orangtua sudah bersama anak-anaknya. Beberapa anak tampak sedang sesenggukan di pelukan orangtuanya. Saya juga hampir tak dapat menahan air mata saya. Begitu saya masuk kamar si sulung, si sulung langsung memeluk erat, sesenggukan juga.

Tangisan itu, tanda sedih. Sedih itu, tanda sesuatu yang tak menyenangkan. Secara “instinktif”, kita akan menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan buat kita. Itulah mengapa banyak ibu lebih memilih “pergi diam-diam” daripada “pamit” pada anak balita-nya saat akan meninggalkan anaknya; meskipun penelitian sudah menunjukkan bahwa dampak jangka panjang kalau “pamit”; jauh lebih positif dibandingkan pergi tanpa pamit, yang akan membuat anak merasa “tidak aman” karena tidak tahu kapan akan ditinggal, kapan tidak akan ditinggal. Saya, pernah punya 4 balita. Pamit pada anak  balita, adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Mereka akan nangis, ngamuk, dan kita akan gak tega. Kita akan merasa “jahat” meninggalkan mereka. Tak jarang setelah pamit, saya pergi dengan air mata berlinang atau bahkan terisak.

Tangisan itu, tanda sedih. Kita mengasosiasikan sedih dengan luka. Itulah sebabnya mengapa banyak suami yang “tidak tahan” melihat istrinya menangis. Reaksi mereka kala istri menangis adalah : abai, pergi, atau bahkan marah. Dulu, saya pikir para suami itu jahat. Tapi setelah belajar psikologi, lalu berprofesi sebagai psikolog; mendengarkan apa yang sesungguhnya dirasakan para suami itu, tak semuanya jahat. Sebagian besar  justru karena “tidak tahu harus menanggapi gimana”; “engga tahan liat orang yang disayangi terluka”; “merasa sudah bikin sedih, gak buat bahagia istri”. Padahal, kalau ngobrol dengan istri, tak semuanya menangis karena luka. Bagi wanita, menangis adalah ekspresi rasa. Tak semuanya rasa yang negatif.

Wajar memang jika secara “instinktif” kita menghindari tangisan. Saya melihat dan mendengar banyak orangtua yang meminta anaknya untuk berhenti menangis. Atau bahkan memang sengaja tidak menjenguk untuk menghindari tangis itu. Saya pun, mungkin akan mengambil cara itu. Andai saya tak belajar psikologi.

Setelah belajar psikologi, saya jadi menghayati bahwa setiap emosi, gak mungkin Allah ciptakan tanpa tujuan. Demikian pula kesedihan. Mengapa harus kita hindari? Kalau yang udah pernah nonton film “inside out”, salah satu pesan moral yang ditunjukkan oleh film ini adalah bahwa kesedihan itu, sama diperlukannya oleh diri kita seperti juga kebahagiaan. Emosi, Allah ciptakan bukan untuk kita hindari atau abaikan. Emosi Allah ciptakan untuk kita hayati, kita kelola agar tidak merusak diri kita.  Banyak hikmah yang akan kita dapat kalau kita lakukan proses ini.

Misal ketika kita sebagai ibu pamit lalu meninggalkan si kecil yang “ngamuk” gak mau ditinggal oleh kita; air mata kita mengalir, kita akan sadar betapa kita ingin selalu dekat dengan anak. Penghayatan ini mungkin tak akan kita rasakan kalau kita pergi tanpa pamit. Demikian pula penghayatan itu, akan dirasa anak kita, jika kita bantu dia mengenali dan “mengajarkannya”. “Dede tadi nangis karena gak mau ditinggal ibu ya, dede pengen sama ibu terus ya? Berarti dede sayang sama ibu. Ibu juga sayang sama dede. Ibu juga gak mau ninggalin dede. Tapi ibu harus kerja. Ibu pergi, bukan berarti engga sayang sama dede. Ibu tetep sayang sama dede. Makanya ibu pulang cepet-cepet pas kerjaan ibu selesai.” 

Berbeda dengan padangan umum tentang “ketegaran”, psikologi melihat kesedihan sebagai sebuah mekanisme alami yang wajar. Sehat. Tidak merusak. Yang tidak sehat adalah yang menghindari dan mengabaikan rasa itu. Karena menghindari sunnatullahNya. Dan biasanya akan berdampak tidak sehat di kemudian hari.

Kemarin, setelah puas bertangis-tangisan dengan si sulung, lalu mendengarkan  si sulung cerita bahwa emosi yang ia rasakan nano-nano di minggu pertamanya; kadang seneng banget, kadang excited, kadang sedih, kangen rumah, kangen orang rumah… lalu gantian saya yang ceritain perasaan adik-adiknya, perasaan abah, perasaan saya yang juga tak kalah nano-nanonya…. lalu kami cerita gimana kami berusaha mengatasi rasa itu ….  saya bilang bahwa sedih itu wajar. Sedih itu tandanya kita saling sayang. Kalau Kaka gak sedih, kalau ibu gak sedih, berarti selama ini kita gak punya ikatan apapun. Sedih itu tandanya apa yang kita sedihkan itu, berharga buat diri kita.

Yups, sad is oke. Ia bukan tanda tidak mandiri, bukan tanda cengeng, bukan tanda tak berdaya. Sedih adalah tanda bahwa kita terkoneksi dengan dunia; dengan tempat, dengan orang, dengan peristiwa, dengan nilai-nilai. Sedih adalah tanda bahwa kita hidup. Dan rasa sedih yang Allah anugerahkan, menghidupkan hati kita.

 

Leave a comment