Udah lamaaaa banget pengen nulis tentang ini. Alhamdulillah kesampaian malam ini 😉
Beberapa tahun lalu, sebagai seorang pengamat amatiran status pesbuk, saya memperhatikan ada dua arus tentang “me time”. Satu arus menyatakan “we really need it !” . Satu arus lagi mempertanyakan “why we need it? we don’t need it”. Kalau diperhatikan, dari kelompok yang menyatakan “we really need it”, ada sedikit keraguan. Sebagian tidak terlalu “yakin” pernyataan itu. Kenapa? karena istilah “me time” ini, tak akan kita temukan pada ibu-ibu kita. Sehingga saat kita mengatakan “butuh me time”, maka mungkin kita akan menerima respons negatif. Dari generasi ibu terdahulu, dari suami kita, dari orang-orang, atau bahkan….dari lubuk hati kita sendiri.
Saya mencoba menghayati, kenapa sih emak-emak jalan dulu gak pernah ada yang “craving for me time”, sedangkan buat emak jaman sekarang, kayaknya perluuuu banget. Meskipun saya curiga sih, sebenarnya emak-emak jaman dulu juga butuh “me time”, cuman gak ada namanya, bentuknya beda (mungkin dalam bentuk nonton sinetron atau ikut pengajian) daaaan…tak diungkap di status pesbuk da blom ada pesbuk saat itu hehe…
Oke lah, kita asumsikan aja secara kasar, bahwa emak-emak jaman dulu, gak butuh atau kebutuhan “me time”nya gak sebesar emak-emak jaman sekarang. Kalau kita hayati, emak-emak kita jaman dulu itu, hidup di jaman dimana penghayatan peran sebagai istri adalah di rumah. Dan penghayatan itu adalah produk dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem sosial di jaman itu. Jadi, seluruh aspek-aspek kehidupan di jaman emak kita, memang semua mendukung hal itu. Haha…abstrak pisan…. maksudnya, kan penghayatan peran itu merupakan bagian dari produk kondisi sosial pada jaman itu. Jaman itu, peran wanita dan laki-laki dalam kehidupan berumahtangga adalah, suami kerja cari nafkah – istri diam di rumah ngasuh anak dan “ngurus rumah”. Dan dengan konsep itu, maka di jaman itu, kita melihat bahwa tidak banyak wanita yang berpendidikan tinggi. Jaman itu, ada istilah “ngapain sekolah tinggi-tinggi, kan nantinya ke dapur juga”.
Dengan sistem sosial seperti itu, maka wajar kalau emak-emak jaman dulu, memaknakan bahwa pencapaian tertingginya, adalah dalam dunia domestik. Melayani suami dengan baik. Mengurus rumah dengan baik. Mengurus anak dengan baik. Jika hal-hal itu sudah dapat dicapai dengan hasil yang prima…suami sayang, anak-anak terurus, rumah kinclong sehingga tidak malu-maluin kalau ada tamu…maka, kepuasan dirinya tercapai. Goal-nya tercapai. Tuntas.
Nah, bagaimana dengan emak-emak jalan sekarang? Seiring waktu berlalu, perubahan jaman terjadi. Wanita dianggap punya potensi yang sama dengan laki-laki sehingga wanita mendapatkan kesempatan dan dipandang wajar jika mengenyam pendidikan tinggi. Maka, ibu-ibu jaman sekarang, “profil psikologisnya” berbeda banget sama ibu-ibu kita. Mereka punya wawasan yang luas. Punya kesempatan kuliah ke luar negeri, waktu mahasiswa pernah jadi ini-itu, bergaul dengan banyak kalangan, sehingga …ujungnya adalah, ibu-ibu jaman sekarang punya spirasi yang tinggi. Ia tahu bahwa ia punya kemampuan dan kesempatan untuk melakukan banyak hal, menciptakan banyak karya, memberi kontribusi yang besar untuk masyarakat.
Nah, namun…dengan value agama dan budaya di Indonesia, seorang ibu tetaplah seorang ibu. Ia tetaplah punya peran domestik yang tak akan bisa digantikan oleh siapapun. Baik pada wanita bekerja maupun wanita tak bekerja, pada umumnya…tetaplah, masalah domestik…urusan tetek bengek rumah tangga dan pengasuhan anak, menjadi tanggung jawabnya. Dan ternyata bukan hanya di Indonesia, dalam salah satu tulisan saya, saya pernah mengungkap bahwa pernah membaca sebuah jurnal internasional mengenai ibu bekerja dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa … pekerjaan ibu itu, kalau gak dikerjakan ama dia sendiri ya dikerjakan sama pembantu. Coba … kalau anak-anak jam 8 malam belum makan karena si ibu bekerja gak sempet masak…apakah ia akan “dimaklumi” ? gak akan…. kuku anak penjang-panjang dan item-item, gak sempet dipotingin karena ibu bekerja gak sempet, apakah ia akan dimaklumi? gak akan….tetep harapan bahwa ibu yang bertanggung jawab itu ada. Itu adalah satu satu sumber stress buat ibu bekerja.
Bagaimana dengan ibu yang tak memilih bekerja? sumber stressnya beda lagi bentuknya. Kalau saya perhatikan, sebenarnya dari dua tugas utama ibu yang tidak bekerja di luar rumah: (1) mengurus dan mendidik anak; (2) mengerjakan urusan RT, yang paling banyak “dikeluhkan” adalah bagian jobdesk yang kedua.
Meskipun mungkin akan banyak yang tak sepakat dengan saya, namun saya tetap berpendapat bahwa pekerjaan rumah tangga itu….ngepel, nyuci, nyikat kamar mandi, nyetrika….adalah ….apa ya…istilahnya…mungkin orang psikologi industri lebih tau istilah yang tepat …..pekerjaan-pekerjaan itu, adalah pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin, monoton, repetitif, dan tak memerlukan “high level thinking”. Untuk poin terakhir, saya punya argumentasi kuat. Kalau kita cari ART untuk ngurus pekerjaan rumah, kita gak memerlukan kualifikasi pendidikan yang tinggi kan? lulus SD udah cukup. Itu membuktikan bahwa memang, pekerjaan-pekerjaan itu gak membutuhkan “high level thinking”. Itu pula tampaknya yang membuat kita suka mendengar “komentar” dari ibu-ibu kita…”Sayang, sekolah tinggi-tinggi kok balik ke dapur”.
Nah, bayangkan…wanita-waita yang berpendidikan tinggi, yang punya wawasan luas, punya aspirasi tinggi, punya kemampuan dan tahu bahwa ia punya kesempatan untuk melakukan hal-hal yang membutuhkan “high level thinking”, harus mengerjakan hal-hal yang tak sesuai dengan “kompetensinya” . Buat sebagian ibu, itu memerlukan “emotional cost” yang tinggi. Apalagi dunia social media yang berkembang membuat ia bisa melihat betapa teman-temannya yang memilih berkegiatan di luar telah mencapai hal-hal yang ia tahu, bisa juga ia capai. Melihat teman-teman yang memilih berkegiatan di luar telah menghasilkan “karya besar” yang ia tahu, ia juga mampu melakukannya. Hal ini akan menimbulkan “kelelahan emosional”. Merasa diri “tak berarti”.
Jadi, kalau emak-emak jaman dulu “goal hidupnya” adalah di pencapaian prima domestik, emak-emak jaman sekarang punya “goal hidup” yang gak cuman di lingkup domestik. Ia juga merasa harus berkontribusi pada masyarakat. Ia juga merasa harus menghasilkan “karya” sesuai dengan kemampuan berpikirnya. Sedangkan kesempatan terbatas, maka…terjadilah apa yang namnya “frustrasi”, yaitu saat “goal” yang kita tetapkan (meskipun tanpa kita sadari) tak tercapai, Inilah yang membuat ibu-ibu jaman sekarang merasa “tidak berkembang”, karena memang pekerjaan rumah tangga yang sifatnya rutinitas itu, tak memberi ruang untuk itu. Coba…gimana kita bilang karya setrikaan kita “berkembang” …?
