Saya bukan orang yang pro atau kontra terhadap situasi wanita/ibu bekerja di domain publik. Tapi saya amat bersyukur bahwa ada wanita2/ibu2 yang memilih bekerja di domain2 publik tertentu. Misalnya, saya amat bersyukur dengan adanya dokter kandungan wanita dan para bidan/perawat, yang membuat saya merasa sangat nyaman saat situasi melahirkan. Tidak terbayang kalau dokter, bidan dan perawatnya laki-laki…kayaknya akan tambah stress… Demikian juga saya amat bersyukur saat di TK atau SD kelas1-3, anak2 saya dididik oleh seorang guru wanita. Karena anak-anak usia itu, memang lebih membutuhkan figur seorang ibu dibanding figur guru di sekolah.
Saat tengah malam saya kesakitan menjelang melahirkan dan ditenangkan oleh para perawat yang begitu penuh kasih sayang, saya selalu terharu akan “pengorbanan” mereka meninggalkan buah hati mereka di rumah (saya tahu mereka punya anak kecil dari obrolan2 mereka ;). Saya juga sering sekali membayangkan “pengorbanan” guru2 TK anak-anak saya saat mereka harus “lembur” mempersiapkan panggung pentas, atau harus menginap di sekolah untuk menemani anak-anak didiknya kemping. Padahal saya tahu mereka punya anak kecil juga. Dan akhirnya, yang bisa saya lakukan adalah mendoakan mereka, agar pekerjaan yang mereka lakukan menjadi jalan mendapatkan keberkahan untuk keluarga dan anak-anak mereka.
Saya juga bisa memahami besarnya pengorbanan ibu-ibu yang memilih (baik dengan kesadaran maupun karena situasi), untuk menjadi ibu rumah tangga. Melakukan pekerjaan yang tak ada habisnya….seringkali tak dianggap sebagai “prestasi”…itu pastinya memerlukan kebesaran hati yang amat sangat. Oleh karena itulah, menurut saya…IRT atau working mom itu masalah pilihan “sajadah panjang” saja. IRT vs working mom bukanlah stratifikasi, tapi lebih merupakan differensiasi. Seorang working mom tak lantas jadi “lebih hebat” dibanding IRT. Demikian juga seorang IRT tak otomatis menjadi “lebih mulia” dibandingkan seorang working mom. Kehebatan dan kemuliaan itu tergantung dari upaya untuk mengerjakan yang terbaik serta keikhlasan menjalani tugas. Tugas itu hanya jadi media saja untuk mendapatkan keberkahan hidup dunia akhirat, bukan?
Berikut saya ingin berbagi mengenai “kiat sukses dan bahagia” (halah, lebay pisan 😉 bagi working mom. Hal-hal ini merupakan abstraksi dari pengalaman dan pengamatan saya terhadap rekan maupun senior yang berhasil dan berbahagia dalam menjalankan peran gandanya. Artinya, mereka-mereka ini menjadi istri dan ibu yang yang dibanggakan keluarganya, sekaligus cemerlang dalam karirnya.
Ada 3 kelompok bekal yang dimiliki oleh “happy n success working mom”; yaitu bekal yang terkait dengan spiritual, psikologis dan teknis. Bekal-bekal itu adalah:
Spiritual :
(1) Domain pekerjaan di luar rumah yang dilakukan MUTLAK haruslah HALAL dan THOYYIB. Halal mah udah jelas dan tak bisa ditawar menurut saya. Untuk masalah “Thoyib” atau “baik” ini; saya harus menghaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada para pejuang wanita di DPR/DPRD/LSM kewanitaan yang terus memperjuangkan implementasi perlindungan TKW baik di dalam aupun di luar negeri. Setelah mengikuti suatu talkshow ttg ketenagakerjaan wanita, saya baru tahu bahwa dalam aturannya, perundang-undangan tenaga kerja wanita itu sudah memberikan perlindungan ekstra untuk para wanita. Misalnya adanya cuti haid. Atau adanya aturan bahwa untuk para wanita yag pulang malam, seharusnya perusahaan memberikan layanan antar jemput sampai dengan rumah untuk menjaga keselamatan TKW. Sekali lagi, “take a bow” untuk para pejuang wanita yang seringkali dicibir dengan cap “feminis”.
