Jebakan “precious children”

Di bagian awal buku What Every 21st Century Parent Needs to Know: Facing Today’s Challenges With Wisdom and Heart, ada sebuah gagasan yang diungkap oleh pengarangnya,  Debra W. Haffner yang membuat saya sempat “tercenung”.

Beliau menyatakan, bahwa “beban” yang harus ditanggung oleh anak-anak zaman sekarang, jauh lebih berat dibanding dengan beban yang ditanggung oleh anak-anak di zaman yang lalu. Bukan saja tantangan “di luar sana” yang lebih berat dengan berkembangnya teknologi dan sebagainya. Akan tetapi pilihan orangtua untuk hanya mempunyai anak sedikit (rata-rata dua), membuat orangtua menumpukan seluruh harapan besarnya pada dua atau satu anak mereka. Menanggung beban harapan orangtua yang sedemikian besar (dan tak bisa dibagi dengan saudara-saudara yang lain, karena saudaranya hanya 0 atau1), adalah beban yang berat untuk anak.

Menurut saya, gagasan ini keren. original. dan…..benar. Membacanya, saya seperti menemukan jawaban dari perasaan saya selama ini terhadap beberapa situasi.

Beberapa tahun lalu, saya mendengar cerita mengenai seorang ibu yang  membuat semacam “petisi”, meminta seorang pembantu di lingkungannya untuk dipecat. Gara-garanya, puteri tunggalnya ynag berusia 5 tahun, suatu hari menangis dan bilang kalau ia disebut “ih, kamu meni item” oleh si pembantu tetangga. Si ibu tak terima, lalu mengumpulkan ttd tetangga-tetangganya untuk “mengusir” si pembantu. “Anak saya kepercayaan dirinya langsung ngedrop. Dia jadi trauma…”. Dan akhirnya, “petisi”nya berhasil. Setelah si ibu mencaci maki si pembantu tsb, si pembantu itu pun “diberhentikan” oleh majikannya. Kejadian itu cukup mengguncang saya. Saya merasa itu terlalu berlebihan. Saya merasa, akan lebih proporsional jika si ibu “menegur” si pembantu dengan baik-baik, dan memberi pengertian pada puterinya yang saya yakin, tak mengalami “trauma” akibat kejadian tersebut. Itu pikiran saya di satu sisi. Namun di sisi lain, saya merefleksikan diri….saya paham kalau si ibu melakukan hal itu terdorong oleh besarnya cinta dan sayangnya pada si anak. Namun saya tak mungkin akan melakukan hal itu kalau itu terjadi pada anak-anak saya. Apakah itu berarti bahwa cinta dan sayang saya tak besar pada anak-anak saya? apakah sebagai ibu saya terlalu pengecut untuk tak melindungi anak-anak saya secara all out seperti ibu tersebut? Saya baru tenang setelah diskusi dengan mas. “Sayang kita sama anak-anak itu, batasnya adalah tak merugikan orang lain”. “Jangan sampai anak merasa begitu berharganya ia, sampai ia merasa orang lain tak perlu ia hargai” kata mas.

Satu lagi pengalaman saya terkait dengan isu “precious children” ini adalah situasi di sebuah preschool internasional. Para orangtua yang anaknya maksimal dua itu, saat mereka menatap si anak….tergambar dengan jelas berjuta sayang, cinta, dan kebanggaan mereka pada si anak. Yups, anak-anak berusia 2-4 tahun itu memang sangat “menggemaskan”. Yang perempuan didandani bagai barbie, yang laki-laki juga seperti para coverboy cilik dengan gaya rambut dan pakaian yang supermodis. Di sekolah ini, para guru sangat cemas kalau terjadi “kontak fisik” antara anak-anak “mahal” itu. Karena satu laporan bahwa si X mendorong si Y sampai jatuh. Si Z merebut mainan si A sampai menangis….bisa jadi masalah besaaaaaar, apalagi kalau ada “tanda”. Seperti suatu hari, katanya si B “mencakar” si C secara tidak sengaja. Ibu si B langsung datang, dengan wajah pucat menunggu kehadiran ibu si C yang akan segera datang. Saya lihat, gak ada bekas apapun…dan si B dan C, sudah main kejar-kejaran lagi dengan riangnya.

Saya sekarang tahu jawaban dari dua situasi itu, juga beberapa situasi senada yang pernah saya saksikan.

Ketika saya mengikuti workshop “couple therapy” sebulan lalu, dengan “gamblang” Prof Sawitri menungkapkan kurang lebih seperti ini ; “kayaknya ini efek dari program KB ya…tapi saya menemukan…sekarang ini, para laki-laki itu begitu “dikekep”, “over protected”, “over loved” oleh ibunya. Sehingga kematangan emosinya, kemandirian untuk lepas secara emosional dari figur ibu dan menjalin relasi dewasa dengan istrinya menjadi berkurang….

Yups…yups…otak saya langsung ingat mengenai “precious children” ini….

So….hikmahnya….apakah berarti kita harus punya anak banyak agar “beban” yang kita tumpukan pada masing-masing anak menjadi lebih ringan? haha….itu kesimpulan yang disebut “kesesatan berpikir” 😉 (jadi inget waktu ujian filsafat ilmu dan logika di semester awal kuliah S1 dulu…;)

Hikmahnya adalah….kita harus “aware” terhadap adanya kecenderungan itu dalam diri kita. Bahwa kita sayang pada anak kita, ya…pastinya. Lha wong kasih sayang Allah, Rahman-Rahim-nya Allah yang tak terbatas itu, pengejawantahannya adalah kasih sayang orangtua terhadap anaknya. Bahwa kita punya harapan yang besar terhadap mereka, berharap seluruh kebaikan, kebahagiaan dan kesuksesan tercurah pada mereka, yups….itu hal yang amat wajar.

Namun kita harus selalu menghayati CARA kita mengaktualkan berjuta kasing sayang dan harapan itu. Jangan sampai sayang kita, membuat anak-anak kita merasa selalu terlindungi sampai tak punya kekuatan sendiri  untuk melindungi dirinya. Jangan sampai harapan yang kita bebankan padanya, yang tujuan kita adalah membuatnya bahagia- malah membuatnya tertekan dan tak bahagia.

___Kita tak tahu, apakah usia kita cukup panjang untuk selalu mendampingi dan menjaga anak-anak kita. Maka, berikan  bekal yang akan membuatnya “survive”, walau kita sebagai orang yang paling menyayanginya di seluruh dunia ini tak ada di sampingnya___

semoga kita selalu dibimbing dan diberi kekuatan untuk menyayangi dan mendidik anak-anak kita dengan baik, benar dan bijak. amiiiin…..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: