Who are your idol(s)?

decoration_13Saya selalu membayangkan diri saya bagaikan mozaik kaca. Mozaik itu terdiri dari potongan-potongan yang berbeda-beda. Potongan-potongan itu, adalah kepribadian dari orang-orang yang menjadi “idola” saya. Bagian terbaik dari diri mereka. Masing-masing potongan itu lalu membentuk diri saya secara unik.

…………………………….

Awal minggu ini, saya menjadi “panitia” dan menghadiri sidang promosi doktor dari seorang kolega dan  “kakak kelas” saya. Tapi buat saya, sosok beliau bukan hanya sekedar kolega dan “kaka kelas”. Ia adalah salah seorang “idola” saya. Ia seorang ibu dari 3 anak, salah satunya berkebutuhan khusus. Ia pernah menjadi “pejabat” di tempat kami bekerja. Dan dengan semuanya itu, ia menjalani program doktor, dengan hasil cum laude ! Isi disertasinya, caranya memaparkan dan menjawab pertanyaan, membuat semua orang kagum dan bangga.

Di ruangan itu, saya tak bisa menahan air mata saya. Alasan “mengapa kita harus beragama” dituturkan melalui penghayatan filosofi yang dalam dan dibuktikan dengan cara-cara yang ilmiah. Dan meskipun “penampakan” beliau super cuek, tapi hari itu, saya merasa banyak cinta  dihadirkan oleh orang-orang yang mengenalnya. Disampaikan padanya dalam bentuk karangan dan buket bunga, pelukan hangat, doa-doa tulus… sungguh, hari itu, saya sangat iri padanya.

Di hari perhitungan nanti, saya akan bersaksi bahwa ia, adalah pengejawantahan dari kata-kata: sungguh-sungguh, tegar, kuat. Dan tiga hal itulah yang membuatnya menjadi begitu mempesona dan menginspirasi. Apakah ia sempurna? tidak. Ia tidak sempurna. Ada situasi-situasi tertentu yang ia tidak akan “fit”.

Tapi kala saya merasa waktu saya begitu terbatas untuk menunjukkan karya terbaik, saya membayangkan dia. Dia yang sangat produktif. Dia yang bisa sambil mengobrol, sambil mengetik pekerjaannya yang penting. Tak ada waktu yang terbuang percuma, tapi tetap menyenangkan dalam relasinya. Saat saya lebay dan merasa riweuh ngurus anak-anak saya dan ingin menjadikan mereka excuse untuk tak berprestasi, bayangan  dia saya hadirkan. Bagaimana kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus dan sangat membutuhkan perhatian. Saat saya merasa tak bisa menyeimbangkan kehidupan kerja dan keluarga, saya membayangkan dia yang bisa mendidik anak-anaknya, sehingga anak laki-laki remajanya yang jadi idola para wanita,  nampak begitu sayaaaaaang dan peduli pada si bungsu yang berkebutuhan khusus, sama sekali tak canggung menujukkan rasa sayangnya di depan umum. Saat saya merasa frustrasi dengan kondisi anak-anak yang tiba-tiba membutuhkan saya disamping mereka, saya ingat ia yang tak hanya sekali-namun beberapa kali membatalkan atau mengurungkan keinginan dan rencana besarnya tanpa rasa menyesal, karena memilih mendampingi anak-anaknya yang  sakit.

15 tahun lalu, saya pernah menulis di diary saya: ” saya ingin menjadi secerdas teteh x, se-rendah hati teteh y, seramah teteh z, setangguh teteh a, seanggun teteh b, secantik teteh c”  (kkkk….dua yang terakhir tampak tidak mungkin ya). Tulisan lugu itu, selalu saya ingat. Dulu, saya pikir itu adalah gambaran kegalauan dalam proses pencarian jatidiri. Namun kemudian, saya menyimpulkan itu adalah proses pembentukan jatidiri.

