Seminggu lalu, emak dan mbak Lies, mertua dan kakak ipar saya, berkunjung dari Kediri. Biasanya, akhir tahun kami agendakan mudik. Si abah biasanya udah “sakaw” kangen soto kediri dan sambel tumpang. Tapi akhir tahun ini, justru emak dan mbak Lies, membawa dua ponakan yang ingin liburan ke Bandung. Emak ke Bandung, berarti bisa sekaligus ketemu 3 putranya yang ada di Bandung, Cimahi dan Bogor. Tiga hari emak dan mbak Lies di rumah kami, saya mendapat misi khusus dari mas. Yaitu…belajar bikin sambel tumpang dan sambel teri favoritnya, langsung dari Chefnya, Mbak Lies. Sebagai istri yang baik hati dan tidak sombong, saya pun berusaha menjalankan misi itu.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menshare resep sambel tumpang atau sambel teri. Saya ingin menceritakan sesuatu yang saya ingat selama saya beraktivitas di dapur, berguru pada emak dan Mbak Lies.
Dapur. Saya teringat dapur emak di Kediri. Tampilannya? 180 derajat dengan dapur-dapur “modern” yang kita lihat seliweran di internet terutama di medsos. Dapurnya “kumuh”. Jujur. Tak ada kompor canggih, tak ada dinding dengan warna yang senada dengan peralatan masaknya. Peralatan masaknya, pasti tak dibeli di ace hardware atau Informa. Peralatannya dibeli di pasar. Tak indah dipandang mata, beberapa panci sudah copot telinganya.
Tapi dapur itu, bagai magnet kuat yang selalu menarik 4 putra emak yang sudah menyebar di berbagai kota. Empat putranya yang sudah “jadi orang”, yang punya kesempatan melanglang buana ke berbagai tempat dan mencoba berbagai masakan, minimal setahun sekali selalu tertarik untuk kembali ke dapur itu. Saya selalu terharu menyaksikan bagaimana keempat anak laki-laki yang sudah menjadi para ayah itu, mengerumuni meja makan sederhana di rumah Kediri, heboh mengambil sambel tumpang, soto Kediri dan peyek buatan Mbak Lies, satu-satunya perempuan putri emak. Seringkali aktivitas mereka diiringi nostalgia kisah mereka waktu kecil; baik kisah yang membanggakan, tapi banyaknya kisah yang lucu yang membuat kami semua- emak, 5 putranya, 5 menantunya, dan sekian belas cucunya, tertawa bersama.
Saya ingat satu dapur yang punya magnet yang sama. Tempatnya di Purwakarta. Dapur itu, juga tak memiliki desain yang menarik mata. Tapi disanalah awal mula masakan mamah yang selalu saya- dan adik-adik rindukan itu.
Di jaman ini, saya tahu, karena saya menyaksikan, banyak ibu-ibu muda yang seperti emak dan mamah. Mereka pantang membeli bumbu instan, tak merasa “sia-sia” menghabiskan berjam-jam waktunya untuk membuat bumbu, mengolah makanan melalui beberapa tahap, untuk menyiapkan masakan istimewa untuk anak-anaknya. Mereka, adalah ibu-ibu yang mengikat cinta anak-anaknya dengan masakannya.
Saya, bukan tipe ibu seperti itu. Memasak bukan kompetensi saya, dan bukan pula minat saya. Saya punya cara lain untuk mengikat cinta anak-anak saya. Tapi untukteman-teman yang menjadikan dapur sebagai studio kerjanya, saya ingin mengatakan:
Jangan pernah “terintimidasi” dengan gambar-gambar dapur yang menarik hati dan super kinclong. Jangan sedih kalau tak punya waktu untuk mencari peralatan masak yang warnanya matching dengan warna dinding dapur. Sebab mungkin, kita terlalu sibuk menuangkan seluruh tenaga dan cinta kita, dalam beragam masakan yang kita buat untuk si buah hati.
Mungkin dapur yang setiap harinya selalu berantakan karena digunakan, adalah dapur-dapur yang selalu dirindukan oleh seorang anak dan orang dewasa yang pernah menjadi anak. Sebab disana, ada menu yang tak bisa ditemukan di dapur manapun di dunia ini. Cinta ibunya, dan kenangan masa kecil yang manis.
sumber gambar : https://www.colourbox.com/vector/i-love-cooking-kitchen-utensils-sketch-heart-shape-vector-5819952
Recent Comments