Maka, dengan pemahaman seperti itu, saya menilai…amat sangat wajar emak-emak sekarang butuh “me time”. Buka “olo-olo” lah istilah bahasa jermannya mah ;). Secara psikologis, ia membutuhkan “jendela” untuk mengeluarkan emosi negatif akibat rasa frustrasinya. Tapi kan, itu pilihan dia…kesempatan terbuka lebar untuk berkarir di luar rumah…kenapa dia milih jad IRT yang tak beraktivitas di luar rumah? mungkin sebagian orang berpendapat demikian, Kalau saya menghayati, pilihan kita terhadap sesuatu, itu bukan 100% vs 0 %. Ibu-ibu yang memilih berkarir di luar rumah….emang dia 100% tanpa beban apapun saat memutuskan itu? demikian juga dengan ibu-ibu yang memilih untuk tak berkarir di luar rumah…apakah ia tak menghayati bahwa ada “resiko” yang akan ia terima sebagai akbat dari keputusan nya? engga lah….pilihan kita itu, berdasarkan “resiko terkecil” yang bisa kita terima bukan?
Jadi, poinnya adalah, saya tetap mendkung emak-emak jaman sekarang ber-me time- ria untuk menjaga kesehatan mentalnya ;). Jujur saja, kalau ibu-ibu yang tak beraktivitas di luar rumah menilai ibu bekerja itu punya me time yang lebih banyak, saya pribadi mengatakan “iya”. Waktu kemaren-kemaren saya gak punya pembantu, setiap kali ke kampus atau praktek, meskipun “bekerja”… namun itu berfungsi sebagai “me time” buat saya.
Sebenernya, “me time” buat wanita itu sederhana kok…iya kan ibu-ibu? bukan selalu harus berarti perawatan tubuh yang mahal, berjam-jam….atau shoping ini-itu yang menguras kartu kredit…saya ingat…tetangga saya, seorang IRT yang tak bekerja di luar rumah, punya “me time” dengan cara: ngumpetin coklat dari anak-anaknya, lalu memakannya saat anak-anak sudah tidur sambil nonton channel olahraga kesukaannya. Menikmati lumeran coklat kesukaannya di mulut tanpa gangguan anak-anak, itu me time-nya. Its’ enough…..gak mahal, gak butuh waktu yang lama, gak “meugikan” siappaun…Buat tiap orang, kebutuhan bentuk me time-nya beda-beda. Buat saya sendiri, baca buku sambil tiduran tanpa diganggu, 30 meniiiit aja … itu bener-bener me time. Jadi kalau suami saya lagi ngajak main anak-anak, meskipun tetap ada di sekitar saya tapi gak ganggu saya yang lagi baca, itu udah bikin re-fresh banget.
Menurut saya, justru “awareness” seorang ibu untuk menghayati kapan di abutuh me time, itu merupakan hal yang baik. Daripada dia gak nyadar, trus tiba-tiba “meledak” hayoooo…kan katanya, emosi itu kayak energi. Gak bisa hilang namun berubah bentuk. Kalau emosi negatif itu tetap “bersarang” dalam diri kita, maka ia bisa jadi “keluar” dalam bentuk nada suara yang tinggi sama anak, omelan-omelan yang sangat sering, “keketusan” pada suami yang pulang dan menceritakan “pengembangan diri yang ia dapatkan di pekerjaannya”…atau ….status-status dan komentar sinis pada ibu-ibu lain haha…. Bahasa psikologisnya adalah BURN-OUT SYNDROME…Kata Om Wikipedia, Burnout is a psychological term that refers to long-term exhaustion and diminished interest in work. Emang dalam kontek kerja sih…tapi bisa dianalogikan dengan aktivitas ibu-ibu.