(2) Izin dari suami. Sebagai muslimah yang ingin setiap langkah yang dijalaninya dalam radar keridhoan Allah, izin suami juga mutlak. Salah satu ilustrasi yang menggambarkan bagaimana seorang istri tak akan sukses bekerja jika tanpa ridho suami adalah sebagai berikut: saya pernah bertemu ibu yang mengeluhkan permasalahan regulasi emosi anaknya. Setelah ditelusuri lagi, hal itu karena pola asuh yang 180 derajat antara da dan suaminya. Ketika si istri memprotes pola asuh suami yang sangat permisif, si suami selalu bilang: “makanya, kamu brenti kerja dong…kalau kamu brenti kerja, aku mau ubah caraku”. “Memang dia gak setuju saya kerja bu, dia emang ngelarang….tapi saya tetep pengen kerja….jadi itu teh cara dia maksa saya berenti kerja bu” ….Tentunya tak ada yang mau situasi seperti di atas terjadi….
Psikologis :
(1) Penghayatan akan pilihan dan motivasi.
Nah…secara psikologis, pilihan ibu bekerja seharusnya didasari oleh penghayatan dan kesadaran terhadap motivasinya. Kebutuhan ekonomi? aktualisasi diri? kegiatan sosial? apapun itu, jika dihayati dan disepakati dengan suami, akan jadi pengarah sekaligus rem dalam berkegiatan di luar rumah. Seorang wanita harus dengan jelas dan jujur mendefinisikan motivasinya dalam beraktivitas sebagai working mom. Karena motivasi ini akan mewarnai bagaimana ia berperilaku.
(2) Self awarenes.
Nah….ini pentiiiiiiing banget. Tak sedikit pilihan “bekerja” istri menjadi pencetus dan penyebab pecahnya suatu keluarga jika self awareness tak dimiliki oleh seorang wanita. Self awareness terhadap apa? terhadap peran domestiknya. Sebagai istri dan ibu. Seorang wanita yang bekerja….harus sepenuhnya menyadari bahwa…ia berperan ganda. Itu artinya, pekerjaannya tidak boleh menjadi EXCUSE untuk tidak menjalankan tugas sebagai ISTRI dan IBU. Jujur saja, saya terkaget-kaget saat membaca jurnal dari USA sono, yang menyatakan bahwa situasi di sana, sama dengan situasi di timur sini. Bahwa seorang wanita bekerja, tetap….dituntut menjalankan peran domestiknya dengan baik. Jika peran domestik itu tak dikerjakan oleh istri, maka hanya ada dua pilihan: (1) tetap tak dikerjakan, (2) dikerjakan oleh tenaga yang dibayar alias ART 😉 Itulah sebabnya…kalau ibu2 berbaju PNS pulang ngantor, sering sekali terlihat sambil menjinjing keresek isinya kangkung, bayem, ayam… saya juga masih ingat salah seorang teman kuliah saya dulu, di tengah-tengah presentasi mendapat telpon dari rumah, yang mengabarkan bahwa gas dan galon abis ;). Kalau tak punya self awarenes untuk menjalankan “second shift” dengan penuh keikhlasan setelah penat menjalankan “first shift” di kantor, bisa bikin keluarga hancur…
Self awareness yang kedua berkaitan dengan issue “The BIG U and teh small i”. Konon, bagaimanapun laki-laki itu punya kebutuhan untuk menjadi figur otoritas bagi wanita. Banyak teori yang menjelaskannya. Ada yang bilang itu genetik, ada yang bilang itu konstruksi sosial, ada juga yang mengatakan itu sudah “fitrahnya”. Yang jelas, di kultur Indonesia, begitulah memang adanya. Saya melihat, working mom yang bisa menyeimbangkan kehidupan keluarga dan kehidupan karir dengan sama suksesnya adalah yang memiliki kesadaran penuh akan hal ini. Saya tahu, beberapa teman saya yang potensial karirnya melejit, menahan diri demi menghargai suaminya. Demikian juga beberapa teman saya berpotensi untuk mendapatkan penghasilan yang jauuuuuuh lebih besar daripada suaminya, mengerem diri juga demi memberikan porsi otoritas itu tetap untuk suaminya. Dan….senior2 saya yang hebat2….yang di kantor dihormati, dielu2kan karena kompetensinya, saat di rumah menanggalkan semua kehebatannya…tetap menjadi seorang istri “biasa”.