Saya selalu membayangkan diri saya bagaikan terdiri dari mozaik kaca (yang semoga indah). Mozaik itu terdiri dari potongan-potongan yang berbeda-beda. Potongan-potongan itu, adalah kepribadian dari orang-orang yang menjadi “idola” saya. Bagian terbaik dari diri mereka. Masing-masing potongan itu lalu membentuk diri saya secara unik.Dan proses penambahan potongan mozaik itu terus berlanjut sampai sekarang dan seterusnya.

Saya punya banyak “idola”. Masing-masing dari mereka,  saya hadirkan secara mental, saya internalisasikan sosoknya dalam diri, saat saya menghadapi situasi-situasi tertentu. Mereka menjadi semacam sekumpulan “senjata” yang selalu saya bawa kemana-mana, dan saya keluarkan sesuai dengan medan pertempurannya.

Saat saya berada di ruang konseling, bukan kolega dan kakak kelas tadi yang saya hadirkan. Tapi seseorang yang lain. Saat saya sakit, seorang yang lain lagi yang saya hadirkan. Saat saya memiliki banyak rejeki finansial, sosok lain yang saya hadirkan. Saat saya sedang malas, sedang nyinyir, sedang lebay, sedang sotoy, sosok lain lagi yang saya hadirkan. Saat saya sedang menulis, sosok lainnya lagi. Saat saya sedang memimpin, saat sedang mengalami kekesalan pada pasangan, saat merasa didzalimi, sosok lain lagi……..

Maka, bagi saya, dipertemukan olehNya dengan seseorang yang bisa kita “serap”  energi kebaikannya menjadi potongan mozaik kepribadian saya, adalah rejeki dan karunia yang tak terhingga.

Idola bagi saya,  tak harus seseorang yang “hebat”, yang “ternama”. Salah seorang office boy di tempat saya beraktifitas, adalah salah satu potongan mozaik kepribadian saya. Pekerjaannya sederhana. Salah satunya adalah, membuatkan/memberikan minuman pada kita para dosen. Namun ia, melakukannya dengan 100% kesungguhan. Tak hanya dari gesture dan senyum tulus saat berinteraksi dengan kami. Namun yang “mempesona” adalah, ia hafal betul minuman kesukaan masing-masing kami. Kopi susu merk x untuk saya, merk yang lain untuk teman saya, air putih untuk ibu ini, air putih hangat untuk bapak itu, kopi tanpa gula untuk ibu ini, teh manis dengan setengah sendok gula untuk bang ini, kopi dengan dua sendok gula untuk mas itu, teh tawar untuk mbak ini…. Pekerjaan remeh temeh tak berharga yang dilakukan dengan kesungguhan, ternyata bisa membuat kita terpesona.

Yang jelas buat saya, mereka adalah perpanjangan tangan Allah untuk menjaga diri kita tetap berada dalam kebaikan. Mereka adalah jawaban dari doa “ihdinassirootol mustaqiim” – karuniakanlah kami jalan yang lurus, jalan kehidupan yang baik, yang produktif, yang bermanfaat, yang membawa keberkahan. Mereka adalah pengejawantahan dari konsep-konsep kebaikan. Kita jadi yakin bahwa kebaikan itu ada, dankita jadi  tergerak untuk mewujudkannya baik dalam diri maupun dalam lingkungan. Mereka membuat “ketidakmungkinan” yang kita rasakan menjadi mungkin.

Apakah itu berarti bahwa saya selalu bisa “meniru” kebaikan mereka? Yaaaa namanya juga manusia. Bukan malaikat. Tentu tak selalu. Baik dalam frekuensi ataupun kadar. Namun tanpa potongan-potongan mozaik itu, saya meyakini “I will not survive” dalam memaksa diri berada di dalam koridor kebaikan.

Untuk para “idola” saya, di hari akhir nanti saya akan bersaksi dihadapan sang Maha, inspirasi dan kebaikan apa yang telah saya lihat dari mereka dan menjadi bagian dari kebaikan dalam diri saya.

sumber gambar: http://www.sigalitart.net/en/mosaic/mosaic-gallery/special-work/

 

Leave a comment