Saya inget, saya pernah nonton di Kick Andy, kisah seorang istri yang merawat suami yang mengalami penyakit yang berat. Dia bilang, “saya puya kode buat suami saya…kalau saya bilang…mas, batreku udah ngedrop nih…suami saya tahu, bahwa saya sudah sangat lelah secara emoisonal, dan saya butuh re-fresh-ing. Maka, dia ijinkan saya jalan-jalan sama temen, ngobrol-ngonrol bareng sejam-dua jam…setelah itu, saya fresh, full charge lagi untuk melayani dia”. Saya juga pernah tuh… suatu saat bener-bener udah merasa “ini dada udah sesak pengen maraaah terus” …nada suara udah baselinenya tinggi sama anak-anak….akhirnya suatu hari, maksa nitip anak-anak ke pengasuhnya Azzam, lalu …creambath..sejam doang…tapi saya menikmati setiap detik dan pulang-pulang, inget banget komentar Hana…“senyum ibu ceria banget” haha…
Jadi, mengingat “me time” ini cukup penting untuk menjaga kesimbangan hdup seorang ibu, makasebaiknya setiap ibu punya penghayatan kapan ia merasakan “early warning system” untuk ber-me time-ria, dan dalam bentuk apa. Harus tau betul. Dan, sebaiknya hal ini juga dihayati sahabat sejati kita, suami. Penting untuk menyampaikan kebutuhan terhadap hal ini pada suami kita,,,yakin lah, suami kita akan lebih memilih memberikan kesempatan me-time, gantiin ngasuh beberapa jam…daripada mendengar keluh kesah dan curhatan kita haha….
Untuk anak-anak yang sudah besar, kepentingan me time ini juga bisa disampaikan. Daripada diampaikan dalam bentuk omelan hayooo…“ibu teh capek tau, dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi…ngurusun anak-anak…aja … mana ibu udah capek-capek masak gak pada mau makan…si ayah belum pulang juga…kamu enak banget …sekolah, pulang sekolah main…engga empati banget sama ibu” …kkkk
Selain “me time” ada upaya lain yang bisa dilakukan secara komprehensif untuk membuat rasa “frustasi” kita tidak terlalu besar. Hal-hal itu adalah :
- Re-valuing; “memaknakan kembali” hal hal “kecil” yang kita lakukan sebagai “hal besar”. Untuk yang muslim, jelas-jelas ada pahala besar yang Allah janjikan saat kita bisa mengerjakan “pekerjaan remeh temeh domestik” dengan ikhlas. Saya suka banget tulisan https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/04/22/nyala-api-kehidupanmu-nikmatilah/ dan https://fitriariyanti.wordpress.com/2014/01/15/besar-kecil-belajar-dari-despicable-me/ … (haha….air laut asin sendiri…muji tulisan sendiri kkk…tapi beneran…saya suka banget…itu suka “memberikan energi” buat sayah).
Nah, khusus untuk poin ini nih, saya pengen bahas lebih komplit. Konon katanya, dengan merebaknya socmed, ada fenomena “mom war” khususnya antara IRT yang tak berkarir di luar rumah dan IRT yang berkarir di luar rumah. Masing-masing katanya suka melakukan upaya-upaya, yang kadang dinilai tak proporsional…untuk “mengatakan pada dunia”, bahwa saya lebih. Lebih hebat, lebih berat bebannya, lebih banyak manfaatnya, lebih banyak pahalanya, lebih stress…. Nah, kalau menurut penghayatan saya, saat kita merasa perlu “meyakinkan orang lain” bahwa kita “hebat”, berarti, kita teh sebenarnya tidak yakin bahwa kita hebat. Itulah sebabnya kita butuh meyakinkan orang lain, yang secara psikologis, sebenarnya itu adalah upaya untuk meyakinkan diri kita. Kan ada peribahasa “langit tak perlu mengatakan kalau dia tinggi” cenah. Kalau kita yakin betul bahwa yang kita lakukan adalah “strategi beramal yang paling strategis”, kita pasti tak perlu merasa harus menunjukkan kelebihan pilihan kita dibanding pilihan orang lain, atau yang paling parah, harus “merendahkan keputusan/pilihan orang lain”. Konon katanya, bila kita mudah tersinggung atau sering “merendahkan orang lain”, itu tandanya kita gak pede. Nah, mari pede dengan pilihan kita masing-masing. Kalau galau sesekali mah gapapa. Yang harus kita yakinkan adalah hati kita sendiri, bukan dunia. Kalau kita merasa “salah”, itu bukan dunia yang mengatakannya. Tapi hatimu. Cieee….puitis kan …kkkk. Yang paling ikhlas…itu yang paling bernilai di mata Allah. Apapun pilihan “sajadah panjangnya”.
