Geliat Hari di Penjara Suci

Hari Sabtu dan  Ahad lalu, saya menengok si sulung di boarding school nya. Di bulan pertama ini, kami bisa menjenguk setiap minggu, memberi waktu untuk kami maupun anak beradaptasi. Sebenarnya jadwal menengok adalah hari Minggu. Namun atas izin Bunda asrama, Sabtu siang kami datang dan menghabiskan waktu bersama si sulung, sampai maghrib.

Kenapa?  karena jumat malam, ketika waktu menelpon, 30 menit waktu menelpon saya pada si sulung diisi oleh isak tangis si sulung. Saya kaget banget. Saya pikir akan mendengar suara cerianya, mengingat ketika kunjungan pertama setelah seminggu di sana, saya menilai proses adaptasinya smooth banget. Tangisannya, curhatannya, adalah tangis dan curhat  yang “sehat”. Oh ternyata, sudah sejak hari sebelumnya dia sakit. Mual, muntah-muntah dan kemudian demam. Ringan sih sakitnya. Tapi membayangkan dia menjalaninya “sendirian”, untuk yang pertama kali, bikin hati saya remuk redam (haha…hiperbola banget ya…). Kenapa “sendirian”nya saya kasih tanda kutip karena sebenernya gak sendirian. Ada Bunda asramanya yang cekatan memberikan obat, menemani dan memijiti, ada 8 teman kamarnya yang bergantian mengompres, mengambilkan makan, dan mentake-over tugas-tugasnya.

Maka, setelah saya ikutan rapat ortu di sekolah si bungsu dan si abah ngurus placement test les bahasa inggris si bujang dan si gadis kecil (balada anak banyak, rempong always haha); kami pun cuzz ke Subang. Ashar kami sampai disana, sampai maghrib. Besoknya, hari Ahad, pagi-pagi kami sudah kembali nangkring di asrama si sulung, menunggu izin keluar jam 8, lalu membawa si sulung istirahat di hotel tempat kami menginap sampai check out, dan menghabiskan waktu sampai ashar kembali di asrama si sulung.

Jadilah dalam jangka waktu di asrama itu, saya punya waktu banyak mengamati aktifitas harian di asrama SMA putri. Saya bisa memahami mengapa secara fisik, si sulung ngedrop. Kalau di rumah selama ini rutinitasnya mulai  jam 4.30 dan tidur jam 9; dua minggu di asrama dia mulai beraktifitas jam 3. Mandi air dingin (Secara di rumah selalu air hangat hehe). Kenapa mandi jam 3? biar gak antri. Lalu qiyamul lail, sampai subuh. Bada subuh, ke sekolah (yang jaraknya tentu dekat) untuk tahfidz. Jam 6an, kembali ke asrama, siap-siap lalu makan pagi. Lalu ke sekolah, mulai aktifitas jam 7. Beraktifitas di sekolah sampai dhuhur, baru ada waktu istirahat dari dhuhur sampai ashar. Waktu istirahat yang biasanya dipakai untuk nyuci baju (meskipun ada laundry seminggu dua kali, namun untuk “daleman” dan seragam, si sulung mengantisipasi nyuci sendiri). Kalau gak dipakai nyuci baju, akan dipakai nyetrika, atau ngobrol sambil ngemil (itulah sebabnya dalam waktu 2 minggu, berat badannya sudah naik 3 kilo haha).  Btw, suply makanan di asrama buanyaaaak banget. Mereka mengumpulkan logistik makanan kiriman ortu dan hadiah-hadiah lomba dalam satu lemari (kebetulan ada satu lemari kosong karena satu orang ternyata gak jadi masuk), menjadi logistik bersama kkk. Ashar sampai jam 5, mereka tahfidz lagi di mesjid. Lalu jam 5 jadwal makan, ke mesjid lagi maghrib sambung isya, lalu jam belajar  sampai jam 10, tidur bangun jam 3. Total tidur 5 jam berarti. Jadi wajar di masa adaptasi ini agak drop. Apalagi karena batas antara “sekolah” dan “rumah” tidak kasat mata, maka banyak juga aktifitas sekolah yang melewati batas waktu jam 10. Misalnya waktu demo ekskul, itu baru selesai jam 12 malam.