Teknis-Strategis
(1) Manajemen emosi dan waktu. Seorang working mom yang sukses, saya lihat manajemen waktunya yahud banget. Punya segudang energi untuk menyelesaikan beragam pekerjaan dengan efisien. Tahu betul apa yang harus dikerjakan dan apa yang tak harus diperhatikan. Dan seringkali, manajemen waktu ini merupakan cerminan manajemen emosi. Bagaimana menunda tugas yang udah mepet karena harus menemani anak, misalnya. Bagaimana harus tetap berkonsentrasi padahal mah pengen bersantai-santai….dll
(2) Punya operasionalisasi prioritas yang jelas. Komitmen untuk menyeimbangkan prestasi di keluarga dan di tempat kerja biasanya hanya menjadi gagasan kalau tak dioperasionalkan. Saya melihat, ibu-ibu bekerja yang “gagal” terjadi karena tak punya operasionalisasi ini, akhirnya tanpa sadar ia telah mengabaikan salah satu. Sedangkan ibu bekerja yang “sukses”, saya lihat punya operasionalisasi yang jelas. Misalnya: sabtu-minggu tak mau terima telpon apapun tentang pekerjaan. Atau ada senior saya yang sengaja tak punya koneksi internet di rumahnya, karena berkomitmen ketika di rumah, tak mau diganggu urusan pekerjaan apapun. Atau, ada juga yang batasannya adalah…gak boleh marah sama anak. Atau opeasionalisasinya adalah…selalu menemani anak belajar ….dll dll…. apapun itu, operasionalisasi itu akan menjadi pengikat dan pengingat serta penanda..
(3) Menjalin persahabatan di tempat kerja. Nahhh…ini mah pengalaman saya sendiri. Punya lingkaran persahabatan di tempat kerja (atau kita bilang support group) sangat berarti. Tak hanya membuat kita merasa nyaman dan bisa berkarya n berprestasi dengan lebih baik. Tapi lebih daripada itu, bisa menjadi jendela untuk meluapkan emosi yang kita rasakan dalam issu “domestic vs public” ini.
Last but not least adalah…..dukungan keluarga. Terutama dukungan pasangan. Itu mah …. energi yang tak ternilai buat seorang working mom. Bagaimanapun, ketika seorang ibu berkomitmen terhadap satu pekerjaan, ada tuntutan. Ada konflik, ada situasi negatif, dll……Suami yang memahami, mendorong, menemani, membantu, itu adalah kunci yang amat penting.
So….banyak temuan menunjukkan plus minus dari setiap pilihan wanita saat ia telah menjadi ibu. Apapun pilihan dan situasi kita, yang penting kita pelajari ilmunya, maksimalkan ikhtiarnya, karena akhirnya nanti, nilai seorang manusia adalah RESULTAN DARI KEBAIKAN-KEBAIKAN yang ia lakukan dengan IKHLAS, dimanapun setting dan apapun yang ia lakukan.
Recent Comments