- Selain itu, saat kita “iri” sama suami yang bisa “lebih bebas” dari kita, penghayatan dan penerimaan THE BIG U and the small i juga cukup membantu. Bahwa memang kodrat kita, adalah menguatkannya dari belakang, atau dari samping (hehe…kaau dibilang dari belakang, nanti diprotes para peminis).Saya sudah sampai gagasan ini di https://fitriariyanti.wordpress.com/2013/06/04/the-big-u-and-the-small-i/
- Jadikan suami kita kawan, bukan lawan. “Beban” ini tak harus kita tanggung sendirian. Beban finansial yang seluruhnya ditanggung oleh suami kita, tak harus membuat kita “memagarinya” dari kesempatan untuk membangun ikatan emosional ynag kuat dengan kita maupun anak-anak kita. Suami gak peduli? gak empati? katanya, akar empati itu dari “perspective taking” kemampuan menghayati posisi orang lain. Jadi, sesekali melibatkan suami di dapur atau dalam pengasuhan, akan membuka ruang bagi suami untuk menghayati situasi istri. Saya inget, di salah satu episode Nanny 911, ada keluhan istri suami gak peduli dengan istri yang kelelahan ngurus rumah dengan naknya yang berkebutuhan khusus. Treatmentnya? dikondisikan satu hari si suami yang harus ngurus rumah dan anaknya. Istrinya diajak pergi. Efeknya? si suami ampe nangis, meluk istrinya dan bilang: “Kamu hebat”. Nah, penghayatan ini yang harus dimiliki suami. Istri mah sederhana kok…begitu ia dipahami, dihargai…gak dibantu juga gapapa…Pemahaman dan penghargaan itu, namanya emotional support, akan menjelma menjadi segudang “invisible power” buat istri. Iya kan ibu-ibu? (cari dukungan haha…)
- Jangan ada barier komunikasi dengan suami. Sudah jelas sekali bahwa kalau apa yang kita rasakan tak kita komunikasikan, maka kita akan “punya dunia yang berbeda”. Fisik bersama, tapi secara psikologis berada di dunia yang berbeda….. yang jika dibiarkan akan semakin menjauhkan…menjauhkan..menjauhkan kita. Bentuknya? mungkin keketusan kita saat suami kita menceritakan pengembangan diri yang ia rasakan di kantor…mungkin ke”malas”an kita curhat mengenai remeh temeh masalah keluarga…jangan..jangan sampai terjadi. Bahaya banget itu.
- Terakhir….ini selalu membantu. Berbagi. ada beberapa komunitas curhat ibu-ibu yang saya tahu. Di wa grup, facebook, bbm, itu sangat membantu, menumbuhkan perasaan “i’m not alone” , bahwa persoalan-persoalan dan kegalauan yang kita rasakan “wajar”. Hehe…jadi inget..saya punya satu grup bbm penelitian dengan teman-teman kampus. Tapi isinya…teuteup…cucurhatan soal domestik. Kita bilang, kita ini “support group” buat beragam masalah yang kita rasa, mulai masalah penelitian ampe tetek bengek urusan dapur haha…. Yups, support group memang dibutuhkan. misalnya saya nemu page ini: https://www.facebook.com/pages/Time-for-Mom-Me/362124036321. Mungkin gak semua bisa kita adopsi da beda kultur…tapi saya liat lumayan. Foundernya penulis buku Time for mom-ME. Saya berusaha cari celah buat ngintip isinya, tapi gak dapet uy…
Baiklah ibu-ibu…semangat ! Buat bapak-bapak…bikin ibu-ibunya semangat !
May 12, 2014 @ 09:50:02
mbak,tulisannya super sekali,sesuai dgn apa yang aku pikirkan hanya aku ga bisa/blm bisa menuangkan secara terstruktur dlm tulisan. ijin kusimpan buat diriku dan share yaa..?thank you.
May 12, 2014 @ 14:51:11
Keren dan inspiring, pas kebetulan teman-teman kantor juga sedang gaduh gelisah ngomongin ‘me time’ 🙂
May 12, 2014 @ 19:24:38
suka tulisannya 🙂
May 13, 2014 @ 10:45:00
Mba bagus sekali…Ijin share ya…
May 13, 2014 @ 13:39:35
keren,
Jul 01, 2014 @ 00:01:11
Mba…minta ijin share ya..
Thanks
Aug 25, 2015 @ 07:08:56
Bagus sekali tulisannya.Izin share ya mba.Tks