Selain drop fisik, saya juga melihat ada pergulatan psikologis yang tentu saja menyita energi.  Jadi inget sama seorang teman saya. Putrinya,  NEMnya tinggi. Tapi gak masuk SMA yang “diimpikannya”, terlempar ke SMA yang kurang ia sukai. Lalu putrinya mengatakan : “Percuma aku berusaha belajar keras selama ini”. Ia pun berkata pada putrinya : “Saat ini, kamu sudah mulai masuk ke kehidupan yang sesungguhnya. Banyak hal yang akan kamu alami, akan jadi pelajaran kehidupan yang berharga buat kamu. Misalnya, bahwa tak selamanya upaya keras kita, membuahkan hasil sesuai harapan kita”. Saya sepakat dengan apa yang dingkapkan teman saya pada putrinya. Ya, tampaknya di usia SMA ini memang anak-anak kita, dengan kemampuan berpikir abstraknya, mulai punya pandangan, keinginan, harapan, antisipasi, penilaian, dan cara mengolah informasi yang lebih “dewasa” dan lebih “kompleks”.

Misalnya, bertemu dengan teman-teman barunya dari beragam kota di Indonesia bahkan beberapa dari luar negeri yang tak bisa berbahasa Indonesia, melihat beragam kehebatan teman-temannya, di sulung “galau”. Ada yang sudah hafal 16 juz, ada yang jago bahasa Jepang, ada yang melukisnya keren banget, ada yang juara OSN, ada yang fisika nya pinter banget … dia merasa …bisa “survive” gak ya, diantara teman-temannya yang “hebat-hebat”… Yups…ketidaktahuan memang meresahkan … jadi inget film jurassic world, ketika si dinosaurus hasil rekayasa kabur, si pawang dino bilang : dia gak tau posisi dia di rantai makanan tuh dimana, jadi dia akan membabi buta menyerang semua dino untuk tau posisi dia dimana.  Nah, kalau dinosaurus mah ekspresi cemas nya teh menyerang, kalau manusia mah galau … stress … gitu kali ya haha…

Kegalauan lain adalah, di satu sisi dia pengen aktif; jadi pengurus OSIS, ikut beragam ekskul. Jangankan anaknya ya, emaknya aja galau pengen ikutan semua ekskul haha… soalnya pas liat demo ekskulnya di live IG, keyeeen banget. Tari samannya, amazing banggets… klub debatnya keren, ekskul science, ekskul OSN, jurnalistik, panahan, basket, broadcasting, PASUS dengan koreo yang keren banget …. emang bikin bingung mau pilih yang mana hehe. Tapi di satu sisi, dia juga takut cita-cita ke PT dan jurusan yang dia inginkan, menjadi terganggu karena waktunya tersita oleh beragam aktifitas. Kemarin dia terpilih seleksi paper untuk menjadi pengurus OSIS, tapi kemudian ia mengundurkan diri karena pertimbangan takut terlalu menyita waktu belajar. Di satu sisi hatinya  bangga karena tak semuanya terpiih, di satu sisi “otaknya” menimbang-nimbang itu akan mengancam tujuan jangka panjangnya. Jadilah ia memutuskan mengundurkan diri dengan air mata haha….

Bener kan …. di usia ini, ia mulai menghadapi “pilihan-pilihan sulit”. Kalau dipikir-pikir sih, pilihannya gak sulit. Mungkin pernah ia hadapi sebelumnya. Tapi kemampuan berpikir yang lebih kompleks dan dewasa, membuat pertimbangannya menjadi kompleks. Soalnya adiknya, si bujang kelas 7, menghadapi pilihan yang sama : ekskul, OSIS dan target prestasi, dengan santai dia membuat keputusan : ikut OSIS. Alasannya? “Keren pas MPLS bisa bentak-bentak adik kelas” hahaha….

Selain adaptasi fisik dan pergulatan psikologis, tak ada yang perlu dikhawatirkan ternyata. Secara pribadi, saya menilai usia SMA memang usia yang paling “pas” untuk masuk boarding school (nanti secara lebih detil akan saya sampaikan paparannya, di tulisan lain). Secara emosi dan regulasi diri, mereka sudah cukup matang untuk mengelola perbedaan antara teman sekamar. Ada yang takut gelap, ada yang manajemen dirinya belum rapi, ada yang tidak terbiasa rapi; bisa mereka kelola dan tetap kompak. Mereka punya panggilan sayang khusus dalam satu kamar ini. Mereka juga saling dukung secara emosional. Ada yang kangen banget ortu, ada yang pengen pindah, mereka punya cara untuk saling memberikan support.

Minggu lalu, beberapa teman sekamar si sulung yang lanjut ikut proses seleksi menjadi OSIS dan MPK, mendapatkan challenge dari kakak kelasnya. Yang calon MPK dikasih kasus tentang pengurus OSIS; mereka harus menyelesaikan kasus itu, membuat keputusan dan menyampaikan argumen di depan panel kakak-kakak kelasnya. Yang calon pengurus OSIS bidang minat bakat, harus menyiapkan pidato persuasif dengan tema tertentu, yang calon pengurus OSIS bidang kedisplinan, harus presentasi ke kakak-kakak kelas 12. Salut banget deh…mereka saling bantu. Yang sudah menyiapkan pidato, “tampil” dihadapan teman-teman sekamarnya, lalu diberi feedback sebaiknya gimana, yang latihan memecahkan kasus, “diuji” oleh teman-temannya… Mereka juga kompak bersatu mengusulkan ekskul-ekskul yang belum ada, yang mereka minati untuk diusulkan ke skolah, karena prosedur itu dimungkinkan.

Pagi-pagi, saat saya berkunjung, sebagian bermain basket, sebagian bermain badminton di lapangan depan asrama. Sisanya, anak-anak yang tak akan dikunjungi oleh orangtuanya, diajak jalan-jalan oleh Bunda asrama ke luar. Seorang  gadis cantik yang berasa dari luar negeri, yang minggu lalu saya lihat tak berhenti-henti menangis ketika dijenguk orangtuanya, pagi itu saya lihat duduk menghadap lapangan basket, sambil membuat sketsa. Saya intip sekilas, sktesanya baguuuus.

Suara radio menyala lewat pengeras suara, siaran dari anak-anak ekskul broadcasting. Radio el-syifa ini, bisa didengarkan di seluruh kota katanya. Pengumuman makan dan menunya, dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian olahraga dan kesehatan; sedangkan pengumuman waktu sholat dilakukan oleh anak-anak OSIS bagian rohis. Semua pengumuman di sampaikan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa arab. Jam 1 sampai maghrib, language time menggunakan bahasa Inggris. Anak-anak tim bahasa yang akan mengontrol.

penjara suciJujur saja, saya senang sekali melihat geliat aktivitas harian di sekolah ini. Tidak adanya handpone dan TV yang pernah saya khawatirkan; tercover oleh adanya lab komputer, fasilitas olahraga, dan kegiatan ekskul yang beragam. Seperti yang disampaikan oleh kepala sekolah, dari beliau saya pertama kali mendengar istilah “penjara suci”; bagi anak-anak itu, asrama ini bisa jadi dipersepsikan sebagai penjara. Mereka tak bisa melakukan banyak hal yang dilakukan oleh teman sebaya mereka “di luar sana” melalui gadget dan keleluasan mobilitas. Mereka kelhilangan kesempatan bertambah pengetahuan dan pengalaman yang bisa diberikan oleh kemajuan teknologi dan media sosial. Mereka terpenjara oleh rutinitas, oleh aturan.

Tapi saya melihat, untuk kesejahteraan psikologis mereka,  di usia itu, tak ada yang terampas. Bermain, beraktifitas, membangun intimacy dalam persahabatan, mengelola diri, mengolah pikir untuk problem solving, menghadapi keragaman, fasilitasnya bahkan bisa lebih baik dari pada yang bisa saya berikan di rumah.

Saya percaya, untuk mencapai tujuan pengasuhan yang telah kita tetapkan, yaitu ingin putra/puteri kita menjadi sholeh/sholehah; ada banyak cara dan jalan. Turunannya, ada beragam bentuk sekolah yang bisa kita pilih. “Penjara suci” menjadi salah satu jalan untuk mewujudkan visi itu; menyiapkan anak kita tak hanya untuk jangka pendek : masuk jurusan ini di PT itu. Tapi mewujudkan visi untuk bisa mengenali diri, memiiki pengalaman dan menempa kebijaksanaan untuk menghadapi peran-peran dalam kehidupannya : menjadi muslim/muslimah, menjadi bagian dari masyarakat, menjadi istri/suami, ibu/ayah, menjadi pribadi yang survive dan berprestasi di dunia, dan selamat di akhirat.

Ada banyak cara untuk mencapai visi pengasuhan kita. Yang penting kita dengan sepenuh kesadaran memilihnya. Karena sesunggungguhnya, takdir putera-puteri kita, telah tertulis di Lauhul mahfudz. Yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar maksimal. Itu kewajiban kita.

Leave a comment